Arsip untuk Agustus, 2010

35 Tahun Erros Djarot Berkarya

Posted: Agustus 29, 2010 in Sosok

Erros Djarot 1970

Album kedua Barongs Band yang dirilis Nirwana Record Surabaya

Album kedua Barongs Band yang dirilis Nirwana Record Surabaya

35 Tahun Erros Djarot Berkarya :

KARYA BERBALUR NASIONALISME

Oleh  Denny Sakrie

“Saya bukan penyanyi……” itu kalimat sakti Erros Djarot yang kerap keluar dari mulutnya,setidaknya  saat lelaki berkumis tebal  yang bernama asli Soegeng Djarot ini tampil di depan publik bersama Barong’s Band,band anak Indonesia yang terbentuk di Koeln Jerman Barat pada awal era 70-an..Tepatnya 35 tahun silam pada tanggal 14 dan 15 Mei 1976 di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Dan kalimat sakti itu justeru keluar lagi dari mulut Erros Djarot dihadapan banyak tamu yang menghadiri acara terbatas “35 Tahun Erros Djarot Berkarya” di Lunar Lounge Pondok Pinang Jakarta Selatan 23 Juli 2010. Setidaknya lagi kalimat sakti itu bisa menjadi jembatan permakluman  apabila ternyata  Erros yang malam itu merayakan ulang tahunnya yang ke 60 bernyanyi tak merdu,tidak pitch dan lain sebagainya. Dalam perhelatan yang banyak dihadiri kerabat Erros dari kalangan  pemusik,seniman,budayawan, politikus,wartawan dan entah apa lagi,itu pada umumnya penasaran ingin mendengar suara Erros Djarot sesungguhnya seperti apa .Karena saya yakin tak semua orang pernah menyimak album Barong’s Band yang menampilkan suara Erros Djarot.Barong’s Band sendiri tercatat hanya sekali tampil di TVRI yaitu pada tanggal 5 Mei 1976 dan hanya sempat sekali menggelar konser di TIM Jakarta pada pertengahan Mei 1976. Selama ini kha layak hanya mengetahui bahwa Erros Djarot yang kini menambah satu huruf r pada nama depannya adalah kreator utama dari album soundtrack film “Badai Pasti Berlalu” (1977) yang melejitkan pula sosok Chrisye maupun Berlian Hutauruk hingga Yockie Suryopryago dan Fariz RM. Walaupun sejak awal 70-an pernah ngeband dgn berbagai band mulai dari Chekink II,The GIBS  hingga berlanjut ke band yang terbentuk di Jerman seperti Kopjaeger dan Barong’s Band,Erros tetap merasa dirinya bukan pemusiki yang sesungguhnya.”Saya ini  seorang pemimpi ” itu kalimat yang kerap pula muncul dari mulutnya manakala ada yang menanyakan ikhawal musikalitas Erros Djarot. Malam  itu Erros memang seperti ingin melakukan napak tilas terhadap karirnya di zona musik”Beberapa sahabat awalnya berniat merayakan hari ulang tahun saya pada  22 Juli 2010 .Ide yang kurang kreatif ini saya respon dengan penolakan. Ketika mereka menyodorkan alternative tema “35 Tahun  perjalanan Erros Djarot Berkarya” , usulan ini langsung saya setujui.Langsung pula saya kontak temen temen lama ,Debby Nasution,Yockie,Keenan Nasution untuk memberitahu adanya ide dadakan  ini. Akhirnya kita sepakat dan saling heran .seakan tak percaya….Waw ! Setelah puluhan tahun absen akhirnya kita bersama manggung lagi.Melepas kerinduan terhadap pencinta musik kami” ungkap Erros Djarot panjang lebar.

Erros Djarot saat tergabung dalam band The GIBS di TVRI tahun 1970

Erros Djarot saat tergabung dalam band The GIBS di TVRI tahun 1970

Meskipun  sempat diguyur hujan, tapi para tetamu malah tak beringsut sedikitpun  dari Lunar Lounge yang menggelar semacam garden party.Terlihat beberapa pemusik kerabat Erros di era 70-an seperti Keenan Nasution,Gauri Nasution,Oding Nasution,Debby Nasution ,Harry Sabar,Harry Minggoes,Doddy Soekasah termasuk  Titik Puspa,Setiawan Djody,Franki Raden hingga Iwan Fals.Wajah wajah dari ranah politik pun terlihat seperti Hayono Isman,Soetiyoso,Roy BB Janis,Zulkifly Hasan serta dari kalangan media  mulai dari Bambang Harymurti hingga Ishadi SK Pada saat perjamuan makan malam di kotak speaker terdengar lagu protes Erros Djarot yang dirilis sesudah lengsernya Soeharto pada Mei 1998 silam,lagu itu bertajuk “Janganlah Menangis Indonesia”.Lagu itu dinyanyikan oleh wartawan Detik,tempat Erros memimpin sebuah media cetak.Tapi lagu itu memang banyak yang tak mengenal.Suasana kian riuh dengan aroma nostlagia sambil mencicipi makanan yang tersedia melimpah. Lalu putera Erros Banyu Biru tampil ke panggung memperkenalkan sosok ayahnya yang malam itu genap berusia 60 tahun.

Erros Djarot dan Slamet Rahardjo Djarot (Foto Drigo Tobing)

Erros Djarot dan Slamet Rahardjo Djarot (Foto Drigo Tobing)

Kakak kandung Erros,Slamet Rahardjo pun naik ke pentas bertutur tentang adiknya itu. Berlanjut dengan sajian musik dari para penyanyi masa kini seperti Farman,Anissa dan Lea Simanjuntak yang membawakan lagu lagu karya Erros dari album “Tribute to Erros Djarot” (2009). Slamet Rahardjo kemudian tampil membawkan lagu dengan nuansa laid-back jazz “Sendiri Menembus Malam”.Konon lagu ini khusus ditulis Erros untuk dinyanyikan abang kandungnya itu. Erros  Djarot lalu mengambil alih posisi sebagai penyanyi.Dengan sumringah Erros membawakan  sekitar 6 lagu  dengan dukungan Gauri Nasution (gitar|),Debby Nasution (keyboard) dan Harry Minggoes (bass).Sepintas formasi ini mengingatkn kita pada formasi Barong’s Band yang tampil di TIM pada tanggal 14 Mei 1976 silam. Dibuka dengan lagu “Pelangi” dari album Badai.Debby memetik gitar akustik.Erros pun menyanyi.Beberapa penonton malah ikut bernyanyi .Disela-sela penampilannya Erros bertutur tentang lagu-lagu yang dinyanyikannya seperti “Angin Malam”,”Khayalku”,”Semusim”.Lalu berlanjut ke lagu yang bernuansa geram “Negeriku Cintaku”.Lagu yang dipopulerkan Keenan Nasution ini ditulis oleh Debby Nasution dan Erros Djarot pada tahun 1976.Liriknya pun provoke :

Hei kaum muda masa kini Kita berantaslah korupsi Jangan kau biarkan mereka Menganiayai hati kita Keenan Nasution hanya tersenyum melihat Erros menyanyikan lagu itu dengan penuh semangat di panggung.Aroma prog-rock menyeruak dari permainan keyboard Debby Nasution yang banyak terpengaruh gaya Rick Van Der Linen,pemain keyboards grup prog-rock Belanda Ekseption. Erros masih melanjutkan lagi penampilannya dengan lagu “Tuhan” yang diambil dari album Barong’s Band di tahun 1976. Acara yang berlangsung meriah itu berakhir dipertengahan malam.Iwan Fals didaulat untuk tampil .Lagu bermuatan gugat tentang republik ini berkumandang dari tenggorokan Iwan Fals.

Dalam perayaan “35 Tahun Erros Djarot Berkarya” mengemuka kredo bermusik Erros yang tampak nyata selama ini yaitu berada dalam kitaran karya romansa dan kritik sosial.Tampaknya Erros memang berada di dua kutub yang saling berbeda perangai itu.Disatu sisi Erros mengemuka dengan romantisme yang meluap dan kepayang, tapi disi lain Erros pun mengerang dengan pelbagai kritik yang tajam.

Erros Djarot with The GIBS

Erros Djarot with The GIBS

Di paruh era 60-an,Erros mulai kesengsem dengan musik.Berbekal kemampuan memetik gitar ala kadarnya Erros memang seperti mendambakan sesuatu yang hakiki dalam dunia musik.Saat itu The Beatles tengah melanda dunia.Erros pun menggemari The Beatles.John Lennon yang kuat dalam pengejawantahan visi adalah tokoh yang dikagumi Erros Djarot.Semasa duduk dibangku SMA 1 Budi Utomo Jakarta pada tahun 1967-1968 ,Erros mulai terlibat kegiatan ngeband,diantaranya menjadi gitaris Budut Band dan Chekink II. Erros yang ekstrovert memang memiliki pergaulan yang luas.Temannya ada dimana-mana.Termasuk  diantaranya Bambang Trihatmojo putera presiden Soeharto yang menyediakan salah satu bagian dari kediamannya di Jalan Cendana untuk latihan band.Saat itu,tahun  1970,Erros bersama Indra dan Tri Anggono Sudewo tergabung dalam band The GIBS.Bambang Tri sendiri membentuk band The Crabs. “Seingat saya The GIBS pernah tampil di TVRI mengiringi penyanyi Henny Poerwonegoro.Saya bermain gitar he he “ ujar Erros mengenang.

Tak lama kemudian Erros memutuskan melanjutkan pendidikan ke Jerman Barat.”Erros itu cerdas.dari kecil dia telah memperlihatkan intelegensia yang tinggi.Angka yang diperolehnya dalam pelajaran di sekolah itu selalu berkisar pada nilai 9.Ayah saya memang menaruh harapan tinggi pada Erros.Apalagi saat itu saya yang tertua malah lebih memilih dunia teater.Jadi tak heran jika Erros menjadi harapan ayah” ujar Slamet Rahardjo di Sanggar Teater Populer Jalan Kebon Pala Jakarta.

Di Jerman Erros bermukim di Koeln dengan mengambil pilihan Teknik Kimia.Kegandrungannya dalam bermusik mulai mencuat lagi di Jerman,apalagi sahabat ngebandnya dulu di Jakarta  seperti Tri,Darmadi dan Epot juga menetap di Jerman.Akhirnya Erros pun tergabung dalam band bernama Kopjjaeger yang dalam bahasa Jerman artinya pemburu kepala.Band ini dibentuk pada Maret 1968 oleh Utomo Umarjadi (bass) dan Harry Suharjanto (keyboards).Saat Erros bergabung,formasi Kopfjaeger terdiri atas Tri Anggono Sudewo (drums),Harry Suharjanto (keyboards),Utomo Umarjadi (bass),Darmadi (gitar) dan Erros Djarot (gitar).Kopfjaeger bermain rutin dua kali seminggu di Tannenhof Restaurant di sebuah kota kecil bernama Bad Muenstereifel, sekitar 30 km dari kota Bonn.Uniknya saat Kopfjaeger diminta bermain untuk acara di Kedutaan RI,mereka lalu mengganti namanya menjadi Indonesische Band.”Kami membawakan lagu lagu top 40” jelas Erros Djarot.

The GIBS saat mengiringi penyanyi pop Henny Poerwonegoro di TVRI

The GIBS saat mengiringi penyanyi pop Henny Poerwonegoro di TVRI

Namun Erros justeru merasa kian gelisah saat bergabung dengan Kopfjaeger yang kerap hanya tampil sebagai band pembawa lagu-lagu orang saja.Diam diam Erros menyimpan obsesi besar yaitu membuat band yang bernuansa Indonesia.

.”Ketika bermukim di Jerman saya gelisah.Nasionalisme saya seolah tertantang untuk diwujudkan.Perasaan cinta bangsa rasanya memang baru terasa berkobar-kobar jika kita tengah merantau di negeri orang.Saat di Jerman saya selalu merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua.Sehebat apa pun anda,secerdas apa pun atau sejenius apapun.Anda tetap dianggap sebagai warga kelas dua.Ini tentu menyakitkan.Saat itu nurani saya berontak.Saya bersama anak-anak Indonesia yang kebetulan sedang bersekolah di Jerman berinisiatif membentuk band yang namakan Barong’s Band” demikian cerita Eros Djarot panjang lebar .

Dari sinilah kemudian muncul gagasan membentuk Barong’s Band di tahun 1974.Akhirnya terbentuklah Barong’s Band dengan formasi Erros Djarot (gitar),Tri Anggono Sudewo (drums),Choqy Hutagalung (keyboards),Epot (bass) dan Darmadi (gitar).Mereka pun mulai giat membuat lagu-lagu karya sendiri dalam bahasa Indonesia.Sesuatu yang teramat musykil mengingat mereka justeru bermukim di negeri orang.”Tapi kami tetap bertekad ingin ngeband dengan semangat Indonesia.Kita kan orang Indonesia” ucap Erros Djarot tersenyum.

Barongs Band 1976 (Foto Hasanta)

Barongs Band 1976 (Foto Hasanta)

Singkat cerita,Erros Djarot yang telah memendam segunung gagasan saat berkelana di Jerman berkeinginan untuk menumpahkannya di Tanah Air.Saat itu gagasan yang telah lama terbersit dalam pikirannya adalah ingin mewujudkan penulisan lagu dalam bahasa Indonesia.

Erros Djarot dan Barong’s Band pada tahun 1975 menjejakkan kaki kembali ke Tanah Air tercinta.Erros lalu mampir ke rumah Keenan Nasution di Jalan Pegangsaan Barat 12 Menteng Jakarta Pusat yang juga menjadi markas band Gipsy dan Young Gipsy.Di rumah milik bapak Saidi Hasjim Nasution itu memang seolah menjadi rumah singgah anak band Jakarta.Kelima putera pak Nasution  seperti Zulham Nasution,Gauri Nasution,Keenan Nasution,Oding Nasution  dan Debby Nasution masing masing memiliki band sendiri seperti Gipsy,Young Gipsy,Clique Fantastique hingga God Bless.

Kunjungan Eros Djarot ke Jalan Pegangsaan Barat  12  rasanya merupakan sasaran yang tepat.Karena disinilah sebetulnya Eros Djarot bisa menyatukan gagasan dan mensenyawakan elemen musik yang dimilikinya,bertaut dengan gagasan gagasan cemerlang  yang sekian lama juga mengendap di Jalan  Pegangsaan.

Eros Djarot bersama sahabat-sahabat bermusiknya di Jerman seperti almarhum Epot (bas),Tri (drum) dan Ady (gitar) lalu bertandang ke Pegangsaan,Diskusi musik pun tak terhindarkan lagi.Gagasan bermusik berkonsep Indonesiana pun termuntahkan.Eros saat itu berdecak kagum menyaksikan musikalitas Debbie Nasution,putera bungsu Saidi Hasjim.

”Debbie itu jenius.Dia bisa memainkan musik klasik padahal dia hanya belajar secara otodidak.Debbie hanya memanfaatkan kupingnya dengan menyimak karya karya klasik melalui piringan hitam ayahnya.Ini luar biasa” puji Eros Djarot.

Di Pegangsaan,Eros pun kerap berbincang-bincang dengan pak Saidi Hasjim.”Kami banyak berbincang soal musik opera kegemaran Oom Saidi.Selain musik klasik oom Saidi juga menggemari karya lukisan” tukas Eros Djarot.Dalam diskusi seni antara Eros dengan Saidi Hasjim dan juga Debbie,mereka sering membahas karya karya lukisan bernilai seni yang tinggi seperti lukisan karya van Gogh,Rembrandt hingga Picasso.

“Momen ini tak pernah hilang dalam ingatan saya” imbuh Eros Djarot lagi.

Di lain hari,Eros dan Debbie mulai terlihat berjam jam di sekitar piano.Eros bersenandung,Debbie mereka reka akord.Terkadang Debbie pun mengimbuh beberapa senandung melodi.Keduanya hanyut dalam proses penciptaan lagu.

Di depan piano yang berada di kamar Debbie itulah cikal bakal lahirnya lagu “Angin Malam”,”Khayalku” dan “Cintaku” yang kelak menjadi bagian dari album fenomenal sepanjang masa “Badai Pasti Berlalu”.Bahkan dari kolaborasi antara Debbie Nasution dan Eros Djarot itu pun menghasilkan sebuah lagu bertajuk “Negeriku Cintaku” yang direncanakan akan menjadi bagian dari album perdana Barong’s Band.

Kaset fenomenal Badai Pasti Berlalu yang dirilis Irama Mas pada tahun 1977 (Foto Denny Sakrie)

Kaset fenomenal Badai Pasti Berlalu yang dirilis Irama Mas pada tahun 1977 (Foto Denny Sakrie)

Namun akhirnya lagu ini ternyata menarik perhatian Keenan Nasution yang tengah mengumpulkan materi lagu untuk album perdananya “Di Batas Angan Angan” yang dirilis pada tahun 1978.

Lirik lagu “Negeriku Cintaku” memang terasa tajam dan pedas.Mungkin ini yang disebut sebagai protest song atau oleh wartawan musik acapkali dikategorikan sebagai lagu kritik sosial.

Eros Djarot memang selalu meletup-letup disatu sisi,akan tetapi di sisi lain Eros bisa terkesan luar biasa romantis.Eros memang mengakui hal itu.”Jika saya tergerak secara intelektual maka akan berhamburan lah lirik bertema kritik sosial.Tapi jika impuls emosional saya bekerja maka tertuanglah lagu-lagu yang romantik seperti isi sebagian besar album Badai Pasti Berlalu” jelas Eros Djarot.

Akhirnya Gauri Nasution dan Debby Nasution pun ikut bergabung dalam formasi Barong’s Band.”Saya mengagumi bakat Gauri memetik gitar atau Debby yang perfek bermain piano” puji Erros Djarot.

Bersamaan dengan bergabungnya Gauri Nasution dan Debbie Nasution dalam formasi Barong’s Band,Eros Djarot pun mulai disibukkan sebagai peñata musik beberapa film garapan sutradara almarhum Teguh Karya seperti “Perkawinan Dalam Semusim” dan “Kawin Lari”.

Keterlibatan Erros dalam illustrasi musik film justeru berawal dari kemarahan sutradara Teguh Karya.Erros yang dijuluki big mouth oleh sohib terdekatnya memang selalu melontarkan kritik yang tajam dan pedas.Entah untuk musik hingga film.Suatu hari Teguh Karya yang selalu menjadi sasaran kritik Erros malah menyergah Erros :”Kalau lu ngerti,coba deh lu aja yang bikin illustrasi musik film gua nanti.Gua pengen tau tuh hasilnya kayak apa”.

Erros yang merasa tertantang,langsung menerima tawaran penggarapan illustrasi musik film “Kawin Lari” (1975) yang dibesut Teguh Karya.Diluar dugaan garapan music Erros malah berbuah prestasi.Dalam Festival Film Indonesia 1976 Erros Djarot meraih Piala Citra sebagai Penata Musik Terbaik.

Erros Djarot bersama Barongs Band merilis album soundtrack film Kawin Lari di tahun 1976.

Erros Djarot bersama Barongs Band merilis album soundtrack film Kawin Lari di tahun 1976.

“Erros memang big mouth.Mirip petinju Muhammad Ali yang kerap berkoar koar.Tapi ternyata apa yang diucapkannya bisa terbukti” ujar Slamet Rahardjo.

Ketika menggarap musik untuk film “Kawin Lari” yang dibintangi Slamet Rahardjo dan Christine Hakim,Eros Djarot pun melibatkan Barong’s Band.”Obsesi saya untuk membuat album dengan lagu-lagu berbahasa Indonesia terwujud di album Kawin Lari” ujar Eros Djarot.

Sebelum proses penggarapan album Kawin Lari,Eros sengaja memborong sejumlah kaset-kaset pop Indonesia yang tengah ngetop saat itu,mulai dari Koes Plus,D’Lloyd,Panbers,Arie Koesmiran,Ade Manuhutu dan banyak lagi.”Kaset-kaset itu kami dengarkan dan pelajari.Kami telaah melodinya dan menyimak tema tema syairnya.Ini merupakan referensi sebelum kami melangkah lebih jauh lagi bersama Barong’s band” cerita Eros Djarot.

Sampai akhirnya,Eros Djarot dan kawan kawan berkesimpulan bahwa pemusik pemusik Indonesia banyak yang terjebak dalam komersialisasi belaka.Kreativitas bermusik terkuras dengan begitu banyaknya karya-karya pesanan yang seringkali mengatasnamakan selera pasar atau selera masyarakat.”Ini menyedihkan,karena pada akhirnya terjadilah yang namanya pendangkalan.Dan ini pun mulai terlihat lagi di zaman sekarang ini” ucap Eros Djarot.

Di saat proses penggarapan album Barong’s Band,Eros bahkan berbuat sesuatu yang agak ekstrem.”Setiap anggota Barong’s tidak boleh mendengarkan rekaman pemusik Barat.Agar musikalitas mereka tak terganggu.Jadi saya memang menginginkan karya-karya kami lebih orisinal” cerita Eros Djarot.

Pada tahun 1976 beredarlah album Barong’s Band bertajuk “Kawin Lari” menampilkan sebagian besar karya Eros Djarot seperti “PelukMu”,”Oh Wanita” ,”Bisikku”hingga “Jakarta”.Menariknya,di album ini Eros pun menampilkan dua buah lagu bergaya keroncong yang dinyanyikan secara duet  oleh Titi Qadarsih dan Slamet Rahardjo,kakak Eros.Lirik lagu keroncong  bertajuk “Stambul Jakarta” ditulis oleh Teguh Karya.”Saya memang mencoba mengangkat nuansa Indonesia di album ini” jelas Eros.

Hampir bersamaan dengan album “Kawin Lari”,Barong’s Band juga merilis album “Barong’s Band” dengan atmosfer rock progressive yang kuat mencengkeram.Debbie sendiri banyak mengadopsi karya klasik Johann Sebastian Bach.Seluruh lagu ditulis oleh Eros Djarot,terkecuali”Negara Kita” yang ditulis oleh Debbie Nasution.Lagu lagu yang dikemas di album ini cenderung bernuansa kontemplatif,permenungan hingga kritik sosial.Lihatlah sampul albumnya yang bertuliskan kalimat : “Beri kami sinarMu dikegelapan agar mereka yang buta menjadi terang”.

Saya dan Erros Djarot di Teater Ketjil TIM Jakarta (Foto Melky Lesmana)

Saya dan Erros Djarot di Teater Ketjil TIM Jakarta (Foto Melky Lesmana)

Barong’s Band memang mendapat perhatian tersendiri dalam gugus musik Indonesia.Permainan gitar Gauri Nasution dan keyboard Debbie Nasution menuai pujian dari para pengamat musik.

Sayangnya Barong’s Band hanya sempat merilis 2 album saja.Selanjutnya Eros disibukkan dengan berbagai kegiatan penggarapan musik film terutama film-film yang dibesut Teguh Karya.

Walaupun disibukkan menggarap music score untuk film layer lebar,     sebetulnya Eros Djarot tetap melakukan kolaborasi dengan komunitas musik Pegangsaan.

Saat itu Erros pun sering bertandang ke kediaman Guruh Soekarno Putera di Jalan Sriwijaya 26 Jakarta.Energi kreativitas Erros dalam dunia musik pun kian menggelegak.Apalagi Guruh akan melakukan kolaborasi musik eksperimen bertajuk Guruh Gipsy  .”Saya banyak mengajukan sumbangan ke gagasan baik ke Guruh maupun Keenan” ungkap Erros Djarot.

Menurut Erros beberapa lagu-lagu karyanya banyak yang tercipta saat berada di Jalan Pegangsaan Barat 12 maupun di Jalan Sriwijaya 26. Lagu-lagu itu kemudian men jadi bagian dari album Barong’s Band serta album soundtrack “Badai Pasti Berlalu” .

Beberapa lagu dengan tema romansa pun tercipta yaitu “Angin Malam”,”Khayalku”dan “Cintaku”.”Ketiga lagu ini memang tercipta saat saya intens bermain di Pegangsaan.sedangkan lagu “Pelangi” dan “Semusim” justeru tercipta ketika saya main di rumah Guruh di Jalan Sriwijaya” ungkap Eros Djarot perihal gagasan awal munculnya album Badai Pasti Berlalu yang menjadi soundtrack film”Badai Pasti Berlalu” besutan Teguh Karya.

Erros bahkan menampilkan torehan lirik lagu yang romantis tanpa terjebak dengan pola-pola yang standar: patah hati berkepanjangan, meratap-ratap, dan cengeng.Pada akhirnya Badai Pasti Berlalu menjadi fenomenal.Menjadi album tonggak dalam sejarah musik pop Indonesia.”Saya bahkan tak menyangka Badai Pasti Berlalu bisa  menjadi album yang terus diperbincangkan orang” tukas Erros .

Musik dan Film pada akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam raga Erros Djarot.Selain meraih Piala Citra dalam FFI 1976 untuk peiñata musik terbaik,di tahun 1978 pada FFI 1978 Erros Djarot kembali meraih Piala Citra.Walupun demikian Erros tetap menolak disebut sebagai pemusik.”Bagi saya Idris Sardi tetap meruapakan pemusik yang berkompeten.Kalo saya hanya seorang penggagas yang didukung oleh orang orang yang tepat pada bidangnya” jawab Erros.

Dalam wawancara dengan majalah Aktuil no.233 edisi 13 Juni 1977 Erros Djarot berkomentar seperti ini “Kalaulah jadi sutradara saya nggak mau sebesar Teguh Karya,nggak mau sebesar Wim Umboh atau Sjumandjaja.Saya pengen sebesar Akira Kurosowa atau Roman Polanski.Buat apa segitu aja.Ini kan cita cita ? .

Tekadnya untuk menyusup ke dunia film terlihat ketika Erros berhasil memperoleh beasiswa sinematografi di London dari British Council.Erros tampaknya serius menekuni dunia perfilman ,tanpa harus mengenyampingkan kiprahnya di dunia musik

Obsesinya menggarap film pada akhirnya berbuah bukti ketika film “Tjoet Nja’ Dhien” yang dibesutnya pada tahun yang didukung Christine Hakim dan Slamet Rahardjo berhasil meraih Citra sebagai Film Terbaik Festival Film Indonesia 1988.

Dan Erros Djarot adalah sosok seniman yang senantiasa membalur karya-karyanya dengan nasionalisme, entah itu music maupun film.

(Tulisan ini telah dimuat di majalah Rolling Stone edisi September 2010)

Peniup klarinet Tony Scott asal New York Amerika Serikat ini pernah wara-wiri di Asia sekitar 6 tahun seperti di Thailand,Taiwan serta Indonesia.Tony yang lalu sempat bermukim di Jakarta justeru banyak menyerap musik tradisi yang lalu dibaurkan dengan elemen jazz.
Selama 6 bulan Tony Scott melakukan pendekatan dengan Indonesian All Stars yang didukung Jack Lesmana (gitar),Bubi Chen (piano,zither),Benny Mustafa Van Diest (drums),Maryono (suling,flute,saxophone) dan Jopie Chen (bass).Mereka pada tahun 1967 lalu bertolak ke Berlin Jerman untuk melakukan pertunjukan.
Dann selama 2 har di Berlin grup jazz kebanggaan Indonesia ini melakukan sesi rekaman untuk MPS/Saba Record yang kemudian menghasilkan album “Djanger Bali”.Album yang covernya mengambil nukilan salah satu relief di Candi Borobudur ini mengajukan konsep “East meet West”.
Beberapa instrumen musik tradisional Indonesia seperti suling bambu,kecapi dan zither dihadirkan pula di album yang diproduseri oleh Joachim Ernest Berendt dan direkam oleh sound engineerRolf Donner di Saba Tonstudio ,Villingen,Black Forrest pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1967.
Jack Lesmana sendiri dengan memainkan nada rendah pada gitarnya menyiasiati penggantian bunyi gong.Dan hasilnya brillian.
Mereka pun mencoba menafsirkan karya George Gershwin “Summertime” dalam perspektif tradisi karawitan.Tak ada intimidasi dua kutub budaya yang berbeda.Sesuatu yang mungkin saat itu termasuk sebuah pencapaian luar biasa.
Sebahagian besar komposisi di album ini,arransemennya dibuat oleh Bubi Chen,kecuali “Ilir Ilir” digarap oleh almarhum Maryono.Di lagu ini pun Maryono bersenandung.
Sayangnya album ini sudah termasuk langka dan hanya milik para kolektor belaka.Sebuah karya besar pemusik Jazz Indonesia yang patut dikenang sepanjang masa.

Tracklist

A1 Djanger Bali (5:35)
Arranged By – Bubi Chen , Tony Scott (2)
Composed By – Traditional
A2 Mahlke From “Katz Und Maus” (6:05)
Composed By – Attila Zoller
A3 Gambang Suling (7:08)
Composed By – Ki Narto Sabdo
B1 Ilir, Ilir (3:58)
Arranged By – Marjono , Tony Scott (2)
Composed By – Traditional
B2 Burungkaka Tua (5:18)
Arranged By – Bubi Chen , Tony Scott (2)
Composed By – Traditional
B3 Summertime (8:07)
Composed By – George Gershwin

Dari jam 21.00 hingga 22.00 WIB barusan Jumat 27 Agustus 2010  ada suguhan jazz di Cafe Au Lit Cikini Raya.Ada Dewa Budjana (gitar),gitaris GIGI yang tadi sore baru saja tampil di Karawang dalam rangka konser Ngabuburit bareng GIGI.lalu ada Arief Setiadi (saxophone) dan Riza Arshad (piano) dari simakDialog.Ketiganya tampil dgn membawakan beberapa karya standar diantaranya karya Herbie Hancock seperti Maiden Voyage dan Dolphin Dance.Dua komposisi yang sudah dileretkan sebagai karya jazz standart ini berasal dari album “Maiden Voyage” yang dirilis Blue Note pada 17 Mei 1965.
Kebetulan saya sangat menyukai komposisi ini.Sayangnya trio Budjana,Arief dan Riza ini bermain di tengah hiruk pikuk cafe.Menikmati permainan mereka memang harus bersitegang dengan bunyi bunyi blender kopi yang tengah diracik bartender hingga tertawa berkepanjangan dari arah beberapa meja yang ternyata diisi oleh sebuah kelompok yang tengah reuni SMP.Ah….Memang sangat mengganggu.Tapi toh kenikmatan jazz tetap merasuk jiwa penikmatnya yang kerap memberi aplause setelah trio ini menyudahi tiap lagu yang dimainkan.

Jazz jika ingin survive memang harus melakukan “pemaksaan”,diantaranya ya….itu tadi bermain dihadapan orang-orang yang sebetulnya tak semuanya siap untuk menyimak jazz sebagai apresiasi tapi harus berbaur dengan riuhnya kelompok yang tengah melakukan reuni di pojok ruangan Cafe Au Lit.

Menyebut nama Rinto Haharap, di suatu masa,adalah sosok pemusik pop fenomenal yang banyak melahirkan sederet lagu-lagu hits dari sederet penyanyi penyanyi berwibawa di negeri ini.Mulai dari Eddy Silitonga,Hetty Koes Endang,Iis Soegianto,Diana Nasution,Betharia Sonata,Christine Panjaitan,Rita Butar Butar,Mawi Purba,Nia Daniaty,Nur’afni Octavia hingga Broery Pesolima dan Chrisye

Pemusik yang dilahirkan di Sibolga Sumatera Utara 61 tahun silam ini telah merintis karir bermusik sejak akhir tahun 60-an.Di tahun 1972 Rinto bersama abangnya Erwin Harahap serta sejawatnya seperti Charles Hutagalung dan Reynlod Panggabean membentuk The Mercy’s dan berhasil meraih reputasi nasional lewat hits :”Tiada Lagi”,”Semua Bisa Bilang” dan banyak lagi.

Di tahun 1975 Rinto bersama Erwin Harahap mulai merintis sebagai pengusaha rekaman dengan membentuk label Lolypop,yang diambil dari nama isterinya Lily Kuslolita,pramugari asal Solo yang dinikahinya tahun 1973.Produksi perdana Lolypop Record adalah album Eddy Silitonga “Biarlah Sendiri” yang berhasil menjadi hits fenomenal.Setelah itu mesin kreatifitas Rinto Harahap seolah tak terbendung.Satu demi satu hits yang ditorehnya berhasil meledak di bursa musik negeri ini .Sosok Rinto pun diakui sebagai sosok bak raja Midas : setiap yang disentuhnya berubah menjadi emas.

Mulai dari paruh era 70-an hingga akhir era 80-an nama Rinto Harahap berkibar sebagai hitmaker paling berhasil.Lagu lagu ciptaannya menuai sukses gilang gemilang.

“Rinto Harahap memang sudah sepantasnya diberi semacam pengharaan atas kiprahnya di dunia musik pop Indonesia.Sony Music lalu menggagas untuk menginterpretasikan kembali karya-karyanya.Ini merupakan bentuk keperdulian Sony Music terhadap karya-karya pemusik Indonesia.Sebelumnya,kami pernah membuat “Tribute To Ian Antono” dan “Salute To Koes Bersaudara/Koes Plus” urai Jan N Djuhana A&R Director Sony Music.

Dengan mengetengahkan  Tohpati sebagai music director  hadirlah album “The Masterpiece of Rinto Harahap” yang didukung sederet artis Sony Music.

Ello menyanyikan ulang lagu yang pernah menjadi hits ditangan ibu kandungnya Diana Nasution “Benci Tapi Rindu”.Andy /rif menyanyikan hits sentimental Iis Soegianto dalam aura rock yang tegar “Jangan Sakiti Hatinya”.The Changcuter dengan segar menggali atmosfer retro rock pada lagu “Hey Hey Hey” lagu Rinto Harahap yang diambil dari album The Mercy’s Volume 4 di tahun 1973.

“Saya merasa takjub mendengar pemusik sekarang membawakan lagu-lagu saya dengan warna musik yang beraneka ragam.Tak saya duga bahwa lagu lagu saya bisa dibuat lebih indah dan lebih menawan.Salut saya terhadap mereka” puji Rinto Harahap.

“Lagu lagu Rinto sudah saya kenal sejak kecil lewat radio maupun TV.Jadi saya pun tidak terlalu ragu untuk membuatnya dalam berbagai versi yang lebih variatif lagi.” Imbuh Tohpati,gitaris jazz yang bertindak sebagai music directornya.

“Sejak kecil saya pernah dengar lagu “Hey Hey Hey”,tapi baru tahu kalo lagu itu karya om Rinto Harahap.Lagunya ngebeat dan lumayan rock n’roll.Anak sekarang pun suka” ungkap Tria,vokalis The Changcutters.

“Persoalan berat adalah menyanyikan lagu yang pernah popular.Apakah bisa lebih bagus dari aslinya ?.Tapi toh saya berusaha menginterpretasikannya sebisa saya.Memang terdengar berbeda.Namun esensi lagu “  Bila Kau Seorang Diri” tetap ada.Dan itu gak gampang  “ tutur Astrid.

“Saya telah dua kali menyanyikan lagu karya Om Rinto.Pertama,di album solo saya dulu saya pernah membawakan Biarlah Sendiri dan kali ini saya diminta menyanyikan Sudah Kubilang yang dulu dinyanyikan Christine Panjaitan” tutur Rio Febrian.

“Lagu “Seindah Rembulan” yang dulu dibawakan duet Iis Soegianto dan Chrisye,akhirnya kami bawakan dengan arransemen yang lebih dinamis.Agak ngerock.Apalagi Enno Netral saya minta bermain drum disini.” Papar Yovie Widianto yang mengangkat karya Rinto Harahap dari film “Seindah Rembulan” (1980) bersama Yovie & The Nuno.

“Ketika diminta menyanyikian lagu “Biarlah Sendiri”,saya pun mencoba menghayatinya sebisa mungkin.Apalagi saya toh pernah merasakan hal yang sama seperti yang diungkapkan lirik lagu karya om Rinto” ucap Terry yang selama ini dikenal kerap menyanyikan lagu-lagu berkonotasi nostalgia.

“Ini untuk pertamakalinya saya membawakan lagu karya papa.Bahkan papa memilihkan sendiri lagu “Dingin” yang dulu dipopulerkan tante Hetty Koes Endang untuk saya nyanyikan di album ini.Ini lagu berat.Saya tak mungkin mengunguli tante Hetty.Tapi saya yakin bisa menyanyikannya dengan baik” timpal Achi Harahap,puteri kandung Rinto  Harahap

Namun lagu yang terasa menggugah di album ini adalah “Ayah” yang dinyanyikan secara keroyokan oleh seluruh artis pendukung.Lagu yang ditulis dan dinyanyikan Rinto Harahap saat bergabung dengan The Mercy’s ini memang sebuah lagu yang terasa sangat personal.”Lagu ini saya tulis setelah ayah saya meninggal dunia.Rasa kehilangan yang saya rasakan dan alami tertumpah di lagu ini ” kenang Rinto Harahap.

Lagu “Ayah” memang mampu mengetuk sanubari siapa saja yang mendengarnya : Dimana akan kucari
Aku menangis seorang diri
Hatiku selalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyanyi
Untuk ayah  tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku Ayah dengarkanlah
daku ingin berjumpa
walau hanya dalam mimpi

Lagu lagu yang termaktub di album ini seolah merupakan refleksi dari sepenggal perjalanan musik Indonesia.Dengan album ini terbukti lagi bahwa lagu yang bagus akan tetap hijau dan tetap dikenang jaman.Rinto Harahap,tanpa diragukan lagi telah melakukannya.

Selamat Mendengarkan

The Masterpiece of Rinto Harahap

Salam Musik Indonesia

Montecristo,Tak Sekedar Musik

Posted: Agustus 20, 2010 in Tinjau Album

Album “Celebration Of The Birth” Montecristo

Tak Sekedar Musik Tapi Gerakan Kebudayaan.

Tengoklah hiruk pikuk industri musik negeri ini. Band band bersesakan dengan warna yang cenderung seragam. Amatlah sukar menerka jatidiri sebuah band. Lalu tiba-tiba muncullah sebuah band yang menampilkan sikap dan konsep yang berbeda. Sejatinya ketika semua orang berbaju hitam, dan muncul seseorang berbaju merah maka pastilah semua mata tertuju pada sosok yang berbusana beda. Mungkin demikianlah analogi yang tepat disematkan pada band baru bernama Montecristo. Sebuah band yang ikwalnya muncul karena dililit kegelisahan dalam menghasilkan karya-karya musik yang lebih tertata, terkonsep dan terpadu. Kegelisahan demi kegelisahan yang mereka temui inilah sebetulnya pangkal menguaknya kreativitas dalam bermusik. Terbentuk pada tahun 2007 dan mulai memancangkan jatidiri sebagai Montecristo setahun berselang. Dimulai dengan ajakan Rustam Effendy pada Eric Martoyo dan Fadhil Indra untuk membentuk band. Ketiganya datang dari latar belakang yang berbeda. Rustam adalah seorang karyawan sebuah perusahaan multinasional, Eric adalah orang bisnis dan Fadhil Indra adalah pemusik yang memperkuat Discus, Makara dan KJP. Niat ngeband saat itu hanya sebatas ngejam belaka. ”Kami cuma ingin menghilangkan stress dgn ngeband”, kata Rustam. Baginya, bukanlah tidak ada masalah dengan skill bermain musik jika ingin melangkah menjadi musisi professional, namun dia merasa yakin dengan didukung perspektif bermusik rekan-rekan yang diajaknya, band yang diidamkan bisa terwujud. Kemudian muncul Haposan Pangaribuan (bass), Alvin Anggakusuma (gitar) dan Keda Panjaitan (drum). Ketiga pemusik ini bisa dianggap sebagai pemberi warna modern dalam rhythms section Montecristo. Perpaduan antara musik rock klasik era 70-an dan rock era 90-an, menjelmalah konsep utuh Montecristo. Seperti apa sesungguhnya musik Montecristo? “Misi kami adalah menyampaikan pesan. Dan pesan ini akan lebih efektif jika melebur dalam alunan musik”, ungkap Eric Martoyo yang didapuk sebagai vokalis utama Montecristo. Menurut Eric, dalam repertoar Montecristo lirik lagu adalah bagian yang sama pentingnya dengan tatanan musik. Jadi tak heran jika muatan lirik merupakan anasir yang mencolok dalam sajian musik Montecristo. Mereka dengan berani mengangkat tema-tema besar dalam lingkup sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan tanpa mesti harus mengeyampingkan tema romansa.”Sebagian besar lirik Montecristo justru diangkat dari true event”, imbuh Fadhil Indra. Konsep musik Montecristo, menurut Fadhil yang menjabat music director adalah hard rock dengan sentuhan rock progresif yang simfonik. Sub Genre yang terdekat yang dimainkan Montecristo adalah Symphonic Progressive,yang menuai pesona pada era 70-an silam. Nama Montecristo sendiri diambil dari merk cerutu kegemaran Eric Martoyo.”Kami lalu sepakat memilih Montecristo sebagai nama band karena enak didengar, mudah dilafalkan dan yang penting mudah diingat” urai Eric Martoyo. Dari kacamata Fadhil sebagai music director, Montecristo dibangun diatas tatanan human senses para personilnya, mulai dari kekuatan instrumentalis maupun kekuatan dalam kesatuan band. Rasa bermusik itu dikembangkan secara natural agar sisi manusiawinya juga ikut terasa. Fadhil yang punya pengalaman bermain musik rock progresif di Discus dan Makara percaya bahwa senyawa yang baik antar personilnya akan menghasilkan sinergi yang optimal untuk menetaskan sebuah karya musik yang bisa dipertanggungjawabkan secara kualitas tanpa harus melalui rekayasa teknologi. Menariknya, semua lagu dalam album Montecristo bertajuk “Celebration of Birth” ditulis dalam lirik berbahasa Inggris. Kenapa berbahasa Inggris? “Kami menganggap lirik adalah bagian penting untuk mencapai tujuan dan dengan lirik bahasa Inggris maka message dalam lagu-lagu Montecristo akan bisa menjangkau lebih banyak pendengar, tidak hanya orang Indonesia saja” ujar Eric Martoyo yang paling banyak menulis lirik lagu Montecristo. Eric Martoyo adalah penggemar karya-karya sastra Khalil Gibran, Ernest Hemingway, WS Rendra hingga Pramoedya Ananta Toer. Demikian juga Rustam yang menyukai karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Fadhil sendiri selain jebolan IKJ, juga kuliah di Sastra Indonesia UNAS. Begitu pentingnya Montecristo menempatkan harkat penulisan lirik hingga dalam liner notes-nya sendiri tertera tagline Life is a never ending poem. Pada akhirnya Montecristo tak hanya sekedar sebuah band penyaji musik saja melainkan sebuah gerakan kebudayaan. Ini ditegaskan lewat gaya bermusiknya yang menyempal dari arus besar (mainstream). Menurut Eric Martoyo : ”Ini adalah sebuah stimulus bagi berkembangnya kebudayaan agar tidak seragam, sekaligus mengajak kita melihat keberagaman agar kebudayaan menjadi lebih kaya. Lirik-liriknya yang intelektual dan sarat kandungan filosofis merupakan wujud kepedulian Montecristo pada perkembangan sosial budaya. “. Sebagai sebuah gerakan kebudayaan,Montecristo mengupayakan album “Celebration Birth” bisa diakses oleh siapa saja termasuk di mancanegara. Montecristo bahkan telah mengirimkan album perdananya ke perpustakaan Cornell University di Ithaca, New York dan Library of Congress di Washington DC dan telah masuk dalam catalog online mereka di http://lccn.loc.gov/2010436368. Album ini juga telah dikirim ke beberapa perpustakaan universitas di Australia yang memiliki studi tentang Indonesia.

1. Ancestral Land

Bertutur tentang seorang gadis keturunan Cina di Indonesia yg semangatnya ‘terbakar’ oleh propaganda pemerintah Cina pada saat itu. Pada tahun 1952 dengan menumpang sebuah kapal, dia pulang ke tanah leluhurnya. Namun tak lama berselang kondisi sosial-politik di Cina berubah secara drastis. Kelaparan melanda seantero negeri selama bertahun-tahun karena gagal panen berkepanjangan membuat rakyat Cina tidak ‘welcome’ terhadap para pendatang. Gadis ini kemudian dituduh sebagai spionase yg sengaja datang ke Cina untuk memata-matai negara itu. Sejak itu hidupnya berubah menjadi sebuah tragedi yg panjang. Musik yang dimainkan Montecristo terasa seperti music score yang mengikuti pola naratif. Piano dan orkestrasi mengimbuh suasana secara integral.

2. About Us

Ambience distorsi gitar menguak lagu yang diikuti bunyi piano. Sebuah perpaduan ragam rock 70-an dan 90-an yang ekspresif. Lagu ini memang ingin bertutur tentang keragaman latar belakang personil Montecristo. Beberapa tokoh tokoh besar masa lalu seperti Alexandre The Great, Mahatma Gandhi hingga Temujin memperkuat makna lirik yang ditulis Eric Martoyo. Terasa bagai sebuah epic tentang kedigdayaan sosok sosok manusia di dunia ini. 3. A Romance of Serendipity

Orkestrasi rock seperti yang pernah dibesut almarhum Michael Kamen seolah menyelusup dalam score lagu ini dengan sajian interlude bernuansa rock progresif. Liriknya bertutur tentang cinta yg tersia-siakan. Diawali oleh sebuah pertemuan yg kebetulan dan kemudian tumbuh menjadi cinta yg dalam. Si gadis akhirnya menghadapi kenyataan bahwa cintanya tidak mungkin bisa dipersatukan dan dia hanya menjadi “orang nomor dua” saja. Walaupun pahit, akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Pada pertemuan terakhir, tepat sebelum dia pergi, si gadis menolehkan muka untuk menengok kekasihnya untuk yg terakhir kali… lalu menghilang. Tema lagu ini seolah ingin menebalkan sebuah frasa bahwa kita baru akan menyadari seberapa besar cinta kita terhadap seseorang setelah kita kehilangan orang tersebut.

4. Garden of Hope

Lagu ini bertutur tentang negeri kita di era reformasi yang justru menjadi tambah tak tentu arah. Keputusasaan, pesimis dan hilangnya semangat hidup. Di sisi lain para politisi hanya menjual janji-janji belaka. Sebuah potret muram negeri kita yang hingga kini masih terpampang di depan mata kita semua. Di bagian introduksi berpadu bunyi perkusi dan piano. Harmoni choir-nya mengingatkan kita pada gaya klasik kelompok progresif Inggris Yes.

5. Celebration of Birth S

Sebuah gaya rock progresif era 70-an ala Kansas mencuat dalam aransemen lagu ini. Perpaduan gitar elektrik dan akustik menggelitik pendengaran kita untuk ingin menelusuri perihal tema lagu ini sebenarnya. Bertutur tentang dialog antara seorang ayah dengan anaknya yang baru saja lahir. Sebuah narasi humanis tersemburat di lagu ini. Bahwa sang ayah bercerita mengenai dunia yang indah dan damai di saat sang anak masih kecil ,tapi juga bisa berubah menjadi dunia yang lebih kompleks dan penuh intrik saat sang anak beranjak dewasa nanti. Sebuah lagu dengan lirik yang padat makna.

 6. In Touch of With You

Lagu ini ditulis oleh Fadhil Indra dengan memunculkan perpaduan piano akustik dan chamber musik pada bagian introduksinya. Sebuah romansa kasmaran yang menggelegak tapi terlarang. Gitaris Alvin Anggakusuma memperlihatkan karakter permainan yang memadai pada bagian interlude. Tak salah jika penikmat mengasosiasikan permainan gitar Angga pada gaya psychedelic blues Pink Floyd.

 7. Crash

Mungkin ini merupakan lagu dengan tema yang jarang terfikirkan para penulis lirik yaitu tentang runtuhnya bursa saham di seluruh dunia. Kebetulan Eric sang penulis lirik adalah seorang investor saham dimana saat lagu ini ditulis nilai investasinya hanya tersisa 25% dari nilai semula. Lirik lagu ini pun mengutip pendapat pemenang Hadiah Nobel Ekonomi Amartya Kumar Sen: ”The only good reason to want wealth is because it produces freedom”. Tema besar ini didukung dengan apik oleh perpaduan sound keyboards progresif era 70-an dengan riffing gitar rock era 90-an.

8. Forbidden Song

Lirik lagu ini memang ingin bertutur tentang bersemainya rasa cinta tapi sayangnya dalam aura yang terlarang. Sebuah frasa yang bisa terjadi pada diri siapa saja. Simak liriknya: Don’t let the love turn to hate. If I’m right or if I am wrong It was just forbidden song. Nothing’s wrong Musiknya sendiri seperti ingin mengangkat kembali supremasi hard rock 70-an.

9. Clean

Lagu ini ditulis oleh Fadhil Indra tentang sosok lelaki yang baru saja terbebas dari jerat narkotika. Orkestrasi melumuri beberapa bagian aransemen musiknya, mengingatkan kita pada nuansa ala Yes. Namun rhythm sectionnya justru terasa lebih masa kini terutama perpaduan antara bass dan drum yang ekspresif.

Merdekaaaa…….Leo Kristi

Posted: Agustus 14, 2010 in Sosok

Apa pun yang disenandungkan LeoKristi selalu berselimut merah putih.Dia memuja bahkan menjewer.
Inikah potret nasionalisme seorang pengrajin musik ?
Kenapaanak muda sekarang menjauhi tematik lagu yang kerap dikumandangkan Leo Kristi ?
Lirik seperti termaktub dibawah ini mungkin hanya bagian dari penghuni museum :

Ayo nyalakan api hatimu,
seribu letupan pecah suara,
sambut dengan satu kata: merdeka…!

Sosok sepertiLeo Kristi rasanya tepat kita kedepankan di bulan Agustus ini.

Sejak paruh 70-an,ada ritual khusus yang dilakukan Leo Kristi,yaitu menggelar konser dalam rangka menyambut perayaan 17 Agustus,hari Proklamasi Republik Indonesia.

Iringan bendera kemenangan
Terlalu gegap gempita
Menyongsong irama kakiku
Lelah kaki lima Ibukota

Ada seribu matahari bersinar
Diantara silaunya aspal jalan
Kakiku terhantuk batu batu hitam tajam
Di selah gembira lagu-lagu mars kemenangan

Aku teringat akan bapakku
yang bersujud di dlaam gelap gulita di sana

Ada seribu matahari bersinar
Diantara silaunya aspal jalan

Dirgahayu dirgahayu
Indonesia Raya
Dirgahayu dirgahayu

(dari album ” Nyanyian Tambur Jalan“,Irama Tara)


Kalau cermin tak lagi punya arti
Hancurkan berkeping-keping
Kita berkaca di riak gelombang
Dan sebut satu kata : hakku

(lagu ‘Jabat Tangan Erat-erat Saudaraku’ album Nyanyian Malam Irama Tara 1976)

Bak tengah berorasi, kata-kata di atas diekspresikan dengan semangat menggumpal dan tangan mengepal. Dan, hanya satu sosok yang melakukannya di tengah musik pop Indonesia yang sarat gincu: Leo Kristi.

Leo Kristi memang meletup-letup. Dia adalah salah satu dari sedikit seniman musik negeri ini yang tetap konsisten dengan konsep musiknya yang berembel-embel ‘Konser Rakyat’. Lelaki yang lahir di kota Pahlawan, Surabaya, sekitar 11 minggu menjelang hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia itu kini telah berusia 60 tahun. Hampir tak ada perubahan yang berarti dalam jejak-jejak musiknya. Leo Kristi tetap dalam konsep musiknya yang ditorehnya di pertengahan era 70-an.
Pemilik nama lengkap Leo Imam Soekarno ini masih tetap berkelana dan mengembara ke pelosok-pelosok daerah. Melakukan workshop musik dengan khalayak setempat. Lalu menjelmalah serangkaian lagu-lagu yang berformat kesaksian.

Leo memang menempatkan dirinya sebagai penyaksi, bukan sebagai penggugat. Apa yang dilihatnya, apa yang dirasakannya, dan apa yang bergejolak dalam nadinya. Semuanya dituangkan dalam torehan lirik dan sebongkah nada. Dia ibarat trubadur yang berkelana dari satu daerah ke daerah yang lain. Hari ini di pedesaan Bulukumba Sulawesi Selatan, bulan depan di Kalimantan, setahun kemudian melangkah di Jimbaran, Bali dan entah dimana lagi.
Dan, tampaknya Leo memang menikmati hidup sebagai seorang bohemian. Teman-teman dekatnya bahkan tak tahu atau tak bisa menebak kapan Leo Kristi akan berlabuh di suatu tempat. Gagasan-gagasannya bertualang kesana-kemari. Leo pun bersaksi dalam lagu
Di Deretan Rel-rel’ dari album Nyanyian Fajar (1975):

Kereta pagi berangkat siang hari
Satu gerbong seratus penumpang
Di sela-sela tumpukan keranjang dan karung-karung
Perempuan berteriak ribut
Bayi bayi menangis
Jalan menuju kota gaduh selalu

Menyimak senandung Leo Kristi dengan artikulasi yang jernih dan vibrato yang tegar, kita pada akhirnya mahfum ini merupakan sekelumit kesaksian. Yang tak hanya mencuat dari kerongkongan Leo Kristi, tapi seluruh masyarakat negeri ini. Dan, kita mahfum bahwa Leo tidak sedang melayangkan kritik terhadap menteri perhubungan, instansi perkereta-apian, kegagalan keluarga berencana, urbanisasi, atau apalah. Dia hanya menyaksikan kejadian rutin yang terjadi sehari-hari.
Rasanya di situlah kelebihan sosok Leo Kristi. Ia tetap dalam koridor yang santun walau mungkin terdengar
seolah menjewer pihak-pihak tertentu.
Tapi, di sisi lain tercetus sikap tegar yang diperlihatkan Leo, semisal barisan lirik lagu ‘SASL’ (Solus Aegroti Suprema Lex Est) dari album Nyanyian Tanah Merdeka :
Hei Tirani:

Dengan ujung senapan dan bayonet
Tak dapat kau penjarakan jiwa kami

Ini jelas sebuah sikap yang rasanya sudah sedemikian langka wujudnya saat sekarang ini. Simak pula lirik Leo Kristi lainnya :

Malam ini bergumam bersama
Di mana keadilan diporak-porandakan angkara murka.

Dalam setiap kesempatan Leo Kristi selalu berujar, ”Kita selalu mengharapkan, kebudayaan bisa menjadi jembatan hubungan menghubungkan cinta kasih sayang sesama manusia.”
Adakah ini  masih terbersit dalam benak kita ?


Leo mengenal musik sejak kecil. Jadi tak heran jika musik seolah bersemayam dalam nadi dan darahnya. Muasalnya adalah sang ayah, Raden Ngabehi Iman Soebiantoro, yang mempunyai hobi bermusik. Kemampuan bermusik tertular ke Leo yang selain mampu bernyanyi juga pintar memainkan pelbagai instrumen musik mulai dari gitar, flute, piano, hingga biola. Menurut Leo, ”Musik adalah sahabat, dan nyanyian adalah kecintaan”.
Tampaknya falsafah itulah yang terus dikepitnya hingga sekarang ini. Seperti lazimnya anak kecil, ia gandrung terhadap musik. Leo pun mengambil kursus gitar pada Tony Kardijk, direktur Sekolah Musik Rakyat di Surabaya. Selain itu ia merasa perlu untuk memperdalam teknik memetik gitarnya pada dua musisi lainnya yaitu Oei Siok Gwan dan Poei Sing Gwan.
Untuk teknik vokal, pria ini menyerap ilmu vokalia pada John Topan dan Nuri Hidayat. Di sini Leo mendapatkan berbagai teknik bernyanyi mulai phrasering, vibrato, falsetto, breathing, dan entah apa lagi.
Leo mulai menjejakkan kaki di pentas pertunjukan saat membentuk Lemon Trees bersama almarhum Sudjarwoto yang lebih dikenal sebagai Gombloh dan Franky Sahilatua yang kemudian dikenal dengan duo Franky & Jane. Leo pun sempat membentuk duet dengan seorang penyanyi wanita bernama Kristi. Keduanya lalu dikenal sebagai Leo Kristi. Ketika duo ini bubar, Leo tetap menggunakan nama Leo Kristi sebagai jatidirinya. Terkadang Leo mengaku bahwa Kristi itu adalah nama gitar hitam yang selalu diusungnya jika manggung. ”Kristi itu adalah singkatan Keris Sakti,” tuturnya. Dan, memang gitar itulah senjata utama Leo sebagai seorang trubadur yang telah melangkah dalam empat dasawarsa.


Di pertengahan era 70-an, Leo Kristi mulai memproklamirkan Konser Rakyat Leo Kristi yang beranggotakan Leo Kristi, Naniel dan Mung, serta dua gadis bersaudara Jilly dan Lita yang berperan sebagai penyanyi latar. Formasi ini melahirkan album perdana di akhir tahun 1975 Nyanyian Fajar yang diproduksi oleh Aktuil Musicollection, majalah musik di Bandung yang melebarkan sayap pada dunia rekaman.
Formasi Konser Rakyat Leo Kristi ini selalu berubah-ubah. Beberapa nama silih berganti masuk mendukung musikalitas dari Leo Kristi, di antaranya ada Otte Abadi, Komang, Cak Bagus, Tatiek, Yayuk, serta dua bersaudara Nana dan Yana Van Derkley. Deretan pendukung Leo Kristi bisa menjadi sangat panjang, karena setiap usai melakukan pengembaraan di suatu daerah, Leo selalu menemukan bibit-bibit baru yang kemudian diikutsertakan dalam formasi Konser Rakyat Leo Kristi.
Dalam perjalanan musikalnya, Leo telah menghasilkan sekitar 10 album. Sudah pasti ini merupakan jumlah yang sangat sedikit dibanding perjalanan kariernya yang telah mengarungi empat dasawarsa. Meskipun demikian ia selalu menepis tudingan bahwa dirinya telah mengalami stagnasi.

Apakah Leo sudah tak memiliki niat untuk melontarkan kesaksian-kesaksian seperti dahulu yang melahirkan banyak lagu seperti ‘Siti Zulaikha’, ‘Gulagalugu Suara Nelayan’, ‘Laut Lepas Kita Pergi’, ‘Sayur Asam Kacang Panjang’, ‘Bedil Sepuluh Dua”, ‘Ana Rebana’, ‘Tanah Memerah In Memoriam’, ‘Timor Timur’, ‘Nyanyian Tanah Merdeka’, ‘Kiara Condong’, ‘Salam dari Desa’, dan ‘Kereta Laju’?
Tak pernah ada jawaban yang pasti yang keluar dari bibir seniman ini. Kita pun hanya bisa menebak-nebak. Seperti ketidaktahuan kita kemana lagi langkah Leo Kristi mengembara.
Dan, kapankah Leo Kristi akan berlabuh ?

Buih buih memercik di kiri-kanan
Buih buih memercik di kiri-kanan
Perahu jauh di kaki langit
Terbentang layarku
Kadang naik, kadang lurus
Dipermainkan oleh ombak


Guruh Soekarno Putra penulis lagu Nostalgia Hotel Des Indes dan Djajusman Joenoes,penyanyi lagu Nostalgia Hotel Des Indes

Guruh Soekarno Putra penulis lagu Nostalgia Hotel Des Indes dan Djajusman Joenoes,penyanyi lagu Nostalgia Hotel Des Indes

Djajoesman Joenoes penyanyi Nostlagia Hotel Des Indes saat Pagleran Karya Cipta Guruh Soekarno Putra tahun 1979

Djajoesman Joenoes penyanyi Nostlagia Hotel Des Indes saat Pagleran Karya Cipta Guruh Soekarno Putra tahun 1979

Guruh Soekarno Putera,putera bungsu pasangan Proklamator RI Ir Soekarno dan Fatmawati mewarisi darah seni yang dititiskan sang ayah.Dengan sebuah lagu yang bertutur tentang romansa,Guruh sekaligus menebalkan makna betapa pentingnya sebuah kemerdekaan bagi negara yang terjajah Belanda hingga 350 tahun.

Rasa minder yang menggumpal pun tercecer dimana-mana bahkan untuk urusan kasmaran.Bahkan kalau mau jujur,  feodalisme dalam nafas baru saat ini masih bisa kita lihat dengan kasat mata.
Guruh pun menulis lagu “Nostalgia Hotel Des Indes” yang mengambil setting pada zaman Belanda.Berlangsung di Hotel Des Indes,tempat kaum feodal dan priyayi berdansa dansi menebar keriaan.

Hotel Des Indes Djakarta tahun 1957

Hotel Des Indes Djakarta tahun 1957

Hotel Des Indes itu dulu lokasinya adalah di pusat perkantoran Duta Merlin di kawasan Hayam Wuruk Jakarta.
Seorang pelajar terpaksa harus menutup hasrat asmaranya yang bergelora terhadap puteri resident yang berhasil menaklukkan hatinya.Sang pelajar minder,dia hanya seorang pribumi yang tentunya hanya dipandang sebelah mata,dibanding kaum kulit putih yang mekatari ruang ballroom Hotel Des Indes.

Dia hanya bisa memendam dalam hati seraya bergumam :”Kapankah Ost Indie djadi merdeka ?” dilatari  gemerincing bunyi piano honky dan musik swing big band ala Glenn Miller.
Ini nukilan lirik lagu “Nostalgia Hotel Des Indes” karya Guruh Soekarno Putera  yang pertamakali ditampilkan di depan khalayak pada tanggal 6 dan 7 Januari 1979 di Balai Sidang Senayan Jakarta dalam “Pergelaran Karya Cipta Guruh Soekarno Putera I bersama Swara Maharddhika” .Djajoesman Junus  dan berlatar paduan vokal Trio Bebek menyenandungkan lagu monumental ini.

Hotel Des Indes Batavia di zaman kolonial Hindia Belanda

Hotel Des Indes Batavia di zaman kolonial Hindia Belanda

Nostalgia Hotel Des Indes

Spoken :

Ini ada seboeah lagoe romantis.Kisah dari seorang priboemi.Dia itoe student jang verlief
dengan satoe perempoean jang siapa dengan berkebetoelan dia djoempa di Hotel Des Indes.
Namoen sajang itoe pemoeda koetjiwa kerna dia poenja maoe terloepoet.

Semoga ini lagoe dapet menghiboer atie sekalian pendengar…………

Tempo sore berbintang diatas kota
Koe pigi ke Hotel Des Indes
Didalemnja ada soeatoe pesta ria
Sajang koe dateng sendirian.

Sasloki whiskey koe tegoek nie’mat
Di saloonnja Hotel Des Indes
Satoe perempoean aksie dandananja
Tersenjoem padakoe maloe maloe
Koeterpesona tiada berkata
Memandang seanteronja
Kepingin tanja siapa namanja ?
Adoeh koe telat.Ia poen liwat
Di itoe pesta,nona asjiek berdansa
Dengan ia poenja boyfriend
Achirja dapat koe tahoe siapa dia
Roepanja poetri resident

Spoken : Koe tahoe ia poen verlief padakoe
Kerna ngelirik teroes dengan tersenjum
Hanja sampai disitoe
Kerna situatie memang begitoe

Akoe tak moengkin mendapatkannja
Nu ben ik minder,ik ben en inlander
Kapankah Ost indie djadi merdeka
Harapan orang priboemi
Lopeoetlah sudah si nona idaman
Poelang lah akoe sendirian

Partitur Lagu “Nostalgia Hotel Des Indes”

Prakata Untuk Buku Tentang Bubi Chen

Posted: Agustus 14, 2010 in Sosok

Minggu lalu seorang mahasiswa Surabaya bernama Agung Perkasa menghubungi saya melalui email.Dia meminta saya untuk menuliskan prakata untuk buku biogarfi visual tentang kiprah musikal pianis jazz andal Indonesia Bubi Chen.Tanpa berfikir panjang langsung saya menyanggupi untuk menorehkan kesan kesan saya terhadap maestro jazz kita yang telah meniti karir dalam jazz sejak dasawarsa 50-an.Ini sebuah apresiasi menarik terhadap Bubi Chen dan jazz.Mengingat buku referensi perihal musik jazz di Indonesia sangatlah sedikit,jikalau tak mau menyebutnya tak ada sama sekali atau langka.

Upaya yang dilakukan anak muda seperti Agung Perkasa patut didung dan diberi acung jempol.Setidaknya kita akhirnya bisa menelusuri perjalanan musik jazz melalui kiprah Bubi Chen yang berasal dari Surabaya ini.Sejarah musik Indonesia harus ada.Harus segera dodokumentasikan,walau secara perlahan.Karena musik Indonesia pastilah sebuah legacy yang akan disantap oleh generasi generasi di masa datang  .

Dan inilah nukilan prakata yang telah saya tulis tentang Bubi Chen :

Bubi Adalah Jazz

Oleh Denny Sakrie

Jazz adalah dunia Bubi Chen.rasanya Bubi terlahir untuk musik jazz.Dan mendekati 5 dasawarsa darah dan karsa Bubi tetap jazz.Sebuah kegigihan dan konsistensi yang mengagumkan. Dan tak bisa ditawar lagi, Bubi adalah jazz.Dimata saya Bubi Chen selaik  Midas, Raja Phrygia dalam mitologi Yunani yang sentuhan ujung jarinya mengubah segalanya jadi emas. Musik apapun yang disentuh Bubi berubah jadi jazz.Saat bersimbiose dengan pemusik tradisional Jawa Barat,Bubi opun mencitarasakan jazz.Bahkan ketika Doel Sumbang hingga band Padi menggamitnya berkolaborasi dalam rekaman,jari jemari Bubi yang menari di tuts piano tetap menebar rasa jazz. Tak banyak pemusik yang berani memastikan jazz sebagai pilihan hidup. Di negeri ini banyak kita jumpai pemusik jazz yang nyambi memainkan jenis musik lain untuk survive.

Namun, Bubi Chen, yang belajar jazz secara autodidaktik, tidak pernah berhenti memainkan jazz. Jari-jemarinya tetap bergulir di atas tuts piano. Hanya jazz dan jazz. Simaklah bagaimana Bubi  Chen menafsirkan berbagai ragam anasir musik entah itu klasik, pop, maupun etnik ke dalam kamar jazz yang dibangunnya.

Ketika berusia 12 tahun ia sudah mengobrak-abrik repertoar klasik, dari Wolfgang Amadeus Mozart hingga Ludwig von Beethoven, menjadi jazz. Bebas lepas dari tradisi musik klasik yang taat pada pakem. Dalam 40 tahun lebih kariernya di dunia rekaman, Bubi mengaransemen begitu banyak lagu pop menjadi repertoar jazz yang improvisatif.

 

Mulai dari album Bila Ku Ingat Bubi Chen with Strings (produksi Irama, 1969), bersama Mus Mualim sebagai music director dan diiringi Orkes Simphoni Radio Jakarta, hingga sederet albumnya di akhir era 1990-an seperti Virtuoso (Legend Record,1995) atau What A Wonderful World (Sangaji Music, 1999) maupun album terakhirnya di tahun 2010 “The Many Colours Of Bubi Chen” yang menafsirkan pustaka musik rock dalam cermin jazz.

Lalu tengpkah  sampul belakang album Bila Ku Ingat, almarhum Mus Mualim menuliskan komentar tentang musikalitas Bubi Chen: ” Seorang pianis yang sempurna, baik dalam kecepatan dan keampuhan jari-jarinya maupun dalam susunan improvisasi yang progresif dan modern. Dia adalah seorang pemain piano yang rapi dan teliti.”

Tak heran apabila  di era 60-an banyak yang membanding-bandingkan permainan Bubi Chen dengan Art Tatum, pianis jazz Amerika yang memainkan Swing, Stride, dan Boogie Woogie dengan kompleksitas dan kecepatan jari-jemari yang luar biasa. Apa pun, yang jelas Bubi Chen lebih tepat disebut sebagai seorang penafsir jazz. Setiap lagu yang diinterpretasikannya senantiasa disusupi roh jazz yang berkesan baru dan fresh.

Setiap lagu yang diaransemennya ibarat seseorang yang mengenakan baju baru. Bubi pun piawai mengaduk-aduk sanubari mulai dari ambience beratmosfer lembut dan secara tiada terduga menyeberang ke perangai yang lebih agresif. Tak berlebihan jika menyebut permainan jazz Bubi adalah laksana miniatur yang meniru riak kehidupan manusia sehari-hari, mulai dari yang adem-ayem hingga yang penuh gelegak. kehidupan anak manusia.

Untunglah Bubi memilih jazz. Sebab, dengan improvisasi, jazz bisa menerobos dan menyusup ke zona estetik musik lain. Yang pantas dicatat adalah ketika Tony Scott, peniup klarinet Amerika yang mengajak grup jazz Indonesian All Stars, yang terdiri atas Bubi Chen (piano, kecapi), Maryono (vokal, flute, saksofon tenor), Benny Mustafa (drum), Jopie Chen (bas), dan Jack Lesmana (gitar), merekam album Djanger Bali (produksi Saba/MPS,1967) di Jerman.

Meskipun membawakan beberapa repertoar negeri kita seperti Burung Kakatua, Djanger Bali, Ilir-ilir, maupun Gambang Suling-nya Ki Nartosabdo, album yang mendapat tanggapan baik dari dunia jazz internasional ini sama sekali tidak memasukkan instrumen gamelan. Padahal ambience Bali dan Jawa menyusup dalam permainan mereka. Jack Lesmana, misalnya, cukup memanipulasi karakter gamelan melalui sentuhan permainan gitarnya. Begitu juga Bubi, yang melakukan hal serupa pada permainan pianonya. Terkecuali lagu Gambang Suling, yang mengetengahkan permainan kecapi Bubi. Uniknya, lagu karya George Gershwin, Summertime, dimainkan dengan treatment karawitan Sunda.

Kolaborasi lain yang pernah dilakukan Bubi adalah merekam album Bubi di Amerika (Hidayat Audio, 1984) bersama Albert “Tootie” Heath, pemain drum jazz yang pernah mendukung Herbie Hancock, Dexter Gordon, dan Yusef Lateef, serta pemain bas John Heard yang pernah mendukung The Count Basie Orchestra, Louie Bellson dan Oscar Peterson. Rekaman yang berlangsung di Pasadena, California, ini memainkan genre Be Bop dan Hard Bop karya Miles Davis hingga Sonny Rollins.

Ini bukan hanya babak yang tak pernah terlupakan bagi perjalanan musikal Bubi Chen, tapi juga merupakan entry tersendiri dalam sejarah musik jazz di Indonesia. Kolaborasi lintas bangsa itu masih terus dilakukannya, misalnya ketika merilis album Virtuoso, yang didukung pemusik jazz dari Australia, Singapura, dan Filipina.

Dari catatan-catatan di atas, tersirat bahwa Bubi Chen adalah seorang pemusik yang gemar berdialog. Berdialog dengan pemusik jazz antarbangsa, berdialog dengan pemusik beda generasi, hingga berdialog dengan jenis musik lain di luar jazz.

Dan sang Midas pun kembali menjentikkan jari-jemarinya di bilah-bilah tuts piano. Jadilah jazz, jazz, dan jazz.

 

Perjalanan musik Bubi  Chen ini,untungnya,direkam dengan seksama dalam buku ini.Sebuah dokumentasi yang kelak akan diketahui pula oleh generasi setelahnya.Sejarah musik Indonesia pun mencatat bahwa Bubi adalah jazz itu sendiri.

 

Denny Sakrie,pengamat musik

Arkian……Majalah Sin Po

Posted: Agustus 14, 2010 in Sejarah

Ini mungkin adalah koleksi majalah saya yang paling tua usianya…..84 tahun.Majalah “Sin Po” No. 159 Tahon ka 4 Saptoe 17 April 1926 dengan sampul depan bergambarkan Pelaboehan Marseilles.Majalah ini terbit secara berkala seminggu sekali.Makanya disebut Weeklysche Editie.

Sin Po adalah majalah Tionghoa yang menggunakan bahasa Melajoe .Majalah hitam putih ini telah  terbit  sejak zaman Hindia Belanda. Diterbitkan pertamakali  di Djakarta  pada bulan Oktober 1910.Dua tahun berselang  Sin Po berubah menjadi surat kabar harian

Dalam catatan sejarah harian Sin Po  ini adalah harian pertama yang memuat teks lagu kebangsaan Indonesia “Indonesia Raja” yang ditulis oleh Wage Rudolf Supratman.

Sin Po pun tercatat ikut menggagas penggunaan nama “Indonesia” untuk menggantikan “Hindia-Belanda” sejak diikrarkannya Soempah Pemoeda  pada 28 Oktober 1928.

Sin Po kemudian berhenti terbit pada  saat tentara Jepang berhasil  menduduki Indonesia pada tahun 1942.Selama 3 1/2 tahun Sin Po tertidur pulas. Tapi kemudian  kembali terbit pada tahun  1946 setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Selanjutnya di tahun  1962 harian ini berganti nama menjadi Warta Bhakti sebelum akhirnya dibredel pemerintah pada tahun 1965setelah terjadinya peristiwa G 30 S/PKI.

Majalah Sin Po

Mari kita kembali mundur ke belakang.Mengenang sebuah peristiwa yang rasanya tiada mungkin terlupakan begitu saja.Di tahun 1976 muncul sebuah majalah musik baru.Namanya MG,singkatan dari Musik Gitar.Hadir dengan tagline “musik dengan chord gitar” pada sebelah kanan sampul majalah.Saat itu anak muda se Nusantara sudah diharu birukan oleh majalah Aktuil,yang juga diikuti oleh follwernya majalah TOP yang dibangun oleh Remy Sylado,mantan redaksi Aktuil pada tahun 1975.
Saya ingat,tahun 1976 saya baru diterima di bangku SMP.Itu adalah era getol-getolnya terhadap musik.Saat itu benak saya selalu haus informasi mengenai musik dan musik.
Era paruh 70-an itu memang disesaki oleh banjir dan tumpah ruahnya kaset kaset barat ilegal tapi legal yang disodorkan berbagai perekam Barat seperti Perina,Aquarius,Atlantic Record,Saturn,Lolita,BSR dan banyak lagi.Tak pelak lagi remaja Indonesia saat itu memang tengah dininabobokkan oleh budaya pop yang kental nuansa western-nya.Lihatlah berita berita yang dimunculkan Aktuil maupun Top yang didominasi artis musik Barat mulai dari berita hingga poster poster warna warni dalam ukuran besar sebagai bonus majalah.
Ini masih diperkuat lagi dengan gencarnya band-band sohor yang manggung di Jakarta seperti Shocking Blue,Bee Gees,Suzi Quatro hingga puncaknya dengan kehadiuran Deep Purple pada Desember 1975 di stadion Senayan Jakarta.
Riuhnya alam musik pop (rock) di Indonesia saat itu ditambah lagi dengan kehadiran majalh MG yang berkedudukan di Jakarta.Tapi MG sengaja mengambil segmen yang berbeda dengan Aktuil maupun Top.MG malah menyasar target ke perilaku anak muda yang saat itu mulai terjun main gitar atau membentuk band dengan menyuguhkan lagu lagu up to date yang dilengkapi  dengan chord gitar.Ini sesuatu yang menarik .Patut dipuji perihal kejelian MG yang diterbitkan oleh Yayasan Penggemar Musik dan Gitar (YPMG) ini yaitu dengan menyediakan sarana berupa chord gitar dari lagu-lagu yang tengah ngetren saat itu.MG pun menyisipkan berita berita terkini perkembangan musik dunia dan tanah air,tidak dalam artikel besar tapi berupa berita singkat.MG pun memberikan bonus poster serta kaset.
Kaset inilah yang mungkij dimaksudkan untuk membantu pembaca mengikuti chord chord yang ditampilkan oleh MG.
Saat itu harga majalah MG dipatok Rp 400.Harga kaset Indonesia saat itu adalah Rp 500 dan kaset Barat antara Rp 600 – Rp 700. Kaset MG sendiri dipatok Rp 600.Penjualan kaset terpisah dengan majalah.
Salah satu tokoh pencinta musik yang ikut mengasuh majalah MG ini adalah Tim Kantoso yang saat itu kerap dikaitkan dengan komunitas musik jazz.Almarhum Tim Kantoso ini juga yang kerap menulis editorial MG dan selalu ditutup dengan semboyan khasnya “Music as always.MG as always”.
Selain dibesarkan oleh majalah Aktuil,wawasan musik saya saat itu pun diimbuh oleh majalah MG.
Ah…..whatta memories !!!!

Majalah MG

Majalah MG