Arsip untuk September, 2011
Posted: September 28, 2011 in Tinjau Album

Sally Jo ,penggesek biola Sahardja
Mereka laksana menebar metafora. Menyatukan elemen musik dunia menjadi satu kesatuan yang utuh bukan sesuatu yang gampang. Tapi upaya ini dilakukan oleh Saharadja, kelompok musik asal Bali yang diarsiteki peniup trompet Rio Siddik (Indonesia) dan penggesek biola Sally Jo (Australia). Mereka berdualah yang menorehkan konsepsi musik eklektik Saharadja. Bayangkan jika kuping Anda harus menerima sajian musik perpaduan dari berbagai kecenderungan. Ada etnik Bali, Mesir, Aborigin, bluegrass, India, dan Celtic, serta jazz, funk, dan klasik. Yang menarik, Saharadja tetap menomorsatukan ritmik yang tegas walau tak terlalu gamblang. Sajian semacam itu memang lazim ditemui pada pola musik rakyat. Alhasil, musik Saharadja seolah menawarkan godaan yang impulsif. Kurang-lebih begitulah deskripsi mengenai grup, yang oleh sebagian orang sering ditahbiskan sebagai bagian dari ranah world music, ini. Saharadja berupaya peka terhadap keadaan di sekelilingnya. Simaklah komposisi bertajuk Bali Smile yang menjadi track pembuka debut album One World, yang ditulis Rio Siddik untuk korban bom Bali pada 12 Oktober 2002. Musiknya menyediakan ruang penuh optimisme bahwa Bali masih bisa kembali tersenyum. Denyut bas fretless yang dimainkan Badut Widyanarko, meskipun menggeram, terasa ceria. Lewat musik, Saharadja menebar metafora. Kepiawaian Sally Jo menggesek biola terlihat pada Celtic Jungle. Nomor tradisional Celtic ini, yang juga didukung bunyi-bunyian sintesis, terasa berpihak pada musik yang sering berdentam di arena clubbing. Seolah berada di sebuah petualangan menelusuri wilayah demi wilayah, Saharadja lalu menyemburkan napas musik Mesir pada lagu Saharadja. Tetabuhan rebana dan darbuka, yang dimainkan Ajat Lesmana, terasa aksentuatif.

Masih kurang? Saharadja pun mengobrak-abrik sebuah komposisi karya Johannes Brahms, Hungarian Dance, dengan sentuhan perkusi yang kental. Dalam lagu ini menyeruak dialog antara bunyi trompet redam yang ditiup Rio Siddik dan jari-jemari Sally Jo yang ligat menelusuri fret biola elektriknya. Eksotis.

Apalagi jika ditambah dengan menyimak Tabla Man, komposisi yang ditulis Rio Siddik dan diaransemen Igor Tamerlan, yang kental nuansa India-nya. Atau simaklah serpihan musik tradisi Aborigin dalam Didge Desire, yang menampilkan trompet Rio Siddik dan bas Badut Widyanarko serta instrumen suku Aborigin, didgeridoos, yang dimainkan Ajat Lesmana. Saharadja dibentuk di Bali pada 2002 oleh sepasang kekasih, Rio Siddik (trompet) dari Indonesia dan Sally Jo (biola) dari Australia. Mereka berdua menyatukan latar belakang kultur yang berbeda dalam visi yang sama: musik. Keduanya menulis komposisi musik mereka. Pendukung lainnya adalah Ajat Lesmana (darbuka, rebana, jembe, didgeridoos), Barok Khan(banjo, gitar, tabla), Gede Yudhana (gitar, vokal), Eddy Siswanto (drum), dan Badut Widyantoro (bas fretless). Mereka juga didukung oleh sederet pemusik tambahan, seperti Igor Tamerlan (synthesizers), Ketut Riwin (gitar), Ketut Rico (keyboard), Ony Pa (drum), Koko Harsoe (gitar), Erick Sondhy (synthesizers), Donny Dewandaru (perkusi), dan Jimmy Sila’a (bas). Menyimak repertoar Saharadja laksana menikmati tamasya musik. Tak berlebihan jika sajian lintas kultural Saharadja ini terasa seperti ingin menyatukan dunia dalam musik. Bahkan Rio pun pernah berucap, “Salah satu mimpi saya adalah ingin bermain musik di hadapan para pemimpin dunia sehingga musik dengan keragaman etnik bisa menyatu dalam kebersamaan.
” DENNY SAKRIE, PENGAMAT MUSIK (Tulisan ini dimuat di Koran Tempo 21 Januari 2006)
Posted: September 16, 2011 in Obituari

Gipsy di pelataran Taman Ismail Marzuki Cikini Jakarta 1969

Gipsy di tahun 1971

Chrisye bersama Gipsy di tahun 1969
Jika Chrisye masih hidup sekarang ini pastilah dia telah berusia 62 tahun.Tepat hari ini 16 September 2011 almarhum Chrisye merayakan hari ualng tahunnya.Disaat seperti ini mungkin tepat jika kita berupaya mengenang karya-karya Chrisye dalam khazanah musik Indonesia.
Dan berikut ini saya kembali mencuplik catatan tulisan saya,sebuah obituari yang pernah di muat di majalah Tempo edisi 8 April 2007 silam.

Mungkin bisa dihitung jari sebelah tangan, penyanyi yang memiliki karakter kuat dan juga memiliki karier musik panjang serta nyaris tak pernah stagnan. Di antara para penyanyi itu adalah Broery Marantika, Benya-min S., Farid Hardja, dan yang baru saja meninggalkan kita semua, Jumat 30 Maret silam, adalah Chrisye.
Suara Chrisye berkarakter kuat karena hampir tak ada yang bisa meniru atau menyamainya. Begitu mendengar senandungnya, kita pun bisa menebak siapa siempunya suara tersebut. Kesamaan lainnya, baik Broery, Benyamin, Farid maupun Chrisye mampu menyiasati pergeseran tren yang sering bergonta-ganti dalam konstelasi musik pop. Mereka luwes berlenggang pada era-era yang berbeda. Jika banyak pemusik atau penyanyi lain yang tersungkur karena hantaman tren yang menggelegak, maka Broery, Benyamin , Farid, dan Chrisye justru menjumput penggalan elemen musik yang tengah mewabah lalu dibaurkan dengan identitas musik mereka sendiri. Tanpa sedikit pun ada kesan pemaksaan sama sekali.
Lihatlah Benyamin S. yang mampu merengkuh berbagai idiom musik yang populer pada zamannya mulai dari blues, soul, funk, rock. hingga dangdut sekalipun tanpa harus memasung identitas musikalnya yang berlatar budaya Betawi. Itu pula yang terjadi pada Broery, Farid, hingga Chrisye.
Pola semacam ini juga kita temukan dalam gaya bermusik Broery Marantika, Benyamin S., dan Farid Hardja. Karya-karya mereka menjadi immortal dari generasi ke generasi. Mari kita lihat betapa memasyarakatnya idiom ”buah semangka berdaun sirih” dari lagu Aku Begini Engkau Begitu karya Rinto Harahap yang dipopulerkan Broery. Juga, fenomena Karmila hingga Ini Rindu dari Farid Hardja serta Benyamin S. dengan Kompor Meleduk dan Hujan Gerimis.
Tepatnya, Chrisye adalah penyanyi yang selalu tepat dalam menafsirkan lagu dari siapa saja. Sudah banyak komposer yang menyodorkan lagu untuk Chrisye, mulai dari Guruh Soekarno Putra, Eros Djarot, Oddie Agam, Rinto Harahap, Dian Pramana Poetra, Adjie Soetama, Younky Soewarno, Andi Mapajalos, Bebi Romeo, Ahmad Dhani, Pongky Jikustik, dan sederet panjang lainnya. Ketika lagu-lagu ciptaan me-reka dinyanyikan Chrisye, atmosfernya lalu berubah menjadi atmosfer Chrisye.
Itu pun terjadi ketika Chrisye dalam album Dekade (2002) membawakan lagu dangdut karya A. Rafiq berjudul Peng-alaman Pertama hingga Kisah Kasih di Sekolah dari Obbie Messakh, semuanya meleleh menjadi karakter Chrisye.
Ini mengingatkan saya pada Phil Collins, drumer rock progresif Genesis yang kemudian lebih dikenal sebagai ikon musik pop. Phil Collins penyanyi yang juga menjadi mata air inspirasi Chrisye. Phil Collins adalah Midas yang mampu mengubah lagu siapa saja menjadi lagu Phil Collins. Simak saja, misalnya, You Can’t Hurry Love yang awalnya dipopulerkan The Supremes hingga Groovy Kind of Love-nya Wayne Fontana & The Mindbender. Semuanya seolah lagu karya Phil Collins.
Singkatnya, kemampuan menginterpretasikan karya adalah salah satu titik kekuatan Chrisye, di samping timbre vokal yang khas. Chrisye memang tepat disebut sebagai penyanyi bernapas panjang. Konon, semasa bergabung di Gipsy antara 1969 dan 1973,Chrisye paling sering membawakan repertoar grup brass rock Chicago dan pemusik blues kulit putih John Mayall. Karakter vokalis Peter Cetera dan John Mayall yang mengandalkan napas panjang dalam mendaki lengkingan vokal yang tinggi tampaknya membentuk karakter vokal khas Chrisye yang dikenal orang sekarang ini.
Sayangnya, sang pemilik napas panjang ini usianya tak panjang. Ketiga rekannya pun berusia tak panjang: Broery 52 tahun, Benyamin 56 tahun, dan Farid 48 tahun. Karena penyakit yang bersarang di tubuhnya, Chrisye pun pamit dari hadapan kita enam bulan sebelum dia genap berusia 58 tahun pada 16 September 2007 nanti.
Kepergian Chrisye disambut rinai hujan yang mengguyur Jakarta. Sayup-sayup terngiang suara lirih Chrisye bernyanyi di sebuah radio:
Merpati putih berarak pulang terbang menerjang badai
Tinggi di awan menghilang di langit yang hitam.
Di muat di majalah Tempo Edisi. 06/XXXIIIIII/02 – 8 April 2007
Posted: September 14, 2011 in Obituari
Hei nona manis biarkanlah bumi berputa ,menurut kehendak yang Kuasa
Almarhum Dodo Zakaria sepertinya menuliskan lagu “Esokkan Masih Ada” itu khusus untuk almarhum Utha Likumahuwa,penyanyi stylish Indonesia yang menghembuskan nafas terakhir pada selasa 13 September 2011 di RS Fatmawati Jakarta .Lagu yang menyiratkan optimisme itu memang terlihat pada perilaku Utha Likumahuwa, yang dilahirkan 1 Agustus 1955 di Ambon Maluku dengan nama lengkap Doa Putra Ebal Johan Likumahuwa.Meskipun terserang stroke akibat komplikasi berbagai penyakit diantaranya diabetes,Utha toh tetap bersikap optimis untuk memerangi penyakit yang dideritanya itu.Dalam keadaan yang sangat memprihatinkan Utha Likumahuwa yang didampingi isteri Debby Likumahuwa malah menggumamkan lagu “Puncak Asmara” karya Oddie Agam yang dipopulerkannya pada tahun 1987.
Seperti lazimnya penyanyi-penyanyi berdarah Maluku yang lain,mulai dari Bob Tutupoly hingga Broery Pesolima dan Harvey Malaiholo ,maka Utha Likumahuwa adalah deretan penyanyi stylish yang memiliki karkater kuat.Mereka yang saya sebutkan ini memiliki ekspresi serta phrasering yang powerfull.Para penyanyi Maluku ini seperti ditakdirkan mampu bernyanyi dengan ekspresi jiwa yang mumpuni.Setelah era Utha Likumahuwa,deretan penyanyi stylish itu terlihat pada sosok Glenn Fredly.Lagu “Esokkan Masih Ada” itu bahkan sempat didaur ulang oleh Glenn Frdedly dengan melisma yang menyihir penikmatnya.Utha bahkan memuji penafsiran Glenn Fredly pada lagu “Esokkan Masih Ada”.”Saya yang menanam bibit lagu karya Dodo itu tapi Glenn berhasil menyemaikannya menjadi sebuah tanaman yang luar biasa.Suara dan gaya nyanyi Glenn jelas lebih bagus dari saya” puji Utha Likumahuwa ketika menyimak Glenn Fredly membawakan lagu itu dengan aura pop R&B.
Menurut Utha ,dia sangat kagum dan terinspirasi dengan gaya vokal Gino Vannelli serta Alex Ligertwood,penyanyi Skotlandia yang pernah mendukung Brian Auger’s Oblivion Express dan Santana.Gaya kedua penyanyi itu memang menyilang pada warna jazz rock yang ekspresif.Pengaruh Stevie Wonder atau James Ingram pun tertelusuri pada jatidiri vocal Utha.
Suara tenor Utha Likumahuwa memang terdengar lentur mendaki hingga 3 oktaf .Namun di satu sisi suara Utha pun ternyata juga hirau pada aura pop yang lebih sederhana.Inilah kelebihan Utha yang membuatnya bertahan dalam industri music kita.
Utha Likumahuwa mulai diperbincangkan namanya di Indonesia saat menyanyikan lagu “Tersiksa Lagi” karya almarhum Christ Kaihatu dan Younky Alamsyah di tahun 1982.Lagu ini sempat menuai kehebohan ketika ternyata lagu ini merupakan hasil plagiat atas karya instrumental pianis jazz Ramsey Lewis “You’re The Reason” dengan introduksi yang diambil dari lagu “Telluride” dari kelompok fusion Spyrogyra.Tapi apa boleh buat lagu itu terlanjut menjadi hit nasional.Bahkan penyanyi jazz Syaharani mendaur ulang lagu itu di tahun 2000.
Karir Utha memang tak sekejap mencuat dalam industry music Indonesia.Dia banyak malang melintang di dunia musik yang sarat perjuangan.Di era 70-an saat bermukim di Bandung Utha sempat tergabung dalam band rock bernama Big Brother sebagai penabuh drum.Selain itu Utha pun mampu bermain piano.Tapi ternyata dia lebih memilih sebagai penyanyi yang mengantarkannya ke dunia klab malam hingga pub. Di awal 80an Utha Likumahuwa berperan sebagai vokalis pada kelompok jazz rock Jopie Item Combo yang didukung Jopie Item (gitar),Rully Bachrie (drums),Christ Kaihatu (keyboard) dan Yance Manusama (bass).Mereka bermain di Captain Bar Mandarin Hotel Jakarta.
\Beruntung,Utha Likumahuwa tak terlalu lama menggeluti dunia music di bar atau pub.Utha mulai melangkah ke bilik rekaman.Di tahun 1979 Utha Likumahuwa membawakan dua lagu dari ajang Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors yaitu “Dara” (Candra Darusman) dan “Cinta Diri” (Harry Dea) dalam album “10 Pencipta Lagu Remaja 1979” diiringi Prambors Band.Di tahun 1981 Utha bahkan didapuk menyanyikan lagu juara 1 dalam Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors 1981 bertajuk “Tembang Pribumi” karya Christ Kaihatu.
Di tahun 1980 Utha Likumahuwa dikontrak Purnama Record mewmbawakan lagu-lagu pop sebanyak dua album yaitu “Mama” (1980) dan “Jangan Sakiti Hatinya” (1981) diiringi music Bartje Van Houten.Album yang berisikan lagu-lagu remake atas karya Rinto Harahap ini tak berhasil dalam penjualannya.Kesuksesan justru mulai memihak pada Utha saat merilis album “Nada dan Apresiasi” di tahun 1982 bersama iringan Christ Kaihatu (keyboard),Karim Suweileh (drums),Yance Manusama (bass),Joko WH (gitar) dan Jopie Item (gitar) lewat hits “Tersiksa Lagi” dan “Rame Rame”.
Di tahun 1983 Utha Likumahuwa mulai dikontrak label Jackson Records & Tapes.Dimulai dengan album “Bersatu Dalam Damai” yang menghasilkan hits besar “Esokkan Masih Ada”.Di album ini Utha didukung sederet pemusik tenar seperti Jopie Item,Dodo Zakaria,Rully Djohan,Sam Bobo,Ongen Latuihamallo hingga Addie MS. Mulai tahun 1984 Utha mulai bergelimang hits seperti “Gayamu”,”Mereka Bukan Kita”,”Aku Pasti Datang”,”Puncak Asmara” termasuk duetnya dengan Trie Utami,Louise Hutauruk,Dian Pramana Poetra,Henry Restoe Poetra dan Vonny Sumlang bahkan di tahun 1991 membuat trio bersama Fariz RM dan Mus Mujiono menyanyikan “Kekagumanku (Miracles” karya Dorie Kalmas.Di tahun 1986 Utha Likumahuwa pun ikut memperkuat Suara Persaudaraan,kelompok musik yang didukung 75 artis music untuk membantu kegiatan sosial gagasan pemusik James F Sundah yang terisnpirasi USA For Africa .
Sejak itu sosok Utha Likumahuwa menjadi bagian dari khazanah musik pop Indonesia.Di era 80an nama Utha sejajar dengan Broery Pesolima,Fariz RM,Dian Pramana Poetra dan Harvey Malaiholo serta Mus Mujiono
Setidaknya ada 20 album pernah dirilis oleh almarhum Utha Likumahuwa semasa hidupnya. Bahkan Utha pun mencatat beberapa prestasi dalam beberapa ajang kompetisi seperti Grand Prix Song’s The 6th ASEAN Festival di Manila, Filipina pada tahun 1989. Lalu The 2nd in Asia Pacific Singing Contest di Hong Kong pada tahun 1989 serta ABU World Song Festival di Malaysia pada tahun 1990,saat berduet dengan Trie Utami.
Disaat pemakaman Utha Likumahuwa di Bogor pada rabu 14 September 2012, beberapa stasiun radio dan TV swasta seolah melepas kepergian Utha dengan lirik “Esokkan Masih Ada” yang menyentuh relung sanubari kita semua :
Tuhan pun tau hidup ini sangat berat
Tapi takdir pun tak mungkin slalu sama
Coba-coba lah tinggalkan sejenak anganmu
Esok kan masih ada

- Utha Likumahuwa bersama Twilite Orchestra di Sydney Opera House

- Utha Likumahuwa dan Bagoes AA 1984
Mungkin hanya sebuah kebetulan, tadi pagi saya menyenandungkan bait lirik lagu karya Dodo Zakaria, “Esokkan Masih Ada” yang dipopulerkan Utha Likumahuwa pada tahun 1983 dan termasuk salah satu lagu dalam daftar 150 Lagu Terbaik Indonesia Sepanjang Masa versi Rolling Stone Indonesia.
”Hei nona manis, biarkanlah bumi berputar… Esok kan masih ada.” Dan mendadak saya terperanjat ketika sahabat saya pemusik Rezky Ichwan mengirimkan pesan pendek via telepon seluler bahwa Utha Likumahuwa telah berpulang menghadap Yang Maha Kuasa pada hari ini Selasa, 13 September 2011 pukul 13:13 WIB di salah satu ruang Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta.
Mendengar berita ini saya sempat tercenung mengingat sekelebat sosok Utha Likumahuwa yang walau terlihat serius tapi sesungguhnya adalah sosok yang humoris dan sering tertawa ngakak. Saya sungguh menyesal karena ketika terbetik kabar Utha Likumahuwa terkena stroke di Rumuah Sakit Santa Maria, Pekanbaru pada bulan Juni lalu, saya tak mempunyai kesempatan untuk menjenguk almarhum.
Sekitar Mei 2011 saya sempat menelepon Utha Likumahuwa untuk meminta kesediaannya menjadi salah satu bintang dalam acara bercorak reuni dengan nama “Tribute To 80’s.” Saat saya meminta kepastian honor beliau untuk acara ini, dengan simpatik dia berkata: ”Saya nggak berani kasih harga. Yang penting harganya wajar wajar aja. Apalagi acara ini Anda yang lakukan. Saya nggak mau macam-macam jika orang seperti Anda yang membuatnya. Saya tunggu kabarnya aja ya, Den,” tutur Utha Likumahuwa. Ini memang ciri khas Utha Likumahuwa dalam menjalin persahabatan.
Acara “Tribute To 80’s” yang direncanakan digelar pada tanggal 1 Oktober 2011 akhirnya memang urung diadakan. Acara itu ditunda hingga tahun depan. Sejak itu saya memang tak pernah melakukan kontak lagi dengan almarhum.
Praktis pertemuan terakhir saya dengan Utha Likumahuwa berlangsung tahun lalu, tepatnya 20 November 2010 saat Utha Likumahuwa tampil bersama sederet penyanyi dan pemusik muda dalam acara apresiasi musik “Djakartmosphere 2011” yang berlangsung di Exhibition Hall Balai Kartini, Jl. Gatot Soebroto, Jakarta.
Saat itu Utha Likumahuwa bersama sederet pemusik senior seperti God Bless, Sylvia Saartje dan Oddie Agam didapuk untuk berkolaborasi dengan sederet pemusik muda seperti Leonardo, The Trees and The Wild, Bonita and The Hush Band serta Navicula.
Momen terbaik dari konser tersebut adalah ketika almarhum Utha Likumahuwa bermain piano dan mengiringi Leonardo menyanyikan lagu “Aku Pasti Datang” karya Dodo Zakaria yang dinyanyikan Utha Likumahuwa pada tahun 1985. Dan Utha pun menyanggupi menyanyikan lagu karya Leonardo dengan gayanya yang khas.
Kualitas vokalnya masih terjaga.Sejak dua tahun terakhir ini Utha Likumahuwa memang seperti kembali ke dunia musik, dunia yang pernah mengangkat ketenaran dirinya pada awal dasawarsa 80-an. Tahun 2009 bersama rekan-rekannya seperti Oddie Agam, Ikang Fawzy, Adjie Soetama, Lilo KLa, Addie MS, Memes merilis album bertajuk Reuni. Dalam beberapa ajang reuni dan nostalgia nama Utha Likumahuwa selalu ikut tercantum pula.
Saya mengenal Utha Likumahuwa pada tahun 1982. Saat itu Utha mulai dikenal luas khalayak lewat lagu “Tersiksa Lagi” karya Christ Kaihatu yang diambil dari karya instrumental Ramsey Lewis, “You’re The Reason.” Perkenalan pertama dengan Utha itu berlangsung saat dia tengah mengisi acara di Green Pub, Jakarta Theater bersama iringan Gold Guys. Utha adalah sosok yang ramah dan humoris. Saat itu Utha mulai bercerita tentang siapa dirinya. Sebelum memilih sebagai penyanyi ternyata Utha Likumahuwa sempat menjadi drummer pada sebuah grup rock di Bandung yang bernama Big Brother.
”Band itu dinamakan Big Brother karena para personelnya memiliki abang yang lebih dulu menjadi pemusik atau ngeband,” tutur Utha Likumahuwa. Misalnya, Agus yang adiknya Gito Rollies, Harry Soebardja yang adiknya Benny Soebardja (Giant Step), Imank Kusni yang adiknya Wandi Koeswandi (One Dee & Lady Faces). ”Dan saya adiknya Benny Likumahuwa dari The Rollies,” ungkap Utha Likumahuwa.
Dilahirkan dengan nama lengkap Doa Putra Ebal Johan Likumahuwa di Ambon pada tanggal 1 Agustus 1955. Utha dibesarkan dari keluarga pencinta musik di Ambon, Maluku.
”Saya banyak belajar musik dari kakak saya Benny Likumahuwa,” ujar Utha Likumahuwa suatu ketika.
Ketika Benny Likumahuwa sang kakak hijrah ke Bandung, Utha pun mengikuti jejak kakaknya bermusik di Bandung. Saat itu Utha sempat tergabung dalam beberapa band rock. Utha mengaku banyak terpengaruh dengan karakater vocal Alex Ligertwood, vokalis turunan Irlandia yang pernah menjadi vokalis kelompok Brian Auger’s Oblivion Express dan Santana.
”Saya pun sangat mengagumi Gino Vanneli,” imbuh paman dari pemain bass muda Barry Likuamhuwa ini .
Debut rekaman Utha Likumahuwa berlangsung pada tahun 1979 saat menyanyikan lagu “Cinta Diri” karya Harry Dea dan ”Dara” karya Candra Darusman diiringi Prambors Band pada album 10 Pencipta Lagu Remaja.
Setelah itu Utha sempat merilis dua album pada label Purnama Record dengan menyanyikan lagu-lagu karya Rinto Harahap. Tapi nama Utha Likumahuwa mulai mencuat saat menyanyikan lagu “Tersiksa Lagi” (1981) dengan iringan Christ Kaihatu, Jopie Item, Karim Suweileh, Yance Manusama, Embong Rahardjo dan Joko WH.
Sukses ini membuat Utha Likhumahuwa kemudian dikontrak oleh label Jackson Records & Tapes dengan merilis album Bersatu Dalam Damai (1983) yang menghasilkan hits besar, “Esokkan Masih Ada.” Menyusul album Aku Pasti Datang (1985) yang menghasilkan hits “Mereka Bukan Kita,” ”Gayamu” dan “Aku Pasti Datang” dengan musik yang digarap secara elegan oleh Addie MS. Sejak itu sosok Utha Likumahuwa menjadi bagian dari khazanah musik pop Indonesia.
Sekitar 20 album pernah dirilis oleh almarhum Utha Likumahuwa. Bahkan Utha pun mencatat beberapa prestasi dalam beberapa ajang kompetisi seperti Grand Prix Song’s The 6th ASEAN Festival di Manila, Filipina pada tahun 1989. Lalu The 2nd in Asia Pacific Singing Contest di Hong Kong pada tahun 1989 serta ABU World Song Festival di Malaysia pada tahun 1990.
Selamat jalan, broer Utha Likumahuwa…
Posted: September 12, 2011 in Sejarah

The Gang of Harry Roesli 1973

Giant Step 1985

Gipsy di tahun 1969 membawakan King Crimsons

Abadi Soesman,keybaordis progresif rock

Barongs Band 1976

Triawan Munaf,keyboardis Giant Step Bandung

Makara di TVRI

Keenan Nasution,Oding Nasution dan almarhum Chrisye
Pada tahun 1966, band Sabda Nada yang terdiri dari Pontjo Soetowo, Zulham Nasution, Gauri Nasution, Keenan Nasution, Ronald, Eddy, dan Edit-mencoba bereksperimen memadu musik Barat, dengan gamelan Bali yang dipimpin I Wayan Suparta Widjaja. Peristiwa itu berlangsung di Gedung Bank Indonesia di Jalan Thamrin, Jakarta. “Eksperimen itu kami lakukan karena ingin mencoba sesuatu yang baru. Biasalah, anak muda kan selalu coba ini coba itu. Apalagi, kami sering merasa jenuh memainkan yang itu-itu juga,” ungkap Keenan (50), yang menabuh drum. Sepuluh tahun berselang, ketika Sabda Nada telah berganti nama menjadi Gipsy, Guruh Soekarnoputra mengajak grup musik yang bermarkas di Jalan Pegangsaan itu, membuat musik eksperimen memadukan musik gamelan Bali, kali ini dengan musik rock. Ini sesuatu yang baru terjadi di Indonesia, menggabungkan gamelan Bali yang pentatonis, dengan musik rock yang diatonis. Meskipun di tahun yang sama, pemusik rock Jerman, Eberhard Schoener, baru saja merilis album Bali Agung yang mengawinkan rock dengan musik Bali. Bahkan jauh sebelum itu, pemain kibor The Doors, Ray Manzarek, telah menyusupkan nafas gamelan Bali dalam album LA Woman (1971), dan album solonya, The Golden Scarab (1973). Guruh Gipsy-yang terdiri dari Guruh (piano, komposer), Keenan (drum, vokal), Roni Harahap (piano, kibor, komposer), Oding Nasution (gitar), Abadi Soesman (synthesizer) dan Chrisye (bas, vokal)-bisa disebut sebagai grup yang mempelopori gerakan rock progresif Indonesia. Dan 25 tahun berselang, jejak Guruh Gipsy diikuti oleh Discus, grup rock progresif yang telah merilis album di Italia, dan tampil di beberapa event internasional. Seperti halnya Guruh Gipsy, Discus pun masih merasa perlu membaurkan unsur musik etnik Bali dalam komposisinya yang kompleks itu. Bahkan, Discus pun mengajak pemusik Bali, I Gusti Kompyang Raka, yang juga membantu Guruh Gipsy di tahun 1970-an, sebagai mitra bermusik. Kompyang, bersama 25 pemain gamelan Bali yang dipimpinnya, juga ikut mendukung penampilan grup Gong 2000 pada awal tahun 1990-an lewat lagu Anak Adam dan Bara Di Timur. Tampaknya, unsur gamelan, baik Jawa maupun Bali, masih merupakan daya tarik untuk digabungkan dengan musik rock. Karakter rock yang meletup-letup rasanya memang pas bersanding dengan karakter gamelan, terutama gamelan Bali yang sarat dinamika. Ini pun dilakukan pemusik Bandung, Harry Roesli yang menggabungkan beberapa instrumen tradisional Jawa Barat seperti gamelan, calung, dan angklung, dalam upaya memempelaikan musik rock, dan etnik Jawa Barat. Bila Guruh Gipsy terkesan serius, Harry Roesli malah memilih penggarapan yang penuh canda. Album Titik Api (1975) yang dirilis oleh majalah Aktuil, adalah salah satu pencapaian yang dilakukan Harry Roesli, setelah sebelumnya melakukan terobosan lewat album Philosophy Gang (1973) yang dirilis Lion Record, label rekaman yang ada di Singapura. Pada saat yang bersamaan, pemusik Surabaya, Gombloh & Lemon Trees Anno ’69, juga mencoba hal serupa: menyusupkan unsur musik etnik Jawa Timur dalam musik Barat, yang merupakan persilangan antara rock dan folk seperti yang dipelopori Jethro Tull dari Inggris. Beberapa karya Gombloh yang bisa dianggap esensial memiliki nafas rock progresif yang kuat, antara lain Merah Putih Bersilang Di Mukaku, Nadia & Atmosphere, Tetralogi Fallot, Silhuette Kuda Jantan, yang terdapat dalam album Nadia dan Atmosphere (1976). Juga lagu Hong Wilaheng Sekareng Bawono Langgeng dari album Berita Cuaca (1977), yang sering disebut sebagai “rock Jawa” karena liriknya menggunakan bahasa Jawa. Selain berkesan memanfaatkan eksotisme Timur (gamelan serta instrumen tradisional Indonesia lainnya) dalam bingkai musik Barat, baik Guruh Gipsy, Gang Of Harry Roesli, maupun Gombloh & Lemon Trees Anno ’69, juga memanfaatkan medium ini sebagai ajang melontarkan kritik sosial. Misalnya, rasa was-was Guruh terhadap intervensi budaya Barat yang melanda generasi muda, terwakili dalam lagu Chopin Larung yang ditulis dalam bahasa Bali: Sang jukung kelapu-lapu Santukan baruna kroda Nanging Chopin nenten ngugu Kadangipun ngarusak seni budaya (Perahu terombang-ambing Karena dewa laut murka Namun Chopin tiada memahami. Bangsanya merusak seni budaya) Di lagu yang pada salah satu bagiannya menggabungkan komposisi Fantasia Impromptu karya Chopin dengan gamelan Bali ini, digambarkanlah keprihatinan Guruh terhadap dekadensi budaya luar yang diibaratkan pada sosok komposer klasik asal Polandia, Fryderyk Franciszek Chopin. Demikian juga kritik sosial yang ditulis Harry Roesli dalam lagu berlirik Inggris, Peacock Dog. Menurut Harry Roesli, negara kita memiliki dua sisi yang kontradiktif, antara merak yang mempesona, dengan anjing yang menyebalkan. Pada tahun 1970-an, seolah-olah ada “keharusan” bahwa musik rock progresif adalah campur sari antara musik rock dengan musik tradisional, serta lirik-lirik lagu yang cenderung ke arah kritik sosial. Tetapi, tak semua grup yang berkiblat pada art rock (istilah yang dipakai sebelum istilah rock progresif), yang mencampur musik Barat dan Timur dalam komposisinya. Sebut saja Giant Step, grup Bandung yang dimotori Benny Soebardja dan Albert Warnerin, yang melahirkan komposisi bernuansa progresif pada album Giant On The Move (1976), Kukuh Nan Teguh (1977), dan Persada Tercinta (1978). Mereka mengacu pada beberapa grup rock progresif luar negeri yang tengah naik daun saat itu, seperti Gentle Giant, Yes, Genesis,dan ELP (Emerson, Lake, and Palmer). Begitu pula halnya dengan dua grup Jakarta yang muncul secara bersamaan pada tahun 1978, yaitu Abbhama dan Rara Ragadi. Abhama, grup yang didukung mahasiswa LPKJ (sekarang IKJ), dan hanya merilis satu album (Alam Raya, 1978) ini, menawarkan tatanan musik rock progresif dengan pengaruh musik klasik yang kuat. Sedangkan Rara Ragadi-yang didukung Raidy Noor, Riza Arshad, Luke Arshad, dan Cendi Luntungan-menyebut musiknya dengan art rock fusion. Rara Ragadi, nama yang diambil dari tokoh pesilat perempuan, juga cuma merilis sebuah album. Memang harus diakui, grup yang memainkan rock progresif pada era 1970-an bisa dihitung dengan jari. Grup rock terkenal seperti SAS dari Surabaya, tercatat cukup intensif membawakan repertoir dari ELP, seperti Karn Evil # 9 hingga Pictures At An Exhibition yang sangat rumi. Begitu pula God Bless, yang pernah menyajikan repertoir Yes, Focus, Kansas, dan ELP di panggung. Sayangnya, keterampilan grup-grup ini dalam membawakan karya-karya yang rumit itu, justru tidak diikuti dengan membuat karya-karyanya sendiri. Meskipun God Bless pernah merilis album Cermin (1980) yang berbau rock progresif, tetapi itu masih diragukan orisinalitasnya lantaran di beberapa lagu, seperti Anak Adam, terasa adanya kemiripan dengan beberapa lagu semisal Journey From Maria Bronn (Kansas), dan Celebration Suite Part II (Return To Forver). Yang patut dipuji adalah Barongs Band yang didukung Eros Djarot, Gauri Nasution, Tri, Epot, Adi, dan Debby Nasution. Mereka mencantumkan nama komposer klasik Johann Sebastian Bach pada sampul album Barongs Band (1976) Record) ketika dalam beberapa aransemen musiknya Debby Nasution mencuplik beberapa bagian komposisi karya Bach. Seiring dengan surutnya popularitas musik rock progresif di Inggris, berguguranlah grup-grup Indonesia yang mengusung musik “negeri atas angin” ini di akhir 1970-an. Tetapi, masih ada juga yang nekad menekuni semacam ini. Setidaknya seperti yang diperlihatkan Wow yang hingga pertengahan 1980-an tetap konsisten di jalur rock progresif dengan merilis album Produk Hijau (1982), dan Produk Jingga (1983). Wow terdiri dari Fariz RM (drum, vokal), Moesja Joenoes (gitar), Iwan Madjid (kibor, vokal), dan Darwin Rachman (bas). Di samping Wow, mencuat pula grup Makara yang terdiri atas Harry Mukti (vokal), Kadri (vokal), Adi Adrian (kibor), Agus Anhar (gitar), Januar Irawan (bas), dan Andy Julias (drum). Makara menyebut musiknya sebagai art metal. “Istilah ini memang karangan kita sendiri. Saat itu kami mencoba memainkan warna art rock dengan suara sedahsyat musik heavy metal,” ungkap Andy. Makara pun banyak menebar lirik berbau kritik sosial, misalnya Laron-Laron yang menyorot isu urbanisasi hingga Fabel yang menyindir kondisi sosial negeri tercinta ini. Grup yang tumbuh dari lingkungan kampus Universitas Indonesia ini pun menyilangkan unsur musik etnik Sumatera Barat, lewat penyerapan instrumen tradisional talempong yang berkesan ritmis dan repetitif, terutama pada lagu Fabel.
Di awal era 90am muncul grup progresive rock bernama Cynomadeus yang terdiri atas Iwan Madjid (keyboard),Eet Sjahranie (gitar),Arry Safriadi (vokal),Fajar Satritama (drums) dan Todung Panjaitan (bass).Sayangnya kelompok ini hanya sempat menghadirkan satu album saja.Lalu menghilang tanpa jejak. Tapi dua dari Cynomadeus yaitu Eet Sjahranie dan Fajar Satritama kemudian menyempal dan membentuk EdanE bersama Iwan Xaverius dan vokalis Eki Lamoh.

Cynomadeus Arry Safriadi,Fajar Satritama,Iwan Madjid,Todung Panjaitan dan Eet
Munculnya Discus di tahun 2000 lewat album Discus 1st yang diedarkan oleh Aquarius Musikindo dan Mellow Record Italia, bisa dianggap sebagai pemicu bangkitnya rock progresif di Tanah Air. Discus sendiri bahkan telah go international dengan tampil di dua acara internasional, yakni ProgDay 2001 di North Carolina (AS), dan Baja Prog 2002 di Meksiko. Yang menggembirakan, Discus kini tidak sendirian sebagai grup pembawa aliran rock progresif karena sudah ada yang berkembang pesat seperti Smesta, Pendulum, Imanissimo, In Memoriam, Zabrix, Hypothalamus, Gibraltar, dan lain-lain. Beberapa di antaranya malahan sudah merilis album yang diedarkan secara independen. Bahkan, Adi Adrian, pemain kibor dari Kla Project yang dulu pernah memperkuat Makara, diam-diam tengah menyiapkan sebuah album solo yang bercorak rock progresif. Apakah ini pertanda musik rock progresif akan mengulang kejayaannya di tahun 1970-an silam? Kita lihat saja. Denny Sakrie pengamat musik Kompas Senin, 29 April 2002 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0204/29/dikbud/dari43.htm

Lukisan Guruh Gipsy
Posted: September 1, 2011 in Sosok
Insan seni yang komplit. Predikat ini rasanya tak berlebihan disematkan pada sosok almarhumah Lilis Surjani yang menghembuskan napas terakhirnya pada Ahad (7/10) 2007, sekitar 21.30 WIB. Lilis Surjani yang dilahirkan 22 Agustus 1948 tak hanya piawai sebagai penyanyi. Dia pun menulis sejumlah lagu, di antaranya bertajuk Tiga Malam, lagu yang sohor pada zaman konfrontasi Indonesia – Malaysia.

Lilis yang bertubuh mungil dan rambut model jambul ini juga seorang drummer dan pernah membintangi sederet film layar lebar pada kurun waktu 1964-1974.
Riwayat Seni Suara
Lilis telah merintis dunia seni suara sejak berusia 12 tahun, saat duduk di bangku sekolah rakyat (SR) di Gang Topekong, kawasan Kota, Jakarta Pusat. Suaranya lantang dengan artikulasi yang bening.Ini modal Lilis Surjani kelak, ketika meniti karier di dunia musik.

Dua tahun berselang, ketika menimba ilmu di Sekolah Kepandaian Putri Boedi Oetomo, Lilis telah menginjakkan kaki di pelataran Istana Negara, sebagai penyannyi remaja membawakan lagu berbahasa Sunda Tjai Kopi. Lilis, saat itu, adalah penyanyi paling belia di antara Nien Lesmana, Masnun Soetoto, maupun Titiek Puspa, yang di kemudian hari menjadi sahabat terdekatnya. Itulah awal perkenalan Lilis dengan Bung Karno.
Pengobar Heroisme
Selain Gang Kelinci, beberapa lagu Lilis yang populer, seperti Asmara maupun Hari Ulang Tahun, merupakan ciptaan Titiek Puspa. Namun demikian bukan berarti ia hanyalah artis yang sekadar pandai dan tahu urusan menyanyi saja. Sejak usia belasan, penyanyi yang sejak dahulu hingga kini berambut cepak ala Connie Francis ini banyak menulis dan menggubah sendiri lagu-lagu yang dibawakanya. Lagu pertama yang ditulis oleh Lilis adalah Di Kala Malam Tiba yang kemudian direkam pada 1963.
Lagu-lagu seperti Lenggang Kangkung, Ratapan Sang Bayi, Keluhanku, Adikku Sayang, Tari Gemulai, Air Mata, Kisah Si Ali Baba, Tiga Malam, Tepuk Tangan, dan Ujung Pandang adalah beberapa contoh lagu yang diciptakannya dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Salah satu ciptaannya, Si Baju Loreng yang bertemakan kekaguman seorang gadis terhadap seorang anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), bahkan menjadi lagu yang menjadi pengobar heroisme tersendiri di pertengahan 1960-an.

Antara 1963-1966, saat terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia, Lilis tercatat banyak menulis sekaligus menyenandungkan lagu-lagu bertema patriotik dan pemicu semangat bernegara. Di antaranya Pergi Berjuang, Tiga Malam, Kau Pembela Nusa Bangsa, Mohon Diri, Baju Loreng, Hurryku Sayang, dan Berita.

Sebahagian isi lirik yang dinyanyikan Lilis memang diangkat dari kisah kehidupannya sendiri. Ketika ia menikah dan menempuh hidup baru, dia lalu menulis lagu bertajuk Ku Telah Berdua. Atau pada saat pindah rumah dari Gang Kelinci, Pasar Baru ke Jalan Duri Pulo, Lilis yang menempati rumah baru bersama sang suami lalu menulis lagu Rumahku.
Lilis pun pernah berkolaborasi dengan almarhum Bing Slamet menulis lagu jenaka 007 yang terdapat pada album 007, dirilis oleh perusahaan rekaman Phillips Singapura.

Untuk Bung Karno
Pada dasawarsa 60-an, popularitas Lilis Surjani sering dikaitkan dengan Bung Karno, presiden pertama negeri ini. Terutama, ketika ia menyanyikan lagu pujian untuk Bung Karno bertajuk Oentoek Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, karya Soetedjo yang terdapat pada album Lilis Surjani keluaran Irama Record diiringi Orkes Bayu di bawah pimpinan F Parera. Simaklah penggalan liriknya:
Laguku ini ingin kupersembahkan pada paduka yang agung serta mulia kan kudoakan kehadirat Illahi
semoga paduka tetap sejahtera selalu
betapa bahagia rakyat Indonesia
dalam bimbingan paduka yang mulia
Saat itu, Presiden Soekarno tengah giat-giatnya mengganyang budaya Barat yang disebut sebagai musik ngak ngik ngok. Dalam sebuah media yang terbit 1965, Lilis Surjani mengungkapkan bahwa dia sesungguhnya tak menyukai musik rock and roll yang ditularkan The Beatles. Tak heran, jika Bung Karno, termasuk pengagum Lilis. Apalagi, Lilis juga terampil menyanyikan pelbagai lagu-lagu daerah, mulai dari Minang, Makassar, hingga Sunda, dengan fasih.

Bung Karno lalu mulai memperkenalkan irama lenso yang dianggap sesuai dengan budaya asli bangsa Indonesia. Dan, muncullah album Mari Bersukaria dengan Irama Lenso. Pemusik dan penyanyi tenar yang ikut memopulerkan irama lenso, antara lain Bing Slamet, Jack Lesmana, Titiek Puspa, Nien Lesmana, dan termasuk Lilis Surjani.

Lilis Surjani dan Bing Slamet masing-masing menyanyikan lagu Gendjer Gendjer, karya senimana Banyuwangi, M Arief, yang kelak divonis sebagai lagu yang terlarang, karena berhubungan erat dengan peristiwa Gerakan G 30 S PKI.
Band wanita
Pada 1968, Lilis tak hanya tampil sebagai penyanyi solo yang sukses. Dia pun terlibat membentuk sebuah band wanita yang diberi nama The Females bersama Rita Rachman (keyboard) dan Rose Sumanti. Ia bermain drum di kelompok ini. Saat itu, kancah musik negeri ini diwarnai maraknya band-band wanita, seperti Dara Puspita, The Singers, The Reynettes, The Beach Girls, dan banyak lagi.

Popularitas Lilis pun kian mengangkasa. Dia tak hanya dikenal di Indonesia, melainkan ke negeri jiran, seperti Malaysia, Singapura, hingga Filipina. Di Singapura, Lilis sempat merilis beberapa album pada perusahaan rekaman Pop Sound yang merupakan subdivisi dari Phillips. Album-album Lilis pun dicetak ulang di Malaysia. Sosoknya kian berkobar di Malaysia.
Ketika ketenarannya memudar di Indonesia pada akhir 70-an, justeru Lilis tetap dikenang di Malaysia hingga saat sekarang ini. Siti Nurhaliza, misalnya, menyatakan kekaguman terhadap Lilis. Dalam salah satu albumnya, Siti Nurhaliza menyanyikan hit besar Lilis bertajuk Tiga Malam.
DISKOGRAFI
ALBUM SOLO
1.Pulang Muhibah (Irama Record EPLN 4)
2.Lilis Surjani (Irama Records LPI 175111 )
3.Ia Tetap di Atas (Irma Record LPI 17597)
4 Pantun Djenaka- Lilis Surjani (Bintang Record BT 103)
5.LS (Remaco RL)
6.Kisah Remadja (Remaco REP 010)
7.Wajah Menggoda (Bali/Remaco RL 018)
8.Gang Kelintji (Remaco RL 020)
9.Tjing Tulungan (Remaco REP 020)
10.Antosan (Bali/Remaco RL 022)
11.Permata Bunda (Bali Record BLM)
12.Ku Telah Berdua (Remaco RL 036)
13.Pemburu (Remaco RL 044)
14.007 (Remaco RL 053)
15.Taxi Ibukota (Remaco RL 081)
16.Si Aseng Matjan Glodok (Remaco RL 080)
17.Insaflah (Mutiara MLL 005)
18.Lilis Surjani (Indah SML 12 001)
19.Ditinggal Mama (Phillips 112619)
20.Kasih Nan Abadi ( Popsound /Philips Product)
21 Jangan Tanya (Pop/Phillips Product)
22.Airmata – Lilis Surjani (Pop/Phillips Product)
23.Selamat Tinggal – Lilis Surjani (Pop Sound/Phillips)
24.Lilis Suryani Vol.1 (Yukawi IMR 900121)
25.Lilis Suryani Vol 2 ‘Neng Pipit’ (Yukawi IME 900121)
26.Pakarena (Remaco)
ALBUM DUET
1.Lilis Surjani dan Suhaeri (Diastar DSL 001)
2.Tukang Loak – Lilis Surjani dan Benjamin S (Remaco RLL)
3.Lilis Surjani & Hamiedan (Remaco RLL)
ALBUM KOMPILASI
1.Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso ( Irama LPI 1758)
2.Varia Malam Eka Sapta ( Bali Record BLM 7002)
3.Aneka 12 (Remaco RLL 03)
FILMOGRAFI
1.Di Ambang Fadjar (PT Agora Film,1964) – Aktris
2.Bunga Putih (PT Agora Film,1966) – Aktris
3.Mahkota (PT Agora Film,1967) – Aktris
4.Jangan Kau Tangisi (PT Daya Isteri Film,1974) – Aktris
Tulisan ini dimuat di Harian Republika Senin, 22 Oktober 2007
Posted: September 1, 2011 in Wawasan
Apa lagi yang harus kalian lakukan jika band sudah terbentuk? Kalo musik dan lagu telah jadi, maka kalian telah siap terjun di pentas musik yang sesungguhnya.
Nah, segeralah meniti jenjang untuk memperkenalkan sosok band kalian kepada khalayak. Karena tanpa khalayak yang mencakup penggemar dan insane pers, maka usaha berat kalian membuat musik dan lagu lewat band tak ada gunanya sama sekali. Disinilah berlaku pemeo simbiose mutualisme.
Lalu langkah-langkah apa yang mesti kalian tempuh untuk memperkenalkan atau mempromosikan band kalian? Berikut merupakan anjuran-anjuran basic dan sederhana yang harus kalian jalani.
Who’s Who
Untuk memperkenalkan band kalian,maka seyogyanyalah kalian mempersiapkan riwayat band kalian secara komprehensif dalam bentuk biografi yang singkat tapi padat dan bisa menjadi representasi dari jatidiri band kalian. Isi biografi singkat band itu sebaiknya tidak lebay dalam artian menulis data data band sesuai dengan fakta yang ada.
Perkenalkan data diri atau life line setiap personil band dengan gaya yang tak berlebihan. Jika dia memiliki prestasi yang mumpuni, silakan ditulis. Tapi jika prestasinya hanya dalam taraf mediocre sebaiknya tak perlu diumbar dalam biografi band tersebut.
Gaya penulisan biografi band itu sebaiknya catchy, mengalir dan poppish. Setidaknya hal ini akan menjadi titik perhatian dari setiap orang yang membacanya. Lebih bagus lagi jika seusai membaca biografi band itu, yang membaca merasa penasaran dan terpicu untuk segera menyimak musik yang telah kalian bikin, entah dalam bentuk demo CD maupun album utuh.
Yang pantut diingat, bahwa manfaat penulisan biografi band ini sebetulnya adalah untuk mengungkapkan hal-hal yang sangat elementer dari band kalian itu. Mulai dari ikhwal terbentuknya band yang dimaksud. Genre atau subgenre berikut style music yang kalian pilih sebagai identitas musiknya.
Jika band kalian telah memiliki jam terbang yang lumayan dalam khazanah industry musik, tak ada salahnya pula untuk mencantumkan beberapa anasir penguat fakta semisal data data statistic berupa pencapaian chart lagu-lagu dalam airplay di radio-radio swasta, data pencapaian berubah awarding musik, bahkan lebih seru lagi jika dicantumkan pula hasil penjualan album secara fisik maupun pencapain penjualan single atau ringbacktone dan sebagainya.
Juga bisa ditambahkan beberapa kutipan quote dari orang orang berpengaruh dalam industri musik yang pernah memberikan komentar atau kritik terhadap band kalian. Misalnya produser musik, pengamat musik, wartawan musik, manager band, promotor musik, penyiar radio, selebritis dan yang lainnya. Ini paling tidak bisa membuat orang kian yakin terhadap musikalitas yang kalian tawarkan bersama band kalian.
Selain itu bisa pula disertakan kliping berupa hasil wawancara maupun review terhadap kiprah band kalian yang pernah dimuat diberbagai media, entah itu media cetak maupun media online. Cantumkan sumber media tersebut misalnya Kompas Minggu April 2011, Rolling Stone edisi Januari 2010 dan seterusnya.
Sertakan pula foto foto dari seluruh kegiatan band kalian. Bisa diambil dari dokumentasi foto-foto saat melakukan gig di panggung-pangung pertunjukan musik maupun saat melakukan siaran live di stasiun televisi. Foto-foto yang ditampilkan haruslah menarik dan memiliki news value yang bagus. Kenapa? Karena dari rangkaian foto-foto itulah kalian bisa berbicara tentang kemampuan musikalitas band kalian. Lebih bagus lagi jika biografi band ini dilengkapi juga sebuah DVD yang dalamnya bisa memuat videoklip band kalian termasuk dokumentasi kegiatan musik band kalian. Tentunya dengan editing yang memadai. Ingat jangan berpanjang-panjang. Kemaslah dalam footage yang singkat, padat dan representatif.
Nah, silakan persiapkan biografi band kalian.
Perkenalkan band kalian ke mata khalayak sekarang juga.
Berikut adalah contoh biografi yang menurut saya, keren.
Radiohead
Photo by Danny Clich
Formed
1989 in Oxford, England
Years Active
1910 20 30 40 50 60 70 80 90 2000
AMG Artist ID
P 41092
Biography
by Stephen Thomas Erlewine
Radiohead were one of the few alternative bands of the early ’90s to draw heavily from the grandiose arena rock that characterized U2‘s early albums. But the band internalized that epic sweep, turning it inside out to tell tortured, twisted tales of angst and alienation. Vocalist Thom Yorke‘s pained lyrics were brought to life by the group’s three-guitar attack, which relied on texture — borrowing as much from My Bloody Valentine and Pink Floyd as R.E.M. and Pixies — instead of virtuosity. It took Radiohead a while to formulate their signature sound. Their 1993 debut, Pablo Honey, only suggested their potential, and one of its songs, “Creep,” became an unexpected international hit, its angst-ridden lyrics making it an alternative rock anthem. Many observers pigeonholed Radiohead as a one-hit wonder, but the group’s second album, The Bends, was released to terrific reviews in the band’s native Britain in early 1995, helping build a more stable fan base. Having demonstrated unexpected staying power, as well as increasing ambition, Radiohead next released OK Computer, a progressive, electronic-tinged masterpiece that became one of the most acclaimed albums of the ’90s.
Thom Yorke (vocals, guitar), Ed O’Brien (guitar, vocals), Jonny Greenwood (guitar), Colin Greenwood (bass), and Phil Selway (drums) formed Radiohead as students at Oxford University in 1988. Initially called On a Friday, the band began pursuing a musical career in earnest in the early ’90s, releasing the Drill EP in 1992. Shortly afterward, the group signed to EMI/Capitol and released the single “Creep,” a fusion of R.E.M. and Nirvana highlighted by a noisy burst of feedback prior to the chorus. “Creep” was a moderate hit, and their next two singles, “Anyone Can Play Guitar” and “Pop Is Dead,” built a small following, even as the British music press ignored the group.
Pablo Honey, Radiohead‘s debut album, was released to mixed reviews in the spring of 1993. As the band launched a European supporting tour, “Creep” became a sudden smash hit in America, earning heavy airplay on modern rock radio and MTV. On the back of the single’s success, Radiohead toured the U.S. extensively, opening for Belly and Tears for Fears. All the exposure helped Pablo Honey go gold, and “Creep” was re-released in the U.K. at the end of 1993. This time, the single became a Top Ten hit, and the band spent the following summer touring the world.
Although “Creep” made Radiohead a success, it also led many observers to peg the band as a one-hit wonder. Conscious of such thinking, the group entered the studio with producer John Leckie to record its second album, The Bends. Upon its spring 1995 release, The Bends was greeted with overwhelmingly enthusiastic reviews, all of which praised the group’s deeper, more mature sound. However, positive reviews didn’t sell albums, as Radiohead struggled to be heard during the U.K.’s summer of Brit-pop and as American radio programmers and MTV ignored the record. The band continued to tour as the opening act on R.E.M.‘s prestigious Monster tour. By the end of the year, The Bends began to catch on, thanks not only to the band’s constant touring but also to the stark, startling video for “Just.” The album made many year-end best-of lists in the U.K., and early in 1996 the record reentered the British Top Ten and climbed to gold status in the U.S., helped in the latter by the video for “Fake Plastic Trees.”
During the first half of 1996, Radiohead continued to tour before reentering the studio that fall to record their third album, OK Computer, which was released in the summer of 1997. A devoted following of fans and a handful of enthusiastic critical supporters immediately embraced the album’s majestic blend of unfettered prog rock, post-punk angst, eerie electronic textures, and assured songwriting. Since it skillfully teetered between rock classicism and futurism, it earned near-unanimous critical and popular support over the course of the year, which turned into unrestrained adoration in the final two years of the decade, even though its sales still hadn’t climbed above gold status.
Expectations for Radiohead‘s fourth album were stratospheric, which placed additional pressure on the already perfectionist band, and led to several stumbling blocks along the way. An intense buzz of excitement among the band’s still-growing following greeted the prerelease appearance of most of the album’s tracks on the Internet in MP3 form; they displayed an all-out fascination with challenging, often minimalist electronica. Titled Kid A, the album was finally released in October 2000 and astonished many observers by debuting at number one on the U.S. album charts. While the band didn’t release any singles or embark on a formal tour, the album met with a mixed critical response as the group was accused of creating a distant and radio-unfriendly record; however, it did remain a fan favorite.
In June of 2001, Radiohead quickly released an album under the name Amnesiac that consisted of material that was recorded during the Kid A sessions. The band made it very clear, though, that it was not to be considered an outtakes album; rather, they insisted that the two albums were of clear and separate concept. Regardless, Amnesiac debuted at number one in the U.K. and number two on the U.S. chart (behind then-stronghold Staind), while outselling Kid A in week one by 25,000 copies. The singles “Pyramid Song” and “Knives Out” were culled from Amnesiac with a subsequent world tour. While planning “I Might Be Wrong” for a third single, the idea expanded into a live “mini-album,” titled after the track, that was released in November of 2001. Hail to the Thief, the proper follow-up to Amnesiac, was relatively direct in structure and peaked at number three on the U.S. chart. Sporadic recording sessions resumed in early 2005, but a projected release date for the band’s seventh studio album remained 2007 as Yorke prepared a solo album, The Eraser, which was issued in July 2006.
On October 1, 2007, the bandmembers announced that they had finished their seventh album, In Rainbows, and that it would be “out” in a matter of ten days. Giving fans the option to pay whatever they’d like for the album as a zip file of MP3s, Radiohead also devised a pre-order system for the physical version of the album — a “discbox” containing a double-vinyl version, a CD copy with an enhanced six-track bonus disc, a lyric book, and photos. This was done without the involvement of a record label. However, deals were eventually struck for standard retail releases. In late December, XL issued the album in the U.K., where it topped the album chart. The feat was repeated the following month in the U.S., where it was issued through the TBD label. Sonically and lyrically, In Rainbows was one of their warmest and most direct albums to date.
Radiohead took a somewhat similar approach for the release of The King of Limbs. On February 14, 2011, the band announced that the album would be issued in five days as a fixed-price download with physical releases to follow. Standard CD and vinyl versions were scheduled for late March via XL and TBD, while an elaborately packaged double 10″ vinyl/CD set was scheduled for early May.
We watch the shows,we watch the stars
On video for hours and ours
We hardly need to use our ears
How music changes throuh the years
Let’s hope you never leave old friend
(“Radio Gaga” – Queen 1984)
Setuju banget apa yang dilantunkan Freddie Mercury di paruh 80-an memang kenyataan tak terbantahkan. Radio tetap jadi sahabat yang tetap didekap dan disimak, walau berjuta tayangan visual menggoda di depan mata. Kotak ajaib yang bernama radio ini memang daya sihir luar biasa. Tak berlebihan jika musik dan radio ibarat pasangan abadi yang tak lekang dimakan zaman. Dan radio, menurut saya, adalah penyambung lidah musik.
Mungkin kebayang apa jadinya anak band era jadul tanpa radio. Pasti mereka tak akan bisa memainkan Elvis Presley, The Beatles, The Rolling Stones, Deep Purple, Black Sabbath dan sederet kugiran-kugiran mancanegara. Benny Likumahuwa bercerita di zaman itu jika pemusik ingin tetap update wawasan musiknya ya…..harus rajin-rajin nguping siaran radio luar negeri seperti ABC Australia, Hilversum Belanda hingga Voice Of America.
Menyimak musik tempo doeloe memang butuh perjuangan luar biasa. Tidak seperti anak band sekarang, tinggal pilih CD, nonton kanal MTV yang ngeglobal hingga download dari internet. Dahulu, pas lagi siap mau denger radio eh……ada giliran pemadaman lampu dan berbagai kendala lainnya.
Jika majalah Aktuil sejak tahun 1967 telah mewartakan berita-berita musik mancanegara, maka gelombang radio pun menyiarkan lagu-lagu. Di jelang akhir dasawarsa 60-an mendirikan pemancar radio memang seolah menjadi ritual dari kegiatan anak muda selain ngeband. Di pelosok negeri dari kota kecil hingga kota besar mulai terlihat antene dari bambu mencuat membelah langit yang dibangun sekelompok anak muda.
Di Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Semarang, Manado, Makassar hingga Ambon eksperimen elektronik kaum belia memang tengah menjamur. Saat itu memang bisa disebut fase euphoria , peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru dan larangan musik ngak ngik ngok memang pelan-pelan pupus. Apalagi setelah cukup lama teraliansi dan terkungkung akibat iklim politik yang serba tertutup, nyaris semua anak muda mengisi masa-masa remaja yang indah dengan melakukan siaran.
Seperti apa sih siarannya ? Ya, Cuma cuap-cuap sambil tebar pesona diseling mutar lagu-lagu . Terus kirim-kirim lagu. Semuanya serba suka-suka. Hari ini mengudara, besoknya menghilang di udara. Hari ini siaran di gelombang anu eh…….besoknya udah nangkring di gelombang yang lain. Gak ada aturan sama sekali. Makanya kegiatan ini dikenal dengan Radio Amatir, kadang juga disebut Pemancar Gelap atau Pemancar Liar.
Jumlah pemancar gelap yang nongkrong di jalur AM dan SW lumayan banyak. Bejibun. Razia demi razia tak membuat mereka kapok. Mereka tetap siaran, walau berbekal pemancar berdaya 15 watt dan radius jangkauannya mungkin cuma sekecamatan atawa sekelurahan. Tapi itu sudah sangat membanggakan dan prestisius.
Sampai akhirnya peraturan resmi dari Pemerintah perihal peradioan ini muncul juga di tahun 1970, salah satunya adalah bahwa radio siaran harus berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau perkumpulan.
Karena regulasi ini satu persatu pengelola radio amatir mulai tersungkur. Namun toh banyak juga yang serius untuk mengelola radio di jalur resmi dengan motivasi bisnis. Mulailah terdengar kiprah seperti PT. Elshinta Broadcasting System hingga PT. Prambors Rasisonia Broadcasting Service di Jakarta. Lalu ada Bonkenks dan Oz di Bandung, Radio Suzana Surabaya, Radio Zodiac Surabaya, Radio Bonsita Medan, Radio Telstar Ujung Pandang, Sound Of Love Manado dan banyak lagi.
Radio-radio yang berbadan hukum ini kalau anda masih ingat, acapkali memasang iklan di majalah Aktuil. Masing-masing radio swasta niaga itu mulai berpromosi mengenai acara-acara yang ada di stasiunnya misalnya Prambors dengan “Blues Line” atau “Rest & Relax”.
Mereka pun mulai pamer motto radionya seperti Radio Bonsita Medan dengan tagline “ Semua Bukan Berarti satu, Tapi Satu Sudah Tentu Untuk Semua, Itu Pasti” atau yang paling terkenal adalah idiom dari Prambors Rasisonia : ”Mumpung Masih Muda Harus Jujur, Gesit dan Kreatif”. Sebuah ungkapan yang penuh makna memotivasi kaum muda untuk melakukan sesuatu, tak sekedar ngebut-ngebutan atau mabuk-mabukan.
Mereka, para pengelola radio, mulai sadar bahwa radionya harus memiliki jatidiri yang kuat. Ini terlihat dari format program acara yang mereka rancang bahkan ke soal logo atau maskot. Lihatlah logo grup rock progresif Belanda yang dibentuk Rick Van Der Linden “Ekseption” bergambar wanita berambut kribo, diadopsi dan dimodifikasi radio Prambors menjadi logo yang terus dipakai hingga era 2000-an ini.
Upaya mengenal lagu-lagu baru terutama yang berasal dari Eropa dan Amerika justru bermuara di stasiun-stasiun radio swasta niaga ini. Persaingan mulai terasa ketika radio-radio bermodal besar yang kebetulan berada di Jakarta atau Bandung mulai berlomba-lomba memutar lagu-lagu mancanegara yang baru dirilis yang diistilahkan sebagai new entry. Lagu-lagu gres itu sumbernya dari Piringan Hitam yang disupply kolega mereka di Amerika maupun di Inggeris atau Belanda. ”Piringan Hitam itu dititipin sama pramugari atau pilot pesawat,” cerita Sys NS, yang ikut besar dalam lingkup Radio Prambors.
Popularitas lagu di negeri tercinta ini memang sangat tergantung oleh kiprah para pengelola radio ini. Dengan frekuensi pemutaran yang lebih tinggi atau kerap disebut Heavy Rotation atau Top Airplay sebuah lagu bisa mencuat sebagai hits nasional. Banyak sudah contoh, sebuah lagu mancanegara menjadi ngetop hanya di Indonesia karena jasa pihak radio yang memilih lagu tersebut sebagai calon hits. Sebut misalnya lagu “Question” dari Manfred Mann’s Earth Band yang sangat ngetop di negeri kita, justeru di negeri asalnya Inggris malah yang jadi hits adalah “Blinded By The Light.” Contoh lain, betapa populernya lagu “It’s a Shame” dari Heavy Metal Kids di sini, padahal lagu ini dilirik orang pun tidak di Amerika Serikat.
Lagi-lagi semuanya adalah upaya kreatif dari para broadcaster.
Lebih jauh lagi, radio-radio swasta mulai melebarkan jaringan sebagai produser kaset. Prambors mulai menyeleksi lagu-lagu dalam charts hit di radionya untuk direkam dalam bentuk kaset dan dijual ke pasaran. Mulailah keluar serial “Prambors Disco,” ”Prambors Hits” hingga “Rest & Relax.” Saking kreatifnya, Prambors bahkan memilih hit single sendiri misalnya mengedit album “Journey to the Center of the Earth”-nya Rick Wakeman yang berdurasi puluhan menit menjadi single berdurasi 3 menit sesuai dengan pakem radio dalam durasi lagu “three minutes rule.”
Tak bisa dipungkiri, sinergi antara info musik yang ditebar majalah Aktuil sebagai satu-satunya media yang menjejalkan budaya anak muda dan radio yang memutar lagu-lagu mancanegara terkini bagai mempelai yang duduk harmonis dipelaminan. Sebuah simbiose mutualisme.
Ketika Aktuil dengan Aktuilmusicollection mulai merilis sederet album kompilasi seperti “Aktuil Hitmakers,” ”Aktuil Just Rock” hingga “Aktuil Discotime,” lagu-lagu yang terangkum di dalam album tersebut ikut berkumandang di radio-radio yang bermitra dengan Aktuil. Silakan lihat majalah Aktuil No.238 edisi 30 Januari 1978 di halaman 4 terpampang iklan dari Aktuilmusicollection berbunyi:
”Dengarkanlah lagu-lagu ini di Radio Amigos Jakarta, Radio ARH Jakarta, Radio Cakrawala Jakarta, Radio Bonkenks Bandung, Radio Elgangga Bandung, Radio Merdeka Surabaya, Radio Suzanna Surabaya, Radio Zodiac Surabaya antara tanggal 23 s/d 27 Januari 1978.
Beberapa radio lain yang mengikuti jejak Prambors dalam bisnis kaset antara lain Radio Queen Jakarta, Radio Elshinta Jakarta. Saat itu memang belum ada Undang-Undang yang mengatur perihal Hak Cipta. Jadi setiap lagu mancanegara yang dirilis secara internasional, juga direkam oleh para perekam yang tumbuh bak jamur antara lain Lolita, Perina, Aquarius Saturn, Top’s, King’s, Atlantic, Yess, Monalisa, Bootleg, Hin’s dan banyak lagi termasuk Aktuil dan radio-radio swasta.
Namun di sisi lain, radio-radio seperti Prambors malah menggagas merekam album-album dari pemusik Indonesia yang berkonotasi idealis misalnya merilis album perdana God Bless di tahun 1976 dengan melakukan kongsi bersama Aquarius dibawah label Pramaqua (Prambors Aquarius).
Majalah kesayangan kita Aktuil pun melakukan hal yang serupa yaitu merilis album fenomenal Harry Roesli “Titik Api” dan Konser Rakyat Leo Kristi “Nyanyian Fajar.”
Kegiatan merekam lagu-lagu mancanegara kemudian berakhir ketika muncul gugatan dari Bob Geldof dari The Boomtown Rats yang murka karena siaran lewat satelit “Live” pada Juli 1985 dibajak dalam serial kaset oleh perekam Indonesia.
Kegiatan radio lama kelamaan memang kian beragam, tak hanya memutar lagu dan menjadi ajang kirim-kiriman lagu belaka. Banyak kegiatan radio yang lebih populer dengan istilah kegiatan off air mulai memancing minat para pendengarnya. Masih ingat ketika sejumlah radio mulai membentuk divisi Disko mulai pada paruh era 70-an. Bahkan radio-radio pun ikut menaungi kegiatan anak band. Kang Gandjar dari Radio OZ Bandung bahkan menjadi manajer grup rock Giant Step. Beberapa personil Giant Step semisal Benny Soebardja dan Triawan Munaf bahkan sempat ikut siaran segala. Mulailah terdengar kelompok-kelompok musik yang berafilisiasi pada radio antara lain Prambors Band, Prambors Vokal Group, Geronimo II dan Geronimo VIII, Amigos Vokal Group dan banyak lagi.
Di tahun 1977 Radio Prambors malah menggagas Lomba Cipta Lagu Remaja yang gaungnya malah dianggap ikut memberi warna baru dalam konstelasi musik pop Indonesia. Radio Amigos Jakarta menggagas Lomba Vokal Group yang antara lain menetaskan grup Chaseiro-nya Chandra Darusman hingga Bourest Vokal Group yang antara lain didukung Dian Pramana Poetra.
Di tahun 1978, almarhum Demas Korompis dari radio Ganesha Bandung menggelar sebuah acara bertajuk Top Hits Pop Indonesia (THPI) yang merangkum lagu-lagu pop Indonesia yang terpopuler berdasarkan chart tangga lagu yang didukung oleh sindikasi radio swasta niaga di seluruh Indonesia.
Dari sini jelas sudah medium radio memang tak bisa dipisahkan dengan musik, begitupun sebaliknya. Dugaan dan prediksi banyak orang bahwa eksistensi siaran radio akan tersungkur dan terjerembab dengan menjamurnya jumlah stasiun televisi swasta maupun televisi kabel, sama sekali tidak berbuah bukti. Radio tetap dalam pelukan siapa saja, segala usia dan dari strata sosial apapun.
Siapa yang berani membantah lengkingan Freddie Mercury dalam “Radio Gaga” ?
My only friend through teenage nights
And everything I had to know
I heard it on my radio
You gave them all those old time stars
(Tulisan ini awalnya akan dimasukkan dalam buku tentang “Majalah Musik Aktuil”,tapi karena sesuatu dan lain hal batal diterb
itkan)

Denny Sakrie bersama Ekki Soekarno
Posted: September 1, 2011 in Kisah
Ini adalah catatan saya di tahun 2008 silam :
Jumat malam kemarin26 September 2008 sehabis menunaikan sholat Taraweh, di rumah saya membongkar kembali tumpukan foto foto kuna alias jadul yang nyaris 30 tahun terkungkung dalam koper kayu .Satu persatu satu saya keluarkan dengan hati.Tangan saya pun bersemai debu.Jari jemari saya pun berubah kehitaman .Dan alhamdulillah kondisi fotonya masih dalam keadaan baik dan sempurna.Meskipun ada penyesalan karena negatif filmnya raib entah kemana.Mungkin terselip saat menikah dahulu di tahun 1995 silam.
Kebetulan minggu-minggu ini saya memang lagi mencari koleksi foto yang pernah saya jepret dan berkaitan dengan pemusik Pegangsaan.Kenapa ? Ya karena sekarang ini saya tengah menggarap buku musik yang menceritakan perjalanan musik anak-anak Pegangsaan dalam industri musik di negeri ini.Job bikin buku ini datang dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia Adhyaksa Dault .
Kaget juga saya,ketika awal bulan September 2008 ini, salah seorang staff dari Menpora yaitu Bapak Drs Zulfikar Akbar,Psi menghubungi saya dan meminta saya untuk menulis tentang perjalanan musik anak-anak Pegangsaan.”Kenapa Pegangsaan pak ? “sergah saya,tak habis pikir
.”Karena para pemusik yang ada di Pegangsaan bisa dianggap memberikan kontribusi untuk perkembangan musik pop Indonesia” katanya.”Bah,dapat data dan analisa dari mana si bapak ini” pikir saya.
Dan lelaki kurus,paruh baya,sedikit brewok dan berkacamata lalu berbicara panjang lebar.Dia berargumen.Saya hanya mendengar saja.”Selama ini Menpora sering dianggap hanya care pada bidang olahraga atau prestasi pendidikan saja.Sebetulnya musik pun seharusnya diberi tempat khusus” tandasnya lagi.Saya pun tanpa sadar mengangguk.
Betul juga,pemusik mana atau selebritas mana sih yang tak pernah mampir di Pegangsaan 12,rumah keluarga Nasution yang berdampingan dengan rumah keluarga Chrisye yang terletak di Pegangsaan 12 B.Guruh Soekarno Putera,Eros Djarot,Christine Hakim,Adrie Subono,Rinny Noor,God Bless,The Rollies,The Mercy’s,Sys NS,Addie MS,Ikang Fawzy,Idris Sardi,Pontjo Soetowo,Roy Marten,Berlian Hutauruk,Henny Purwonegoro,Mus Mualim,Titiek Puspa,Enteng Tanamal dan masih sederet panjang lagi.
Dari pergulatan,pergaulan,kerja bareng dan entah apa lagi istilah yang terjadi di Pegangsaan 12 ini muncullah beberapa masterpiece musik (pop) Indonesia seperti Guruh Gipsy,Badai Pasti Berlalu,Barong’s Band,Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors,album solo Chrisye,Keenan Nasution,Harry Sabar dan banyak lagi.Torehan karya mereka jelas memberikan kontribusi yang tak sedikit untuk warna musik (pop) Indonesia.
Nah,kembali ke penemuan foto Chrisye………Foto yang terpampang diatas ini saya jepret pada tahun 1979 .Saat itu saya baru saja lulus SMP dan tengah siap siap masuk SMA.Di tahun itu Chrisye(bass,vokal) bersama Badai Band yang antara lain didukung Yockie Soerjoprajogo (keyboards) ,Keenan Nasution (drums) ,Roni Harahap (piano,synthesizers),Oding Nasution (gitra elektrik) dan Fariz RM (drums) t engah menggelar konser di Gedung Olahraga Mattoanging Makassar.Seingat saya yang punya hajat mendatangkan band yang tengah jadi pembicaraan khalayak itu adalah sekelompok mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.
Foto diatas memperlihatkan Chrisye yang tengah melantunkan lagu “Anak Jalanan” karya Guruh Soekarno Putera dari album “Sabda Alam” (Musica Studio 1978).Chrisye mengenakan setelan putih putih sambil membekap bass bermerk Ibanez warna hitam.Bass ini sekarang ternyata menghiasi salah satu dinding memorablia Hard Cafe Jakarta yang terletak di Ex Plaza Thamrin Jakarta.

Chrisye menyanyikan “Anak Jalanan” di GOR Mattoanging Makassar 1979