Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Seorang lelaki muda,berkacamata minus mirip Harry Potter dengan rasa percaya diri yang tinggi menjentikkan jari jemarinya yang mungil diatas tuts grand piano dalam acara gala dinner yang digagas trumpetis jazz peraih 9 Grammy Award, Wynton Marsalis di Jazz At Lincoln Center 1 Mei 2014.Joey Alexander,demikian nama pianis jazz Indonesia yang sebulan lagi genap berusia 11 tahun.Joey memainkan Round Midnight, sebuah mahakarya jazz yang ditulis pemusik jazz legendaris Thelonius Monk sekitar tahun 1944 dan menjadi komposisi jazz yang paling banyak dimainkan orang dalam berbagai versi.Dan Joey pun menginterpretasikan karya Monk itu dengan dialektika yang berbeda.Karena melihat permainan Joey Alexander membawakan Round Midnight di kanal youtube membuat Wynton Marsalis berkeiunginan mengundang Joey untuk bermain di acara bertajuk “Love,Loss and Laughter: The Story of Jazz”.

Pianis jazz Indonesia Joey Alexander diapit trumpetis Wynton Marsalis dan aktor/komedian Billy Crystal di Jazz At Lincoln Center 1 Mei 2014 (Foto Shulamit Seidler-Feller)

Pianis jazz Indonesia Joey Alexander diapit trumpetis Wynton Marsalis dan aktor/komedian Billy Crystal di Jazz At Lincoln Center 1 Mei 2014 (Foto Shulamit Seidler-Feller)

Acara yang mengapresiasikan sejarah music jazz ini digelar di Frederick P Rose Hall “The House Of Swing” yang berlokasi di Broadway 60 th Street,New York .Acara ini merupakan event tahunan dari Jazz At Lincoln Center yang digagas oleh Wynton Marsalis.Acara ini berbentuk musical revue yang menampilkan highlight karya-karya musik jazz dalam sejarah musik jazz yang berkembang dari New Orleans dan menjalar ke New York hingga pada akhirnya menyeruak dalam budaya global ke seantero jagad. Acara yang dipandu oleh aktor Billy Crystal ini menampilkan banyak tokoh-mulai dari tokoh jazz,blues hingga actor seperti Jon Faddis,Bill Cosby,Jonathan Batiste,Marcus Roberts,Dianne Reeves,Mark O’Connor,Taj Mahal,Dominick Farinacci,Pedrito Martinez,Brian Stokes Mitchel,Cecile McLorin Salvant serta Fairview Baptist Church Brass Band.Dan tentunya Wynton Marsalis with Jazz At Lincoln Center Orchestra.

Joey Alexandera sendiri adalah satu-satunya pemusik yang datang dari luar Amerika Serikat.Direncanakan Joey akan memainkan dua komposisi jazz ,sebuah solo piano serta sebuah penampilan yang membanggakan karena Joey bermain piano diiringi Jazz At Lincoln Orchestra yang dipimpin Wynton Marsalis.
Musik jazz padsa akhirnya menjadi music global bukan lagi musik ras seperti yang sering menjadi nukilan sejarah.Joey Alexander dari Indonesia,negara yang tidak memiliki keterkaitan budaya dalam pengembangan musik jazz, justru memainkan musik jazz di kampong halaman musik jazz, dihadapan para pemusik jazz dan penggemar musik jazz.
Wall Street Journal pun menulis tentang performa Joey Alexander yang memikat sebagian besar hadirin di Jazz At Lincoln Center : “Despite the appearance of many jazz and comedy legends, most people at dinner—served family style at tables—couldn’t stop talking about a piano version of Thelonious Monk’s “‘Round Midnight” as performed by Joey Alexander a 10-year-old prodigy from Jakarta, Indonesia.
Billy Crystal,komedian dan aktor yang didapuk menjadi pemandu acara yang dihadiri pemusik jazz serta aktor layar lebar itu tercengang menyaksikan permainan piano Joey Alexander mulai dari gladi resik hingga ke malam gala dinner.” “I’m thinking steroids. We should test him. Should we test him?” ujar Billy Crystal yang disambut applause meriah dari para hadirin.
Dalam ulasan majalah Downbeat secara online juga memuji penampilan extravaganza Joey Alexander : “Ultimately, however, the show was stolen by a 10-year-old pianist named Joey Alexander, all the way from Bali, Indonesia. If the word “genius” still means anything, it applies to this prodigy. He played his own solo variations on “’Round Midnight” with a breathtaking precocity and mastery of several decades of piano style, eliciting a standing ovation not only from the audience but, more significantly, from the entire JLCO.”.
Sosok Joey Alexander juga terlihat berkelebat dalam pemberitaan CBS News. Sudah barang tentu kebanggaan tersebut tidak lagi milik Joey Alexander saja, tapi milik bangsa Indonesia.Menurut saya,ini adalah momen tepat untuk memperkenalkan Indonesia di mata dunia dalam sudut seni terutama musik.Indonesia yang selama ini hanya diberitakan dalam bingkai berita-berita mengenai gonjang ganjing politik yang tak tentu arah, akhirnya memperoleh sebuah berita yang menangkal carut marut iklim politik di negeri ini yang kerap diwartakan media-media internasional.

Wayang Orang Bersulam Rock

Posted: Maret 13, 2014 in Uncategorized

Wayang Orang  bersanding dengan aura musik rock ? Tentunya ini bukan hal pertama dilakukan di negeri ini.Anak muda era 70an,dalam catatan saya, cukup keranjingan memadukan dan mematut-matutkan dua gugus budaya yang berbeda yaitu memempelaikan kesenian berbasis tradisional dengan musik rock. Di tahun 1975 pemusik Harry Roesli dengan kreativitas yang tampak seperti bercanda mengangkat legenda Ken Arok  sosok bad boy yang merebut Ken Dedes isteri Tunggul Ametung,raja Tumapel.Ken Arok bahkan membunuh Tunggul Ametung dengan sebilah keris yang dibuat Mpu Gandring.Akhirnya Ken Arok menjadi raja di Tumapel yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Singosari.

Sophie Muller sebagai Anggraeni dan Stevie Item sebagai Ekalaya (Foto WayangOrangRock)

Sophie Muller sebagai Anggraeni dan Stevie Item sebagai Ekalaya (Foto WayangOrangRock)

Sosok Ken Arok ini kemudian dibalut dengan dinamika musik rock yang berpadu dengan tabuhan gamelan oleh Harry Roesli yang tampaknya ingin memikat perhatian anak muda terhadap sejarah atau budaya bangsa dengan menyuntikkan gairah musik rock.Lakon ini kemudian diberi tajuk Opera Rock Ken A Rock dengan tulisan Ken Arok yang sengaja dibikin bernuansa rock.

Stevie Morley Item gitaris Dead Squad sebagai Ekalaya dan Otong Koil vokalis Koil sebagai Arjuna (Foto WayangOrangRock)

Stevie Morley Item gitaris Dead Squad sebagai Ekalaya dan Otong Koil vokalis Koil sebagai Arjuna (Foto WayangOrangRock)

Harry Roesli agaknya ingin membelokkan kekaguman anak muda terhadap kultus budaya pop Barat yang terwakili oleh sajian opera rock seperti yang dimulai dengan musical rock  “Hair” yang ditulis oleh Galt McDermot,James Rado  dan Gerome Ragni di tahun 1967 , Tommy” (1969) yang dibikin oleh grup rock Inggris The Who, kemudian muncul ”Jesus Christ Superstars” (1970) yang ditulis Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice , maupun “serta David Bowie yang menghasilkan opera rock “The Rise and Fall Of Ziggy Stardust and The Spiders of Mars” di tahun 1972.  

Tiga tokoh utama Wayang Orang Rock Ekalaya, Arjuna (Otong Koil),Ekalaya (Stevie Morley Item) dan Durna (Jikun /rif) (Foto WayangOrangRock)

Tiga tokoh utama Wayang Orang Rock Ekalaya, Arjuna (Otong Koil),Ekalaya (Stevie Morley Item) dan Durna (Jikun /rif) (Foto WayangOrangRock)

Selanjutnya Harry Roesli mengerjakan beberapa opera rock berlatar kisah legenda Indonesia seperti opera rock Sangkuriang yang berasal dari Jawa Barat.

Gagasan opera rock yang dilontarkan Harry Roesli ini ternyata menjadi inspirasi bagi sebagian anak muda saat itu.Satu diantaranya adalah Operette Cikini, kelompok opera berbasis musik rock yang digagas alumni Yayasan Perguruan Cikini di Jakarta antara tahun 1977-1979.Operette Cikini mengangkat khazanah pewayangan sebagai setting cerita dan dilumuri musik rock yang gegap gempita lewat lakon seperti Ramayana dan Mahabharata.Salah satu pemusik yang ikut mendukung musik dari Operette Cikini adalah Iwan Madjid keyboardis yang kemudian dikenal saat membentuk band rock progresif Abbhama dan Wow serta gitaris Eet Sjahranie.

Jopie Reinhard Item dan Stevie Morley Item (Foto WayangOrangRock)

Jopie Reinhard Item dan Stevie Morley Item (Foto WayangOrangRock)

Di tahun 1978 para mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia juga mengangkat legenda Roro Jongrang dengan balutan musik rock.

Kenapa harus bersimbiose dengan musik rock ? Karena rock dengan kredo kebebasan dan falsafah anti kemapanan serta perangai bunyi yang cenderung dinamis dan agresif, tak pelak lagi sangat lekat dengan gairah dan jiwa anak muda.Musik rock, sepakat atau tidak sepakat merupakan cerminan harkat anak muda sejak rock n’roll ditemukan pada era 50an dan menjadi supremasi gelegak semangat anak muda lewat ikon-ikonnya seperti Chuck Berry,Bill Halley maupun Elvis Presley.Ada nilai-nilai pemberontakan dan pembangkangan dalam letupan music rock.

Walhasil rock pun menjadi inspirasi dalam gerakan musik lain terutama dalam konteks pencerahan jati diri musikal sebuah genre musik Rock menjadi idiom untuk gagasan “peremajaan”, kita ambil contoh ketika pemusik jazz Miles Davis terpesona dengan penampilan musik rock gitaris Jimi Hendrix yang dielu –elukan para pemujanya dalam setiap pertunjukannya.Di tahun 1969 Miles Davis lalu memetik aura musik rock yang kemudian disusupkan dalam formula musik jazz rock lewat album “In A Silent Way” dan “Bitches Brew”.

Oma Irama merasa musik dangdut kerap dilecehkan sebagai musik kampungan dan hanya menjadi konsumsi masyarakat kelas bawah.Di tahun 1973 Oma Irama melakukan evolusi dalam tatanan musik dangdutnya dengan “meminjam” sound ala Deep Purple yang saat itu merupakan band rock dengan jutaan penggemar di Indonesia.Oma Irama melihat betapa anak muda sangat tergila-gila dengan musik rock mulai dari The Rolling Stones,Led Zeppelin,Black Sabbath,Uriah Heep hingga Deep Purple.Dengan cerdik Oma Irama lalu mengadopsi riffing gitar rock ala Ritchie Blackmore dari Deep Purple.Lengkingan vokal ala Ian Gillan dalam “Child In Time” pun diserapnya dalam teknik bernyanyinya.Sejak saat itu,atas gagasan Oma Irama,musik  dangdut pun bersenyawa dengan rock bahkan di tahun 1979 vokalis God Bless Achmad Albar bersama musik yang ditata gitaris Ian Antono menghasilkan  “Zakia” sebuah lagu dangdut bernuansa rock.

Dan tanggal 15 Maret 2014 ini sebuah gagasan berkesenian yang menggabungkan gugus budaya Barat dan Timur kemba lagi digelar di Tennis Indoor Senayan  dalam bentuk Wayang Orang Rock Ekalaya yang didukung sekitar 70 pemusik rock dalam sebuah lakon yang diangkat dari khazanah pewayangan   dengan sutradara Arie Dagienkz.      

Interpretasi Gamelan terhadap musik Rock (Foto WayangOrangRock)

Interpretasi Gamelan terhadap musik Rock (Foto WayangOrangRock)

Secara harafiah, Ekalaya dalam bahasa Sansekerta memiliki makna tentang konsentrasi satu ilmu atau pelajaran. Sosok Ekalaya yang tak letih berlatih di hadapan sebuah patung merupakan simbolis dari kegigihan dalam mencari ilmu tiada henti. Dalam Wayang Orang Rock ini seperti dalam pakem lakon pewayangan juga ada sosok-sosok seperti Arjuna,Anggareni hingga Durna.

Pola kreativitas dalam Wayang Orang Rock Ekalaya’ ini memang dikhitiarkan tampil dalam wujud kontemporer, misalnya  ada beberapa properti dalam cerita wayang yang dikolaborasikan dengan unsur musik, seperti panah diganti dengan gitar. Ekalaya dan Arjuna akan bertarung yang dalam pementasan ini diibaratkan dengan jamming gitar. Beberapa elemen multimedia pun ditambahkan seperti hologram agar pementasan ini terwujud sebagai pementasan yang mengusung unsur kekinian dengan menggabungkan kesenian tradisi dan teknologi digital.

Otong Sang Arjuna dalam Wayang Orang Rock Ekalaya

Otong Sang Arjuna dalam Wayang Orang Rock Ekalaya

Upaya-upaya yang terlihat dalam konsep Wayang Orang Rock Ekalaya ini justru banyak mengingatkan saya akan karya-karya yang menyandingkan konsep “east meet west” dalam pertunjukan yang dilakukan oleh Harry Roesli dan beberapa nama alin di era 70an. Misalnya saja dalam beberapa adegan terdengar interpretasi karya-karya rock klasik seperti “RockN’Roll” (Led Zeppelin),”Shine On You Crazy Diamond” (Pink Floyd) termasuk “Heartbreak Hotel” (Elvis Presley) dalam tata musik gamelan.Hal serupa pernah dilakukan Harry Roesli  di tahun 1976-1977 ketika menafsir ulang karya-karya rock and roll seperti “Walking The Dog” atau “Route 66” dalam laras gamelan yang eksotis.Seperti pula upaya Guruh Sukarnoputra yang memadukan gerakan-gerakan disko dengan tata busana tradisional Indonesia serta musik yang memadukan jatidiri musik tradisional dan Barat dalam pementasnnya di Balai Sidang Senayan pada Januari 1979 atau saat Guruh bersama kelompok musik Gipsy melakukan eksperimen mengawinkan musik rock dengan gamelan Bali dalam proyek “Guruh Gipsy” di tahun 1977.

Bisa jadi ini sebuah upaya atau gimmick yang menetaskan sebuah hibrida untuk menarik minat anak muda terhadap berkesenian terutama mencintai dan merawat seni budaya warisan bangsa dengan menyertakan bingkai pernak pernik yang cenderung kontemporer.     

Suket adalah rumput.Menurut Yockie Surjoprajogo suket itu bisa tumbuh (liar) dimana-mana.Bisa jadi Yockie tengah berfilosofi dengan Suket, sebuah proyek musik di tahun 1993 yang melibatkan banyak nama seperti Naniel (flute,suara latar),Jalu (kendang,perkusi),Edi Kemput (gitar),Rere (drums),Didiet Shaksana (bass),Ancha Haiz (vokal) .

Kaset Suket (Foto Denny Sakrie)

Kaset Suket (Foto Denny Sakrie)

Suket adalah proyek musik Yockie setelah keterlibatannya dalam Kantata Takwa maupun Swami.Dan mau tidak mau penyimak album yang sampulnya didominasi warna hijau lumut ini akan melakukan komparasi dengan kedua proyek musik Yockie bersama Iwan Fals,Sawung Jabo dan Setiawan Djody itu.Seluruh komposisi lagu ditulis oleh Yockie Surjoprajogo, sedang untuk divisi lirik ditulis oleh Naniel Kusnulyakin serta dua wartawan musik Remy Soetansyah dan Fajar Budiman.

suket2

Dari judul albumnya Potret Zaman,setifaknya kita bisa mereka-reka kearah mana konsep musiknya bergulir.Dibagian dalam kaset tertera tagline Hati Yang Tulus dan jiwa yang meredeka, hanya itulah semangat danpedomanku semoga dapat kau terima apa adanya .

Suket menebar kesaksian dan memotret sekeliling apa adanya lewat tutur lagu.Simak lirik Potret Zaman :

Kalau kebodohan dianggap kecelakaan

Akan semakin banyak pohon yang tumbang

Wajah wajah letih berjejer di tepi

hanya menanti  .

Suket juga menulis tentang fenomena jalan pintas tanpa mau bekerja dalam lagu Spekulasi :

Oh ambil jalan paling pintas

Membeli harapan yang semu

Bernafsu

susun nomer rejeki

Pada akhirnya Suket adalah seperti kumpulan opini keresahan atas kegalauan sosial yang tumbuh dan muncul dimana-mana disekitar kita.

suket3

Tracklist

1.Kontradiksi

2.Potret Zaman

3.Nyanyian Urban

4.Renungan

5.Spekulasi

6.Dunia Asmara

7.Doa Pada Cinta

8.Harapan Sang Fajar

9.tangkiwood

10.Oksigen Hitam

Benyamin Sueb Menghidupkan Betawi

Posted: Desember 22, 2013 in Uncategorized

Ingin tahu budaya Betawi ? Simak saja rangkaian repertoar musik almarhum Benjamin Sueb mulai dari akhir era 60an hingga 70an.Bagi saya Benjamin tak hanya sekedar penyanyi yang doyan becanda dengan spontanitas yang tinggi dalam melahirkan karya-karya secara impromptu.

Duet Benjamin S dan Rita Zaharah (Foto Denny Sakrie)

Duet Benjamin S dan Rita Zaharah (Foto Denny Sakrie)

Tapi ada wacana atau gagasan-gagasan tentang kehidupan yang terendap dalam karya-karyanya.Benjamin bahkan menghidupkan budaya Betawi dalam konteks lagu-lagunya baik dalam nuansa pop,kroncong,gambang kromong bahkan blues rock sekalipun.

Duet Benjamin Sueb dan Ida Royani iringan The Bebi's (Foto Denny Sakrie)

Duet Benjamin Sueb dan Ida Royani iringan The Bebi’s (Foto Denny Sakrie)

Benjamin tak hanya ligat,dia pun  bukan sekedar tangkas, atau jagoan improvisasi kata  yang cerdas dari kenyataan sehari-hari kauim marjinal, namun juga sosok yang  kerap berpikir dalam bingkai logika yang jelas.

Album Benjamin S dan Rossy (Foto Denny Sakrie)

Album Benjamin S dan Rossy (Foto Denny Sakrie)

Bagi saya,setidaknya dalam benak Benjamin ada gagasan moral yang selalu dupayakan  untuk dirawat.

Benjamin adalah sosok yang apa adanya.Tanpa pernak pernik.Tanpa gincu.Caranya menulis lagu, yang bisa lahir di mana saja, barangkali bisa menjadi gambaran bahwa Benjamin berupaya tampil  tanpa bumbu-bumbu. Lirik-liriknya yang ngejeplak,  irama yang diketemukannya, dan kadangkala ke sentimentilan yang mencuat keluar dari lagu-lagunya, di samping merupakan ekspresi yang jujur juga merupakan satu cara supaya bisa komunikatif.

Album Brang Breng Brong (Foto Denny Sakrie)

Album Brang Breng Brong (Foto Denny Sakrie)

Berpiajk pada sudut-sudut  yang apa adanya itu, dalam lagu-lagunya  Benjamin lalu  mencoba menyodorkan  pesan moral. Banyak orang dengan tidak sengaja hafal lagu-lagunya. Barangkali mula-mula karena tertarik oleh kemungkinan-kemungkinannya untuk memberi asosiasi saru, tapi lama-lama ternyata Ben berusaha mengingatkan pada sesuatu tanpa kesan mendikte. Sampai di sini orang mau tak mau jadi berpikir bahwa di balik segala kelucuan  Benjamin yang sarat  spontanitas , tersimpan disiplin yang baik untuk melempengkan kenyataan yang timpang sehari-hari. Sebuah upaya mengetengahkan kritik sosial yang sebetulnya menampar atau menjewer tapi terasa bagai sebuah anekdot yang mengocok perut.Maka tak heranlah jika suatu kali  pemusik  Mus Mualim mengungkap kata : “Hanya satu yang tidak diketahui orang tentang Benyamin. Dia menghidupkan lagu Betawi yang nyaris mati, itu jasanya. Sebaiknya memang kepadanya diberikan penghargaan”. Benyamin sendiri tak bisa berkata-kata terhadap hal ini. Barangkali ia tidak tahu benar apakah dia menggali atau mengacaukan kebudayaan Betawi.

Album Tukang Delman (Foto Denny Sakrie)

Album Tukang Delman (Foto Denny Sakrie)

Tipikal kebiasaan orang Betawi memang tampak jelas dalam lagu-lagu yang ditulis sekaligus dinyanyikan oleh Benjamin.Pendek kata, Benyamin adalah orang Betawi yang ikut menggali kebudayaan Betawi. Walaupun itu dilakukan dengan caranya sendiri, tapi memang kebanyakan orang Betawi cara hidupnya seperti yang dinyanyikan oleh Benyamin : Sok keren, tapi tidak mau kerja. Di sinilah baiknya Benjamin. Ia tidak hanya menunjukkan kelakuan orang Betawi tapi juga memperlihatkan pada orang Betawi bahwa cara yang semacam itu bisa terlintas, zaman. Sebetulnya tidak fair jika kita hanya menyoroti sosok  Benjamin saja ,akan n tetapi  para penulis dan pengarang lagunya juga ikut berjasa.

ben6

Namun hal yang melegakan  bahwa Benjamin tetap bertahan dengan Kebetawiannya. Ia tidak tergoda menyanyikan lagu selain dengan gaya dan lagu Betawi. Walaupun iramanya hard rock tapi syairnya letap Betawi, bahkan lagu Melayu pun gayanya tetap Betawi. Itulah yang menyebahkan dia tetap bertahan di hati masyarakat Betawi.Rasanya memang tak berlebihan jika kemudian banyak yang berkata bahwa Benjamin adalah sosok penyaksi,yang kemudian potret-potret kesaksiannya itu diperam dalam bentuk lagu dengan musik yang cenderung eklektik.

Album Benjamin dan Rita Zaharah "Ngelamar" (Foto Denny Sakrie)

Album Benjamin dan Rita Zaharah “Ngelamar” (Foto Denny Sakrie)

Barusan saya bongkar bongkar tumpukan piringan hitam pagi in.Dan saya menemukan sebuah album bertajuk “Christmas Song (1970) yang dirilis oleh PT Metropolitan Studio milik Yamin Widjaja,yang sekarang telah berubah menjadi PT MusicaStudio’s.

Album ini memuat lagu-lagu Natal seperti “Jingle Bells”,”White Christmas” hingga “I’ll Be Gome For Christmas”.Dinyanyikan sederetartis yang dikontrak oleh Metropolitan Studio’s yaitu Vivi Sumanti,Inneke Kusumawati,Tanty Josepha,Maya Sopha,Ernie Djohan dan satu satunya penyanyi pria Bing Slamet.Uniknya album ini rasanya lebih mencuat karena adanya tarikan suara yang khas dan elegan dari almarhum Bing Slamet.

Diiringi band Eka Sapta serta orkestrasi oleh Idris Sardi.

Acung jempol buat Bing Slamet terutama ketika menyanyikan lagu “I’ll Be Home For Christmas”yang populer di tangan Bing Crosby.Tak pelak Bing Salmet adalah pengagum berat Bing Crosby.Penghayatan Bing pun mendalam,padahal Bing bukanlah seorang Nasrani.

Piringan Hitam Christmas Songs (Foto Denny Sakrie)

Piringan Hitam Christmas Songs (Foto Denny Sakrie)

Lagu “I’ll Be Home For Christmas” ini memang istimewa.Lagu ini pertamakali direkam Bing Slamet eh….Bing Crosby pada tahun 1943,pada saat Perang Dunia ke II tengah berkecamuk.Lagu yang ditulis oleh pasangan James “Kim” Gannon dan Walter Kent ini memang bisa tak hanya sekedar sebuah lagu natal belaka,karena liriknya memang terasa humanis.Sebuah kerinduan akan kampung halaman,maupun kerinduan terhadap kehangatan sebuah keluarga yang lama ditinggalkan.Apalagi para prajurit yang tengah berlaga di medan perang.

I’ll be home for Christmas;
You can count on me.
Please have snow and mistletoe
And presents on the tree.

Christmas Eve will find me
Where the love-light gleams.
I’ll be home for Christmas
If only in my dreams.

Carol of the Bells
Hark! How the bells
Sweet silver bells
All seem to say,

“Throw cares away.”
Christmas is here
Bringing good cheer
To young and old
Meek and the bold

Ding, dong, ding, dong
That is their song
With joyful ring
All caroling
One seems to hear
Words of good cheer
From ev’rywhere
Filling the air

Oh how they pound,
Raising the sound,
O’er hill and dale,
Telling their tale,
Gaily they ring
While people sing
Songs of good cheer
Christmas is here
Merry, merry, merry, merry Christmas
Merry, merry, merry, merry Christmas

On, on they send
On without end
Their joyful tone
To ev’ry home

Hari Ini, 62 Tahun Harry Roesli

Posted: September 10, 2013 in Uncategorized

Bersama almarhum Harry Roesli Agustus 1997 di Radio M9&FM (Foto Denny Sakrie)

Bersama almarhum Harry Roesli Agustus 1997 di Radio M9&FM (Foto Denny Sakrie)

Hari ini pemusik serba bisa Harry Roesli berulang tahun yang ke 62.Dilahirkan dengan nama  Djauhar Zaharsjah Fachruddin Roesli.Dia adalah cucu dari pujangga Marah Roesli yang menghasilkan karya sastra Siti Nurbaja dan Kasih Tak Sampai. Bagi saya Harry Roesli bukan hanya sekedar pemusik jenius tayang yang paham lekak lekuk music dalam berbagai ragam angle tapi Harry Roesli adalah pemikir yang banyak menjejalkan karya karya seni mulai dari seni musik,teater hingga hasil pembenturan-pembenturan dari berbagai cabang seni lainnya.Harry Roesli yang sejak era 70an kerap disebut Biang Bengal Bandung memang laksana petualang seni yang kerap gelisah dan selalu melakukan pencarian-pencarian dalam berbagai kemungkinan-kemungkinan yang terkadang mendahului zamannnya.  Garis turunan keluarganya memperlihatkan bahwa keluarga Roesli adalah turunan cerdik cendekia.Saudara saudara kandungnya adalah sarjana dari berbagai disiplin ilmu termasuk Harry Roesli yang pernah mengenyam pendidikan Teknik Mesin Penerbangan di Institut Teknologi Bandung.Namun karena keghelisahan akan eksplorasi seni yang kian berbuncah-buncah menyebabkan dia nekad meningglkan kampus ITB yang menjadi impian orang banyak ditahun 1975.Antara tahun 1975 – 1977 Harry Roesli malah pindah ke Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang kini dikenal sebagai Institut Kesenian Jakarta (IKJ) mengambil jurusan Komposisi Musik.Setahun berselang Harry malah memilih mengambil beasiswa musik yang ditawarkan  Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk  di Rotterdam Conservatorium Belanda pada tahun 1978.

Sejak itulah Harry Roesli menghambakan dirinya pada seni.Kesenimanannya pun mebnjadi totalitras yang tak terbantahkan lagi.Harry Roesli selalu berada dalam peristiwa seni apa pun di negerin ini .Sebuah kelenturan dalam berkesenian yang rasanya jarang ditemukan dalam sosok seorang seniman di negeri ini.Harry Roesli kadang menjembatani antara seni arus besar dan oposisinya tanpa rikuh sedikit pun.Tak ada yang mencerca Harry Roesli ketika dia tampil sebagai juri dalam kompetisi vokal berbasis sms di layar kaca AFI Indosiar pada awal era 2000an.Tak sedikit penonton yang terpingkal-pingkal menyimak komentar Harry Roesli yang nyeleneh dan kerap diluar pakem atau kaedah-kaedah yang mainstream.Belum lagi ketika Harry Roesli selalu menampilkan alter ego bernama Drs.Arief.Sebetulnya tanpa kita sadari Harry Roiesli telah melakukan permainan ganda dalam tugasnya sebagai juri kompetisi vokal,yaitu kritik sosial. Kritik sosial berbalut humor adalah hal yang telah dilakukannya sejak era 70an

 

  Dimata saya sosok   Harry Roesli adalah seniman yang mengaduk aduk banyak dimensi seni,entah itu musik,teater hingga film menjadi medium untuk bercermin,medium untuk menera perilaku kita termasuk medium untuk kritisi.Walaupun banyak yang kerap tidak nyaman dengan idiom idiom Harry Roesli dalam mengkritik tapi dia tak pernah lelah melakoni sosok kesenimanannya untuk mengabarkan ketimpangan-ketimpangan serta berbagai telikung telikung yang berpendar diman-mana. , karya-karyanya masih tertoreh kuat dalam ingatan kita. Harry Roesli adalah sosok jenius yang banyak berkutat dalam pelbagai peristiwa budaya maupun sosial. Ketajaman intuisinya banyak melahirkan karya-karya fenomenal yang tak jarang cenderung ke pola kritik sosial. Ia acapkali melakukan gugat. Gugat terhadap ketimpangan sosial. Gugat terhadap kesewenangan. Gugat terhadap keculasan, dan seterusnya.
Lagu Jangan Menangis Indonesia itu sendiri tercetus setelah mencuatnya Peristiwa Malari pada 1974 yang banyak melibatkan protes dari para mahasiswa, termasuk Harry Roesli yang tengah mengenyam kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Harry Roesli yang kerap dijuluki biang Bengal Bandung ini juga sempat merasakan penjara yang pengap.
Jika menilik karya-karyanya yang terangkum pada sekitar 20-an lebih album, sederet karya musik panggung hingga teater, maka kita bisa menangkap benang merah kerangka berpikir Harry Roesli yang lugas, tegas, tanpa tedeng aling-aling, terhadap hipokritas, tapi disajikan dalam semangat bercanda. Harry Roesli memang akrab dengan bingkai yang satirikal. Kadang, ia mengungkap tematik dengan menjungkirbalikkan logika.
Rasanya tak jauh berbeda dengan tokoh musik Amerika Serikat yang dikaguminya, Frank Zappa. Semangat humor terus terpompa dalam karya karyanya yang sarat simbol-simbol beratmosfer parodi. Lihat bagaimana Harry Roesli memotret jalan kehidupan Ken Arok, tokoh dari Singosari yang dikenal dengan kredo menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan dalam rock opera bertajuk Ken Arok.
Ken Arok berselingkuh dengan Ken Dedes, isteri Tunggul Ametung. Ken Arok bahkan menghabisi nyawa Tunggul Ametung dengan menggunakan keris bikinan Empu Gandring. Simak penggalan liriknya ini :
Kubunuh suamimu
kurebut tahtanya
dan engkau kujadikan isteriku!
Kritik demi kritik menyemburat dalam sejumlah album-albumnya, seperti Phylosophy Gang (1973), Titik Api (1975), Ken Arok (1977), Gadis Plastik (1977), Tiga Bendera (1977), LTO (1978), Daun (1978), Jika Hari tak Berangin, (1978) dan masih banyak lagi.
Tahun 1978, Harry Roesli bertolak ke Belanda untuk menjalani studi musik di Rotterdam Conservaorium Den Haag, Belanda. .Setelah meraih gelar doktor  dalam bidang musik 1981 , semangat berkarya Harry Roesli seolah tak terbendung lagi.

Semangat berkarya Harry Roesli  menyemburat bagai keran yang telah dibuka katupnya. Beberapa karyanya memang mulai banyak memihak pada ragam kontemporer seperti Musik Rumah Sakit hingga Musik Sikat Gigi. Harry bahkan mulai berkolaborasi dengan beberapa kelompok teater, seperti Teater Koma milik N Riantiarno maupun Teater Mandiri yang dikelola Putu Wijaya. Harry secara serius terlibat dalam pementasan teater Opera Kecoa maupun Opera Ikan Asin yang menyedot banyak penonton.
Di samping itu, ekspresi musik dan teaternya diwujudkan dalam Depot Kreasi Seni Bandung yang bermarkas di rumahnya, di Jalan WR Supratman Bandung. Rumah besar milik keluarga Ruslan Roesli ini seolah menjadi mata air kegiatan seni di wilayah Bandung.
Di saat-saat terakhir, Harry Roesli yang pergi meninggalkan seorang isteri dan dua putra kembar sempat menitipkan pesan yang bisa bermakna luas: ‘Jangan matikan lampu di kamar kerja saya’. Dan, karya-karya Harry Roesli sesungguhnya memang tak pernah mati.Tetap hidup hingga akhir zaman.

Saya yakin Harry Roesli adalah seniman yang cinta negerinya.Harry Roesli,tak berlebihan jika saya sebut sebagai seorang nasionalis sejati.
Jangan menangis Indonesia kami berdiri membelamu Pertiwi.
Itulah penggalan lirik Jangan Menangis Indonesia, karya Harry Roesli yang berkumandang membelah langit nan mendung saat pemakaman tokoh musik Indonesia, Ahad 12 Desember 2004 di Ciomas, Bogor, Jawa Barat. Pemusik yang doyan bercanda,jahil dan jagoan makan  ini menghembuskan napas terakhirnya pada hari sabtu 11 Desember 2004 di Rumah Sakit Jantung Yayasan Harapan Kita Jakarta.
Seperti halnya banyak sosok sosok jenius dan berbakat lainnya,Harry Roesli telah cepat pergi meninggalkan kita semua.

 

Denny Sakrie

Tahun ini begitu banyak pemusik yang berpulang termasuk George Duke yang meninggal dunia pada Senin (5/08/2013) lalu. Cukup terhenyak mendapat kabar berpulangnya George Duke dalam usia 67 tahun.

Awal Maret 2013 lalu saya sempat bertemu George Duke yang tampil dengan The Clarke/Duke Project, kolaborasi yang digagasnya bersama bassist virtuoso Stanley Clarke sejak 1981. Tercatat sejak tampil dalam perhelatan Java Jazz Festival yang pertama pada 2005, George Duke beberapa kali muncul di ajang jazz yang digagas Peter F. Gontha tersebut.

George Duke dan Denny Sakrie (Foto Audrey Widyanata)

George Duke dan Denny Sakrie (Foto Audrey Widyanata)

Saya selalu bertemu dan ngobrol dengan George Duke saat dia manggung di Java Jazz pada 2005, 2010, 2012 dan 2013. Dalam setiap konsernya di Jakarta, George Duke kerap mengajak pemusik Indonesia untuk tampil bareng di panggung mulai dari Glenn Fredly hingga Cindy Bernadette, bahkan di album terakhirnya George Duke mengajak Dira Sugandi bernyanyi dalam sebuah lagu.

Saat saya bertemu dengan George Duke pada 2 Maret 2013 lalu di Borobudur Hotel, Jakarta, terlihat banyak perubahan dalam fisik Duke. Air mukanya tampak lebih tua dari usianya, apalagi Duke menggunakan topi untuk menutupi kepalanya yang plontos. Duke tampak seperti mengidap penyakit. Tapi hal itu tak berani saya tanyakan.

Dari hasil berselancar di dunia maya saya memperoleh info bahwa Duke mengidap leukemia yang kronis. Ada juga yang mengatakan bahwa kondisi fisik Duke kian menurun setelah berpulangnya sang isteri tercinta Corine pada 2012 lalu. George Duke depresi.

Namun ia tetap berusaha ceria dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar musik. Bahkan tampil energik dan penuh rasa humor saat konser bersama Stanley Clarke di Java Jazz Festival. Kegairahan Duke tampaknya berasal dari musik yang telah digelutinya sejak kecil. Musik adalah hidup Duke. Musik pula yang menghidupkan semangat Duke saat jiwanya terkulai.

George Duke mencintai musik sejak balita. Suatu hari saat usia 4 tahun, sang ibu mengajaknya menonton konser pianis Duke Ellington dan big bandnya. “Meskipun saya tak terlalu ingat persis seperti apa,” kenang George Duke. Yang pasti sejak saat itu, Duke kecil selalu merengek minta dibelikan piano.

George Duke 6 Maret 2011 di Java Jazz Festival (Foto Denny Sakrie)

George Duke 6 Maret 2011 di Java Jazz Festival (Foto Denny Sakrie)

Menginjak usia 7 tahun mulailah George Duke belajar mendentingkan tuts piano. “Saat itu merupakan pertama kalinya saya bermain musik funky,” ungkap George Duke saat saya mewawancarainya pada 2005 silam. Memasuki usia 16 tahun Duke telah bergabung dalam sejumlah grup jazz sekolahan. Saat itu Duke mulai banyak dipengaruhi karya-karya Miles Davis hingga Les McCan dan Cal Tjader.

George lalu belajar musik di San Francisco Conservatory of Music dan mengambil jurusan komposisi musik dan trombone serta contrabass. Gelar sarjana musik diraihnya pada 1967.

Berbekal sebagai seorang multi-instrumentalis dan komposer, mulailah Duke menceburkan diri ke industri musik. Saya masih ingat saat George Duke tampil di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, 4 Maret 2005 dalam Java Jazz Festival yang disesaki ratusan penonton, George Duke sempat menyelipkan cuplikan komposisi karya Zappa “Echidna’s Arf (Of You)” dari album Frank Zappa Roxy & Elsewhere (1974).

Bisa jadi penonton yang datang malam itu tidak ngeh dengan kejahilan George Duke ini. Sebab, penonton rata-rata memang ingin menghanyutkan diri dengan karya-karya pop Duke seperti “Sweet Baby” hingga “Born to Love You” yang sempat populer diputar di radio-radio lokal pada dasawarsa 80-an.

Saya yakin George Duke paham betul bahwa penonton yang menyaksikan penampilannya memang tak sepenuhnya memahami jazz yang sesungguhnya. Bahkan dalam kariernya sendiri Duke memang memasang strategi semacam ini. Tak aneh jika dalam portofolio musiknya Duke tak hanya memainkan jazz tapi juga pop, R&B, hingga rock sekalipun. Sosoknya bisa dianalogikan dengan bunglon yang memiliki kemampuan mengubah-ubah warna kulit.

Meskipun perangai semacam ini sering dicaci kalangan purist, namun George Duke tak sendirian. Kita mengenal Herbie Hancock yang bisa memainkan jenis musik apa pun. Bahkan Miles Davis, salah satu mentor George Duke lainnya, pun menerapkan hal serupa ketika bereksperimen menyilangkan jazz dengan rock di akhir 1960-an. George Duke di era 80an sempat diajak Miles Davis mendukung album Tutu (1986) dan Amandla (1989).

George Duke membubuhkan tandatangan diatas cover album From Me To You milik saya (Foto Denny Sakrie)

George Duke membubuhkan tandatangan diatas cover album From Me To You milik saya (Foto Denny Sakrie)

“Saya sangat beruntung bisa bertemu dan bekerja sama dengan orang-orang seperti Frank Zappa atau Miles Davis. Wawasan musik saya pun menjadi luas,” tutur George Duke.

Bahkan jika tidak bermusik dengan Frank Zappa, cerita Duke, dirinya mungkin tidak akan bernyanyi hingga sekarang ini. “Suatu ketika Zappa menyuruh saya untuk menyanyi. ‘Hey look, I need this note here and I need you to sing it.’ Dan sejak itulah saya mulai menyanyi,” ujar George Duke.

Denny Sakrie dan George Duke di Java Jazz Festival Jumat 4 Maret 2005 (Foto Mumu)

Denny Sakrie dan George Duke di Java Jazz Festival Jumat 4 Maret 2005 (Foto Mumu)

Dalam album Frank Zappa, One Size Fits All (1974), George Duke diberi kesempatan oleh Zappa untuk bernyanyi tunggal lewat komposisi bertajuk “Inca Road”.
Frank Zappa pun memaksa Duke untuk memainkan mini Moog synthesizers yang ditemukan Dr. Robert Moog itu.

“Banyak yang bisa kamu peroleh dengan synthesizer,” pesan Zappa ke George Duke suatu hari. Dan sejak itu pulalah George Duke tidak hanya berkutat dengan piano akustik. Duke pun mulai merambah pelbagai bunyi-bunyian sintesis melalui synthesizer.

“Sejak bergabung dengan Zappa saya mulai banyak bereksplorasi dengan musik apa saja,” kata George Duke.

Selepas dari Frank Zappa, pada 1976 George Duke mulai bersolo karier. Sekitar 40 album solo telah dihasilkannya. Berbagai elemen musik mencuat dari karya-karya solonya.

“Unsur funk yang ekspresif memang selalu terasa dalam album-album saya,” kata George Duke yang sejak awal merekam suaranya selalu menggunakan teknik falsetto. Namun memasuki dekade ’80-an, Duke malah lebih menata musiknya ke arah pop yang manis.

Salah satunya ketika George Duke bersama bassist Stanley Clarke menghasilkan hit “Sweet Baby” dari album The Clarke/Duke Project (1981) dan mendapat Grammy Award untuk kategori Best R&B Performance by Duo Or Group pada 1981.

Selamat jalan George Duke. So long, Dukey !

Ngawur Itu Tedjo (yang) Jujur

Posted: Agustus 16, 2013 in Uncategorized

Pertama kali mendengar nama Sudjiwo Tedjo ketika dia bekerja sebagai jurnalis di harian Kompas.Saya mulai mengakrabi tulisan Tedjo terutama yang menyangkut perihal budaya maupun sosial.Di akhir era 90an Tedjo sempat pula menulis tentang M97FM radio tempat saya bekerja, radio untuk lelaki dewasa yang menggilai classic rock era generasi bunga. Namun saat itu saya sudah mendengar bahwa jurnalis yang berambut gondrong ini juga menekuni karir sebagai seoarang dalang.Saya juga mendengar, karena saya belum pernah nonton Tedjo mendalang, bahwa dia kerap mengotak atik pakem pewayangan.Tokoh baik jadi jahat,tokoh jahat jadi baik.Orang menjulukinya Dalang Edan.Jelas saat itu saya penasaran dengan kredo berkesenian Tedjo dalam kancah pewayangan, apalagi dengan kejahilannya mengoprak-oprek pakem yang sudah menjadi tradisi.Tapi saya belum pernah sedikitpun memperoleh kesempatan untuk menyaksikan Tedjo mendalang.Karena kecenderungan Tedjo melawan arus besar itu rasanya hampir sama ketika kita melepas semua busana tata krama dalam tubuh kita dan telanjang dalam kejujuran yang hakiki.Kenapa anak muda memilih musik rock dalam aktualisasi diri ? Karena dogma kebebasan termasuk melawan kemapanan ada dalam deru musik rock yang menggelegak.

Sudjiwo Tedjo

Sudjiwo Tedjo

Suatu hari ditahun 1998 akhirnya saya mendengar Sudjiwo Tedjo merilis album rekaman.Bah, tampaknya jurnalis gondrong ini mulai melakukan ekspansi berkesenian, mulai dari dalang wayang hingga menjadi penyanyi.Dan Tedjo ,seperti saat mendalang, memiliki sikap yang kuat, ingin tampil berbeda.Dia bukan mengincar posisi penyanyi yang dielu-elukan jutaan penggemar serta didera kerlap-kerlip cahaya .Tedjo bernyanyi karena ingin menyampaikan sesuatu.Itu bisa saya maknai ketika mendengar lagunya yang diberi judul “Pada Suatu Ketika”yang liriknya menggunakan bahasa Jawa lengkap dengan cengkok Jawa yang kental tapi musikal.Liriknya bertutur tentang keinginan agar angkara murka di negeri segera berakhir.Tedjo pun mengentaskan musik tradisi Banyuwangi, kawasan yang konon banyak terpengaruh musik Cina dan Jepang. Semangat eklektik dalam mengolah musik jelas tercermin dari album perdana Tedjo itu .Dengan menggamit sosok bassist jazz Bintang Indrianto dalam menata musik, Tedjo seperti ingin menelusuri genre dan subgenre musik,yang melintas dari Barat hingga ke Timur. Saat itu pula saya  teringat Harry Roesli,pemusik yang sejak paruh 70an kerap dijuluki Biang Bengal Bandung. Saat itu pula saya mulai membanding-bandingkan sosok Harry Roesli dan Sudjiwo Tedjo. Ternyata ada beberapa kemiripan dalam sosok mereka berdua kecuali fisik, karena Harry Roesli agak gempal dan Sudjiwo Tedjo kurus.Pertama,keduanya memiliki multi talenta dalam musik.Harry Roesli terampil memainkan instrumen musik  apa saja mulai dari drum,bass,gitar,keyboard hingga perkusi.Sudjiwo Tedjo mampu memainkan cello,biola hingga saxophone.Keduanya menulis komposisi lagu dan arransemen.Keduanya pun tampil sebagai penyanyi dengan gaya yang seenaknya dan urakan.Dalam menulis lirik lagu, baik Harry Roesli maupun Sudjiwo Tedjo sama nakalnya,sama jahilnya atau kalau pinjam istilah Remy Sylado sama-sama mbeling.Keduanya memiliki sikap yang kritis terhadap situasi sosial hingga politik, namun tetap berbalut selimut satir yang cair.

Dan yang kedua, baik Harry Roesli dan Sudjiwo Tedjo sama sama pernah mengenyam pendidikan di ITB Bandung dan keduanya akhirnya mundur dari dunia kampus karena keinginan yang menderu-deru berkiprah di dunia musik.Musik,dalam sudut pandang Tedjo, merupakan karunia Tuhan yang tak ada habis-habisnya untuk digali.Ini saya rasakan manakala menyimak album per album yang dirilis Sudjiwo Tedjo.Kredo menolak pakem arus besar menjadikan tiap album Sudjiwo Tedjo selalu dalam bingkai yang berbeda.Dalam album Syair Dunia Maya,Tedjo menata barisan kata-kata menjadi bunyi musikal yang paling natural. Pengaruh mendalang pun tertuang dalam lagu “Saya dan Punakawan”dimana Tedjo secara simultan memerankan tokoh Semar,Gareng,Petruk hingga Togog.

Entah kenapa saat menyimak album ini saya menyebut Tedjo sebagai Zappa Jawa.Apalagi saat menyimak lagu Tingkah-Tingkah.Bisa jadi Tedjo terilhami Frank Zappa, seperti halnya Harry Roesli yang mengaku banyak menyerap nuansa Zappa dalam karya-karyanya.Dalam benak saya antara Sudjiwo Tedjo,Harry Roesli dan Frank Zappa memang berada dalam frekuensi dan mindset yang sama.Mereka bermain musik atau berkesenian lainnya dengan ekspresi “ngawur” dan kerap menempatkan elemen humor dan seksualitas  dalam idiom-idiom liriknya. Saya jadi teringat quote Tedjo :”Ketika yang ilmiah,sistematis,dan formal itu hanya kedok belaka yang justru banyak membohongi.Sekarang sudah saatnya ngawur saja.Ngawur karena benar “  .Dan ngawur itu sikap Tedjo yang jujur.

 Kata Jancuk yang dianggap tabu,dipilih Tedjo untuk menangkal kemunafikan yang telah menjadi pupur keseharian kita. Jancuk pada akhirnya menjadi idiom ekspresi yang bisa meluluhlantakkan basa-basi yang tak perlu. Dan Tedjo pun bersenandung :

 ada otak kosong kasih awalan Jan
kasih akhiran cuk otakmu..JANCUK
ayo tanpa dasar biar hidup dalam
ayo kosong-kosong biar gampang ngisi
hidup pakai dasar itu cetek cetek cetek
kalau otakmu full susah ngisi ngisi ngisi
lebih gampang kalau hidupmu JANCUK
lebih gampang kalau JANCUK

 

Jakarta 14 Agustus 2013

 

Album Broery & The Pro's,peninggalan almarhum Pomo yang berperan sebagai peniup saxophone

Album Broery & The Pro’s,peninggalan almarhum Pomo yang berperan sebagai peniup saxophone

Deasy Arisandi jadi cover majalah Aktuil di era 70an

Deasy Arisandi jadi cover majalah Aktuil di era 70an

Sepekan ini ada dua sosok dunia hiburan Indonesia era 70an yang berpulang kerahmatullah. Yaitu penyanyi Deasy Arisandi yang menghembuskan nafas terakhir pada 30 Juni 2013 .Lalu Soepomo atau lebih dikenal sebagai Pomo,peniup saxophone band The Pro’s dan juga pernah mendukung The Rollies di tahun 1978, berpulang kamis 4 Juli 2013.

Deasy Arisandi mulai berkarir saat berusia 15 tahun dengan mengikuti lomba nyanyi Pop Singer Anak-anak 15 tahun ke bawah di Taman Ria Monas tahun 1971 . Deasy  hanya masuk semifinalis. Tahun 1972 Deasy ikut lomba lagi , dan jadi juara satu. Dari situ pintu terbuka lebar bagi Deasy untuk jadi penyanyi profesional.Tahun 1973, Deasy merilis album debut bertajuk  Seuntai Bunga Tanda Cinta.

Deasy telah menghasilkan sebanyak 20 album termasuk tampil di layar lebar bersama Titiek Puspa dan Enny Haryono dalam film komedi Tiga Crewek Badung.

Soepomo adalah salah satu saxophonis terbaik negeri ini yang tergabung dalam The Pro’s bersama Dimas Wahab (bass),Broery Marantika (organ,vokal),Fuad Hasan (drums),Enteng Tanamal (gitar),juga Abadi Soesman (keyboard) dan Chrisye (bass).

Selain terampil meniup saxophone,Pomo juga kerap bernyanyi.Lagu yang paling sering dinyanyikannya adalah Timang Timang. Di tahun 1978 Pomo sempat masuk formasi The Rollies mengisi posisi Benny Likumahuwa yang mengundurkan diri.

Energi kreatif Iwan Fals tampaknya masih membara selaik magma.Dua tahun setelah rilis album “Keseimbangan” (2012) Iwan kembali merilis album baru ,sebuah album ganda bertajuk Raya.Riak riak gugat dalam karya terbaru Iwan Fals masih keras berdegup.Wajah Iwan boleh menua.Rambut dan alis matanya mulai memutih bagai salju. Tapi intuisi berkarya dalam musik serta respons terhadap keadaan sekelilingnya masih berdarah-darah.Iwan tetap sosok penyaksi yang tak pernah diam.Iwan adalah penyanyi gugat yang terus memompakan energi dalam lagu-lagunya.

Iwan Fals bersama isteri dan kedua anaknya saat peluncuran album Raya 25 Juni 2013 di Rolling Stone Cafe (Foto Denny Sakrie)

Iwan Fals bersama isteri dan kedua anaknya saat peluncuran album Raya 25 Juni 2013 di Rolling Stone Cafe (Foto Denny Sakrie)

Saya kaget dan kagum terhadap konsistensi Iwan yang tampak tak pernah lekang,putus maupun pupus.Setidaknya ketika menyimak suaranya bernyanyi yang terasa kian arif dan bijaksana tapi menohok pada lagu Rekening Gendut yang terdapat pada album Raya :

Angka angka terus memuai entah dari mana singgah dimana.
Transaksi gelap di dunia perbankan
Rahasia umum atas nama kepentingan umum.
PNS muda mungkin jugavyang tua
TNI Polri juga tak terkecuali.
Entah bagaimana dengan presidennya.
Wakil rakyatnya rekening gendut
Jaksa dan hakim rekening gendut
Wartawannya rekening gendut

Iwan betul-betul tak berubah.Dia tetap seperti Iwan yang dengan lantang menyanyikan Oemar Bakrie pada tahun 1981 atau secara anthemic menyanyikan “Surat Buat Wakil Rakyat” di sekitar tahun 1987.

Iwan masih mampu menuliskan deretan kalimat gugat dalam lagu-lagu terbarunya.Simak saja lagu “Katanya” :

Kalau orang miskin dilarang sakit
Tentulah makam akan bertambah sempit
Kalau orang miskin tak boleh pandai
Tentu serakah semakin menyeringai
Sempat aku bingung kenapa ini terjadi
Di negeri yang subur yang baik hati
Katanya zamrud khatulistiwa
Nyatanya kilau airmata
Katanya serpihan surga
Nyatanya ?

Ada 18 lagu yang termaktub di album Raya, album yang judulnya diambil dari puteranya yang ketiga Raya Rambu Rabbani.Lengkaplah sudah ketiga anaknya diabadikan dalam lagu dan judul album mulai dari “Galang Rambu Anarki” (1982),”Cikal” (1991) dan akhirnya “Raya” ( 2013).