Arsip untuk Desember, 2013

Jumat malam 20 Desember 2013 lalu,bertempat di XXI Lounge Djakarta Theater Jalan Thamrin Jakarta berlangsung perhelatan 50 Th Anniversary Bharata Band, band tribute the Beatles yang berasal dari Malang.Sejak terbentuk tahun 1963, Bharata Band memang telah memilih hanya membawakan lagu-lagu the Beatles.

Abadi Soesman dan Jelly Tobing (Foto Djajusman)

Abadi Soesman dan Jelly Tobing (Foto Djajusman)

Kini hanya Tato Bharata yang merupakan satu-satunya anggota Bharata Band yang asli.Meskipun telah memasuki usia senja Tato tetap bersemangat memainkan lagu-lagu The Beatles bersama Yudha Prasetyo,putranya yang kedua yang bermain gitar,serta didukung pula Iwan (bass) dan Agus (drums).

Tikert

Bharata 2013 saat merayakan 50 th Anniversary 20 Desember 2013

Bharata 2013 saat merayakan 50 th Anniversary 20 Desember 2013

Di tahun 1967 Bharata vakuum dari dunia pertunjukan karena personilnya fokus pada pekerjaan seperti Tato Bharata yang menjadi karyawan Pertamina.

Di tahun 1984 tBharata Band muncul kembali ke dunia pertunjukan.Band yang telah terbentuk sejak dasawarsa 60-an ini kembali menjadi sorotan publik ketika mereka didaulat tampil dalam acara “Beatles Belum Mati”.Kebangkitan mereka tepatnya pada tanggal 11 Juli 1984 ketika Yapto Surjo Sumarmo  (ketua Pemuda Pancasila) bersama Sys NS  membuat acara memperingati  The Beatles di Taman Ismail Marzuki. Mereka diajak Yapto untuk bermain dalam kesempatan tersebut.
Kejayaan Bharata band muncul kembali antara tahun 1984 sampai tahun 1990.

Almarhum Harry Bharata (Foto Djajusman Joenoes)

Almarhum Harry Bharata (Foto Djajusman Joenoes)

Khalayak Jakarta seolah tersihir dengan lagu lagu The Beatles yang dilantunkan Bharata.Walaupun Bharata tampil bukan dengan formasi asli,tapi penampilan mereka mendapat aplause luar biasa.Mungkin karena kehadiran Abadi Soesman (vokal,gitar,keyboard) dan Jelly Tobing (drum).
Tak sedikit yang berkomentar,energi bermusik Bharata kian meletup dengan masuknya Abadi Soesman dan Jelly Tobing .Ini memang tak bisa dimungkiri.Baik Abadi dan Jelly memang memiliki kemampuan bermusik diatas rata-rata.Sama sama komunikatif dan enerjik.

Tato Bharata,satu satunya anggota Bharata asli yang tersissa

Tato Bharata,satu satunya anggota Bharata asli yang tersissa

Sejak itulah Bharata kemudian banyak tampil di berbagai konser lagi setelah cukup lama terbenam dalam kevakuuman.
Bharata sendiri terbentuk bersamaan dengan munculnya Koes Bersaudara,di saat hampir seluruh anak muda Indonesia kerasukan demam The Beatles.Bharata sendiri merupakan akronim dari keempat personilnya yaitu Bambang Herwidi ( drum),Harrie Putranto  (bas,vokal),A.Suharlie (gitar,vokal) dan Tato (rhythm gitar,vokal).Bambang,Harrie dan Tato adalah bersaudara kandung.
Seperti halnya,Koes Bersaudara,Bharata pun sempat dijebloskan ke dalam penjaran lantaran memainkan musik The Beatles yang oleh rezim Orde Lama disebut sebagai musik ngak ngik ngok.

Bharata Band saat tampil di Gedung Kemanunggalan ABRI Rakyat Makassar tahun 1987 (Foto Denny Sakrie)

Bharata Band saat tampil di Gedung Kemanunggalan ABRI Rakyat Makassar tahun 1987 (Foto Denny Sakrie)

Memang patut disayangkan, langkah yang diambil Bharata tidak seperti yang dilakukan Koes Bersaudara yaitu menulis lagu karya sendiri.Bharata tetap setia dengan repertoar The Beatles.

Abadi Soesman dan Tato Bharata

Abadi Soesman dan Tato Bharata

Namun pada tahun 1985,diluar dugaan,Bharata Band yang terdiri atas Tato,Harrie,Abadi dan Jelly tiba tiba menulis lagu sendiri dan merilis sebuah album bertajuk “Kawula Muda”.Abadi Soesman bertindak sebagai music directornya.Lagu lagu ditulis oleh mereka berempat.Karakter The Beatles tetap terasa dalam lagu-lagu yang mereka ciptakan.Abadi bahkan meniru arransemen Penny Lane segala.
Ada 13 lagu yang tersemat pada album yang dirilis oleh Romeo Record.Sampul albumnya pun dimirip miripkan dengan sampul album “A Hard Day’s Night” nya The Beatles.
Ke 13 lagu tersebut adalah
1.Kawula Muda
2.Cinta Palsu
3.Janji
4.Lestari Alamku
5.Cinta & Khayal
6.Sendiri Oh Sendiri
7.Untuk Indonesia
8.Maafkan
9.Sendiri Lagi
10.Terimakasih
11.Horay….Horay
12.Relakan
13.Oh

Pada lagu “Kawula Muda” penampilan Bharata didukung sederet bintang tamu seperti Sys NS,Nani Sakri,Rizali PSP,Utje Anwar (isteri Jelly Tobing),Renny Djajoesman dan almarhum Pria Bombom.
Anehnya lagu-lagu di album semata wayang ini tak pernah dibawakan Bharata jika manggung.Di pentas pertunjukan Bharata tetap memainkan The Beatles.

Tahun 1990 Abadi Soesman mundur dari Bharata Band.Posisi Abadi  digantikan oleh Wawan Hid dari Mat Bitel ,band tribute The Beatles asal Bandung.

Di mana artinya berjuang
tanpa sesuatu pengorbanan
di mana arti rasa satu itu

Bersatulah semua seperti dahulu
lihatlah ke muka
keinginan luhur
kan terjangkau semua

Pemuda mengapa wajahmu tersirat
dengan pena yang bertinta belang

Cerminan tindakan akan perpecahan
bersikanlah nodamu semua

Masa depan yang akan tiba
menuntut bukanya nuansa
yang s’lalu menabirimu pemuda

(“Pemuda” karya Candra N.Darusman)

Tak syak lagi, lirik yang terukir di atas yang telah bersemayam dibenak kita, lagu yang sering dibawakan oleh para siswa dan mahasiswa era akhir 70-an dan jelang 80-an, baik di pentas seni sekolah maupun kampus. Kerapkali, lagu bertajuk Pemuda yang ditulis Candra Nazarudin Darusman, ini, merupakan anthem pada saat opspek maupun inaugrasi mahasiswa baru di kampus-kampus.

Harmonisasi vokal khas Chaseiro

Harmonisasi vokal khas Chaseiro

Sesungguhnya lagu Pemuda ini ditulis Candra Darusman pada saat kampus di akhir era 70-an tengah bergejolak dengan mencuatnya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang pada galibnya melarang para mahasiswa mengaitkan diri pada relung-relung kegiatan politik. Saat itu, dicanangkan bahwa tugas mahasiswa hanya menuntut ilmu.
Kini lagu “Pemuda” itu kembali berkumandang ole Chaseiro yang kini kembali kumplit.Candra Darusman dan Rizali Indrakesuma seolah kembali ke sangkarnya lagi.Bersahut sahutan menala nada dalam birama.Menghibur penggemarnya yang telah menunggu sekian lama.

Chaseiro sendiri memang terbentuk dari sederet mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang tengah menuntut ilmu di kampus Salemba Jakarta. Dalam formasi, Chaseiro terdiri dari mahasiswa berbagai disiplin ilmu mulai dari Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial Politik, hingga Fakultas Kedokteran.

Nama Chaseiro sebetulnya merupakan akronim dari para pendukungnya, seperti Candra Nazarudin Darusman (piano,keyboards,vokal), Helmi Indra Kesuma (vokal utama), Aswin Sastro Wardojo (gitar,vokal), Edwin ‘Eddy’ Hudioro (flute), Irwan Indra Kesuma (vokal), Rizali Indra Kesuma (bass,vokal), dan Norman ‘Omen’ Sono Sontani (vokal).

CH#
Kegiatan bermusik Chaseiro bisa dianggap sebagai kegiatan ekstra kurikuler dalam kehidupan kampus. Walaupun sebatas hobi belaka, namun mereka tampaknya tak ingin terlihat setengah-setengah. Mulailah mereka mencetuskan konsep bermusik. Pilihan akhirnya jatuh pada musik pop dengan kecenderungan mengarah pada ranah jazz. Harmoni vokal dan kualitas bermusik menjadi pilihan jati diri musikal mereka.

Dalam sisi vokal, Chaseiro banyak mengambil referensi dari beberapa grup-grup jazz vokal, semisal The Manhattan Transfer, Rare Silk, Four Freshmen, dan banyak lagi, termasuk harmonisasi vokal ala Earth Wind & Fire, yang saat itu tengah digandrungi anak muda. Untuk musik, Chaseiro banyak mengadopsi referensi dari Sergio Mendes hingga Eumir Deodato. Tak heran, jika dalam beberapa penggarapan aransemen musik terendus nuansa musik tropikal Brazil.

Chaseiro saat menjadi Juara Lomba Vokal Group Radio Amigos tahun 1978

Chaseiro saat menjadi Juara Lomba Vokal Group Radio Amigos tahun 1978

Di tahun 1978, resmilah terbentuk Chaseiro berbarengan dengan tahun pertama penyelenggaraan even Jazz Goes To Campus yang berlangsung di kampus Salemba. Candra Darusman adalah salah satu penggagasnya. Saat itu, setelah menjuarai acara Festival Vokal Group yang diselenggarakan Radio Amigos Jakarta pada 6 Mei 1978, maka mulailah Chaseiro tampil di tempat-tempat bergengsi, seperti Taman Ismail Marzuki. Dedengkot jazz, Jack Lesmana, menaruh perhatian besar terhadap talenta grup yang berasal dari kampus ini. Chaseiro pun diajak tampil dalam acara bulanan jazz yang dikoordiasi oleh Jack Lesmana di TVRI bertajuk Nada dan Improvasi.

Tak lama berselang, Amin Widjaja dari Musica Studios tertarik untuk merekam karya-karya Chaseiro yang terwujud dengan dirilisnya album perdana bertajuk Pemuda di tahun 1979. Di album ini, Candra Darusman menulis hampir semua lagu antara lain Pemuda, Dara, Hanya Membekas Kini, Hari yang Indah, Sapa Prabencana, dan Mari Wong. Ada beberapa lagu di album ini kerap mereka bawakan di panggung pertunjukan sebelum masuk ke bilik rekaman, yaitu Pemuda, Mari Wong, Sapa Prabencana, dan Dara yang sempat masuk sebagai semifinalis Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors Rasisonia 1979.

Pada beberapa lagu, Candra meminta bantuan penulisan lirik dari Harry Sabar, Irvan N, dan Joeliardi Soenendar. Candra Darusman selain didaulat menjadi leader, juga bertugas sebagai penata arransemen musik dan Rizali Indra Kesuma bertugas sebagai penata vokal.

Di album ini, Chaseiro didukung oleh pemusik tamu, yaitu Benny Likumahuwa dan AS Mates, serta dua pemusik pendukung Uce Haryono (drum) dan Iwang Gumiwang (perkusi).

Di tahun 1980, Chaseiro merilis album kedua bertajuk Bila dengan sederet lagu seperti Ku Lama Menanti, Seandainya Sederhana, Pengungkapan, Sendiri, Tempat Berpijak, dan Kemanusiaan. Seperti album perdananya, di album kedua Chaseiro, penulisan lagu masih didominasi Candra Darusman.

CHR

Menariknya, pola penulisan lagu-lagu Chaseiro berimbang antara tema romansa dan kritik sosial. Jadi tak heran, saat itu fokus perhatian banyak terarah ke Chaseiro yang dihimpit merebaknya lagu-lagu pop dengan lirik mengumbar tema asmara dengan pilihan kalimat yang cenderung kurang cerdas.

Memasuki album ketiga bertajuk 3 (1981), ada sedikit pergeseran dari tata musik Chaseiro dengan imbuhan berupa anasir brass section dan strings section yang memberi atmosfer musik yang lebih lebar. Di album ini menyertakan lagu bergaya karnaval Brazil yang ditulis Guruh Soekarno Putera bertajuk Rio De Janeiro. Rasanya, album ini bisa dianggap album terbaik yang pernah digarap Chaseiro.

Sayangnya, setelah merilis album keempat bertajuk Ceria (1983), keutuhan Chaseiro mulai goyah. Candra Darusman mulai bersolo karier. Aswin pun menjalani praktik sebagai dokter yang ditempatkan di daerah. Omen dan Rizali lebih banyak berkonsentrasi dengan Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks dan bermain film-film komedi.

Chaseiro tampil di acara Jazz and Rock Night 1984 di Balai Sidang Senayan jakarta

Chaseiro tampil di acara Jazz and Rock Night 1984 di Balai Sidang Senayan jakarta

Rizali sendiri bahkan melejit kariernya justeru sebagai diplomat yang kemudian di tempatkan sebagai atase kedutaan di Amerika Serikat. Edi Hudioro menjadi pengusaha yang sukses. Omen dan Helmi berwiraswasta. Sedangkan Irwan menjadi pengurus Yayasan Karya Cipta Indonesia. Candra selain berkiprah di YKCI juga membentuk grup jazz Karimata bersama Erwin Gutawa, Denny TR, Aminoto Kosin, dan Uce Haryono. Alhasil, Chaseiro hanya tinggal nama belaka.

Di tahun 1990, mereka pernah melakukan reuni dan merilis single Pemuda yang digarap dalam aransemen baru, tapi setelah itu Chaseiro kembali menghilang. Candra Darusman bahkan mendapat tugas di Swiss pada sebuah badan PBB yang memantau Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bernama World Intelectual Property Organization

Hingga akhirnya pada tahun 2001 terjadi reuni sesaat ketika Candra dan Rizali mengambil cuti di Indonesia. Chaseiro melakukan reuni di kafe-kafe dan sempat merilis sebuah single baru bertajuk Bagaimanakah yang musiknya ditata oleh Andi Rianto dan dikemas dalam album kompilasi Persembahan yang merangkum sederet hit Chaseiro dari kurun waktu 1978-1983.

CCCC

Benyamin Sueb Menghidupkan Betawi

Posted: Desember 22, 2013 in Uncategorized

Ingin tahu budaya Betawi ? Simak saja rangkaian repertoar musik almarhum Benjamin Sueb mulai dari akhir era 60an hingga 70an.Bagi saya Benjamin tak hanya sekedar penyanyi yang doyan becanda dengan spontanitas yang tinggi dalam melahirkan karya-karya secara impromptu.

Duet Benjamin S dan Rita Zaharah (Foto Denny Sakrie)

Duet Benjamin S dan Rita Zaharah (Foto Denny Sakrie)

Tapi ada wacana atau gagasan-gagasan tentang kehidupan yang terendap dalam karya-karyanya.Benjamin bahkan menghidupkan budaya Betawi dalam konteks lagu-lagunya baik dalam nuansa pop,kroncong,gambang kromong bahkan blues rock sekalipun.

Duet Benjamin Sueb dan Ida Royani iringan The Bebi's (Foto Denny Sakrie)

Duet Benjamin Sueb dan Ida Royani iringan The Bebi’s (Foto Denny Sakrie)

Benjamin tak hanya ligat,dia pun  bukan sekedar tangkas, atau jagoan improvisasi kata  yang cerdas dari kenyataan sehari-hari kauim marjinal, namun juga sosok yang  kerap berpikir dalam bingkai logika yang jelas.

Album Benjamin S dan Rossy (Foto Denny Sakrie)

Album Benjamin S dan Rossy (Foto Denny Sakrie)

Bagi saya,setidaknya dalam benak Benjamin ada gagasan moral yang selalu dupayakan  untuk dirawat.

Benjamin adalah sosok yang apa adanya.Tanpa pernak pernik.Tanpa gincu.Caranya menulis lagu, yang bisa lahir di mana saja, barangkali bisa menjadi gambaran bahwa Benjamin berupaya tampil  tanpa bumbu-bumbu. Lirik-liriknya yang ngejeplak,  irama yang diketemukannya, dan kadangkala ke sentimentilan yang mencuat keluar dari lagu-lagunya, di samping merupakan ekspresi yang jujur juga merupakan satu cara supaya bisa komunikatif.

Album Brang Breng Brong (Foto Denny Sakrie)

Album Brang Breng Brong (Foto Denny Sakrie)

Berpiajk pada sudut-sudut  yang apa adanya itu, dalam lagu-lagunya  Benjamin lalu  mencoba menyodorkan  pesan moral. Banyak orang dengan tidak sengaja hafal lagu-lagunya. Barangkali mula-mula karena tertarik oleh kemungkinan-kemungkinannya untuk memberi asosiasi saru, tapi lama-lama ternyata Ben berusaha mengingatkan pada sesuatu tanpa kesan mendikte. Sampai di sini orang mau tak mau jadi berpikir bahwa di balik segala kelucuan  Benjamin yang sarat  spontanitas , tersimpan disiplin yang baik untuk melempengkan kenyataan yang timpang sehari-hari. Sebuah upaya mengetengahkan kritik sosial yang sebetulnya menampar atau menjewer tapi terasa bagai sebuah anekdot yang mengocok perut.Maka tak heranlah jika suatu kali  pemusik  Mus Mualim mengungkap kata : “Hanya satu yang tidak diketahui orang tentang Benyamin. Dia menghidupkan lagu Betawi yang nyaris mati, itu jasanya. Sebaiknya memang kepadanya diberikan penghargaan”. Benyamin sendiri tak bisa berkata-kata terhadap hal ini. Barangkali ia tidak tahu benar apakah dia menggali atau mengacaukan kebudayaan Betawi.

Album Tukang Delman (Foto Denny Sakrie)

Album Tukang Delman (Foto Denny Sakrie)

Tipikal kebiasaan orang Betawi memang tampak jelas dalam lagu-lagu yang ditulis sekaligus dinyanyikan oleh Benjamin.Pendek kata, Benyamin adalah orang Betawi yang ikut menggali kebudayaan Betawi. Walaupun itu dilakukan dengan caranya sendiri, tapi memang kebanyakan orang Betawi cara hidupnya seperti yang dinyanyikan oleh Benyamin : Sok keren, tapi tidak mau kerja. Di sinilah baiknya Benjamin. Ia tidak hanya menunjukkan kelakuan orang Betawi tapi juga memperlihatkan pada orang Betawi bahwa cara yang semacam itu bisa terlintas, zaman. Sebetulnya tidak fair jika kita hanya menyoroti sosok  Benjamin saja ,akan n tetapi  para penulis dan pengarang lagunya juga ikut berjasa.

ben6

Namun hal yang melegakan  bahwa Benjamin tetap bertahan dengan Kebetawiannya. Ia tidak tergoda menyanyikan lagu selain dengan gaya dan lagu Betawi. Walaupun iramanya hard rock tapi syairnya letap Betawi, bahkan lagu Melayu pun gayanya tetap Betawi. Itulah yang menyebahkan dia tetap bertahan di hati masyarakat Betawi.Rasanya memang tak berlebihan jika kemudian banyak yang berkata bahwa Benjamin adalah sosok penyaksi,yang kemudian potret-potret kesaksiannya itu diperam dalam bentuk lagu dengan musik yang cenderung eklektik.

Album Benjamin dan Rita Zaharah "Ngelamar" (Foto Denny Sakrie)

Album Benjamin dan Rita Zaharah “Ngelamar” (Foto Denny Sakrie)

28 tahun silam tepatnya tanggal 22 Desember 1985 untuk kedua kalinya Soneta Group,orkes dangdut yang dibentuk Rhoma Irama bersepanggung dengan God Bless, band rock yang dimotori Achmad Albar.Pertamakali God Bless diskenariokan tampil bersama Soneta Group pada perayaan malam tahun baru yang berlangsung di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 31 Desember 1977. Tampilnya God Bless dan Soneta Group merupakan konser yang banyak menyerap minat penonton.Massa penonton rock dan dangdut bisa dikatakan seimbang.Bahkan bukan tak mungkin ada penikmat rock yang juga menyukai dangdut, demikian juga sebaliknya. Secara jujur harus diakui rock dan dangdut adalah musik yang memiliki karakter dan dinamika yang dekat semangat anak muda atau yang berjiwa muda.Rock dengan kredo kebebasan berekspresi nyaris memiliki persamaan dalam sudut ekspresi yang dimiliki dangdut, dimana dangdut juga merupakan ekspresi kebebasan bagi kaum akar rumput yang menurut pengamatan saya lekat dengan bunyi-bunyian musik dangdut.Mereka, yang kerap terpinggirkan,menemukan ekspresi kebebasan saat rentak dan ritme  dangdut membahana.Bahkan kemungkinan besar justru musik dangdutlah yang justru memiliki jumlah penggemar lebih banyak dibanding musik rock.Disatu sisi,penikmat musik rock kebanyakan berkembang dari kalangan menengah keatas,yang masih menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap budaya barat.Dimana musik rock,sebagai produk budaya pop barat dianggap memiliki kekuatan sebagai upaya eskalasi status sosial.

Achmad Albar berduet dengan Rhoma Irama di Istora Senayan jakarta 31 Desember 1977 (Foto Majalah Aktuil edisi 1978)

Achmad Albar berduet dengan Rhoma Irama di Istora Senayan jakarta 31 Desember 1977 (Foto Majalah Aktuil edisi 1978)

Rhoma Irama sadar bahwa meskipun dangdut banyak dicintai oleh kalangan bawah, tetapi kerap menjadi cemoohan orang sebagai musik kelas bawah,kampungan,musik babu dan sederet julukan yang bernada menghina dan  sarat ejekan.Rhoma Irama yang sebelum terjun total menyelami dangdut sebetulnya banyak berkutat menyanyikan lagu-lagu pop bahkan yang berbahasa Inggris seperti Paul Anka maupun Tom Jones, ini pun menyadari “kekurangan” dangdut dalam pamor.Sebagian besar masyarakat yang merasa dirinya modern pun kerap mengusik-usik dangdut seolah najis tak berampun.TVRI pun pernah mengharamkan penampilan dangdut di layar kaca.Bahkan rocker Benny Soebardja dari band Giant Step Bandung mencerca dangdut sebagai musik tai anjing.Pernyataan ini kontan menuai perseteruan panas yang mengemuka melalui majalah pop anak muda bernama Aktuil.Polemik ini kian memanas, antara Benny Soebardja dan Rhoma Irama, bahkan antar penikmat rock dan dangdut itu sendiri. Dipertengahan era 70an Benny Soebardja yang sarjana pertanian ini kembali jadi sorotan publik saat mencerca musik Dangdut sebagai musik maaf…tai anjing. Komentar panas Benny Soebardja ini ditanggapi frontal oleh Oma Irama dari kubu dangdut. Polemik yang kian memanas ini seperti diberi tempat oleh majalah pop Aktuil yang terbit di Bandung.

Disisi lain,antara tahun 1973 dan 1974 musik dangdut makin berkibar.Sukses yang dicapai Oma Irama bersama Soneta Group terutama lewat lagu Begadang, sempat menggoyang kedudukan musik pop.Eugene Timothy,pemilik label Remaco lalu bikin strategi untuk bisnis musiknya.Timothy lalu meminta band-band yang berada dibawah naungan Remaco untuk membuat album dangdut atau Pop Melayu, dimulai dari Koes Plus,Bimbo,The Mercy’s,D’Lloyd ,Favorite’s Group hingga AKA, band rock asal Surabya yang baru bergabung di Remaco.Dangdut memang menjadi primadona musik populer di Indonesia.

Namun pertikaian maupun perseteruan antara rock versus dangdut tak terelakkan dan berlangsung bertahun-tahun. Saat itu tahun 1970-an sudah mafhum bila penggemar rock tawuran dengan penggemar  dangdut. Korban terluka tak terbilang jumalhnya. Panggung Soneta Group bahkan pernah dikencingi seorang rocker. Rhoma Irama konon,  saat itu mengejarnya dengan kabel setrum. Caci-maki di panggung sampai umpatan di media bertubi-tubi.

Untungnya polemik yang meruncing tajam ini berakhir dengan perdamaian antara kedua kubu musik, baik rock maupun dangdut. Apalagi muncul fakta baru, ternyata baik Benny Soebardja maupun Oma Irma sama-sama berasal dari Tasikmalaya. Perseteruan lintas musik ini berakhir dengan happy ending.

Benny Soebardja yang menyadari arogansi dan kekeliruannya menyatkan niat bulat untu bersepanggung dengan Soneta Group tapi batal, dan akhirnya Giant Step justru sepanggung dengan penyanyi dangdut wanita Lies Saodah. Dalam solo album Benny Soebardja yang didukung band Lizzard, Benny Soebardja memasukkan unsur tabla, instrumen tabuh India yang menjadi inspirasi musik dangdut.

Tahun 1977 lewat album Hak Azazi yang dirilis Yukawi Record,Rhoma Irama bersama Soneta Groupnya mulai memasukkan elemen rock dan funk dalam sajian arransemen musiknya.Style petikan gitar elektrik Rhoma Irama mulai cenderung mengekor pada sound gitar Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple.Dalam lagu “Santai”,Rhoma Irama terlihat menyerap gaya funky rock ala James Gang seperti pada lagu Kick Back Man.Kostum personil Soneta Group pun mulai terlihat ngerock dengan kostum ala Spaceman.Jelas ini semua adalah upaya upaya yang ditempuh Rhoma Irama untuk menghapus stigma kampungan yang telah disematkan sebagian masyarakat kita.

Di ujung tahun 1977, akhirnya ada konser yang menyatukan God Bless dan Soneta Group.Acara sarat sensasi ini bisa juga dianggap sebagai pertanda bahwa antara musik dangdut dan rock tak ada pertikaian atau perseteruan lagi.Bahkan Rhoma Irama dengan tanpa malu-malu lagi mengadopsi gaya rock ala Deep Purple dalam sajian musik Soneta Group. Konser yang berlangsung 31 Desember 1977 itu berlangsung dengan riuh tanpa insiden sama sekali.Achmad Albar berduet dengan Rhoma Irama menyanyikan lagu Begadang serta hits dari Duo Kribo bertajuk Neraka Jahanam.

Di tahun 1979,Achmad Albar dengan musik yang digarap gitaris God Bless Ian Antono merilis album dangdut bertajuk Zakia.Album ini sukses di pasaran.Achmad Albar bahkan sempat merilis sekitar 4 album bercorak dangdut.Achmad Albar bahkan mengikuti jejak Rhoma Irama bermain dalam dua film bertema dangdut yaitu “Irama Cinta” dan “Cubit Cubitan” bersama Elvy Sukaesih.

Rhoma Irama sendiri mengajak Ucok Harahap dedengkot AKA bermain dalam film “Darah Muda” (1977) dimana di film ini Rhoma Irama yang mewakili dangdut menundukkan Ucok Harahap yang mewakili rock.Cerita sejenis ini pun berulang lagi dalam film Menggapai Matahari dan sekuelnya Menggapai Matahari II di tahun 1986, kali ini Ikang Fawzi memerankan penyanyi rock yang berseteru dengan Rhoma Irama.

Di tahun 1985 akhirnya Rhoma Irama bersepanggung dengan God Bless dalam acara bertajuk “Apresiasi Musik Anak Muda 1985” yang digelar di Stadion Utama Senayan 22 Desember mulai jam 19.00 WIB.

Leaflet acara Apresiasi Musik Anak Muda 1985 yang menampilkan God Bless dan Soneta Group 22 Desember 1985

Leaflet acara Apresiasi Musik Anak Muda 1985 yang menampilkan God Bless dan Soneta Group 22 Desember 1985

Indie Pop di Upper Room

Posted: Desember 20, 2013 in Konser

Tulisan saya ini pernah dimuat di Koran Tempo kamis 26 Juli 2007 .

I’ll never find another way .

to say I love you more each day

It’s quite romantic I know .

That’s how I wanna feel today .

I wanna feel this way today .

Can you feel my heartbeat .

Can you feel my heartbeat.

Can you feel my heartbeat .

When I’m close to you

Sekitar 2.000 penonton yang menjejali Upper Room, Hotel Nikko, di Jalan Thamrin, Jakarta, Sabtu lalu, ikut bernyanyi bersama Tahiti 80. Kelompok indie-pop asal Prancis ini mengumandangkan Heartbeat, lagu dari debut album mereka bertajuk Puzzle (2000).

Sebuah pemandangan yang menakjubkan. Lantaran Tahiti 80 adalah kelompok musik yang tercerabut dari komunitas indie. Jika Tahiti 80 adalah kelompok mainstream dari gugus musik industrial, hal demikian merupakan sesuatu yang wajar. Nyaris dalam sepanjang pertunjukan Tahiti 80, yang dibuka oleh penampilan kelompok indie lokal, seperti Sore dan Pure Saturday, penonton–yang rata-rata berusia 17-25 tahun–menjadi choir tak resmi.

HH

Alhasil, Tahiti 80 tak perlu lagi mengajak atau menghasut penonton untuk bernyanyi. Lagu-lagu bertempo medium-up beat dan catchy dari album terakhirnya, Fosbury, seperti Big Day dan Matter of Time, pun akhirnya dinyanyikan secara massal.

Come and get it,come and get it now
There’s a big day waiting for you

Tak pelak, grup yang terdiri atas Xavier Boyer (vokal utama dan keyboard), Pedro Resende (bas), Mederic Gontier (gitar), serta Sylvain Marchand (drum) terpesona dan semringah melihat polah tingkah penonton Indonesia yang responsif. Dan konser Tahiti 80 ini tampaknya mengulang lagi sukses yang dicapai beberapa kelompok indie yang manggung di Upper Room beberapa waktu lalu, seperti Kings of Convenience, Club 8, dan Sondre Lerche. Tak berlebihan jika Upper Room pada akhirnya bisa dianggap venue yang mempertemukan kelompok musik indie dengan para penggemarnya.

Menariknya, kelompok musik indie yang manggung di Upper Room justru banyak terpengaruh oleh musik pop era terdahulu. Sebut saja, misalnya, Kings of Convenience, yang justru mengingatkan kita pada pola harmoni vokal ala Simon & Garfunkel; Sondre Lerche, yang dipengaruhi Nick Drake dan Elvis Costello; Club 8, yang terpengaruh The Smith ataupun Antonio Carlos Jobim. Kings of Convenience dan Sondre Lerche berasal dari Norwegia, sedangkan Club 8 berasal dari Swedia.

BB

Kelompok-kelompok musik dari Eropa ini memang memendam kekaguman terhadap pencapaian musik pop era masa silam. Serpihan-serpihan musik masa lalu itu lalu diracik dengan semangat kekinian.

Pola semacam itu jualah yang ditapaki oleh kelompok musik indie negeri ini, seperti White Shoes & Couples Company, The Adams, Mocca, ataupun Sore, yang malam itu didapuk menjadi salah satu band pembuka konser Tahiti 80. Mereka, para pemusik muda, seolah hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang sebetulnya justru tak pernah mereka alami. Sebuah upaya pseudo dalam ranah musik yang bisa dianggap menjembatani gap generation.

Karakter vokal Xavier Boyer terasa elastis. Timbre vokalnya seolah menjejak pada dua sekat berbeda, antara atmosfer yang manis dan lembut hingga geraman yang terasa menggigit. Setidaknya timbre vokal Boyer mengingatkan kita pada Eric Carmen dari The Raspberries ataupun John Waite dari The Babys. Terkadang warna yang mencuat seolah merupakan gabungan antara perangai vocal Paul McCartney dan John Lennon. Dalam Your Love Shines, Boyer malah terdengar seperti embusan lirih dari penyanyi berkulit hitam Smokey Robinson.

Tahiti 80 dibentuk oleh dua mahasiswa Universitas Rouen, Paris, Prancis, pada 1993, yaitu Xavier Boyer dan Pedro Resende. Kedua sahabat ini sangat terpukau oleh era British Invasion pada 1960-an. Mereka menggandrungi The Beatles hingga The Kinks.

Setahun berikutnya masuk gitaris Mederic Gontier serta drumer Sylvain Marchand. Lalu keempatnya memilih Tahiti 80 sebagai jati diri kelompok musiknya. “Tahiti 80 itu kami ambil dari tulisan yang tertera pada kaus yang dikenakan ayah saya ketika pulang berlibur dari kepulauan Hawaii pada 1980-an,” ujarnya sambil tersenyum. Tahiti 80 telah merilis beberapa album, seperti Puzzle (2000), Wallpaper for the Soul (2002), A Piece of Sunshine (2004), dan Fosburry (2005).

Dan para penggemar Tahiti 80 di sini justru menyimak dan mengakrabi repertoar Tahiti 80 dari Internet hingga i-Pod.

Paduan suara penonton di Upper Room pun terdengar membahana.

I know we can work it out
It just a matter of a time
Baby can’t you see
The look on my face
Won’t you give me a try

Denny Sakrie, pengamat musik

Ini adalah kelompoknya Sawung Jabo……..Genggong.”Genggong adalah kelompok lintas bahasa,lintas bangsa” ujar Sawung Jabo tentang Genggong yang terdiri atas Sawung Jabo,Ron Reevees,Kim Sanders,dan Reza Rachman.
Karena Genggong ,para anggotanya justeru terdiri dari para pemusik asal berbagai negara,seperti Indonesia, Australia, Turki, dan Bulgaria.

Kelompok Genggong

Kelompok Genggong

Genggong adalah grup kesekian dari pengembaraan Johan,nama asli Sawung Jabo,sejak Sirkus Barrock,Kantata Takwa,Swami,Dalbo dan entah apalagi.Almarhum Rendra yang membernya nama panggung Sawung.Rendra pula yang memberi nama Areng untuk Areng Widodo.
Genggong memang seperti pertemuan arus Barat dan Timur.Perangkat musik Barat teronggok seperti gitar, perkusi, drum, flute, saksofon, dan sebuah bagpipe yang melahirkan bunyi-bunyi nada mirip synclavier-instrumen musik khas Skotlandia siap untuk digaungkan bersanding dengan tabuh tabuhan perangkat tradisional Indonesia .
Di Genggong Jabo menyusupkan anasir humor yang bikin geli.
Semisal, sederet lagu yang dilantunkan Jabo seperti Garuk-garuk Sampai Ngantuk, Kontal-kantil Kentul, Sweet Kambing Guling, dan tak ketinggalan Tut-tat-tit-tut. Sebuah kenorakan yang kerap pula disuguhkan Frank Zappa.Ujung ujungnya memang menghibur namun juga mengendapkan sebuah renungan sebetulnya.
Genggong ditetaskan di Sidney,Australia.Genggong sebuah kelompok musik yang oleh Jabo selalu diartikan sebagai grup pemusik dengan tagline: Not Just Music.

Album Genggong yang dirilis Musica Studios

Album Genggong yang dirilis Musica Studios

“Main musik, itu jelas.Itu pasti.Tetapi, bagi GengGong, itu hanya merupakan satu fungsi saja. Lainnya adalah keinginan bersama untuk bisa mengembangkan musik tradisi-baik itu Barat, Aborigin, serta tentu saja Indonesia dan itu bagi saya berarti musik gamelan,” papar Sawung Jabo.
Terbentuk awal tahun 1999 di Sidney, GengGong lahir atas prakasa Jabo yang ingin mengumpulkan kembali sejumlah musisi Indonesia yang-katanya-suka “berkeliaran” tanpa arah di Australia khususnya di Sidney. Sejak permulaan, kata Jabo, GengGong sudah dikonsep sebagai sebuah grup terbuka yang mau menerima partisipasi para pemusik Barat. “Itulah sebabnya, sejumlah musisi Australia lalu bergabung bersama kami,” jelasnya.

Kini, setelah hampir dua tahun berkiprah di blantika musik Australia, GengGong dimotori Jabo pada gitar, perkusi, bedug, bonang, dan sebagai lead vocalist, Reza Achman (drum, perkusi, gendang Batak, dan vokal), Kim Sanders yang berdarah campuran Turki-Bulgaria (bagpipe, flute, saksofon), Ron Reeves (gendang Sunda, alat tiup Aborigin, vokal, dan perkusi), dan tak ketinggalan Monica Willy (penari Topeng dan vokal).

Cakram padat Genggong

Cakram padat Genggong

Lho kok ada penari segala ?
“Itulah yang dimaksud dengan Not Just Music.Gak hanya musik sejak awal kami sudah mengatakan, GengGong tak sekadar main musik alias not just music. Jadi, sekali naik pentas di panggung, kami bisa main musik, jejogedan nari, dan melucu,” jtukas Jabo tangkasi. Uniknyak, untuk urusan penggrarapan aransemen-semua anggota grup GengGong ini mengerjakan hal itu secara bersama-sama. Ada kebersamaan disitu tampaknya.
Menurut Jabo, sambutan publik Australia terhadap kehadiran GengGong cukup melegakan. Pernah, misalnya, GengGong diundang tampil di forum Wolrd Music Festival di New South Wales.
“Reaksi penonton luar biasa, karena di tengah permainan kami mereka nekat naik ke pentas untuk berjoged bersama kami. Lebih jauh, di antara mereka malah ada yang mulai menitikkan air mata karena tersentuh oleh musik GengGong,” tutur Jabo bangga.
Memempelaikan musik gamelan dan instrumen Barat. Inilah yang kini tengah dikerjakan grup musik Australia bernama GengGong pimpinan Sawung Jabo asli Indonesia.
Unsur paling menonjol pada musik GengGong adalah beat-beat sederhana dari musik tradisi Indonesia-dalam hal ini gamelan-yang kemudian dipadu dengan unsur-unsur musik tradisi lain dari belahan dunia di luar Indonesia.
“Genggong mengambil, unsur-unsur musik tradisi Turki, Bulgaria, dan Barat yang berarti Australia serta apa saja yang bisa kami lebur untuk kemudian dibuat komposisi-komposisi baru tanpa harus memaksakan, seperti layaknya pergaulan antar manusia pada galibnya,” jelas Sawung Jabo.

Bisa dibilang sebagai kolaborasi absurd.Kenapa ? Karena siapa yang menyangka  bahwa James F Sundah komposer yang melejit lewat lagu “Lilin Lilin Kecil” dari LCLR 1977 dan Titiek Puspa yang pernah mewakili Indonesia dalam World Popular Song Festival 1975 di Tokyo Jepang berada dalam satu ruangan dengan gitaris Rudolf Schenker dan vokalis Kalus Meine dari Scorpion grup rock Jerman untuk menulis lagu bareng.

Titiek Puspa terlihat dalam pesta perayaan Pacific Harmony di Bali tahun 1995.

Titiek Puspa terlihat dalam pesta perayaan Pacific Harmony di Bali tahun 1995.

Dan kejadian ini berlangsung pada tahun 1995 dalam acara “Pacific Harmony” yang berlangsung di Nusa Dua,Bali. Akhirnya terciptalah lagu ballad bertajuk “When You Came Into My Life“.Dan beberapa tahun berselang lagu ini dimasukkan Scorpions dalam album “Pure Instinct”.

Betulkah Titiek Puspa dan James F Sundah juga memiliki  kontribusi  dalam  oenulisan lagu ini ? Itu pertanyaan yang terlontar ketika menyimak lagu “When You Came Into My Love” yang sangat kuat rasa Scorpions.Jangan-jangan James dan eyang Titiek Puspa hanya dipasang saja sebagai pelengkap.Tapi apa mungkin ?

Ah,sudahlah yang jelas,dalam event semacam ini toh bisa membuktikan bahwa sesungguhnya kualitas musisi Indonesia bisalah dianggap sejajar dengan para musisi mancanegara.

Dan inilah hasil kolaborasi mereka  :

When You Came Into My Life by Meine/Schenker/Sundah/Puspa

You give me your smile
A piece of your heart
You give me the feel I’ve been looking for
You give me your soul
Your innocent love
You are the one I’ve been waiting for
I’ve been waiting for

We’re lost in a kiss
A moment in time
Forever young
Just forever, just forever in love

It took my breath away
And the world stopped turnin’ round
For your love
When you came into my life
It took my breath away
Cause your love has found it’s way
To my heart
Into my heart

Just forever in love

When you came into my life
It took my breath away
And the world stopped turnin’ round
For your love
When you came into my life
It took my breath away
Cause your love has found it’s way
To my heart
When you came into my life

When you came into my life
It took my breath away
And the world stopped turnin’ round
For your love
When you came into my life
It took my breath away
Cause your love has found it’s way
To my heart

Kayon Jazz (Berdialek) Indonesia

Posted: Desember 20, 2013 in Konser

Jari jemari Indra Lesmana secara perlahan menggerayangi tuts grand piano Yamaha.Lamat-lamat gaung piano merembes,berbaur dengan geraman bass slendro Prasaja Budidarma yang dikawal sebuah ritme yang mengingatkan kita pada gandrung Banyuwangi yang tercerabut dari musik tradisional Jawa Timur .Ritme pun semakin kuat membahana,namun secara tak sadar trio ini malah merengsek ke pola ritme western.Terciumlah anasir modal jazz yang merupakan ruh dari genre hard bop maupun post bop.Itulah komposisi yang ditulis Indra Lesmana bertajuk “Kayon” sekaligus merupakan judul album bernuansa etno jazz yang dirilis Demajors Records.

Trio Kayon di Salihara

Trio Kayon di Salihara

Entah untuk yang keberapa kalinya,musik jazz bersanding dengan pesona musik etnik penampilan trio Indra Lesmana (piano,melodica),Prasaja Budidarma (bass slendro) dan Gilang Ramadhan (perkusi) pada jumat malam 7 September 2007 di Gedung Kesenian Jakarta tampaknya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Tony Scott & Indonesian All Stars pada tahun 1967 lewat album “Djanger Bali” (MPS,1967) dan konser jazz di Berlin Jerman.

Kebetulan,trio ini tampil pula dalam acara “Asia Pacific 2007” pada tanggal 13 September 2007 di Berlin atas undangan dari “House of World Culture”. Menurut Indra Lesmana,tema yang ditentukan penyelenggara adalah pengaruh Be Bop atau Hard Bop dalam aura musik di sekitar Asia Pasifik.
Persenyawaan antara bop dan musik etnik Indonesia akhirnya menjadi pilihan trio yang sebetulnya telah terbentuk di sekitar tahun 1986.
Dalam konser yang menyuguhkan 8 komposisi dari album “Kayon” itu,stigma keterpaksaan menyatunya konsep east meets west menjadi lumer disini.
Mungkin karena ketrampilan ketiga instrumentalis mandraguna ini justeru mencuatkan polarisasi aura musik kutub timur dan kutub barat.
Jika mencermati perhelatan musik Indra Pra Gilang ini,maka kita akan menyingkap siasat mereka dalam memadu musiknya.Walau memendam muatan musik etnik,trio ini terlihat tetap hirau pada instrumen Barat seperti piano,bass dan drum.Meskipun untuk bass telah dilakukan modifikasi secara slendro.Sementara drum kit Gilang Ramadhan dilengkapi ragam perkusi seperti kenong,kecrek dan ceng ceng.
Instrumentasi Barat memang dihadirkan dengan feel etnik yang kuat.Misalnya pada lagu “Mumang”, mereka menyerap pengaruh musik dari ranah Aceh.Gilang Ramadhan mengeksplorasi bunyi-bunyian perkusi Aceh yang repetitif.Indra terkadang mengimbuh dengan ketukan piano secara single not .

Jika membandingkan pencapaian yang dilakukan Indonesian All Stars di tahun 1967 yang terdiri atas Jack Lesmana (gitar),Bubi Chen (piano),Benny Mustafa (drums),Jopi Chen (bas) dan Maryono (saxophone),maka terlihat kemiripan.Saat itu Jack Lesmana,ayah Indra,hanya memetik senar gitar dalam nada rendah untuk menghasilkan bunyi gong maupun kenong.
Indra sendiri menyentuh bagian string piano untuk meniru bunyi kenong ketika Gilang Ramadhan tengah memainkan solo drumming.
Beruntung ketiga pemusik ini sebelumnya sudah seringkali melakukan persenyawaan dengan musik etnik.Gilang Ramadhan bersama kelompoknya Nera banyak menjelujur ragam musik Timor hingga Papua.Pra Budi Dharma bersama kelompok
Krakatau banyak menyerap anasir musik Karawitan Sunda dan Nanggroe Aceh Darussalam.Indra Lesmana pernah menyusupkan musik Jegog dari Bali dalam konser “Megalitikum Kuantum” dua tahun silam.
Mereka paham betul bagaimana menyelinapkan tema dalam pola ritme yang baur
itu. Dalam lagu “Pangheurepan” Indra Lesmana meniup melodica dengan struktur
melodi Sunda menggantikan bunyi seruling.
Rentak tifa yang repetitif dihasilkan Gilang Ramadhan melalui perangkat drumnya pada lagu “Mademato Kamaki Sawosi”.Sementara dari permainan bass Pra terasa unsur funk yang groovy.
Pada komposisi “Little Jakarta”,Indra Lesmana memainkan ritme piano dengan
nuansa Gambang Kromong. Nuansa Qasidah dan musik Melayu terendus pada lagu “First Dawn”.Di lagu ini Gilang menghadirkan pola ritme rebana yang diikuti gemerincing piano Indra Lesmana.
Karakteristik musik etnik seperti dari Jawa,Bali,Sumatera dan Papua yang bersanding dengan karakter modern jazz memang tak saling mengintimidasi.Tepatnya lebih bertumpu pada kredo saling isi.Unsur unsur jazz seperti swingin maupun bop tetap menancap kuat.Siasat seperti pergeseran chord banyak membantu menampilkan kemasan etno-jazz yang mengalir.Dan rasanya inilah yang membedakannya dengan world music.
Jazz berdialek Indonesia,mungkin inilah jawaban yang tepat jika ada yang berupaya menelisik musik seperti apakah yang kali ini diusung Indra Lesmana Pra Budidarma Gilang Ramadhan.

Denny Sakrie,pengamat musik

(tulisan ini di muat di Koran Tempo 11 September 2007)

Dunia musik Indonesia kembali menunduk dalam duka.Innisisri,empu tabuh-tabuhan yang bermain musik dari zona rock,pop,hingga etnikal ini telah menutup lembaran karya musiknya pada Rabu 30 September 2009 untuk selama-lamanya karena mengidap kanker usus sejak setahun silam.Kehilangan,jelas membayangi kepergian lelaki gondrong berkumis tebal bernama Sri Kadaryatmo.Betapa tidak dalam sepanjang karir musiknya dia telah menorehkan begitu banyak kreativitas dari berbagai perangai musik.Innisisri seolah ditakdirkan selalu hadir dalam ajang musik apapun dibalik perangkat tabuh tabuhan,baik dari Barat maupun Timur,yang ditabuhnya.Pemahaman musiknya,akhirnya berkembang secara eklektik.dari yang berkonotasi hiburan hingga yang apresiatif. Sungguh sebuah etos kerja seni yang membutuhkan dan menguras energi.Darah Innisisri,tak diragukan lagi,telah berbaur dengan musik.Terus bergulir hingga nafas terakhirnya.Di mata saya Innisisri tak hanya seorang drummer.Tak hanya seorang perkusionis.Juga tak hanya seorang komposer saja.Tapi dia adalah empu yang tak habis-habisnya menabuh genderang musik. Sukma musik menitis dari keluarganya yang menggemari musik keroncong.Masa kecilnya di Semarang diisi dengan ritual musik yang membuatnya kepayang tiada alang.

INNI

Karir musik Sri Kadaryatmo bermula saat masih duduk dibangku SMA di tahun 1968,di saat generasi bunga mulai merekah diberbagai penjuru jagat termasuk Indonesia.Instrumen bass pun dipetiknya bersama sebuah band sekolahan.Namun kegandrungannya terhadap John Bonham,drummer adidaya grup rock Inggeris Led Zeppelin menbuat Sri yang tengah terhipnotis pesona music rock berpindah memainkan drum.Pola drummingnya pun dipatut-patutkan dengan gaya Bonham yang memadukan energi dan presisi bermain.Euphoria ngerock ditumpahkan Sri dalam kelompok The Lheps di Yogyakarta.Masuk era 70-an,Sri kembali ke Semarang dan membentuk grup rock Spider yang mulai menyembulkan nama dalam keriuhan musik panggung beratmosfer rock.Di paruh 70-an,untuk pertamakalinya Sri masuk ke bilik rekaman bersama kelompok vokal bernama Amudas (Anak Muda Semarang).Sri lalu diajak bergabung dalam “Kelompok Kampungan”,kelompok music yang dibentuk Bram Makahekum dari komunitas Bengkel Teater WS Rendra.Kelompok ini sering menautkan diri dalam kegiatan panggung Bengkel Teater,diantaranya mendukung drama “Sekda” di tahun 1977.Kelompok Kampungan yang kemudian merilis album “Mencari Tuhan “ (Akurama,1980) selalu tampil dengan gaya yang mbeling dan lirik lirik yang bermuatan kritik sosial.

Bersama dengan anggota Kelompok Kampungan Areng Widodo, Sri lalu banyak ikut menggarap album rock dalam bentuk rekaman antara lain album bertajuk “Dunia Huru Hara” dari Achmad Albar (Ski Record ,1982).Pola drummingnya yang menjejalkan detak rock,memang sangat diperlukan di album ini.Ketukannya pun khas dan sukar ditiru.

Lalu dalam kurun waktu tahun 1982 hingga 1990, Innisisri tergabung dalam kelompok “Sirkus Barock” yang digagas Sawung Jabo.Denyut rock pun masih terasa dalam kelompok yang juga banyak bertumpu pada lagu lagu beratmosfer kritik sosial.Jika menelusuri kiprah Sri saat bergabung dalam Kelompok Kampungan maupun Sirkus Barock,mau kita akan menemukan sebuah proses persemaian musik semacam kredo “east meet west” yang menghasilkan music rock dengan rasa Indonesia yang kental,mulai dari racikan arransemen hingga cara bertutur.Sebuah asimilasi musik pun telah mencuat.Proses saling serap atau campur mencampur aura bermusik ini memang hal lumrah.Dia dalah proses menuju kukuhnya sebuah jatidiri.Kredo seperti inilah yang kelak melatari berbagai proyek musik yang diikuti Sri entah itu Kantata Takwa,Swami,Dalbo hingga Kahanan,eksperimentasi musik yang digeluti Sri hingga akhir hayatnya.

Sosok Innisisri kemudian lebih lekat dengan Kahanan,yang mengangkat khazanah musik tradisional dalam peta musik kontemporer terutama perangkat perkusi sebagai primadona.Menurut Sri,Kahanan itu adalah bahasa Jawa yang bisa diartikan sebagai sebuah keadaan.Sebuah keadaan dalam kehidupan,baik kehidupan manusia secara invidual maupun secara sosial yang terikat dan terkait dalam kehidupan alam semesta secara luas.

Konsep Kahanan mulai terlihat dalam “Tragedi” karya Sawung Djabo pada ajang “Jakarta International Festival Of The Performing Art” (1992) .Dua tahun berselang Innisisri mulai menetaskan Kahanan dalam wadah Hadrah,sebuah komunitas musik Banyuwangi,bedrbentuk Orkestrasi Perkusi yang sempat dipentaskan dalam “Mundial Festival” di Tilbrug Belanda pada tahun 2001.

Kahanan yang digagas Sri,akhirnya tak hanya berkutat dalam dimensi musik belaka,melainkan menjadi semacam interaksi budaya.Kahanan pun menjadi sebuah peristiwa budaya yang gegap gempita.Kahanan pun menjadi seperti lembaran budaya yang representatif.Tak berlebihan rasanya jika saya menyebut Kahanan sebagai miniatur dari Indonesia yang majemuk itu.Ini semua digagas oleh sang empu tabuh-tabuhan,Innisisri.

Selamat jalan mas Sri.Tabuh tabuhanmu masih tetap bertalu di sanubari kami.

(Tulisan ini dimuat di majalah budaya “Gong” Yogyakarta)

Java Jazz, Sebuah Deja Vu Fusion

Posted: Desember 20, 2013 in Konser

Sekitar Jam 15.10 saya memasuki ruang Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Cikini Jakarta kamis 10 Desember 2009.Di atas pentas terlihat Indra Lesmana,Dewa Budjana,Gilang Ramadhan,AS Mates dan Donny Suhendra tengah melakukan final reherseal untuk konser “Java Jazz” yang akan disajikan jam 20.00 WIB.

Indra Lesmana (Foto Djajusman Joenoes)

Indra Lesmana (Foto Djajusman Joenoes)

Saat itu mereka berlima tengah memainkan komposisi yang ditulis Indra Lesmana pada awal dekade 90-an “Bulan Di atas Asia”.

Dewa Budjana (Foto Djajusman Joenoes)

Dewa Budjana (Foto Djajusman Joenoes)

Geletar komposisi yang seolah merangkum nuansa etnik musik Asia ini seolah mencubit kuping saya.Saya seperti terjerembab ke kawah deja vu.Kenapa ? karena atmosfer musik seperti ini,mungkin lebih tepat disebut fusion,syahdan dahulu antara paruh 80-an hingga awal 90-an pernah mengguncang degup nurani saya.

Gilang Ramadhan (Foto Djajusman Joenoes)

Gilang Ramadhan (Foto Djajusman Joenoes)

Saat itu juga,saya seolah telah merasakan keriaan apa yang akan saya peroleh dari persembahan Java Jazz yang seperti kebanyakan band-band era sebelumnya,pada giat melakukan ritual reuni.
Dan untungnya Java Jazz bisa menyelamatkan perahu mereka dari tudingan :”ah……sekedar nostalgia aja “.Mereka seolah menjahit kembali kain dan benang yang sempat terkoyak dalam rentang 11 tahun.Karena dalam kekiniannya,Java Jazz menyempatkan diri merekam komposisi komposisi baru yang sebahagian dibawakan dalam konser bahkan sudah terangkum dalam album terbaru mereka bertajuk “Joy Joy Joy”
Dalam kekiniannya pula,Java Jazz terlihat seperti menyeruakkan ambience baru dalam permukaan tata musiknya.Ada kesan bahwa mereka ini ingin lebih cenderung meniupkan ruh anasir musik rock terutama jika menyimak duo dynamic gitar yang dipintal Dewa Budjana dan Donny Suhendra.
Kesan itu telah terasa saat Java Jazz memulai pertunjukan pada jam 20.27 WIB dengan komposisi “Drama” yang diambil dari album “Java Jazz” di tahun 1993 silam.

Donny Suhendra

Donny Suhendra

Java Jazz tampil lugas dan ketat.Rhythm section-nya padu dan pipih.Gilang Ramadhan menampilkan aura seorang rock star mengingatkan kita pada gaya Tony Williams dalam proyek berbasisa rock atau Bill Bruford yang mengimbuh jazz dalam bingkai rock.Kurang lebih seperti itula analoginya.
Keputusan untuk meniadakan ruang untuk bunyi saxophone yang dulu diisi oleh almarhum Embong Rahardjo merupakan keputusan berani dan sarat ranjau spekulatif.Tapi toh dengan konsep yang agak bergeser,meski tak sampai menguburkan jatidiri yang tertoreh sejak awal,membuat tampilan Java Jazz lebih bernas,bergairah dan bermagnet pula.

Java Jazz

Java Jazz

Di sektor keyboard Indra Lesmana memang banyak menyeruakkan sound vintage dari perangkat piano elektrik Lender Rhodes Stage 73 maupun miniMoog synthesizers,Little Phatty Moog,Hammond XB2 termasuk Hammond Melodica.Dalam beberapa segmen Indra Lesmana pun tak pernah lepas dengan breathe controller-nya,sesuatu yang mungkin dilakukan untuk sedikit mengisi ruang yang pernah diisi almarhum Embong Rahardjo.
Dewa Budjana sendiri banyak mengdopsi riffing yang beratmosfer rock lewat gitar Parker-nya serta menggerayangi dawai Hofner Banjo yang kadang membuat saya jadi teringat dengan sosok Bela Fleck dengan Flecktones-nya itu.Kenapa ? karena oleh Bela Fleck maupun Budjana,mampu menepiskan imaji bahwa banjo hanya tepat untuk musik country,bluegrass atau dixieland belaka.

jj6
Musik Java Jazz relatif bisa diterima oleh bukan penyimak jazz advanced.Mungkin karena Java Jazz masih hirau dengan keramahtamahan notasi yang melodik.Mereka pun kerap melakukan repetisi.
Serta beat yang masih “masuk akal”.Walau terkadang pergeseran dari multi-tempo yang terecerabut dalam sebuah komposisi seperti “Exit Permit”,sebuah lagu baru karya Indra Lesmana dan Gilang Ramadhan yang terdapat dalam album “Joy Joy Joy”,kadang bisa membuat penonton Java Jazz terkejut.Semisal pergeseran dari pola 7/8 lalu kemudian menukik lagi ke dalam pola normal 4/4.Bahkan di sini bassline yang dihadirkan Mates seperti membawa kita pada lagu “Do It Again” nya Steely Dan di paruh era 70-an.Degup jantung kita seolah diaduk disini.
Java Jazz pun terampil menata set list,dengan memperhitungkan dinamika dan mood .Ini terlihat ketika Jav Jazz yang kemudian memainkan The Seeker,karya lama mereka yang mengingatkan kita pada lagu-lagu jazz friendly yang kerap diputar di radio-radio dengan bersematkan label smooth jazz.

jj7
Pengaruh rock,terasa lagi pada komposisi baru karya Dewa Budjana dan Indra Lesmana bertajuk “Border Line” yang membawa imaji penonton pada adegan kejar kejaran dalam film layar lebar.
Riffing gitar berbingkai distorsi yang digetarkan Budjana terasa adalah bentuk adopsi Budjana terhadap karakter gamelan Bali yang agresif.Ini mungkin seperti ingin meneruskan tradisi adopsi musik etnikal yang terjadi pada lagu “Bulan Di Asia” : mereka menghasilkan atmosfer etnik tanpa harus menyemaikan instrumen tradisional.Hal ini juga pernah dikembangkan Indra Lesmana dan Gilang Ramadhan dalam proyek Kayon beberapa waktu silam.
Dalam “I Wish”,Java Jazz terasa sekali ingin memperlihatkan bahwa mereka tak sekedar hanya ingin mengulang jejak yang pernah ditapak beberapa tahun silam.Setidaknya bagi generasi sekarang yang mungkin telah berakrab akrab dengan Medeski Martin & Wood mampu menyelami kaarkter Java Jazz disini.Namun,dalam beberapa sajiannya Java Jazz justeru mengingatkan saya pada Steps Ahead atau setidaknya Weather Report.Mulai dari penelusuran departemen keyboard,bass line hingga kemitraan duo gitarnya.Strumming gitar Budjana terasa tajam,bagaikan strumming gitar yang kerap diperlihatkan oleh band-band beraliran prog-met seperti Dream Theater misalnya.
Unsur funk yang fun pun terasa merembes dalam komposisi “Joy Joy Joy”.Penonton pun ikut terseret dalam pola riang yang dikedepankan Java Jazz.
Terlebih saat menyimak encore “Java’s Weather” yang ditampilkan dipenghujung konser Java Jazz.Karya Indra Lesmana ini memang diperuntukkan buat almarhum Josep Zawinul,dedengkot Weather Report,salah satu band fusion berpengaruh di dekade 70-an.

Setlist

1.Drama
2.Exit Permit
3.Lembah
4.The Seeker
5.I Wish
6.Crystal Sky
7.Border Line
8.Bulan Di Atas Asia
9.Violation
10.Joy Joy Joy

Encore :

11.Java’s Weather