Aquarius,Menakar Keseimbangan Bermusik

Posted: Maret 7, 2013 in Uncategorized
Pendiri dan pemilik label Aquarius Johannes Soerjoko paling kiro bersama Irianti Erning Praja,Andy Liano,Tantowi Yahya,Pay Burman,Adi Adrian dan Lolo Romulo

Pendiri dan pemilik label Aquarius Johannes Soerjoko paling kiro bersama Irianti Erning Praja,Andy Liano,Tantowi Yahya,Pay Burman,Adi Adrian dan Lolo Romulo

Bersama pendiri dan pemilik label Aquarius saat 40th Anniversary Aquarius di Grabnd Hyatt September 2009 (Foto Denny Sakrie)

Bersama pendiri dan pemilik label Aquarius saat 40th Anniversary Aquarius di Grabnd Hyatt September 2009 (Foto Denny Sakrie)

Warung Kopi Prambors adalah kaset lawak pertama yang dirillis Aquarius pada tahun 1979 (Foto Denny Sakrie)

Warung Kopi Prambors adalah kaset lawak pertama yang dirillis Aquarius pada tahun 1979 (Foto Denny Sakrie)

God Bless,album rock pertama yang dirilis Aquarius di tahun 1976.Saat itu masih menggunakan nama PramAqua (kongsi antara radio Prambors dan Aquarius) (Foto Denny Sakrie)

God Bless,album rock pertama yang dirilis Aquarius di tahun 1976.Saat itu masih menggunakan nama PramAqua (kongsi antara radio Prambors dan Aquarius) (Foto Denny Sakrie)

Menakar Keseimbangan Bermusik

Oleh Denny Sakrie

Rekaman Jazz Indonesia Aquarius "Nada dan Improvisasi" di tahun 1982

Rekaman Jazz Indonesia Aquarius “Nada dan Improvisasi” di tahun 1982

Harmony and understanding
Sympathy and trust abounding
No more falsehoods or derisions
Golden living dreams of visions
(“Aquarius/Let The Sunshine In”)

Lagu “Aquarius/Let The Sunshine In” terus terngiang ngiang di kuping Johannes Soerjoko ketika lagu ini acapkali berkumandang di radio pada tahun 1969.Lagu yang ditulis oleh James Rado,Gerome Ragni dan Galt McDermot menjadi representasi generasi bunga yang tak percaya lagi pada generasi tua,pejabat,pemerintah dan apa pun yang mereka anggap sebagai sosok establish.Namun bagi Soerjoko yang saat itu genap berusia 20 tahun,lagu yang diangkat dari sebuah karya musikal bertajuk “Hair” itu menjadi inspirasinya kelak untuk nama perusahaan rekaman yang dirintisnya.Secara kebetulan pula,Ook demikian sapaan akrabnya,berada dibawah naungan zodiak Aquarius.Disisi lain pemuda penggila musik ini terhanyut dengan lirik-lirik lagu “Aquarius” yang seolah berpetuah tentang harmoni,tentang simpati dan tentang rasa percaya.”Bukankah ini visi yang dibutuhkan dalam mengarungi kehidupan” demikian Soerjoko membatin.
Soerjoko pun terinspirasi dengan symbol Im dan yang terdapat pada 8 trigrams (Pat Kwa) sebagai logo Aquarius.Sebuah penafsiran atas Yin dan Yang.Sebuah keseimbangan dalam hidup.Keseimbangan itulah yang kemudian seolah menjadi takaran dalam strateginya menghasilkan sebuah produksi musik.Yakni keseimbangan antara idealisme bermusik dan koridor komersial.

Kegilaannya terhadap musik memang kian menjadi.”Karena lebih memilih menggeluti musik,saya hanya bertahan 3 bulan kuliah di FakultasTeknik Trisakti” ungkap Johannes Soerjoko yang kini telah berusia 60 tahun dan telah memiliki kerajaan musik bernama Aquarius.
Bagi Ook,alunan musik bagaikan candu yang membuatnya ketagihan.Sejak kecil Ook memang sudah terbiasa mendengarkan rekaman musik melalui piringan hitam yang diputar diatas gramophone yang disediakan oleh ayahnya seorang pedagang yang bermukim di Jalan Batu Tulis,yang sejak 40 tahun lalu telah berubah menjadi kantor Aquarius.Tiada hari tanpa menyimak lagu-lagu dari koleksi piringan hitamnya.Ketika duduk dibangku SD pada tahun 1959 lelaki bertampang keras ini telah membeli piringan hitam dengan menggunakan uang jajannya sendiri.”Seorang teman menawarkan sebuah album dari Cliff Richard “Living Doll” pada saya karena butuh duit.Lalu tanpa piker panjang saya beli album single itu” kenang Soerjoko.
Sejak itulah berbagai piringan hitam tak pernah lepas dari genggaman Soerjoko.Apalagi ketika mulai tertarik menggeluti dunia rekaman.”Saya tertarik melihat tetangga saya pak Budiman membuka usaha perekaman lagu-lagu barat dengan mengambil sumber dari piringan hitam.Pak Budiman menerima pesanan dari pelanggannya untuk merekam lagu-lagu yang sedang hits.Disitulah mulai muncul istilah kaset ketikan.Karena judul lagu-lagunya setelah direkam diketik pada secarik kertas.Itu berlangsung tahun 1967” papar Soerjoko.

Kaset Ketikan produksi Aquarius di awal era 70an

Kaset Ketikan produksi Aquarius di awal era 70an

Setelah meraup cara teknik merekam dari Pak Budiman,mulailah Johannes Soerjoko mengembangkan intuisi bisnisnya dari kegiatan merekam musik ini.Ketika perangkat Tape Deck Stereo mulai muncul di pasaran pada tahun 1970-an barulah semua orang dari segala lapisan masyarakat menggandrungi kaset.Jelas kaset lebih praktis dan relatif terjangkau dibandingkan dengan piringan hitam.
Soerjoko kemudian mengawali usahanya dalam bidang merekam lagu-lagu barat pada tahun 1969.”Saya lalu membeli perangkat perekam milik pak Budiman secara kredit.Itulah awal mula Aquarius.Meskipun masih menjalani perekaman secara by request.Belum secara massal” ungkap Soerjoko.
Di awal era 70-an barulah Aquarius melakukan bisnis merekam secara missal dengan merilis berbagai album,mulai dari pop,rock,jazz hingga klasik.”Kita mulai menitipkan produksi kaset kita kebeberapa toko seperti Aloha di Proyek Senen,Jakarta Foto dan Duta Suara di jalan Sabang” tutur Soerjoko.
Kehadiran kaset-kaset barat yang diproduksi Aquarius memang mendapat respon bagus dari penggemar musik.”Kaset Aquarius soundnya bagus dan awet.Mereka lebih banyak merekam album ketimbang kaset kompilasi.Yang saya ingat,Aquarius merekam album the Beatles,Rolling Stones,Led Zeppelin,Black Sabbath bahkan Frank Zappa.Jazz pun mereka rekam seperti Herbie Mann,Ahmad Jamal dan banyak lagi” ungkap Darmanto (58 tahun) yang mengaku fanatik terhadap kaset keluaran Aquarius.
Filosofi Aquarius dalam menghasilkan rekaman musik Barat yaitu memberikan kenyamanan pada penikmat musik segala macam jenis musik.Ini dibuktikan dengan kualitasaudio yang bagus,kualitas pita kaset bahkan hingga ke susunan lagu.Dalam semua album yang dihasilkan Aquarius,susunan lagunya diubah dengan menempatkan lagu-lagu andalan pada urutan pertama sebagai penguak isi album.Ini adalah salah satu strategi yang pada akhirnya timbul fanatisme konsumen terhadap produk- produk Aquarius.
Keunggulan Aquarius dalam memilih dan merekam album barat bermuasal dari kegemaran Soerjoko pada segala genre musik.”Dia paham musik.Dia ngerti jazz dan rock.Terus terang wawasan musik kami terbuka dengan kehadiran album album yang direkam Aquarius” puji gitaris jazz Jopie Reinhard Item.
“Selera musik yang dimiliki Soerjoko tercermin dari album-album yang diproduksi Aquarius .Saat itu Aquarius memang lebih banyak memanjakan telinga penikmat musik dari strata sosial menengah ke atas yang tersirat dari katalog musik pop,rock,jazz dan klasik.
Munculnya produk musik jazz di Aquarius contohnya,merupakan tantangan dari berbagai pihak diantaranya pemusik jazz Jack Lesmana maupun penggemar jazz Indra Malaon,yang menganjurkan agar diproduksi serial musik jazz.
“Makanya saya lebih suka disebut Record Man.Pencinta musik sejati” ujar Soerjoko.
Apa yang diucapkan Soerjoko memang bisa dibuktikan ketika dia berburu piringan hitam hingga ke berbagai penjuru dunia.
“Pada masa awal saya sering belanja piringan hitam di toko Sinar Jaya yang ada di Pasar Baru.karena koleksinya itu itu aja saya mulai ke Singapore.Tapi toh nafsu berburu saya malah kian menjadi dan kian menggebu-gebu.Saya mulai mengarahkan sasaran ke berbagai tempat ” kisah Soerjoko.
Di tahun 1974,Soerjoko berkunjung ke London Inggeris.Dia mulai berbelanja piringan hitam di retail piringan hitam ternama HMV.Musik musik aneh pun menjadi sasarannya seperti Gentle Giant,Genesis,ELP,Yes dan masih banyak lagi.
Saat kembali ke Indonesia,kedua belah tangan Soerjoko menenteng tas berisikan 50 keping piringan hitam,25 keping ditangan kiri dan selebihnya di tangan kanan.
Pada era 80-an,Soerjoko dalam sehari nekad mengunjungi dua kota sekaligus diawali di Paris Perancis dan berakhir di Amsterdam.”Saat itu saya menggunakan Concorde dengan jarak tempuh 7 jam” tuturnya.Soerjoko pun mulai bercerita tentang beberpa tempat strategis yang menyediakan berbagai rekaman musik diantaranya adalah Boudisque di tengah kota Amsterdam.”Boudisque adalah tempat penjualan rekaman musik terbesar dan terlengkap di Eropa” ucap Soerjoko.
Apakah Aquarius ingin tampil secara eksklusif ? ”Aquarius selalu berusaha untuk tidak terpaku dengan produk album yang hanya berorientasi pasar .Tapi berusaha untuk selalu kreatif menyajikan produk-produk yang secara musikalitas mempunyai keunikan .Di era “bajakan” tahun 70’an saat penjualan musik barat dikuasai pop dan hard rock, Aquarius mulai memperkenalkan musik-musik art rock seperti Yes, Genesis, King Crimson, Greenslade, Gentle Giant. Di saat dunia di landa wabah “Saturday Night Fever” Aquarius malah menemukan “Tagalog Disco” Aquarius kemudian memulai pula me-masyarakatkan album-album yang ber-nuansakan jazzy di awal 80-an dengan nama Jazzy Tunes atau Jazz Vocal” tutur Iman Sastrosatomo,yang pernah menduduki posisi A&R dan Production Manager di Aquarius dari awal 80-an hingga paruh 90-an.
Selain Iman Sastrosatomo,Aquarius pernah didukung sederet sosok yang memiliki kontribusi tinggi dalam operasional produksi dan kreatif diantaranya adalah Agus Syarif Hidayat yang kemudian berkiprah di EMI dan Warner Music Indonesia maupun Kunto Hadiwijoyo yang kini berada di Sony Music Indonesia.

Tatkala produksi Aquarius mulai tersebar di awal dasawarsa 70-an,penjualannnya per tahun mencapai angka 2 juta kaset.”Jumlah itu terangkum dari berbagai artis dan genre musiknya” tambah Soerjoko.Harga kaset barat saat itu berkisar dari Rp 400 hingga Rp 700.
Ini bisa dicatat sebagai masa keemasan dalam usaha yang dilakukan perekam barat termasuk Aquarius.Saat itu di Indonesia memang belum ada perlindungan terhadap hak cipta lagu Barat.”Kami merasa itu sesuatu yang bukan illegal.Toh kami dikenakan pajak juga oleh pemerintah” tukas Soerjoko perihal paradoks yang terjadi dalam industri musik di Indonesia.
Pada akhir dasawarsa 70-an dan awal dasawarsa 80-an,omzet Aquarius turun menjadi 1,5 juta per tahun lantaran munculnya berbagai perusahaan rekaman serupa.”Kondisi saat itu disebut free for all.Misalnya sebuah album dari Deep Purple direkam oleh banyak perekam.Bukan hanya Aquarius saja ” tukas Soerjoko.
Saat itu di dasawarsa 80-an,terdapat setidaknya 9 perekam lagu barat.5 diantaranya termasuk yang terbesar yaitu Aquarius,King’s Record,Atlantic Record,Team Records dan EGO Records.4 dibawahnya ada Hins Perfecta,Audio Master,Contessa dan Golden Lion.Ada juga beberapa perekam barat lain yang tiras produksinya tak lebih dari 1000 kaset per bulan diantaranya adalah Queen Record,Yess,Hidayat Connoseur,Monalisa, maupun Golden Rate.

Omzet Aquarius sendiri semakin menurun pada tahun 1987 menjadi 1,2 juta kaset termasuk 350 ribu kaset yang diekspor ke wilayah Timur Tengah.
Namun Aquarius toh masih memiliki hasil penjualan album album Indonesia sekitar 800 ribu kaset untuk album dari penyanyi wanita Nicky Astria dan Ruth Sahanaya serta penyanyi negeri jiran Sheila Madjid.”Sheila Madjid merupakan kerjasama Aquarius dengan pihak EMI Malaysia” tambah Soerjoko.
Di tahun 1988,masa kejayaan perekam Barat berakhir saat Bob Geldof,vokalis kelompok musik Irlandia The Boomtown Rats yang juga sebagai penggagas konser amal terbesar Live Aid menuntut Indonesia sehubungan masalah pembajakan atas konser Live Aid yang berlangsung di Philadelphia Amerika Serikat dan Wembley Stadium Inggeris pada Juli 1985 yang dilakukan para perelam lagu-lagu Barat di Indonesia.
Era pembajakan pun beralih ke penghormatan Undang Undang Hak Cipta pada paruh tahun 1988.Aquarius pun memulai lembaran baru dalam bisnis rekaman.Aquarius masih tetap merekam dan merilis lagu-lagu barat tapi kini dengan cara yang lebih terhormat.Pihak Aquarius malah didekati oleh sederet perusahaan rekaman internasional untuk bermitra .Akhirnya Aquarius memegang lisensi hak cipta dari dua raksasa label internasional yaitu EMI dan Warner Music.”Jelas ini melegakan dan sekaligus membanggakan,karena EMI dan Warner menaruh kepercayaan pada kami.Sebetulnya kepercayaan itu telah mereka endus sejak Aquarius menjalin kerjasama dengan EMI Malaysia saat merilis album Sheila Madjid di tahun 1986” papar Soerjoko.

Disamping berkonsentrasi dengan lagu-lagu Barat.Aquarius tetap tak melupakan scene musik lokal .”Biar bagaimanapun kami kan orang Indonesia.Kami tak boleh melupakan kreativitas pemusik local” ucap Soerjoko.
Sebetulnya sejak tahun 1975 Aquarius yang berkongsi dengan PT Radio Prambors Rasisonia lewat label Pramaqua sudah mulai merilis album karya anak negeri yang ditandai dengan munculnya album Noor Bersaudara dan Prambors Vokal Group yang diteruskan dengan dirilisnya album perdana dari grup rock God Bless pada tahun 1976.
Jika diamati secara seksama,maka katalog musik Indonesia yang dirilis Pramaqua terasa lebih berpihak pada musik apresiasi dibanding dengan produksi rekaman musik Indonesia yang dihasilkan perekam Indonesia seperti Remaco,Purnama,Musica Studios atau Yukawi yang terasa lebih menomorsatukan sisi komersialnya.
“Terus terang ini merupakan bagian dari selera juga.Karena saya telah terbiasa dengan musik yang lebih apresiatif,akhirnya musik musik seperti God Bless,Jopie Item,Noor Bersaudara,Yockie dan lainnya itulah yang kita rekam” tutur Soerjoko.
Dimata para pemusik yang pernah merilis album di Pramaqua atau Aquarius,konsep kreativitas sangat dihargai.
“Suasana kerja di Aquarius sangat kondusif, didalam beberapa proyekt rekaman kita diberi kebebasan untuk berkreasi, tanpa adanya intervensi,Pesan mereka semua lagu yang kita rekam harus memiliki kualitas yang sama, jangan hanya konsentrasi di ‘key tracknya’ saja, sedang sisanya dikerjakan secara asal-asalan. Dalam satu album ,setiap lagu harus memiliki kualitas setara.Mereka concern pada sound quality. Pak Ook sangat memperhatikan secara detil” ungkap Karim Suweileh,drummer jazz yang banyak memberikan kontribusi dalam beberapa penggarapan album di Aquarius mulai dari jazz,cha cha,keroncong hingga ke musik rohani.
:Ketika album Musik Santai yang saya garap pada tahun 1977 itu dianggap membuahkan hasil.Saya pun mendapat privillege dari Aquarius.Saya dibebaskan untuk membuat sebuah rekaman sesuai insting musik saya hingga akhirnya muncul album Jurang Pemisah yang saya buat bersama Chrisye dan James F Sundah.Namun ternyata album ini memang terasa lebih berat.Agak idealis sih” komentar Yockie Suryoprayogo mengenai keterlibatannya dalam proses kreatif di Aquarius pada paruh dasawarsa 70-an.
Perihal idealisme bermusik Aquarius memang tampak konsisten dari tahun ke tahun.Pakem yang dicangkokkan Soerjoko masih tetap bersemi hingga sekarang ini.
“Saya sangat merasakan hal itu.Terlebih ketika saya mulai menjalani solo karir di awal tahun 2000-an.Konsep kreativitas kita sebagai pemusik sangat dihargai oleh Aquarius.Mereka memang memiliki standar yang oleh sementara pemusik mungkin dianggap terlalu cerewet terutama konsep musik dan kualitas audio.Itu sudah harga mati.Tapi saya justeru banyak belajar dari situ.Bayangkan di album kedua saya Keseimbangan saya diberi semacam privillege,mulai dari menentukan arranger hingga rancangan budgeting album” ungkap Ari Lasso,mantan vokalis Dewa yang akhirnya menjalani solo karir di Aquarius.
“Konsep musik,karakter penyanyi atau band merupakan tuntutan utama kami.Jumlah penjualan album itu nomor dua.Mungkin karena itu jugalah yang membuat artis artis yang berada dibawah Aquarius tak terlalu banyak.Kami memang berusaha agar setiap artis Aquarius itu mendapat sentuhan dan perhatian.Jika jumlah terlalu banyak pasti akan sulit .sekali ” ungkap Suwardi Widjaja,Direktur Artis dan Repertoar Aquarius.
Komposer,pianis dan konduktor kesohor Addie MS pun merasa memiliki kenyamanan saat menjalin kerjasama dengan Aquarius.”Aquarius memiliki idealisme dalam mempertahankan kualitas produksinya. Seringkali tidak berpikir dua kali dalam mengulang suatu proses produksi demi mencapai apa yang dikehendakinya. Misalnya dalam proses mixing atau mastering. Aquarius berhasil membentuk citra yang khusus, sedemikian rupa sehingga musisi maupun artis-artis potensial merasa ada kebanggaan untuk bekerja sama dengan Aquarius” komentar Addie MS yang sempat merilis2 album simfonik bertajuk ”Simfoni Negeriku” (1995) dan ”La Forza Del Destino” (1998)” .
”Simfoni Negriku merupakan proyek rekaman yang secara hitungan bisnis jauh dari ideal. Tidak menjanjikan keuntungan sama sekali, karena bukan berisi lagu-lagu perjuangan atau nasional Indonesia. Album yang awalnya tidak dimaksudkan untuk dijual itu, akhirnya dengan pertimbangan agar bisa dinikmati masyarakat seluas-luasnya, berhasil diedarkan secara umum atas jasa Aquarius. Kebetulan Aquarius memiliki idealisme yang sama dalam memasyarakatkan lagu-lagu nasional Indonesia melalui albumini” ujar Addie MS panjang lebar.

Walaupun seolah kukuh dengan idealisme,toh Aquarius sebagai sebuah perusahaan tetap harus survive.:Walaupun tetap tak mengabaikan keuntungan dalam berproduksi,Aquarius berupaya tetap menjaga kualitas.
Sejak merilis Noor Bersaudara di tahun 1975.Kami baru merasakan keuntungan yang lebih dari lumayan justeru dari dua album lawak milik Warung Kopi Prambors di tahun 1979” tutur Soerjoko.
Album pertama Warung Kopi Prambors berhasil terjual sebanyak 258.000 unit dan album keduanya terjual diatas 100.000 unit.Saat itu jumlah yang diraih dari album Warung Kopi Prambors merupakan prestasi tersendiri.
Konsep keseimbangan memang terlihat jelas disini.”Aquarius memang selalu ingin berada dalam posisi win win solution “ tandas Ari Lasso lagi.
“Di saat Aquarius merilis album solo Raidy Noor atau album Nada dan Improvisasi yang bernuansa jazz,toh tampak berimbang dengan merilis album Nicky Astria” jelas Iman S lagi.
Aquarius pada galibnya memang sangat memperhitungkan kondisi pasar dengan menjejalkan produk-produk yang seolah anti-trend,namun sesungguhnya justeru memberikan keseimbangan dalam kualitas bermusik.
Disaat hampir semua perusahan rekaman seolah berlomba lomba menampilkan artis musik dalam pola yang seragam dengan kucuran hasil ring back tone yang menggiurkan,Aquarius seolah nakhoda kapal yang tenang di geladak menghadapi topan yang siap menghancurkan seluruh isi kapal.
Konsistensi inilah yang sangat mencuat dari perusahaan rekaman yang awalnya hanyalah merupakan bentuk kecintaan atau kegilaan seorang anak muda bernama Johannes Soerjoko terhadap musik yang berkumandang dari putaran piringan hitam.

(Tulisan ini dimuat di majalah Rolling Stone edisi Juni 2009)

Komentar
  1. Energie berkata:

    Saya dari energie, kami sudah punya beberpa lagu judulnya ”lelaki kesepian”herisa”kebimbangan hati”energi”generasi perombak”kasih tak sampai dan msih banyak lgi. Saya harap pihak aquarius tertarik pada energie. Jika d butuhkn demo lagu kami akan krimkn. Klo bs lewat email. Krn klo lewat pos blm tentu smpe ke penerima demo. Mohon blasannya

  2. Energie berkata:

    Kami dr ENERGIE BAND, personil 5. asal palopo sulsel. No tlp 085242555564. Kami sdah punya beberpa lagu judulnya ”lelaki ksepian”herisa”kebimbangan hati”generasi perombak”energi”kasih tak sampai dan msih banyak lagi. Energie nanya ni, Aquarius mnerima demo lwt email gak? Soalnya klo lewat pos takutnya gak nyampe ke pnerima demo. Mhon balasannya

  3. Chandra Koyma berkata:

    Saya sangat menyukai tulisan2 mas Denny Sakrie, yang menurut saya bagaikan arsip musik yang selalu berisi hal hal yang sering tidak ter beritakan oleh media massa. Sukses Mas Denny….!

  4. dennysakrie63 berkata:

    Terimakasih banyak mas 🙂

Tinggalkan komentar