35 Tahun Erros Djarot Berkarya

Posted: Agustus 29, 2010 in Sosok

Erros Djarot 1970

Album kedua Barongs Band yang dirilis Nirwana Record Surabaya

Album kedua Barongs Band yang dirilis Nirwana Record Surabaya

35 Tahun Erros Djarot Berkarya :

KARYA BERBALUR NASIONALISME

Oleh  Denny Sakrie

“Saya bukan penyanyi……” itu kalimat sakti Erros Djarot yang kerap keluar dari mulutnya,setidaknya  saat lelaki berkumis tebal  yang bernama asli Soegeng Djarot ini tampil di depan publik bersama Barong’s Band,band anak Indonesia yang terbentuk di Koeln Jerman Barat pada awal era 70-an..Tepatnya 35 tahun silam pada tanggal 14 dan 15 Mei 1976 di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Dan kalimat sakti itu justeru keluar lagi dari mulut Erros Djarot dihadapan banyak tamu yang menghadiri acara terbatas “35 Tahun Erros Djarot Berkarya” di Lunar Lounge Pondok Pinang Jakarta Selatan 23 Juli 2010. Setidaknya lagi kalimat sakti itu bisa menjadi jembatan permakluman  apabila ternyata  Erros yang malam itu merayakan ulang tahunnya yang ke 60 bernyanyi tak merdu,tidak pitch dan lain sebagainya. Dalam perhelatan yang banyak dihadiri kerabat Erros dari kalangan  pemusik,seniman,budayawan, politikus,wartawan dan entah apa lagi,itu pada umumnya penasaran ingin mendengar suara Erros Djarot sesungguhnya seperti apa .Karena saya yakin tak semua orang pernah menyimak album Barong’s Band yang menampilkan suara Erros Djarot.Barong’s Band sendiri tercatat hanya sekali tampil di TVRI yaitu pada tanggal 5 Mei 1976 dan hanya sempat sekali menggelar konser di TIM Jakarta pada pertengahan Mei 1976. Selama ini kha layak hanya mengetahui bahwa Erros Djarot yang kini menambah satu huruf r pada nama depannya adalah kreator utama dari album soundtrack film “Badai Pasti Berlalu” (1977) yang melejitkan pula sosok Chrisye maupun Berlian Hutauruk hingga Yockie Suryopryago dan Fariz RM. Walaupun sejak awal 70-an pernah ngeband dgn berbagai band mulai dari Chekink II,The GIBS  hingga berlanjut ke band yang terbentuk di Jerman seperti Kopjaeger dan Barong’s Band,Erros tetap merasa dirinya bukan pemusiki yang sesungguhnya.”Saya ini  seorang pemimpi ” itu kalimat yang kerap pula muncul dari mulutnya manakala ada yang menanyakan ikhawal musikalitas Erros Djarot. Malam  itu Erros memang seperti ingin melakukan napak tilas terhadap karirnya di zona musik”Beberapa sahabat awalnya berniat merayakan hari ulang tahun saya pada  22 Juli 2010 .Ide yang kurang kreatif ini saya respon dengan penolakan. Ketika mereka menyodorkan alternative tema “35 Tahun  perjalanan Erros Djarot Berkarya” , usulan ini langsung saya setujui.Langsung pula saya kontak temen temen lama ,Debby Nasution,Yockie,Keenan Nasution untuk memberitahu adanya ide dadakan  ini. Akhirnya kita sepakat dan saling heran .seakan tak percaya….Waw ! Setelah puluhan tahun absen akhirnya kita bersama manggung lagi.Melepas kerinduan terhadap pencinta musik kami” ungkap Erros Djarot panjang lebar.

Erros Djarot saat tergabung dalam band The GIBS di TVRI tahun 1970

Erros Djarot saat tergabung dalam band The GIBS di TVRI tahun 1970

Meskipun  sempat diguyur hujan, tapi para tetamu malah tak beringsut sedikitpun  dari Lunar Lounge yang menggelar semacam garden party.Terlihat beberapa pemusik kerabat Erros di era 70-an seperti Keenan Nasution,Gauri Nasution,Oding Nasution,Debby Nasution ,Harry Sabar,Harry Minggoes,Doddy Soekasah termasuk  Titik Puspa,Setiawan Djody,Franki Raden hingga Iwan Fals.Wajah wajah dari ranah politik pun terlihat seperti Hayono Isman,Soetiyoso,Roy BB Janis,Zulkifly Hasan serta dari kalangan media  mulai dari Bambang Harymurti hingga Ishadi SK Pada saat perjamuan makan malam di kotak speaker terdengar lagu protes Erros Djarot yang dirilis sesudah lengsernya Soeharto pada Mei 1998 silam,lagu itu bertajuk “Janganlah Menangis Indonesia”.Lagu itu dinyanyikan oleh wartawan Detik,tempat Erros memimpin sebuah media cetak.Tapi lagu itu memang banyak yang tak mengenal.Suasana kian riuh dengan aroma nostlagia sambil mencicipi makanan yang tersedia melimpah. Lalu putera Erros Banyu Biru tampil ke panggung memperkenalkan sosok ayahnya yang malam itu genap berusia 60 tahun.

Erros Djarot dan Slamet Rahardjo Djarot (Foto Drigo Tobing)

Erros Djarot dan Slamet Rahardjo Djarot (Foto Drigo Tobing)

Kakak kandung Erros,Slamet Rahardjo pun naik ke pentas bertutur tentang adiknya itu. Berlanjut dengan sajian musik dari para penyanyi masa kini seperti Farman,Anissa dan Lea Simanjuntak yang membawakan lagu lagu karya Erros dari album “Tribute to Erros Djarot” (2009). Slamet Rahardjo kemudian tampil membawkan lagu dengan nuansa laid-back jazz “Sendiri Menembus Malam”.Konon lagu ini khusus ditulis Erros untuk dinyanyikan abang kandungnya itu. Erros  Djarot lalu mengambil alih posisi sebagai penyanyi.Dengan sumringah Erros membawakan  sekitar 6 lagu  dengan dukungan Gauri Nasution (gitar|),Debby Nasution (keyboard) dan Harry Minggoes (bass).Sepintas formasi ini mengingatkn kita pada formasi Barong’s Band yang tampil di TIM pada tanggal 14 Mei 1976 silam. Dibuka dengan lagu “Pelangi” dari album Badai.Debby memetik gitar akustik.Erros pun menyanyi.Beberapa penonton malah ikut bernyanyi .Disela-sela penampilannya Erros bertutur tentang lagu-lagu yang dinyanyikannya seperti “Angin Malam”,”Khayalku”,”Semusim”.Lalu berlanjut ke lagu yang bernuansa geram “Negeriku Cintaku”.Lagu yang dipopulerkan Keenan Nasution ini ditulis oleh Debby Nasution dan Erros Djarot pada tahun 1976.Liriknya pun provoke :

Hei kaum muda masa kini Kita berantaslah korupsi Jangan kau biarkan mereka Menganiayai hati kita Keenan Nasution hanya tersenyum melihat Erros menyanyikan lagu itu dengan penuh semangat di panggung.Aroma prog-rock menyeruak dari permainan keyboard Debby Nasution yang banyak terpengaruh gaya Rick Van Der Linen,pemain keyboards grup prog-rock Belanda Ekseption. Erros masih melanjutkan lagi penampilannya dengan lagu “Tuhan” yang diambil dari album Barong’s Band di tahun 1976. Acara yang berlangsung meriah itu berakhir dipertengahan malam.Iwan Fals didaulat untuk tampil .Lagu bermuatan gugat tentang republik ini berkumandang dari tenggorokan Iwan Fals.

Dalam perayaan “35 Tahun Erros Djarot Berkarya” mengemuka kredo bermusik Erros yang tampak nyata selama ini yaitu berada dalam kitaran karya romansa dan kritik sosial.Tampaknya Erros memang berada di dua kutub yang saling berbeda perangai itu.Disatu sisi Erros mengemuka dengan romantisme yang meluap dan kepayang, tapi disi lain Erros pun mengerang dengan pelbagai kritik yang tajam.

Erros Djarot with The GIBS

Erros Djarot with The GIBS

Di paruh era 60-an,Erros mulai kesengsem dengan musik.Berbekal kemampuan memetik gitar ala kadarnya Erros memang seperti mendambakan sesuatu yang hakiki dalam dunia musik.Saat itu The Beatles tengah melanda dunia.Erros pun menggemari The Beatles.John Lennon yang kuat dalam pengejawantahan visi adalah tokoh yang dikagumi Erros Djarot.Semasa duduk dibangku SMA 1 Budi Utomo Jakarta pada tahun 1967-1968 ,Erros mulai terlibat kegiatan ngeband,diantaranya menjadi gitaris Budut Band dan Chekink II. Erros yang ekstrovert memang memiliki pergaulan yang luas.Temannya ada dimana-mana.Termasuk  diantaranya Bambang Trihatmojo putera presiden Soeharto yang menyediakan salah satu bagian dari kediamannya di Jalan Cendana untuk latihan band.Saat itu,tahun  1970,Erros bersama Indra dan Tri Anggono Sudewo tergabung dalam band The GIBS.Bambang Tri sendiri membentuk band The Crabs. “Seingat saya The GIBS pernah tampil di TVRI mengiringi penyanyi Henny Poerwonegoro.Saya bermain gitar he he “ ujar Erros mengenang.

Tak lama kemudian Erros memutuskan melanjutkan pendidikan ke Jerman Barat.”Erros itu cerdas.dari kecil dia telah memperlihatkan intelegensia yang tinggi.Angka yang diperolehnya dalam pelajaran di sekolah itu selalu berkisar pada nilai 9.Ayah saya memang menaruh harapan tinggi pada Erros.Apalagi saat itu saya yang tertua malah lebih memilih dunia teater.Jadi tak heran jika Erros menjadi harapan ayah” ujar Slamet Rahardjo di Sanggar Teater Populer Jalan Kebon Pala Jakarta.

Di Jerman Erros bermukim di Koeln dengan mengambil pilihan Teknik Kimia.Kegandrungannya dalam bermusik mulai mencuat lagi di Jerman,apalagi sahabat ngebandnya dulu di Jakarta  seperti Tri,Darmadi dan Epot juga menetap di Jerman.Akhirnya Erros pun tergabung dalam band bernama Kopjjaeger yang dalam bahasa Jerman artinya pemburu kepala.Band ini dibentuk pada Maret 1968 oleh Utomo Umarjadi (bass) dan Harry Suharjanto (keyboards).Saat Erros bergabung,formasi Kopfjaeger terdiri atas Tri Anggono Sudewo (drums),Harry Suharjanto (keyboards),Utomo Umarjadi (bass),Darmadi (gitar) dan Erros Djarot (gitar).Kopfjaeger bermain rutin dua kali seminggu di Tannenhof Restaurant di sebuah kota kecil bernama Bad Muenstereifel, sekitar 30 km dari kota Bonn.Uniknya saat Kopfjaeger diminta bermain untuk acara di Kedutaan RI,mereka lalu mengganti namanya menjadi Indonesische Band.”Kami membawakan lagu lagu top 40” jelas Erros Djarot.

The GIBS saat mengiringi penyanyi pop Henny Poerwonegoro di TVRI

The GIBS saat mengiringi penyanyi pop Henny Poerwonegoro di TVRI

Namun Erros justeru merasa kian gelisah saat bergabung dengan Kopfjaeger yang kerap hanya tampil sebagai band pembawa lagu-lagu orang saja.Diam diam Erros menyimpan obsesi besar yaitu membuat band yang bernuansa Indonesia.

.”Ketika bermukim di Jerman saya gelisah.Nasionalisme saya seolah tertantang untuk diwujudkan.Perasaan cinta bangsa rasanya memang baru terasa berkobar-kobar jika kita tengah merantau di negeri orang.Saat di Jerman saya selalu merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua.Sehebat apa pun anda,secerdas apa pun atau sejenius apapun.Anda tetap dianggap sebagai warga kelas dua.Ini tentu menyakitkan.Saat itu nurani saya berontak.Saya bersama anak-anak Indonesia yang kebetulan sedang bersekolah di Jerman berinisiatif membentuk band yang namakan Barong’s Band” demikian cerita Eros Djarot panjang lebar .

Dari sinilah kemudian muncul gagasan membentuk Barong’s Band di tahun 1974.Akhirnya terbentuklah Barong’s Band dengan formasi Erros Djarot (gitar),Tri Anggono Sudewo (drums),Choqy Hutagalung (keyboards),Epot (bass) dan Darmadi (gitar).Mereka pun mulai giat membuat lagu-lagu karya sendiri dalam bahasa Indonesia.Sesuatu yang teramat musykil mengingat mereka justeru bermukim di negeri orang.”Tapi kami tetap bertekad ingin ngeband dengan semangat Indonesia.Kita kan orang Indonesia” ucap Erros Djarot tersenyum.

Barongs Band 1976 (Foto Hasanta)

Barongs Band 1976 (Foto Hasanta)

Singkat cerita,Erros Djarot yang telah memendam segunung gagasan saat berkelana di Jerman berkeinginan untuk menumpahkannya di Tanah Air.Saat itu gagasan yang telah lama terbersit dalam pikirannya adalah ingin mewujudkan penulisan lagu dalam bahasa Indonesia.

Erros Djarot dan Barong’s Band pada tahun 1975 menjejakkan kaki kembali ke Tanah Air tercinta.Erros lalu mampir ke rumah Keenan Nasution di Jalan Pegangsaan Barat 12 Menteng Jakarta Pusat yang juga menjadi markas band Gipsy dan Young Gipsy.Di rumah milik bapak Saidi Hasjim Nasution itu memang seolah menjadi rumah singgah anak band Jakarta.Kelima putera pak Nasution  seperti Zulham Nasution,Gauri Nasution,Keenan Nasution,Oding Nasution  dan Debby Nasution masing masing memiliki band sendiri seperti Gipsy,Young Gipsy,Clique Fantastique hingga God Bless.

Kunjungan Eros Djarot ke Jalan Pegangsaan Barat  12  rasanya merupakan sasaran yang tepat.Karena disinilah sebetulnya Eros Djarot bisa menyatukan gagasan dan mensenyawakan elemen musik yang dimilikinya,bertaut dengan gagasan gagasan cemerlang  yang sekian lama juga mengendap di Jalan  Pegangsaan.

Eros Djarot bersama sahabat-sahabat bermusiknya di Jerman seperti almarhum Epot (bas),Tri (drum) dan Ady (gitar) lalu bertandang ke Pegangsaan,Diskusi musik pun tak terhindarkan lagi.Gagasan bermusik berkonsep Indonesiana pun termuntahkan.Eros saat itu berdecak kagum menyaksikan musikalitas Debbie Nasution,putera bungsu Saidi Hasjim.

”Debbie itu jenius.Dia bisa memainkan musik klasik padahal dia hanya belajar secara otodidak.Debbie hanya memanfaatkan kupingnya dengan menyimak karya karya klasik melalui piringan hitam ayahnya.Ini luar biasa” puji Eros Djarot.

Di Pegangsaan,Eros pun kerap berbincang-bincang dengan pak Saidi Hasjim.”Kami banyak berbincang soal musik opera kegemaran Oom Saidi.Selain musik klasik oom Saidi juga menggemari karya lukisan” tukas Eros Djarot.Dalam diskusi seni antara Eros dengan Saidi Hasjim dan juga Debbie,mereka sering membahas karya karya lukisan bernilai seni yang tinggi seperti lukisan karya van Gogh,Rembrandt hingga Picasso.

“Momen ini tak pernah hilang dalam ingatan saya” imbuh Eros Djarot lagi.

Di lain hari,Eros dan Debbie mulai terlihat berjam jam di sekitar piano.Eros bersenandung,Debbie mereka reka akord.Terkadang Debbie pun mengimbuh beberapa senandung melodi.Keduanya hanyut dalam proses penciptaan lagu.

Di depan piano yang berada di kamar Debbie itulah cikal bakal lahirnya lagu “Angin Malam”,”Khayalku” dan “Cintaku” yang kelak menjadi bagian dari album fenomenal sepanjang masa “Badai Pasti Berlalu”.Bahkan dari kolaborasi antara Debbie Nasution dan Eros Djarot itu pun menghasilkan sebuah lagu bertajuk “Negeriku Cintaku” yang direncanakan akan menjadi bagian dari album perdana Barong’s Band.

Kaset fenomenal Badai Pasti Berlalu yang dirilis Irama Mas pada tahun 1977 (Foto Denny Sakrie)

Kaset fenomenal Badai Pasti Berlalu yang dirilis Irama Mas pada tahun 1977 (Foto Denny Sakrie)

Namun akhirnya lagu ini ternyata menarik perhatian Keenan Nasution yang tengah mengumpulkan materi lagu untuk album perdananya “Di Batas Angan Angan” yang dirilis pada tahun 1978.

Lirik lagu “Negeriku Cintaku” memang terasa tajam dan pedas.Mungkin ini yang disebut sebagai protest song atau oleh wartawan musik acapkali dikategorikan sebagai lagu kritik sosial.

Eros Djarot memang selalu meletup-letup disatu sisi,akan tetapi di sisi lain Eros bisa terkesan luar biasa romantis.Eros memang mengakui hal itu.”Jika saya tergerak secara intelektual maka akan berhamburan lah lirik bertema kritik sosial.Tapi jika impuls emosional saya bekerja maka tertuanglah lagu-lagu yang romantik seperti isi sebagian besar album Badai Pasti Berlalu” jelas Eros Djarot.

Akhirnya Gauri Nasution dan Debby Nasution pun ikut bergabung dalam formasi Barong’s Band.”Saya mengagumi bakat Gauri memetik gitar atau Debby yang perfek bermain piano” puji Erros Djarot.

Bersamaan dengan bergabungnya Gauri Nasution dan Debbie Nasution dalam formasi Barong’s Band,Eros Djarot pun mulai disibukkan sebagai peñata musik beberapa film garapan sutradara almarhum Teguh Karya seperti “Perkawinan Dalam Semusim” dan “Kawin Lari”.

Keterlibatan Erros dalam illustrasi musik film justeru berawal dari kemarahan sutradara Teguh Karya.Erros yang dijuluki big mouth oleh sohib terdekatnya memang selalu melontarkan kritik yang tajam dan pedas.Entah untuk musik hingga film.Suatu hari Teguh Karya yang selalu menjadi sasaran kritik Erros malah menyergah Erros :”Kalau lu ngerti,coba deh lu aja yang bikin illustrasi musik film gua nanti.Gua pengen tau tuh hasilnya kayak apa”.

Erros yang merasa tertantang,langsung menerima tawaran penggarapan illustrasi musik film “Kawin Lari” (1975) yang dibesut Teguh Karya.Diluar dugaan garapan music Erros malah berbuah prestasi.Dalam Festival Film Indonesia 1976 Erros Djarot meraih Piala Citra sebagai Penata Musik Terbaik.

Erros Djarot bersama Barongs Band merilis album soundtrack film Kawin Lari di tahun 1976.

Erros Djarot bersama Barongs Band merilis album soundtrack film Kawin Lari di tahun 1976.

“Erros memang big mouth.Mirip petinju Muhammad Ali yang kerap berkoar koar.Tapi ternyata apa yang diucapkannya bisa terbukti” ujar Slamet Rahardjo.

Ketika menggarap musik untuk film “Kawin Lari” yang dibintangi Slamet Rahardjo dan Christine Hakim,Eros Djarot pun melibatkan Barong’s Band.”Obsesi saya untuk membuat album dengan lagu-lagu berbahasa Indonesia terwujud di album Kawin Lari” ujar Eros Djarot.

Sebelum proses penggarapan album Kawin Lari,Eros sengaja memborong sejumlah kaset-kaset pop Indonesia yang tengah ngetop saat itu,mulai dari Koes Plus,D’Lloyd,Panbers,Arie Koesmiran,Ade Manuhutu dan banyak lagi.”Kaset-kaset itu kami dengarkan dan pelajari.Kami telaah melodinya dan menyimak tema tema syairnya.Ini merupakan referensi sebelum kami melangkah lebih jauh lagi bersama Barong’s band” cerita Eros Djarot.

Sampai akhirnya,Eros Djarot dan kawan kawan berkesimpulan bahwa pemusik pemusik Indonesia banyak yang terjebak dalam komersialisasi belaka.Kreativitas bermusik terkuras dengan begitu banyaknya karya-karya pesanan yang seringkali mengatasnamakan selera pasar atau selera masyarakat.”Ini menyedihkan,karena pada akhirnya terjadilah yang namanya pendangkalan.Dan ini pun mulai terlihat lagi di zaman sekarang ini” ucap Eros Djarot.

Di saat proses penggarapan album Barong’s Band,Eros bahkan berbuat sesuatu yang agak ekstrem.”Setiap anggota Barong’s tidak boleh mendengarkan rekaman pemusik Barat.Agar musikalitas mereka tak terganggu.Jadi saya memang menginginkan karya-karya kami lebih orisinal” cerita Eros Djarot.

Pada tahun 1976 beredarlah album Barong’s Band bertajuk “Kawin Lari” menampilkan sebagian besar karya Eros Djarot seperti “PelukMu”,”Oh Wanita” ,”Bisikku”hingga “Jakarta”.Menariknya,di album ini Eros pun menampilkan dua buah lagu bergaya keroncong yang dinyanyikan secara duet  oleh Titi Qadarsih dan Slamet Rahardjo,kakak Eros.Lirik lagu keroncong  bertajuk “Stambul Jakarta” ditulis oleh Teguh Karya.”Saya memang mencoba mengangkat nuansa Indonesia di album ini” jelas Eros.

Hampir bersamaan dengan album “Kawin Lari”,Barong’s Band juga merilis album “Barong’s Band” dengan atmosfer rock progressive yang kuat mencengkeram.Debbie sendiri banyak mengadopsi karya klasik Johann Sebastian Bach.Seluruh lagu ditulis oleh Eros Djarot,terkecuali”Negara Kita” yang ditulis oleh Debbie Nasution.Lagu lagu yang dikemas di album ini cenderung bernuansa kontemplatif,permenungan hingga kritik sosial.Lihatlah sampul albumnya yang bertuliskan kalimat : “Beri kami sinarMu dikegelapan agar mereka yang buta menjadi terang”.

Saya dan Erros Djarot di Teater Ketjil TIM Jakarta (Foto Melky Lesmana)

Saya dan Erros Djarot di Teater Ketjil TIM Jakarta (Foto Melky Lesmana)

Barong’s Band memang mendapat perhatian tersendiri dalam gugus musik Indonesia.Permainan gitar Gauri Nasution dan keyboard Debbie Nasution menuai pujian dari para pengamat musik.

Sayangnya Barong’s Band hanya sempat merilis 2 album saja.Selanjutnya Eros disibukkan dengan berbagai kegiatan penggarapan musik film terutama film-film yang dibesut Teguh Karya.

Walaupun disibukkan menggarap music score untuk film layer lebar,     sebetulnya Eros Djarot tetap melakukan kolaborasi dengan komunitas musik Pegangsaan.

Saat itu Erros pun sering bertandang ke kediaman Guruh Soekarno Putera di Jalan Sriwijaya 26 Jakarta.Energi kreativitas Erros dalam dunia musik pun kian menggelegak.Apalagi Guruh akan melakukan kolaborasi musik eksperimen bertajuk Guruh Gipsy  .”Saya banyak mengajukan sumbangan ke gagasan baik ke Guruh maupun Keenan” ungkap Erros Djarot.

Menurut Erros beberapa lagu-lagu karyanya banyak yang tercipta saat berada di Jalan Pegangsaan Barat 12 maupun di Jalan Sriwijaya 26. Lagu-lagu itu kemudian men jadi bagian dari album Barong’s Band serta album soundtrack “Badai Pasti Berlalu” .

Beberapa lagu dengan tema romansa pun tercipta yaitu “Angin Malam”,”Khayalku”dan “Cintaku”.”Ketiga lagu ini memang tercipta saat saya intens bermain di Pegangsaan.sedangkan lagu “Pelangi” dan “Semusim” justeru tercipta ketika saya main di rumah Guruh di Jalan Sriwijaya” ungkap Eros Djarot perihal gagasan awal munculnya album Badai Pasti Berlalu yang menjadi soundtrack film”Badai Pasti Berlalu” besutan Teguh Karya.

Erros bahkan menampilkan torehan lirik lagu yang romantis tanpa terjebak dengan pola-pola yang standar: patah hati berkepanjangan, meratap-ratap, dan cengeng.Pada akhirnya Badai Pasti Berlalu menjadi fenomenal.Menjadi album tonggak dalam sejarah musik pop Indonesia.”Saya bahkan tak menyangka Badai Pasti Berlalu bisa  menjadi album yang terus diperbincangkan orang” tukas Erros .

Musik dan Film pada akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam raga Erros Djarot.Selain meraih Piala Citra dalam FFI 1976 untuk peiñata musik terbaik,di tahun 1978 pada FFI 1978 Erros Djarot kembali meraih Piala Citra.Walupun demikian Erros tetap menolak disebut sebagai pemusik.”Bagi saya Idris Sardi tetap meruapakan pemusik yang berkompeten.Kalo saya hanya seorang penggagas yang didukung oleh orang orang yang tepat pada bidangnya” jawab Erros.

Dalam wawancara dengan majalah Aktuil no.233 edisi 13 Juni 1977 Erros Djarot berkomentar seperti ini “Kalaulah jadi sutradara saya nggak mau sebesar Teguh Karya,nggak mau sebesar Wim Umboh atau Sjumandjaja.Saya pengen sebesar Akira Kurosowa atau Roman Polanski.Buat apa segitu aja.Ini kan cita cita ? .

Tekadnya untuk menyusup ke dunia film terlihat ketika Erros berhasil memperoleh beasiswa sinematografi di London dari British Council.Erros tampaknya serius menekuni dunia perfilman ,tanpa harus mengenyampingkan kiprahnya di dunia musik

Obsesinya menggarap film pada akhirnya berbuah bukti ketika film “Tjoet Nja’ Dhien” yang dibesutnya pada tahun yang didukung Christine Hakim dan Slamet Rahardjo berhasil meraih Citra sebagai Film Terbaik Festival Film Indonesia 1988.

Dan Erros Djarot adalah sosok seniman yang senantiasa membalur karya-karyanya dengan nasionalisme, entah itu music maupun film.

(Tulisan ini telah dimuat di majalah Rolling Stone edisi September 2010)

Tinggalkan komentar