Arsip untuk Maret, 2011

Bedroom Musicians ? Why Not ?

Posted: Maret 31, 2011 in Uncategorized

Karsa dan karya manusia dalam bermusik kian terbantu dengan munculnya piranti teknologi modern. Perangkat musik digital pada akhirnya membantu manusia mewujudkan gagasan-gagasan musikal dengan akurasi dan presisi yang mungkin sebelumnya sulit untuk dibayangkan.

Di Indonesia sendiri menyeruaknya penggunaan perangkat music digital mulai terlihat pada paruh era 80-an. Saat itu mulai diperkenalkan MIDI yang merupakan singkatan dari Musical Instrument Digital Interface, suatu protocol standar industri  yang memungkinkan perangkat musik elektronik seperti synthesizers maupun drum machines serta perangkat elektronik lainnya seperti MIDI Controllers, sound cards maupun sampler untuk berhubungan, melakukan komunikasi serta proses sinkronisasi satu sama lain. Berbeda dengan media analog, MIDI tidak melakukan transmisi  audio signal, melainkan mengirim semacam messages berupa pitch atau intensitas, control signals untuk parameter seperti volume, vibrato dan yang lainnya. Teknologi MIDI ini mulai diperkenalkan ke seluruh dunia pada tahun 1982.

Munculnya MIDI ini pada akhirnya lebih memperlihatkan sisi kepraktisan dan efisiensi dalam sebuah produksi music. Sebuah prosedur dalam proses perekaman di studio bisa menjadi lebih sederhana dan tidak berbelit-belit. Saat itu kemudian muncul istilah bedroom musicians atau bedroom producers .Artinya untuk sebuah proses perekaman karya musik kini bisa dilakukan dimana saja. Menariknya hal ini mungkin lebih menguntungkan bagi para pemusik ,baik itu composer maupun arranger yang secara mendadak memperoleh sebuah gagasan musik, bisa langsung menumpahkan atau mewujudkannya seketika.

Di era 80-an studio rekaman MIDI mulai tumbuh pesat di Indonesia terutama di Jakarta maupun Bandung. Beberapa pemusik mulai merasakan manfaat maksimal dari teknologi MIDI ini diantaranya adalah Fariz RM, Andy Ayunir hingga Harry Roesli. Beberapa pemusik Indonesia lulusan Berklee Music Of College Boston yang saat itu baru tiba kembali ditanah air mulai mengaplikasikan penggunaan MIDI diantaranya adalah Aminoto Kosin, Rezky Ichwan, Narendra, Doddy Sukaman, Eramono Soekaryo, Andree Tidied an beberapa nama lainnya.

Di paruh era 80-an album-album rekaman mulai menggunakan fasilitas MIDI seperti album Fariz RM, Dian Pramana Poetra, Harry Roesli, Ruth Sahanaya, Mus Mujiono, Indra Lesmana, Andy Ayunir, Titi DJ dan masih banyak lagi.

Meskipun penggunaan teknologi MIDI menawarkan sesuatu paradigma baru dalam proses penciptaan rekaman musik, tapi disatu sisi tak sedikit yang mengkritik bahwa karya musik semacam ini tidak natural karena dibantu oleh perangkat komputer. Kritik ini mungkin ada benarnya, tapi juga terlalu berlebihan jika campur tangan komputer dianggap merusak keindah aura musik  yang natural.

Karena sebetulnya penggunaan instrument asli yang natural toh masih tetap ada. Setidaknya dalam proses sampling itu sendiri esensi sumber bunyi instrument yang asli masih tetap dibutuhkan dan diperlukan. Pengerjaan seluk beluk rekaman yang detil dan rumit bisa lebih dikendalikan  dengan tingkat akurasi yang tinggi dalam teknologi MIDI ini.

Sekarang ini, di abad millennium, rasanya hampir semua pemusik dan komposer lebih banyak menghasilkan karya-karya musik justru di kamar tidur berbekal perangkat software digital yang kian banyak menampilkan aplikasi aplikasi mutakhir. Penggarapan rekaman musik kini tak lagi berlangsung di studio rekaman besar. Ini sebuah fenomena menarik. Terutama karena anak muda sekarang lebih cepat tanggap dan welcome terhadap pesatnya kemajuan teknologi.

Para pemusik sekarang teruatama dari kalangan anak muda memang cenderung menggunakan perangkat digital untuk melakukan proses karya cipta musiknya, karena efisiensi dana,waktu dan tempat. Berbagai software pun tersedia untuk mengaplikasikan proses recording dengan keunggulan dan keistimewaan masing-masing seperti Sonar, Cubase, Nuendo, Ableton, Proppeller Record.

Untuk menghasilkan bunyi drum yang natural dan maksimal kini tak diperlukan lagi kehadiran sebuah set drum yang mahal, cukup dengan software pendukung berbentuk MIDI seperti Superior Drummer, Addictive Drum maupun EZ Drummer akan mampu menghasilkan sound drum yang maksimal. Begitu juga dengan software-software lain untuk gitar, bass, keyboard serta instrument musik lainnya.

Dari contoh diatas sebetulnya lebih menyiratkan bahwa kini untuk menghasilkan musik secara maksimal toh bisa dilakukan seorang insan musik dengan kondisi yang minimalis. Dan yang penting tidak menghasilkan wujud musik yang terkontaminasi secara teknologi.

Sebuah software editing music MIDI

Dinasti Koeswoyo 1987
Tonny Koeswoyo 1983
Koes Bersaudara di Selekta Pop TVRI Maret 1987 (foto Martha Boerhan)

27 Maret 1987 silam, hampir seperempat abad  Koestono Koeswojo atau lebih dikenal dengan Tonny Koeswojo telah menghembuskan nafas terakhir karena kanker usus yang diidapnya.Rasanya tak berlebihan jika saya menyebut pria tampan dan simpatik ini sebagai sumber inspirasi bagi band-band yang tumbuh kembang di Indonesia sejak paruh dasawarsa 60-an bahkan mungkin hingga saat sekarang ini.Popularitas Koes Bersaudara hingga Koes Plus yang fenomenal adalah bukti nyata yang tak terbantahkan.
Dimata  saya sendiri sosok  Tonny Koeswoyo tak hanya seorang pemusik yang terampil bermain gitar,main keyboard,bikin lagu dan menyanyi sekalipun,tapi Tonny  Koeswoyo pun seorang visioner.Dalam setiap wawancara mengenai music Indonesia saya selalu menekankan bahwa almarhum Tonny adalah seorang visioner yang sesungguhnya .Tonny Koeswoyo,saya naggap bagaikan almarhum  John Lennon di belahan dunia sana.Walaupun  tak seradikal dan seekstrim John  Lennon namun Tonny memiliki konsep kesenian yang jelas terutama seni pop .Dia adalah seniman sejati.Dia betul betul menggantgngkan segenap jiwa raga dan hidup pada musik dan musik.Sesuatu yang bagi adiknya sendiri Koesnomo atau Nomo Koeswoyo dianggap sesuatu yang berada diambang ketidak warasan.”Bagaimana bisa musik menghidupi ?” mungkin itu yang terbersit dibenak Nomo saat harus meninggalkan Koes Bersaudara pada akhir dekade 60-an.
Tapi hingga ajal menjemput Tonny ternyata telah membuktikan bahwa musik adalah bagian dari kehidupan itu sendiri.Dan Tonny pun meninggal dunia dan dikenang khalayak sebagai sosok pemusik.
Tonny Koeswoyo dilahirkan  di daerah  Tuban ,Jawa Timur pada 19 Januari 1936, sebagai putera keempat dari sembilan bersauadara anak pasangan Koeswoyo dan Atmini. Lima diantaranya lalu bergabung dalam band Koes Bersaudara yaitu Koesjono (John),Koestono (Tonny), Koesnomo (Nomo), Koesyono (Yon), dan Koesroyo (Yok).
Titisan darah musik menurun dari Koeswojo sang ayah yang terampil memetik gitar dan main musik Hawaiianl. Tony sendiri disaat berusia empat tahun bisa berjam-jam menabuh ember dan baskom dengan pemukul lidi-lidi yang ujungnya ditancapkan bunga jambu yang masih kuncup.
Saat memasuki usia akil balik , Tonny Koeswoyo  tak mau lagi menabuh ember. Intuisi  musiknya kian menderu-deru tanpa ada yang mampu menghalangi .Tonny lalu  memohon minta dibelikan gitar, biola, dan buku-buku musik. Pak Koeswoyo memenuhi permintaan itu dengan  pertimbangan sebagai alternative untuk mengalihkan kegiatan anak-anaknya supaya jangan ikut-ikutan tren berkelahi maupun jadi crossboy.Saat itu demam ngegang tengah berlangsung di kota-kota besar seperti Jakarta,Bandung maupun Surabaya.
Disi lain Tonny pun ternya cukup  rajin mengikuti berbagai kegiatan kesenian mahasiswa seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan berpartisipasi sebagai pemusik. Tonny Koeswoyo juga senantiasa  suka hadir di pesta-pesta dan ikut memainkan lagu-lagu yang sedang digandrungi anak-anak muda waktu itu semisal The Beatles dan sejenisnya.

Secara otodidak, Tonny belajar memetik gitar, ukulele, piano, termasuk meniup suling.Kabarnya Tonny pun mahir meniup perangkat saxophone.

.Ketika duduk di bangku SMA, Tonny membentuk band di sekolahnya, Gita Remaja. Lalu bersama pelukis komik Jan Mintaraga- yang sempat ikut Kus Bersaudara-dan Sophan Sophiaan,Tonny malah mendirikan band Teenage’s Voice dan Teruna Ria.Band yang lalu sering tampil diperhelatan remaja di sekolah-sekolah.
Tonny Koeswoyo pun pada akhirnya  menjadi bintang pesta karena begitu mahir membawakan lagu-lagu asing (Inggeris dan Amerika Serikat)  yang sedang populer waktu itu. Namun, Tonny toh  tetap berusaha memenuhi harapan kedua orang tuanya  untuk meneruskan sekolah hingga sampai ke bangku kuliah Sastra Inggris, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta.Walaupun semangat bermusik tak padam jua.
Dengan memakai nama Kus Bros, sekitar tahun 1958 mereka malang-melintang dalam berbagai acara ulang tahun atau pesta pernikahan hingga sunatan. Honor bagi mereka saat itu urusan yang kesekian.Yang penting bisa tampil di depan publik dan menyantap makanan enak.
Keempat saudaranya mulai dari yangt tertua Jon, Nomo, Yon, dan Yok menganggap pikiran Tonny tak warasa. Namun Tonny Koeswoyo berprinsip  pantang mundur, bahkan Tonny nekad keluar dari di Perkebunan Negara tempatnya bekerja agar memilikii banyak waktu untuk menulis lagu.
Kus Brothers sebagai band sudah sering tampil di berbagai pesta, dan Soejoso Karsono atau kerap dipanggil Mas Yos san g pemilik label Irama juga telah mendengar tentang Kus Brothers. Mas Yos dan supervisor musik Irama Jack Lemmmers atau Jack Lesmana lalu menerima Kus Brothers sebagai grup rekaman yang mereka kontrak pada tahun 1962.
Tonny Koeswoyo memetik perangkat  gitar melodi, bersama Jon (bas), Nomo (drum), Jan Mintaraga (gitar) mengiringi duet vokal Yon dan Yok. Baru tiga lagu Jan Mintaraga mengundurkan diri, lebih memilih melanjutkan sekolahnya di Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta dan kemudian menjadi komikus. Sementara Jon dijadikan gitaris, dan bas dimainkan Yok.
Mas Yos pun segera  menyarankan Kus Brothers yang sekarang anggotanya empat orang itu diganti namanya menjadi Kus Bersaudara karena dianggap kebarat-baratan . Dengan nama baru inilah album pertama Tonny Koeswoyo beserta  adik-adiknya diterbitkan pada tahun 1963.
“Kalau seandainya dalam penyajian musik saya Saudara menemukan pengaruh-pengaruh dari penyanyi Barat terkenal Kalin Twin dan Everly Brothers, atau barangkali asosiasi Saudara dalam mendengar musik kami tertuju ke arah mereka, itu tidak kami sangkal dan salahkan karena memang mereka-lah yang mengilhami kami hingga terbentuk orkes kami ini,” itu kalimat panjang yang ditulis Tonny sebagai liner notes pada cover vinyl atau iringan hitam (PH) pertama Kus Bersaudara yang diedarkan Irama Record.

PH yang bernomor register  IML 150 berisikan 12 lagu yang diproduksi tepat 40 tahun yang lalu itu adalah Dara Manisku, Jangan Bersedih, Hapuskan, Dewi Rindu, Bis Sekolah, Pagi Yang Indah, Si Kancil, Oh Kau Tahu, Telaga Sunyi, Angin Laut, Senja, dan Selamat Tinggal.
Waktu itu usia Tonny Koeswoyo telah berusis  26 tahun, Nomo (23tahun ), Yon (19 tahun ), dan Yok (17 tahun ). Makanya  tidak heran lagu-lagu mereka berisikan lirik-lirik tentang harapan, cinta, kebahagiaan, dan kesepian.Romansa memang menjadi bagian tak terpisahkan dari notasi lagu-lagu mereka di saat itu.
Selain itu, yang perlu dicatat lagi bahwa ke , 12 lagu Kus Bersaudara itu semuanya merupakan karya cipta Tonny Koeswoyo . Demikian juga dalam beberapa PH single seperti yang berkode IME-121 berisikan empat lagu: Dara Berpita, Untuk Ibu, Di Pantai Bali  (lagu yang diadaptasi dari lagu “Kon Tiki-nya The Ventures) dan sebuah lagu karya Pak Daldjono bertajuk , Bintang Kecil. Piringan Hitam  single lainnya yang bernomo register  IMC-1868 hanya berisikan dua lagu, Kuduslah Cintaku dan Harapanku.
Walaupun sudah memiliki lagu-lagu sendiri dalam bentuk rekaman, Kus Bersaudara masih dibayar dengan honor yang seadanya kalau menyanyi di panggung. Lagu-lagu Tonny  Koeswoyo boleh saja populer, tetapi kehidupan ekonomi keluarga Koeswoyo tidak banyak berubah.
Yang berubah justru Kus Bersaudara menjadi Koes Bersaudara. Demikian juga musik dan vokal Yon dan Yok, dari gaya Kalin Twin dan Everly Brothers ke The Beatles. Bahkan, mereka sampai merasa perlu berjas tanpa leher seperti yang dikenakan oleh John Lennon,Paul McCartney,George Harrison dan Ringo Starr.
Pada tahun 1965 Koes Bersaudara menjadi kelomor  musik sohor tanah air dan nyaris tanpa saingan sama sekali.Tapi Koes Bersaudara masih merasa perlu manggung secara berkala di gedung bioskop sebagai selingan pemutaran film atau di International Airport Restaurant Kemayoran dua kali seminggu. Penonton nyang berjubel dan tumpang tindih  selalu merequest lagu-lagu dari kelompok n The Beatles.
Padahal, pemerintah memberlakukan Panpres Nomor 11 Tahun 1965 yang melarang musik “ngak- ngik-ngok” yang berasal dari Inggris dan Amerika Serikat. tetapi, Tony sulit mengelak permintaan penggemarnya.
Bersama Dara Puspita dan Quarta Nada, Koes Bersaudara tanggal 25 Juni 1965 diundang ke sebuah pesta yang diadakan oleh Kolonel Koesno . Ketiga band  top itu membawakan lagu-lagu Barat secara bergantian.
Ketika Koes Bersaudara yang tampil terakhir baru saja mulai membawakan nomor The Beatles, I Saw Her Standing There, lemparan batu-batu menyasar ke atap rumah  Kolonel Koesno yang  diikuti teriakan teriakan berbau kekiri-kirian seperti : “Ganyang Nekolim! Ganyang Manikebu! Ganyang Ngak-ngik- ngok!”
Pertunjukan pun terhenti seketika . Koes Bersaudara dipaksa minta maaf dan Tonny dan tenang segera  memenuhi permintaan itu serta dipaksa berjanji tak akan memainkan lagu ngak-ngik-ngok lagi. Setelah nama-nama personel dari band penghibur itu dicatat oleh pengunjuk rasa, semua yang hadir dalam pesta tersebut membubarkan diri.

Tonny, Nomo, Yon, dan Yok pulang dengan perasaan lega. Tetapi, empat hari kemudian, tepatnya  pada tanggal 29 Juni 1965, keempat bersaudara Koeswoyo ini  ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Glodok. Perintah penangkapan disertai sebuah  Surat Perintah Penahanan Sementara Nomor 22/023/K/ SPPS/1965 yang dikeluarkan Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta dan ditandatangani L Aroen SH.
Kurang 100 hari keempat bersaudara itu mendekam di Penjara Glodok, yang sekarang telah menjadi pusat perdagangan Glodok yang antara lain menjajakan dengan bebas lagu-lagu Tony yang diproduksi para pembajak. Mereka dibebaskan  pada  tanggal 29 September 1965.,tepat sehari sebelum pecahnya Gerakan 30 September PKI yang dramatic itu.
Pengalaman selama 100 hari itulah yang antara lain dituangkan ke dalam dua album Koes Bersaudara, Jadikan Aku DombaMu dan To The So Called The Guilties yang diterbitkan Dimita Moulding Company dengan label Mesra milik pengusaha berdarah Minang Dick Tamimi.
Kedua album itu berisi 20 lagu karya  Tonny Koeswoyo  dan satu ciptaan Yon yaitu : Untuk Ayah Ibu, Lonceng Yang Kecil, Rasa Hatiku (Yon), Jadikan Aku DombaMu, Aku Berjanji, Balada Kamar 15, Bidadari, Bilakah Kamu Tetap Di Sini, Mengapa Hari Telah Gelap, Untukmu, Bunga Rindu, Lagu Sendiri, Voorman, Hari Ini, Three Little Words, To The So Called The Guilties, Apa Saja, Di Dalam Bui Poor Clown, dan Bintang Mars. Tony mengakui terus terang, musik dalam album-album ini banyak dipengaruhi The Beatles.
Hingga era Koes Plus, lirik lagu Tonny Koeswoyo dinilai sejumlah kritikus tidak mengalami kemajuan, kecuali beberapa saja seperti Nusantara. Namun, dalam penyusunan nada dan aransemen, Tonny Koeswoyo  diakui banyak kalangan.
Mereka bahkan menjadi tambang emas  roda industri musik Indonesia sampai saat ini. Jelas tak banyak  pencipta lagu yang bukan hanya menciptakan lagu pop berbahasa Indonesia, namun juga dalam bahasa Jawa, keroncong, kasidahan, Natal, anak-anak, pop Melayu dan bosanova. Koeswoyo Senior yang tadinya menentang, ikut menciptakan lagu dan mendorong Tonny mempopulerkan keroncong bagi anak-anak muda generasinya.
Pergeseran  iklimpolitik dari Orde Lama ke Orde Baru membuka peluang lebih luas bagi Koes Bersaudara untuk berkembang sehingga mereka mendapat panggilan pentas di mana-mana. Tonny Koeswoyo  dan adik-adiknya tampil sebagai lambang kebebasan atas penindasan dan kesewenang-wenangan politik.
Pada  Agustus 1966, Koes Bersaudara melakukan pertunjukan keliling Jawa dan Bali. Hasilnya, keluarga Koeswoyo bisa pindah rumah yang lebih luas, Jalan Sungai Pawan 21 Blok C, masih di Kebayoran. Tetapi, setelah itu kehidupan anggota grup ini tetap dalam kesulitan. Nomo Koeswoyo , misalnya, mulai berinistiatif meninggalkan posisinya sebagai penabuh drum dan memilih berusaha di luar bidang musik untuk menghidupi keluarganya.Nomo tampaknya bersikap  lebih pragmatis.Nomo jelas memiliki prinspi yang sangat berbeda dan bertolak belakang dengan Tonny Koeswoyo.
Posisi drummer yang diduduki Nomo Koeswoyo  kemudian beralih ke  Kasmuri dan dikenal dengan panggilan Murry  ,yang saat itu masih tergabung dalam Patas Band bersama Maxi Mamiri,Edmond Rumapar dan Wempy Tanasale . Tak lama berselang muncullah kelompok  Koes Plus pada tahun 1969 lewat debut album Dheg Dheg Plas yang dirilis Dick Tamimi bersama label Dimita/Mesra.Tapi Koes Plus sebetulnya mulai dikenal dan dielu-elukan khalayak setelah tampil membawakan lagu Derita serta Manis Dan Sayang dalam acara Jambore Band di Istora Senayan November 1970.Saat itu Koes Plus tampil bersama Panbers dan beberapa band sohor lainnya.Sejak itu popularitas Koes Plus seolah tak terbenbdung,menggelegak dan merajai industry music Indonesia terlebih setelah Koes Plus berpindah ke label Remaco yang dipimpin alamrhum Eugene Timothy.Koes Plus akhirnya menjadi mesin hits yang terus dipacu tiada henti oleh Remaco.Dalam catatam pada tahun 1974 Koes Plus merilis sekitar 24 album.Itu berarti setiap sebulan sekali Koes Plus merilis 2 album.Terbayang betapa kreativitas Koes Plus diperah bagai sapi.Di tahun 1976-1977 popularitas Koes Plus mulai menukik kebawah.Banyak yang menduga  Koes Plus mengalami paceklik gagasan bermusik.Eugene Timothy mengajukan gagasan untuk menghidupkan kembali Koes Bersaudara.Keempat Koeswoyo bersaudara ini menyetujuinya.
Tonny, Nomo, Yon, dan Yok pada akhirnya memang berkumpul untuk menyelesaikan sejumlah lagu dalam album rekaman Koes Bersaudara bertajuk  Kembali pada tahun 1977 . Tetapi, usaha itu ternyata tidak mampu juga mengembalikan pamor dan kedigdayaan  Koes Bersaudara di masa silam .Di tahun 1978,panji Koes Plus justeru dibangkitkan lagi. Tonny Koeswoyo kemudian terus melangkah bersama Yon, Yok, dan Murry mengibarkan bendera Koes Plus hingga akhir hayatnya.
Tonny Koeswoyo menghembuskan nafas terakhir  pada 27 Maret 1987 setelah dirawat selama dua bulan karena mengidap kanker usus yang akut . Tonny Koeswoyo  berpulang meninggalkan dua istri, Astrid Tobing dan Karen, serta lima orang putera puteri,satu diantaranya malah berkarir di jalur music sebagai seorang gitaris yaitu Damon Koeswoyo.. Sebelum meninggal Tonny Koeswoyo  bersama Koes Bersaudara sempat merilis album “Dia Permata Hatiku” dan tampil bersama Chicha Koeswoyo  dan Sari Koeswoyo di acara Selekta Pop Artis Safari TVRI.Dan hari ini minggu 27 Maret 2011,kita terpekur kembali mengenang kepergian Tonny Koeswoyo.

Getar Simfoni Gitar Trisum

Posted: Maret 23, 2011 in Tinjau Album

Tohpati Ario dan Indro Hardjodikoro (foto Yose Riandi)

Dewa Budjana

I Wayan Balawan (foto Yose Riandi)

Tohpati Ario (foto Yose Riandi)

Trio gitar Trisum yang didukung Dewa Budjana,Tohpati Ario dan I Wayan Balawan kembali menyatu dalam album Five In One.Mereka bertiga masih tetap berupaya menyatukan gaya permainan gitar dalam satu payung : Jazz.Didalamnya berbaur berbagai subgenre jazz mulai dari modern,jazz,fusion hingga world fusion jazz .Dengan ketiga karakter bergitar yang berbeda,Trisum pada akhirnya bisa dianalogikan sebagai simfoni gitar yang padu.Saling isi,saling interaksi dan dialogik.

Tajuk Five In One  ini ternyata ingin menyiratkan bahwa Trisum adalah korporasi music yang kini didukung pula dengan dua pemain tetap yakni Indro Hardjodikoro (bass elektrik) dan Echa Yesayas Sumantri (drums).

Trisum tampaknya ingin menghadirkan sajian musik yang apresiatif sekaligus menghibur.Setidaknya,bagi yang penikmat pemula yang  mungkin belum begitu memahami seluk beluk jazz pun bisa mengikuti alur musik yang ditata Trisum ini.

Gagasan format trio gitar semacam ini mungkin bermuasal dari apa yang dilakukan 3 gitaris beratmosfer jazz seperti Al Di Meola,Paco Delucia dan John McLaughlin yang diawal era 80-an melakukan proyek kolaboratif.Mereka bertiga telah memiliki karakter kuat dalam gagasan musiknya masing-masing.Lalu ketiganya dipersatukan dalam proyek kolaboratif yang mau tidak mau harus tetap mengendapkan kesatuan yang integral walau berbeda karakter dan latar belakang.

Hal ini pun juga diterapkan oleh Trisum.Baik Budjana,Tohpati dan Balawan masing-masing memiliki pengalaman yang kuat dalam bermain jazz.Bahkan ketiganya kerap pula menyusupkan anasir musik tradisional dalam struktur music yang etnikal.

Tohpati memiliki dua grup jazz dengan landasan etnikal yang kuat yaitu simakDialog dan Tohpati Ethnomission.Balawan pun memiliki kelompok jazz bernuansa etnik Batuan Etnik Fusion.Budjana sendiri sejak tahun 1984 melalui grup jazz Squirrel juga telah memberanikan diri menyusupkan tema-tema etnik.

Secara kebetulan ketiga gitaris Trisum ini juga pernah pula memainkan music rock di awal karir music mereka.Aura rock elektris ini juga memiliki  peranan dalam membangun kubah dinamis dalam tata arransemen.

Balawan yang kuat perangai musik Balinya memang terasa lebih agresif,mulai dari pengembangan secara akordial maupun penyusupan detil bunyi yang terasa subtil.Budjana terasa kuat dalam pengembangan ambience yang terkadang terasa provoke.Sedangkan Tohpati terasa lebih tematik dan imajinatif.

Komposisi seperti Rahwana memang kuat dalam tema dan ambiencenya.Ketiga gitaris bahkan diberi peluang untuk memperlihatkan busana permainan gitarnya masing-masing.Lagu ini pun memiliki tendensi yang kuat sebagai pemikat dalam konser panggungnya nanti.

Lagu Five In One sendiri seperti ingin napak tilas pada zaman kejayaan music fusion lewat sinkopasi yang ketat dari kesatuan bass dan drums.Beberapa unison pun mencuat disana sini.

Baik komposisi “Five In One” dan “Rahwana” ditulis oleh Tohpati.Aura funk tersimak pada lagu seperti Bread Jam Bread yang ditulis Indro Hardjodikoro.Konsep lagu ini nyata benar ditekuk dalam gaya jamming yang memikat.

Budajana pun menuliskan sebuah komposisi yang dipersembahkan untuk maestro piano jazz Bubi Chen bertajuk “Bubi”.

Theme song film animasi “Si Unyil” dibawakan dengan interpretasi segar.Makeover pada notasi dan progresi akord membuat lagu ini terasa lebih unik dan elegan.

Dalam komposisi “All U Can Eat” yang ditulis oleh Balawan  elemen musik yang dipaparkan terasa lebih eklektik.

Album Trisum kali ini memang sarat warna dan perangai.Sebelum menyimak ke 9 track di album ini sebetulnya telah tersirat dari rancangan grafis sampul albumnya yang terlihat penuh warna warni cerah dan guratan yang fleksibel.

Album Five In One – Trisum

Konser Trisum di Rolling Stone (foto Yose Riandi)

TracklIst

1.Five In One

2.Love To Be Around You

3.Rahwana

4.Pulang

5.Majik Blue

6.Unyil

7. All U Can Eat

8.Bread Jam Bread

9.Bubi’s

Scott Henderson untuk kedua kalinya tampil di Jakarta.Jika di tahun 1993 Scott tampil dengan grup fusion yang dibentuknya bersama Gary Willis “Tribal Tech”,maka semalam 20 Maret 2011 Scott Henderson tampil bersama kelompok trionya yang didukung Travis Carlton (bass) dan Allan Hertz (drums) di Hard Rock Café Ex Plaza Thamrin Jakarta.Seperti halnya konser Tribal Tech dulu,kali ini Scott Henderson pun berkunjung ke Indonesia atas ajakan promotor Chico Hindarto,yang pernah menghadirkan Acoustic Alchemy,Spyrogyra,Yellowjackett,John Pattitucci hingga Pat Metheny Group pada era 90-an.”Saya ingin kembali menghadirkan pemusik-pemusik jazz idealis ke Jakarta” ungkap Chico Hindarto

Menariknya,konser Scott Henderson yang merupakan bagian dari tur Asia nya itu semalam ditonton oleh sebagian besar pemusik Indonesia dari era dulu hingga sekarang.Terlihat Mus Mujiono,Oding Nasution,Nadjib Osman,Doddy Sukasah,Tammy Gipsy,Donny Suhendra,Baron,Tohpati,Indro Hardjodikoro,Andra Ramadhan,Gusti Hendy,Thomas Ramdhan,Coki Netral,Gugun,Ikmal Tobing.Stevie Item,Irsa Destiwi,Robert Mulyarahadrdja,Demas Narawangsa,Krisna Discus,Iwan Hasan  termasuk Ahmad Dhani bersama puteranya dan banyak lagi.Bahkan konser ini banyak ditonton sederet gitaris dari pop,rock hingga jazz seperti Iwan Hasan,Abdee Negara,Mus Mujiono,Ponco Satria,Andre Dinuth,Tohpati,Baron,Coki Netral,Ezhra,Gugun,Oding Nasution,Donny Suhendra,Andra Ramadhan hingga Steve Item.

“Scott adalah gitaris yang telah memainkan genre apa saja.Kalo mau liat tontonan yang cerdas,salah satunya ya nonton Scott Henderson” tutur Oding Nasution gitaris Cockpit yang juga ketua INA Blues,komunitas blues yang bermitra dengan Chico Hindarto menghadirkan Scott Henderson.

Komposisi karya Miles Davis “All Blues” yang diambil dari album feenomenal “Kind Of Blue” (Miles Davis,1958) menguak pertunjukan Scott Henderson yang menggunakan gitar bermerk Suhr.Ketrampilannya menggerayangi fret gitar membawa penonton pada sebuah ambience yang ekstatif.Scott lihai mengimbuh solo melalui akord yang diberi ruang luas.Ini merupakan salah satu style Scott yang tampaknya telah terbentuk sejak dekade silam ketika Scott Henderson  memilih meraup nafas blues dalam karya-karyanya.

Walhasil karya-karya Scott Henderson terdengar lebih eklektik.Dia menghembuskan aroma blues kontemporer yang mengedepankan banyak progresi akord dan ambience.Namun Scott tetap hirau pada anasir swinging yang kerap menjadi ruh utama musik jazz.Semuanya diekspresikan dalam bingkai rock yang menggelegar.

“Scott memang luar biasa.Dia telah samapai pada taraf established.Dia memainkan blues dengan berbagai kecenderungan.Swingingnya tetap terasa” komentar gitaris Tohpati. Dengan memilih pola Chicago Blues yang banyak mengedepankan bunyi-bunyian instrumen elektrik,menjadikan blues ala Scott Henderson bisa menyelusup ke lintas usia.

Jika dianalogikan,Scott Henderson adalah koki yang terampil mengaduk pelbagai elemen rasa menjadi satu kesatuan yang integral.Dan kita hanya mampu menyebutnya sebagai musik Scott Henderson.

Scott lalu bertutur pada penonton akan memainkan sebuah komposisi baru yang belum pernah mereka rekam bertajuk “Sphynx”.Lagu ini terasa unik,yang memadukan gaya fusion dan blues.Bahkan dalam beberapa verse,Scott menghadirkan notasi bernuansa Arabic.Tensi lalu menurun saat Scott Henderson Trio memainkan “Calhoun” yang lebih teduh dan menghanyutkan.Banyak penonton merasa jenuh dengan gaya ballad Henderson seperti ini.Padahal sesungguhnya disinilah keunggulan Scott dalam mengekspresikan pola permainan gitarnya yang variatif.

Ketertarikan orang terhadap musik Scott Henderson jika dianalisa terletak pada nuansa blues rock yang dikedepankan sebagai tulang punggung musiknya.Scott  sendiri mengaku sangat terpengaruh Jimmy Page,Jeff Beck,Jimi Hendrix hingga Johnny Winter,sederet gitaris yang mengawinkan blues dan rock pada era 70-an.

Permainan musiknya semakin kaya ketika Scott mulai berkenalan dengan modern jazz.Dia mulai menyimak Miles Davis hingga John Coltrane.Scott bahkan mulai diajak bergtabung dalam proyek rekaman Chick Corea hingga Joe Zawinul.

Di lagu keempat Scott Henderson mendedikasikannya untuk almarhum Joe Zawinul penggagas Weather Report yang juga membentuk Zawinul’s Syndicate.Dan bergaunglah sebuah komposisi fusion bertajuk “Db Waltz” karya Joe Zawinul yang terdapat dalam album “Domino Theory” Weather Report (1984).

Dalam komposisi ini permainan bass Travis Carlton yang putera gitaris Larry Carlton mulai terlihat penting.Bunyi bass yang dihasilkan Travis berpadu dengan sinkopasi rumit dari drummer Allan Hertz.Penonton pun kian terkesima.Aplause panjang menggema di langit langit Hard Rock Café.

Scott Henderson sendiri setiap pergantian lagu selalu mengambil jeda sejenak menyetem ulang snar gitarnya.Ini akibat permainan tremolo dan bending dengan intensitas yang tinggi.Walaupun jarang berkomunikasi dengan penonton,tapi Scott tetap berdialog melalui celoteh gitarnya yang ekspresif.

Pada lagu kelima “Hillbilly In The Band” yang diambil dari album solo Scott “Well To The Bone” (2002),ketiganya dengan antusias membawakannya dengan gaya bluegrass country yang tebal.Dipertengahan lagu sekitar 4 bar,Scott bercanda dengan menyusupkan musik tema film serial TV “Bonanza”karya Jay Evans dan Ray Livingston yang memorable itu.

Giliran Travis Carlton bersolo bass dengan gaya funk yang kental .Bunyi bass Travis kian unik dengan diimbuh semacam wah-wah.Jelas terlihat permainan bass yang menarik dari Travis.Tak salah jika Scott memilihnya sebagai bagian dari trionya kali ini.Bunyi bass semacam ini pada akhirnya mampu menggatikan bunyi clavinet yang selalu konotatif dengan music-musik berirama funk.Lalu trio ini menghadirkan kredo fuk lewat karya Herbie Hancock “Actual Proof” dari album “Thrust” nya Herbie Hancock  yag dirilis tahun 1974

Ketika Scott Henderson Trio mengakhiri pertunjukan pada jam 23.05 WIB,penonton meminta encore.Trio ini memenuhinya dan memainkan komposisi karya Scott Henderson bertajuk “Dolemite” dari album “Tore Down House” yang dirilis tahun 1997.Komposisi ini tepat ditempatkan sebagai encore karena bernuansa jamming yang kuat.

Scott HendersonTrio pun mengakhiri pertunjukannya yang inspiratif itu.

 

Denny Sakrie

 

 

 

Scott Henderson Trio di Hard Rock Cafe 20 Maret foto Putra Djohan

Ekpresi bergitar Scott Henderso degan gitar Suhr

Bercerita tentang kehidupan Soetadi, yang karena sering sakit-sakitan diubah namanya menjadi Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo. Perjalanan kehidupan Gesang penuh liku dan onak duri, tidak semerdu dan seindah lagu-lagu ciptaannya. Misalnya, tentang pujaan hatinya yang selalu ia rindukan, namun tak pernah bersua kembali. Tentang pernikahan yang kandas, lalu ia mengenang pujaan hatinya yang pertama. Tentang prosesnya dalam mencipta lagu beserta penjelasan atas syair-syairnya. Tentang kehidupannya yang pas-pasan, lalu tak punya tempat tinggal sampai Gubernur Jawa Tengah memberinya hadiah sebuah rumah. Juga tentang popularitasnya di dunia, khususnya di Jepang, lawatan ke luar negeri; lalu kisah masa tuanya yang terabaikan.

Endorsements:

“Keberadaan Gesang di khazanah musik tanah air sesungguhnyalah sebuah anugerah. Namun, mayoritas kita tidak melihatnya demikian. Sejak lama Gesang kita anggap biasa-biasa saja. Apalagi ketika keroncong dan langgam Jawa mulai memudar dan nyaris punah. Gesang yang terlupakan itu kemudian berpulang dan mendadak sontak kita mengelu-elukannya. Apakah itu karena kita menghargai karyanya? Saya ragu. Seorang seniman seharusnya dihargai karena karya, bukan karena iba hati, apalagi karena keinginan kita untuk tampil sebagai pembela kesenian. Buku ini saya harap bisa mendobrakignorance, agar suatu saat nanti kita sebaiknya menghargai seniman selagi mereka masih bernyawa, meski tidak salah juga jika dilakukan pada saat mereka sudah tiada.Rizaldi Siagian – Etnomusikolog, Komposer, Penasihat Ahli Bidang Kebudayaan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

“Ah, Pak Gesang! Saya kehilangan dirinya. Ketika mendengar dia sakit, hati saya berdenyut. Dan ketika kematian menjemputnya, saya meneteskan airmata. Saya berduka karena kehilangan orang yang saya kagumi. Setiap kali saya menyanyikan lagu ‘Saputangan’, saya selalu merasa sedang ditarik masuk ke alam percintaan Gesang dengan Sri Melati, gadis penyanyi pujaan hatinya. Saya trenyuh melantunkan lirik-liriknya yang tidak boyak. Ah, Pak Gesang. Lagu-lagumulah yang mengantarkan saya menjadi penyanyi. Bapak pulalah yang menuntun saya untuk selalu berkeroncong. Dan itu akan saya jaga, setia sampai akhir, meskipun bagaimana terjadi, sehidup semati.”Sundari Soekotjo, Artis Penyanyi Keroncong

“Tak pelak lagi, lagu ‘Bengawan Solo’ memang sebuah masterpiece. Masyarakat Indonesia mengakui, demikian juga dunia. Namun jangan terpaku pada sebuah lagu semata. Ada sekitar 40 lagu ciptaan Gesang yang menunjukkan betapa kaya sebenarnya batin pria kelahiran Surakarta ini. Lagu-lagunya ditulis pada waktu yang berbeda, yaitu saat kita masih dijajah Belanda dan Jepang, serta di zaman merdeka. Simaklah lagu ‘Bilamana Dunia Berdamai’ (1942), ‘Jembatan Merah’ (1943) dan ‘Caping Gunung’ (1973). Semua menjadi suara zaman, saksi sejarah bangsa kita. Kita harus berterimakasih dan bangga karena di Bumi Pertiwi pernah ada seorang seniman keroncong dan langgam Jawa yang tegar bergeming menyuarakan kepahlawanan. Dia bernama kehidupan. Dan Gesang adalah kehidupan, meski dia telah tiada.Sapta Nirwandar, Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

“Inilah lagu dari surga. Seperti ‘Clair De Lune’ bagi Debussy dan ‘Rhapsody In Blue’ bagi Gershwin, begitulah makna lagu ‘Bengawan Solo’ bagi Gesang. Lagu surga bukanlah lagu biasa yang bisa tercipta dalam keadaan sehari-hari. Kelahirannya adalah sebagai proses semesta, gerak jemari Tuhan ketika sedang tersenyum. Gesang menerima pesan dan mengejawantahkan ciptaan itu dalam lantunan gumam yang menggerubyak. Keroncong adalah musik milik Indonesia yang selalu akan kita bawa hingga ke masa depan, karena kita tahu, keroncong bukan musik orang-orang jadul.”Denny Sakrie, Pengamat Musik

“Saya miris melihat Gesang hanya dilihat dari perspektif produk budaya yang namanya keroncong. Padahal keroncong sudah bisa kita sebut sebagai produk budaya tradisi lama yang berfungsi sebagai salah satu sumber ‘sistem nilai’ atau local wisdom. Memang secara pragmatis Gesang adalah Bengawan Solo, namun secara kultural tradisi itu mencerminkan identitas yang mengusung aspek etika dan moralitas, sesuai paradigma masyarakat di sekitarnya. Intinya, Gesang lebih besar daripada keroncong itu sendiri.”Yockie Suryo Prayogo, Musikus

Buku Gesang yang ditulis Izharry Agoesdjaja <oenzir

Leon Theremin

Dr.Robert Moog (1934-2005)

Perangkat musik digital Reactable

Beruntung saya nonton konser Bjork di Tennis Indoor 12 Februari 2008 silam.Kenapa ? karena dari konser yang digagas extravaganza ini akhirnya saya bisa melihat dan mendengarkan secara langsung instrument musik elektroni mutakhir yang diberinama Reactable.Konon Reactable hanya dimiliki pemusik tertentu saja di dunia.Ini yang menarik.Prinsip kerja Reactable yang super canggih terinspirasi dengan Moog synthesizer yang ditemukan oleh Dr Robert Moog pada dasawarsa60-an : memanipulasi bunyi-bunyian sintesis.

Reactable dirancang untuk bisa dimainkan lebih dari satu musisi secara simultan dalam waktu yang bersamaan.Ini bisa terlaksana karena Reactable memiliki konsep multi-touch-Dalam konser Bjork terlihat ada 3 pemusik yang memegang Reactable. Dalam memainkan Reactable,pemusik bisa menggabungkan banyak elemen yang berbeda seperti synthesizers ,berbagai ragam effect,sample loops serta control elements dalam mewujudkan komposisi musik yang unik dan fleksibel.

Disini terlihat jelas perkembangan teknologi yang bergerak cepat dari era ke era terus mengawal eksistensi bermusik tanpa harus mengebiri esensi bermusik.Teknologi musik yang telah memasuki ranah digital ini sesungguhnya memberikan kemudahan dalam mengolah musik sesuai tuntutan zaman.Meskipun banyak kritik yang menuding kecanggihan teknologi memupuskan aura bermusik yang natural atau kadang disebut sebagai musik mesin,tapi jika ditelaah lebih jauh justeru melajunya perkembangan teknologi yang menyusup dalam gugus musik justeru banyak memberi kemungkinan-kemungkinan dalam eksplorasi musik yang selama ini mungkin hanya ada dalam benak sang kreator musik itu saja.

Menariknya lagi,kini untuk menciptakan sebuah karya dan karsa musik tak hanya dilakukan oleh pemusik bertalenta saja.Kaum awam yang tak memiliki latar pemahaman musik yang mendalam pun bisa menciptakan sebuah musik bahkan bisa tampil bak seorang multi-instrumentalis.

Bahkan untuk menghasilkan sebuah rekaman yang berkualitas dalam pencapaian artistik dan estetikan bermusik kini bisa dilakukan di rumah saja.Menurut pemusik Andy Ayunir yang banyak melakukan eksplorasi musik lewat pendekatan dan pemahaman digital serta elektronik,sekarang banyak perangkat musik digital maupun software musik yang memadai.”Tinggal pilih mana yang sesuai dengan selera” ungkap Andy Ayunir yang memiliki studio rekaman digital lengkap di kawasan Jakarta Selatan.Andy lalu menyebut beberapa software yang kini kerap dipergunakan banyak pemusiki dalam industri musik seperti ProTools,Logic,Nuendo,Live,Catwalk,Fruty Loops dan banyak lagi lainnya.

Secara spesifik Andy Ayunir bertutur bahwa Protools telah dikenal luas sebagai jagonya Audio yang telah menjadi standart internasional.Kemudian ada Cubase yang justeru banyak memiliki instrumen musik virtualnya.Beberapa instrumen musik yang telah masuk kategori vintage seperti mellotron,clavinet,Hammond B3 dan seterusnya bisa dihadirkan kembali soudnya secara virtual.

Lalu software seperti Nuendo atau Logic yang diakui sangat imbang.Live yang lebih mudah dalam pengoperasiannya terutama untuk sebuah live performance termasuk banyak dipergunakan oleh para DJ.Reason tersa unik dan seru.Kemudian untuk para pemusik pemula lebih tepat jika memakai Garage Band maupun Fruty Loops yang sangat instan.Untuk sebuah penggarapan musik yang dituntut cepat jadi,kata Andy Ayunir,software tersebut sangat diandalkan.

Lalu sejak kapan embrio perangkat musik elektronik dan digital ini berkecambah ? Dalam catatan sejarah,penggunaan pertama instrumen musik secara elektrik adalah Denis d’or pada tahun 1753 yang disusulm oleh penemuan Clavecin electrique oleh Jean-Baptiste de Laborde di tahun 1761 yang berwujud keyboard dengan 700 strings yang menghasilkan bunyi-bunyian elektrik .Di tahun 1876 synthesizer elektrik pertama ditemukan oleh Elisha Gray.Secara tidak sengaja Gray menemukan oscillator yang berfungsinuntuk mengendalikan bunyi-bunyian lewat circuit elektromagnetik.Penyempurnaan synthesizer ini mulai terlihat di tahun 1906 lewat gagasan Lee DeForest yang kemudian menjadi semacam cetak biru untuk radio broadacsting dan komputasi elektronik dan perangkat-perangkat sejenis lainnya.

Penemuan serupa juga dilakuakn Thaddeus Cahil lewat perangkat bernama Dynamophone serta Telharmononium.Di tahun 1924 Jorg Mager menemukan Spherophone dan Partiturophone.Lalu berturut-turut muncul perangkat elektronik lainnya seperti Theremin (1927),Electronde (1933),Ondes Martenot (1928),Trautonium (1930),Mellertion (1933),Emicon (1930).

Pengembangan perangkat musik elektronik ini tak hanya di Amerika  melainkan juga di Jerman dan Rusia.Di Leningrad di sekitar 1919-1920 Leon Theremin menciptakan dan memainkan perangkat elektronik yang dinamai Etherephone lalu berganti menjadi Theremin.Perangkat musik inilah yang dianggap sebagai yang pertama menghasilkan sebuah komposisi musik elektronik.Leon Theremin bahkan menciptakan electronic rhythm machine pertama dengan nama Rhythmicon.Di tahun 1929 komposer Joseph Schillinger menulis komposisi First Airphonic Suite for Theremin and Orchestra yang dimainkan oleh The Cleveland Orchestra serta Leon Theremin yang tampil sebagai solois.

Dalam kurun waktu akhir era 40-an hingga era 50-an mulai bermunculan perangkat musik elektronik yang pada prinsipnya bergereak sebagai controller perangkat musik secara otomatis.

Pada dekade 1950-an RCA memproduksi perangkat eksperimental yang menghasilkan suara dan musik secara sintesis yang dirancang oleh Herbert Belar dan Harry Olson.Saat itu mereka bahkan telah berhasil menghasilkan pemrogaman produksi musik.Nama nama lain yang tercatat bereksperimen menghasilkan perangkat musik elektronik ini antara lain Hugh Le Caine,Raymond Scott,Don Buchla dan Harald Bode.

Lalu mencuatlah sosok Robert Moog,salah seorang engineer dari RCA yang menciptakan sebuah synthesizers yang bisa dimainkan oleh pemusik.Syntesizers yang dirancang Moog ini mulai diperlihatkan dalam konvensi Audio Engineering Society pada tahun 1964.Moog lalu merampungkan standarisasi untuk control interfacing dan menggunakan sebuah logaritmik.Disepanjang era 60-an berbagai rekaman mulai menggunakan Moog synthesizers.

Di tahun 1970 Robert Moog memperkenalkan garapan mutakhirnya MiniMoog.Perangkat musik ini ternyata lebih diminati,karena penggunannya lebih simpel dan bentuknya lebih portable.Beberapa pemusik sohor seperti Keith Emerson hingga Stevie Wonder termasuk sosok pemusiki yang mempopulerkan MiniMoog baik dalam rekaman maupun pertunjukan panggung.

Dalam kurun waktu 1980-2000 mulailah dikenal era digital synthesizers.Di tahun 1983 Yamaha Music memperkenal digital synthesizer DX-7 yang menggunakan Frequency Modulation synthesis yang sebetulnya telah digagas John Chowning dari Universitas Stanford pada akhir era 60-an.

Di tahun yang sama muncul polyponic digital sampler pertama dengan nama Fairlight CMI.Disusul dengan hadirnya Synclavier dan Kurzweil K250.

Seiring dengan kian beragamnya pemunculan produk digital synthesizers muncul sebuah konsep yang bisa menghubungkan antara sebuah instrumen musik dengan instrumen musik lainnya yang dikendalikan oleh mikro kumputer.Konsep ini lalu dijadikan sebuah standar dengan nama MIDI yang merupakan singkatan dari Musical Instrument Digital Interface.Kegiatan bermusik di studio rekaman pun mulai bertumpu pada kecanggihan MIDI ini.

Kemajuan teknologi dalam perangkat musik ini pada akhirnya memang membuat kreator musik jadi lebih leluasa melakukan eksplorasi dan eksperimentasi.Kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh perangkat musik digital ini sebetulnya justeru tidak mematikan talenta pemusik,namun secara simbiose mutualisme malah lebih menjanjikan sebuah hasil produksi musik yang maksimal.Bayangkan,sekarang ini menghasilkan sebuah gagasan dan rekaman musik bisa dilakukan di tempat tidur.Sesuatu yang tak terbayangkan pada dekade dekade sebelumnya.

Lirih,gugah,gugat,pekat.Empat kata ini mungkin paling tepat mendeskirpskikan  album Photograph dari kelompok themilo .

Saya memperhatikan band asal Bandung ini sudah lama.Mereka memiliki kekuatan dalam memempelaikan musik dan kata.Mereka memang  hirau pada kekuatan bunyi sebagai metaforik yang tak bisa diganggu gugat .Gaya shoegaze yang mematung adalah pilihan themilo.Dan itu kian menjadi-jadi jika menyimak album Photograph ini.Kita seperti tengah terperangah melihat deretan foto foto yang terbingkai dalam pigura dan berderetan di dinding yang dingin membiru.Tak salah jika sesosok anak manusia yang tengah diterpa kegalau tiba-tiba merampas lagu themilo sebagai anthem jatidirinya seperti yang tercerabut dalam lagu “Apart” :

She speaks

She talks

She lies

Her lies changing everything

My body and my soul

My sickness and my weakness

All together now

Blended in one sadness

Everything so alone

Lirik lirik diatas ini kian berderai manakala diimbuh dengan gumpalan musik yang menyayat tapi bukan mengumbar kegamangan yang cengeng.Disini themilo memotret kegalauan dengan sikap yang bukan ingin berniat menguak simbahan derai airmata.

Kemurungan memang seperti bergumpal dan melumuri seluruh permukaan komposisi yang dimainkan themilo.Saya yakin banyak yang merapat dan menyamakan persepsi kegalauan sat menyimak lagu “For All The Dreams That Wings Could Fly” :

the more of you remain in this hollow place..

until the more of you reveal

and no one cannot see this because behind my face

is it as real as life could  be..

Sayapun menyimpulkan sebuah analisa,bahwa themilo ingin menelusuri keping-keping hati secara personal dalam berbagai episode mulai dari rasa letih jiwa hingga ke tafsir penyeselan hati.Mari kita simak tutur sesal dalam lagu “So Regret” :

Do you remember when you strong

do you remember we laugh together

now God call you to come back home..

Penempatan bunyi-bunyian gitar yang proporsional melatari tiap tiap kata yang disenandungkan memang sebuah motif yang cerdas.Karena dawai gitar terasa lebih fleksibel,bisa menyeruakkan nuansa yang lunglai tapi bisa berubah menjadi lugas.

Toh themilo seperti ingin berpetuah,tak hanya sekedar mendeskripsikan kegalauan belaka.Simak lirik yang berbahasa Indonesia ini :

Hadapi hidup yang remuk  hapus semua kenangan yang kelam

Semua nyata hati pun terluka

Gerak ini telah terdiam hati t’lah tertoreh pisau yang keji

Semua nyata akankah kau percaya?


Kelenturan vokal Ajie Gergaji juga didukung dua vokalis wanita memang seperti sengaja ingin memancing tafsir tertentu dari penikmatnya.Bahkan themilo tidak memberi kesempatan bagi penikmatnya untuk menyimak lirik-lirik yang dilantunkan.Sepertinya ada kesengajaan untuk menimbulkan ritual tertentu saat menikmati karya themilo tanpa harus membagi konsentrasi pendengarnya yang ingin membaca lirik lagu.Makanya album yang covernbya hanya menampilkan sketsa hitam putih ini sama sekali tidak menyertakan lirik lagu.

Anak anak Bandung ini seperti ingin meneruskan tradisi lirih Bimbo yang banyak menebar multi tafsir pada lagu-lagunya di periode awal era 70-an terutama penempatan lirik-lirik yang cenderung metaforik ,bukan pada saat Bimbo jadi simbol pembawa lagu-lagu rohani.

Tracklist :

1.Stethoscope

2.For All The Dreams That Wings Coulkd Fly

3.So Regret

4.Get Into Your Mind

5.Dreams

6.Don’t Worry For Being Alone

7.Daun dan Ranting Menuju Surga

8.Apart

Album Photograph Themilo

Sampul kaset LCLR Prambors 1977

Sampul kaset LCLR 1978

Suasana malam final LCLR Prambors 1 th 1977 di TIM Jakarta

Oleh Denny Sakrie

Keenan Nasution dan Donny Fattah, dua juri LCLR 1977

30 tahun silam, sebuah radio anak muda yang mangkal di Jalan Borobudur Menteng, Jakarta Pusat, mengukir sejarah baru dalam industri musik pop Indonesia dengan mengadakan sebuah ajang kompetisi cipta lagu bertajuk ‘Lomba Cipta Lagu Remaja’ Prambors (LCLR). Kenapa disebut sejarah baru ? Karena, dari lomba ini akhirnya terjaring sederet lagu-lagu yang memiliki karakter berbeda dengan musik pop yang tengah meraja di industri musik Indonesia.

Di era paruh 70-an itu, musik pop Indonesia dikuasai oleh grup-grup pop seperti Koes Plus, Favorites Group, Panbers, The Mercy’s, hingga D’Lloyd. Pukul rata warna musik yang mereka tampilkan cenderung sama yakni kesederhanaan dalam melodi, akord, hingga pola penulisan lirik lagunya. Remy Silado, pengamat musik sohor saat itu, mengkritik bahwa terjadi pendangkalan tema dalam musik pop kita. ”Hampir semua lagu liriknya dipenuhi dengan kata ‘mengapa”’ tulis Remy Silado di  majalah Prisma.

Selain ingin menggalang potensi kreatifitas anak muda dalam penciptaan lagu, Lomba Cipta Lagu Remaja ini, menurut Imran Amir dari Radio Prambors, ajang kompetisi ini mendobrak stagnasi dalam industri musik pop yang cenderung memihak pada sisi komersial belaka. Akhirnya, musik pop cenderung tunggal nada dan mencapai titik kulminasi. Hampir tidak ada terobosan baru.

Sebetulnya semangat membuat sesuatu yang baru telah dilakukan sejumlah pemusik semisal Harry Roesli, Leo Kristi, Guruh Gipsy, dan yang lainnya. Tapi, karya-karya semacam itu tak pernah dilirik oleh para pengusaha rekaman, karena dianggap tidak memiliki daya jual. ”Saat itu musik pop kita tak ubahnya dagangan yang hampir tidak memikirkan kualitas,’ ungkap Sys NS, salah satu panitia LCLR Prambors.

Memang, pada saat itu telah kokok berdiri ajang Festival Lagu Pop Indonesia yang dirintis sejak tahun 1971. Tapi, ajang ini dari tahun ke tahun terbelenggu dalam pola musik yang nyaris tak berkembang. Justru LCLR bisa dianggap lebih hirau dengan tren musik yang tengah berkecambah di penjuru dunia.

Itu jelas tercermin pada Lomba Cipta Lagu Remaja 1977 yang berhasil menetaskan lagu Kemelut karya Junaedi Salat sebagai juara 1 dan Lilin-lilin Kecil karya James F Sundah yang terpilih sebagai lagu yang paling banyak disukai pendengar dengan istilah ala Prambors: ‘Lagu Tersayang’.

Dari deretan 10 pemenang LCLR 1977, itu terdapat tiga tembang yang diciptakan oleh Kelompok Vokal SMA III Jakarta yang berada di kawasan Setiabudi, masing-masing Akhir Sebuah Opera, Angin, dan Di Malam Kala Sang Sukma Datang.

Siswa siswa SMA III yang menulis lagu-lagu itu adalah Fariz RM, Adjie Soetama, dan Raidy Noor serta Iman RN , yang di kemudian hari dikenal sebagai penggerak musik pop Indonesia.

Pada LCLR 1978 terpilih lagu Khayal karya Christ Kaihatu dan Tommy WS (keduanya telah meninggal dunia) sebagai juara 1. Namun, lagu Kidung karya Christ Manusama, terpilih sebagai ‘Lagu Tersayang’ berdasarkan polling pendengar.

Dari ajang LCLR ini tercatat menghasilkan sederet pencipta lagu yang kemudian memberikan kontribusi terhadap konstelasi musik pop Indonesia mulai dari James F Sundah, Baskoro, Chris Manuel Manusama, Harry Sabar, Fariz RM, Raidy Noor, Adjie Soetama, Ikang Fawzy, dan Dian Pramana Poetra. Terus ada lagi nama Bagoes A Ariyanto, Sam Bobo, Christ Kaihatu, Tommy Marie, Ingrid Widjanarko, Denny Hatami, Edwin Saladin, Didi AGP, Iszur Muchtar, Yovie Widianto, Bram Moersas, Roedyanto, dan masih banyak lagi.

Gaung ajang LCLR ini memang menggetarkan industri musik pop negeri ini. Secara kebetulan, pada era 1977-1978 sederet pemusik kita memang tengah bersemangat menghasilkan karya-karya yang merupakan alternatif dari musik pop yang tengah bertahta. Mereka adalah Chrisye, Keenan Nasution, Eros Djarot, God Bless, Noor Bersaudara, Harry Roesli, Giant Step, dan masih banyak lainnya.

Coba saja simak tata musik yang disajikan Yockie Soerjoprajogo dalam LCLR 1977 dan 1978 yang cenderung mengadopsi anasir musik rock progresif yang didominasi instrumen keyboard, seperti yang terdengar pada grup-grup mancanegara Genesis, Yes, maupun Emerson Lake & Palmer. Aransemen yang kerap disebut berciri simfonik ini cenderung menghasilkan atmosfer musik yang lebih megah dan tebal.

Lalu simaklah aransemen LCLR 1979 yang digarap Debby Nasution dan Addie MS dengan penonjolan pada warna klasik dan rhythm and blues. Debby yang terpengaruh atmosfer klasik Johann Sebastian Bach banyak menghadirkan suara hammond organ sedang Addie MS terlihat mengadopsi gaya soul R&B ala Earth Wind & Fire.

Pengaruh jazz mulai terlihat pada LCLR 1980 yang tata musiknya digarap Abadi Soesman dan Benny Likumahuwa. Pada saat bersamaan tren musik memang tengah diramaikan oleh musik bercorak jazz. Kesimpulannya, ajang LCLR ini memang selalu mengedepankan tren musik yang tengah merebak.

Sayangnya, ajang LCLR ini sudah tak terdengar lagi kiprahnya. Penyebabnya mungkin adalah pergeseran zaman, di mana anak muda sekarang sudah tak tergantung lagi pada ajang-ajang kompetisi semacam ini untuk menembus industri rekaman. Kini mereka dengan konsep D.I.Y (Do It Yourself) yang berkecambah dalam komunitas indie, bisa melakukan apa saja, menulis lagu, memproduksi, dan mengedarkannya sendiri. Bahkan dengan teknologi yang kian berkembang, anak muda sekarang telah mampu memperkenalkan musik mereka melalui wadah semacam my space atau youtube.com.

Tapi, lagu-lagu dari ajang LCLR hingga kini pun masih bergaung dimana-mana. Entah itu Lilin-lilin Kecil, Kidung, Khayal, Apatis, Menepis Bayang Kasih, dan banyak lagi.

Diskografi
01. LCLR Prambors Rasisonia 1977 (Pramaqua 1977)
02. LCLR Prambors Rasisonia 1978 (Duba Records 1978)
03. LCLR Prambors Rasisonia 1979 (Duba Records 1979)
04. LCLR Prambors Rasisonia 1980 (Duba Record 1980)
05. LCLR Prambors Rasisonia 1981 (Lolypop Records 1981)
06. LCLR Prambors Rasisonia 1982 (Venus Records 1982)
07. LCLR Prambors Rasisonia 1987 (Team Records 1987)
08. LCLR Prambors Rasisonia 1988 (Atlantic Records 1988)
09. LCLR Prambors Rasisonia 1990 (Aquarius Musikindo 1990)
10.LCLR Prambors Rasisonia 1996 (Win Records 1996)

Tulisan ini dimuat koran Repbulika,senin 2007

Mike Stern dan Denny Sakrie di Java Jazz Maret 2009

Mike Stern Feat Dave Weckl di Java Jazz (foto Praditya Nova)

Mike Stern sedang menandatangani CD saya (foto Denny Sakrie)

Saya pertamakali mendengarkan permainan gitar Mike Stern di album  mili Miles Davis bertajuk “The Man With The Horn” (1981) melalui kaset yang direkam Aquarius Private Collection.Itu jaman piracy masih dianggap legal.Di album milik Miles Davis yang mulai rada “ngepop” itu menyertakan dua gitaris yang yang memiliki keterpegaruhan dalam bingkai jazz rock yang kuat  yaitu Barry Finnerty dan Mike Stern yang turunan Jerman.Sebagai pelahap hibrida jazz rock tentunya saya suka menyimak album Miles Davis yang diperkuat dua gitaris elektrik.Karena getar rocknya cukup meggedor kuping.Saya suka itu.

Sekitar dasawarsa 90-an Mike Stern berkunjug ke Jakarta dan menggelar konser di Jamz yang berada di wilayak Blok M.Tapi saat itu saya tak memiliki kesempatan untuk menonton gignya.Baru di tahun 2009 saat Mike Stern bermain di ajang Java Jazz International Festival yang berlangsung di Jakarta Convetion Center,saya  memanfaatkan kesempatan untuk menyaksikan pertunjukan Mike Stern yang didukung drummer mumpuni Dave Weckl. Dan saxophonis Bob Berg.

Beruntung pula saya sempat ngobrol dengan Mike Stern.Orangnya murah senyum dan humble.Pertanyaan yang sudah menggelebung dibenak saya adalah gimana proses pengerjaan music saat bergabung dalam proyek milik Miles Davis.

DS : Pelajaran apa yang masih membekas saat bersama Miles Davis ?

MS : Miles hanya bilang mainkan instrumenmu dengan hati.Hanya itu.Setelah itu kita tenggelam dalam memainkan music.Jamming tapa henti.Dan itu selalu dilakukan Miles terhadap semua pemusik yang ikut dalam proyek musiknya.They all play from the heart…..

DS :Betulkah Miles orang yang gak pedulian ?

MS : Hmmm yeah…..Miles tidak peduli dengan genre atau subgenre.Dia sangat open minded.Miles tak perduli apakah itu jazz atau Jimi Hendrix atau Sly Stones atau apapun.Terus terang saya banyak mengikuti apa yang dilakukan Miles.

DS :Orang selalu berdebat soal jazz atau bukan jazz.Juga tentag fusion yang dianggap bukan jazz.Bagaimana menurut anda sebaiknya ?

MS :Jujur,saya justeru tak perduli.Saya mainkan saja.Itu terserah mereka many menyebut apa.Apakah jazz,atau bukan jazz.Saya hanya ingin membuat impresi lewat permainan music saya.Itu saja.

DS :Kalo dengan Jaco Pastorius ?

MS : Nyaris sama.Jaco juga tidak perduli terhadap pelabelan music.Mainkan saja,itu kata Jaco berulang-ulang.

DS : Berapa lama anda ikut bersama Miles Davis ?

MS : Tiga tahun

DS : Apakah betul anda dipecat sama Miles ?

MS : Yeahh….(Mike tersenyum).Itu terjadi di tahun 1983 saat saya memakai narkoba.Miles marah besar.Tapi Miles sempat bilang :”Kalo kamu sudah bersih silakan kembali lagi”.Lalu saya masuk rehabilitasi.Miles akhirnya menerima saya selepas dari rehab pada tahun 1985.

DS : Bukankah Miles juga memakai narkoba ?

MS : Iya betul.Menurut Miles di masa mudanya dia memakai narkoba,juga Charlie Parker.Tapi Miles akhirya bisa melepaskan diri.Dan setiap melihat orang yang memakai narkoba,Miles pasti marah besar.Ha ha ha ha .

DS  : Bisa cerita tentang pengaruh musik yang anda dapatkan sejak kecil ?

MS : Saya tumbuh dengan mendengarkan The Beatles lalu music rock dan akhirnya jatuh cinta dengan jazz.Tapi terkadang ada semacam dilemma antara menyukai rock atau jazz.Hingga akhirnya saya menyukai keduanya.Walaupun saya tetap tak mau mencampur rock da be bop dalam satu album.