Archive for the ‘Konser’ Category

Majalah Gitar Zaman Dulu

Posted: Januari 2, 2015 in Kisah, Konser

Majalah musik selalu datang dan pergi.Ada yang pernah berjaya selama satu dekade, ada yang bertahan hingga hari ini.Tapi yang seumur jagung pun banyak.Tapi secara spesisfik majalah berbasis gitar dengan mengandalkan teknik bermain gitar plus akor-akor gitar atau tablatur agaknya selalu ada dalam setiap era.Tak pernah mati.
Di hari kedua tahun baru 2015 mendadak saya jadi teringat dengan majalah gitar terbitan lokal yang pernah mengisi masa-masa SMP dan SMA dulu.Ada dua nama majalah gitar yang kerap menjadi buku putih atau referensi anak muda yang tengah belajar gitar atau yang selalu updating perihal lagu-lagu baru.

Majalh MG edisi no 11 dengan mrenampilkan foto Bay City Rollers pada cover depannya (Foto Denny Sakrie)

Majalh MG edisi no 11 dengan mrenampilkan foto Bay City Rollers pada cover depannya (Foto Denny Sakrie)

Pertama adalah majalah MG yang terbit di Jakarta.Dan yang muncul setelahnya adalah majalah Topchords yang terbit di Salatiga,Jawa Tengah.
Mari kita kembali mundur ke belakang.Mengenang sebuah peristiwa yang rasanya tiada mungkin terlupakan begitu saja.Di tahun 1976 muncul sebuah majalah musik baru
Namanya MG,singkatan dari Musik Gitar.Hadir dengan tagline “musik dengan chord gitar” pada sebelah kanan sampul majalah.Saat itu anak muda se Nusantara sudah diharu birukan oleh majalah Aktuil,yang juga diikuti oleh followernya majalah TOP yang dibangun oleh Remy Sylado,mantan redaksi Aktuil pada tahun 1975.
Saya ingat,tahun 1976 saya baru diterima di bangku SMP.Itu adalah era getol-getolnya terhadap musik.Saat itu benak saya selalu haus informasi mengenai musik dan musik.Beruntunglah anak muda sekarang yang bisa mengupdate hal terbaru sekalipun mengenai perkembangan musik populer melalui internet dan media sosial lainnya yang bertebaran dimana-mana.

Kaset yang berisikan lagu-lagu hits Barat pilihan majalah MG.

Kaset yang berisikan lagu-lagu hits Barat pilihan majalah MG.

Era paruh 70-an itu memang disesaki oleh banjir dan tumpah ruahnya kaset kaset barat ilegal tapi legal yang disodorkan berbagai perekam Barat seperti Perina,Aquarius,Atlantic Record,Saturn,Lolita,BSR dan banyak lagi.Tak pelak lagi remaja Indonesia saat itu memang tengah dininabobokkan oleh budaya pop yang kental nuansa western-nya.Lihatlah berita berita yang dimunculkan Aktuil maupun Top yang didominasi artis musik Barat mulai dari berita hingga poster poster warna warni dalam ukuran besar sebagai bonus majalah.
Ini masih diperkuat lagi dengan gencarnya band-band sohor yang manggung di Jakarta seperti Shocking Blue,Bee Gees,Suzi Quatro hingga puncaknya dengan kehadiuran Deep Purple pada Desember 1975 di stadion Senayan Jakarta.
Riuhnya alam musik populer (rock) di Indonesia saat itu ditambah lagi dengan kehadiran majalh MG yang berkedudukan di Jakarta.
Namun majalah MG sengaja mengambil segmen yang berbeda dengan Aktuil maupun Top.MG malah menyasar target ke perilaku anak muda yang saat itu mulai terjun main gitar atau membentuk band dengan menyuguhkan lagu lagu up to date yang dilengkapi dengan chord gitar.Ini sesuatu yang menarik .Patut dipuji perihal kejelian MG yang diterbitkan oleh Yayasan Penggemar Musik dan Gitar (YPMG) ini yaitu dengan menyediakan sarana berupa chord gitar dari lagu-lagu yang tengah ngetren saat itu.MG pun menyisipkan berita berita terkini perkembangan musik dunia dan tanah air,tidak dalam artikel besar tapi berupa berita singkat.MG pun memberikan bonus poster serta kaset.
Kaset inilah yang mungkij dimaksudkan untuk membantu pembaca mengikuti chord chord yang ditampilkan oleh MG.
Saat itu harga majalah MG dipatok Rp 400.Harga kaset Indonesia saat itu adalah Rp 500 dan kaset Barat antara Rp 600 – Rp 700. Kaset MG sendiri dipatok Rp 600.Penjualan kaset terpisah dengan majalah.
MG memang berhasil merebut simpati anak muda saat itu.MG seperti sarapan kedua para remaja setelah melahap berita-berita musik yang dipaparkan oleh majalah Aktuil.
Memuncaknya ketenaran MG,diikuti dengan munculnya majalah serupa tapi dengan format yang lebih kecil dibanding MC,dengan nama Topchords yang diterbitkan di Salatiga.Seperti halnya MG,Topchord pun merilis kaset juga.
Majalah Topchord mulai terbit pada tahun 1977 dengan ukuran majalah sebesar buku tulis.Seperti halnya MG,lagu-lagu(Barat) yang tercantum dalam majalah Topchord juga direkam dalam kasetnya.Saat itu terjadi persaingan yang ketat antara MG dan Topchord dalam pemilihan lagu-lagu yang ditampilkan setiap edisinya.Bahkan majlah Topchord menurut saya selangkah lebih maju karena menghadirkan apresiasi terhadap lirik lagu yang dibedah oleh Ariel Heryanto.Ulasan Ariel Heryanto ,alumni Universitas Satya Wacana Salatiga ini cukup dalam dan agaknya sangat memahami budaya pop dengan baik.Saya banyak mengambil saripati dari tulisan apresiasi Ariel Heryanto dalam setiap penerbitan majalah Topchord tersebut.
Sebaliknya, salah satu tokoh pencinta musik yang ikut mengasuh majalah MG ini adalah Tim Kantoso yang saat itu kerap dikaitkan dengan komunitas musik jazz.Almarhum Tim Kantoso ini juga yang kerap menulis editorial MG dan selalu ditutup dengan semboyan khasnya “Music as always.MG as always”.MG juga menghadirkan sedikit ulasan mengenai hiruk pikuk dunia musik.

Majalah MG edisi no 12 tahun 1976  dengan cover Queen (Foto Denny Sakrie)

Majalah MG edisi no 12 tahun 1976 dengan cover Queen (Foto Denny Sakrie)

Namanya MG,singkatan dari Musik Gitar.Hadir dengan tagline “musik dengan chord gitar” pada sebelah kanan sampul majalah.Saat itu anak muda se Nusantara sudah diharu birukan oleh majalah Aktuil,yang juga diikuti oleh followernya majalah TOP yang dibangun oleh Remy Sylado,mantan redaksi Aktuil pada tahun 1975.
Saya ingat,tahun 1976 saya baru diterima di bangku SMP.Itu adalah era getol-getolnya terhadap musik.Saat itu benak saya selalu haus informasi mengenai musik dan musik.Beruntunglah anak muda sekarang yang bisa mengupdate hal terbaru sekalipun mengenai perkembangan musik populer melalui internet dan media sosial lainnya yang bertebaran dimana-mana.
Era paruh 70-an itu memang disesaki oleh banjir dan tumpah ruahnya kaset kaset barat ilegal tapi legal yang disodorkan berbagai perekam Barat seperti Perina,Aquarius,Atlantic Record,Saturn,Lolita,BSR dan banyak lagi.Tak pelak lagi remaja Indonesia saat itu memang tengah dininabobokkan oleh budaya pop yang kental nuansa western-nya.Lihatlah berita berita yang dimunculkan Aktuil maupun Top yang didominasi artis musik Barat mulai dari berita hingga poster poster warna warni dalam ukuran besar sebagai bonus majalah.
Ini masih diperkuat lagi dengan gencarnya band-band sohor yang manggung di Jakarta seperti Shocking Blue,Bee Gees,Suzi Quatro hingga puncaknya dengan kehadiuran Deep Purple pada Desember 1975 di stadion Senayan Jakarta.
Riuhnya alam musik populer (rock) di Indonesia saat itu ditambah lagi dengan kehadiran majalh MG yang berkedudukan di Jakarta.
Namun majalah MG sengaja mengambil segmen yang berbeda dengan Aktuil maupun Top.MG malah menyasar target ke perilaku anak muda yang saat itu mulai terjun main gitar atau membentuk band dengan menyuguhkan lagu lagu up to date yang dilengkapi dengan chord gitar.Ini sesuatu yang menarik .Patut dipuji perihal kejelian MG yang diterbitkan oleh Yayasan Penggemar Musik dan Gitar (YPMG) ini yaitu dengan menyediakan sarana berupa chord gitar dari lagu-lagu yang tengah ngetren saat itu.MG pun menyisipkan berita berita terkini perkembangan musik dunia dan tanah air,tidak dalam artikel besar tapi berupa berita singkat.MG pun memberikan bonus poster serta kaset.
Kaset inilah yang mungkij dimaksudkan untuk membantu pembaca mengikuti chord chord yang ditampilkan oleh MG.
Saat itu harga majalah MG dipatok Rp 400.Harga kaset Indonesia saat itu adalah Rp 500 dan kaset Barat antara Rp 600 – Rp 700. Kaset MG sendiri dipatok Rp 600.Penjualan kaset terpisah dengan majalah.
MG memang berhasil merebut simpati anak muda saat itu.MG seperti sarapan kedua para remaja setelah melahap berita-berita musik yang dipaparkan oleh majalah Aktuil.

Majalh musik gitar Topchord edisi 30 April 19 79 (Foto Denny Sakrie)

Majalh musik gitar Topchord edisi 30 April 19 79 (Foto Denny Sakrie)

Memuncaknya ketenaran MG,diikuti dengan munculnya majalah serupa tapi dengan format yang lebih kecil dibanding MC,dengan nama Topchords yang diterbitkan di Salatiga.Seperti halnya MG,Topchord pun merilis kaset juga.
Majalah Topchord mulai terbit pada tahun 1977 dengan ukuran majalah sebesar buku tulis.

Ini adalah isi dari majalah Topchord edisi tahun 1979 yang memuat tablature dan lirik lagu Karat Di balik Kilau Benny Soebardja

Ini adalah isi dari majalah Topchord edisi tahun 1979 yang memuat tablature dan lirik lagu Karat Di balik Kilau Benny Soebardja

Seperti halnyamajalah  MG,lagu-lagu(Barat) yang tercantum dalam majalah Topchord juga direkam dalam kasetnya.Saat itu terjadi persaingan yang ketat antara MG dan Topchord dalam pemilihan lagu-lagu yang ditampilkan setiap edisinya.Bahkan majlah Topchord menurut saya selangkah lebih maju karena menghadirkan apresiasi terhadap lirik lagu yang dibedah oleh Ariel Heryanto.Ulasan Ariel Heryanto ,alumni Universitas Satya Wacana Salatiga ini cukup dalam dan agaknya sangat memahami budaya pop dengan baik.Saya banyak mengambil saripati dari tulisan apresiasi Ariel Heryanto dalam setiap penerbitan majalah Topchord tersebut.

Majalah Topchord edisi No.49 tahun 1981 dengan cover Andy Gibb

Majalah Topchord edisi No.49 tahun 1981 dengan cover Andy Gibb

Sebaliknya, salah satu tokoh pencinta musik yang ikut mengasuh majalah MG ini adalah Tim Kantoso yang saat itu kerap dikaitkan dengan komunitas musik jazz.Almarhum Tim Kantoso ini juga yang kerap menulis editorial MG dan selalu ditutup dengan semboyan khasnya “Music as always.MG as always”.MG juga menghadirkan sedikit ulasan mengenai hiruk pikuk dunia musik.

Tiga Jam Diguyur Metal Progresif

Posted: Desember 5, 2014 in Konser, Liputan

Tulisan saya ini dimuat di majalah Rolling Stone Indonesia edisi Desember 2014

Walaupun tak sebesar dan sekolosal Metallica, namun band progresif metal Dream Theater juga meraup banyak penggemar fanatik yang memenuhi lahan Lapangan D Senayan pada minggu 26 Oktober 2014.Sekitar 5000 penonton memenuhi lahan yang letaknya berdampingan dengan Jakarta Convention Center, yang saat itu juga tengah mengadakan perhelatan musik lintas genre Sounds Fair.Konser Dream Theater bertajuk Along For The Ride Tour 214 merupakan yang keduakalinya sejak John Petrucci (gitar),James LaBrie (vocal ),John Myung (bass),Jordan Rudess (keyboard) dan Mike Mangini pertamakali menggelar konser di Jakarta 21 April 2012 di MEIS Ancol Jakarta. Along For The Ride Tour merupakan tur yang dilakukan Dream Theater untuk mendukung album “Dream Theater” yang dirilis tahun 24 September 2013.Tur ini dimulai di Eropa 15 Januari 2014.
“Malam ini kami akan bermain sekitar 3 jam penuh” ucap John Petrucci gitaris dan salah satu pendiri Dream Theater, saat saya mewawancarainya sekitar 6 jam sebelum konser berlangsung.
Menurut,John Petrucci, selain membawakan lagu-lagu dari album “Dream Theater” ,konser ini juga membawakan sebagian repertoar dari album “Awake” yang tahun ini genap berusia 20 tahun serta selebrasi album “Metropolis Pt2 :Scenes From A Memory “ yang tepat saat konser berlangsung 26 Oktober genap berusia 15 tahun.Konser ini setidaknya merupakan retropeksi atas perjalanan karir band yang dibentuk pertamakali oleh tiga mahasiswa Berklee College of Music di Boston,Massachusetts Mike Portnoy,John Myung dan John Petrucci pada tahun 1985 dengan nama Majesty dan berubah menjadi Dream Theater di tahun 1988.
Dream Theater yang kini berada dibawah naungan label Road Runner betul memenuhi janjinya untuk tampil selama 3 jam.James LaBrie sang vokalis meyibak pertunjukan dengan berucap : “Selamat malam Jakarta.Kami akan memainkan musik selama tiga jam”,yang disambut gemuruh para penggemar Dream Theater yang datang dari berbagai kota di Indonesia.Saat itu saya sempat melihat penggemar Dream Theater yang datang dari Bali,Malang,Surabaya,Makassar,Medan dan juga Lampung.
Konser Dream Theater dibagi dalam dua sesi yaitu Act 1 dan Act 2 termasuk encore yang menyajikan sekitar 4 komposisi.Kedua sesi ini disela jeda pemutaran kumpulan klip dan footage yang berkaitan dengan Dream Theater termasuk klip para penggemar Dream Theater yang mengcover lagu-lagu Dream Theater di kanal Youtube.
Konser Dream Theater yang didukung pernak pernik visual rasanya tepat untuk mengimbuh mood dan atmosfer konser selama 3 jam tersebut .Sesi Act 1Dibuka dengan introduksi bernuansa orchestral “False Awakening” yang ditulis John Petrucci dan Jordan Rudess dan berlanjut dengan beberapa komposisi dari album “Dream Theater” seperti “The Enemy Inside”,”The Looking Glass”,”Along For The Ride” serta “Enigma Machine” yang dilanjutkan dengan solo drum dari Mike Mangini.Dalam Act 1 ini para pemusik virtuoso ini juga memainkan “The Shattered Fortress” dari album Black Clouds & Silver Linings (2009),”On The Back of Angels” dan Breaking All Illusion “dari album “A Dramatic Turn of Events” (2011) serta ,”Trial of Tears” dari album “Falling Into Infinity” (1997).
Setelah jeda intermission sekitar 15 menit Dream Theater meneruskan penjelajalahan musiknya pada Act 2 yang khusus memainkan repertoar album “Awake” .Awake adalah salah satu album terbaik Dream Theater yang mendapat review bagus atas pencapaian musiknya.Album yang dirilis 4 Oktober 1994 ini muncul pada saat industri musik dunia masih di cengkram ketenaran musik grunge dengan band-band seperti Nirvana,Pearl Jam,Alice In Chain hingga Stone Temple Pilot.Namun album yang kuat nuansa progresifnya ini mampu mencapai peringkat 32 dalam “Top 200 Albums” di majalah industri musik Billboard selama 6 pekan.

DTT
Di penghujung era 90an itulah sosok Dream Theater mulai dikenal di Indonesia.Anak muda yang bermain band mulai menoleh pada aura musik Dream Theater dengan penyajian musik yang cenderung ke arah virtuositas.”Anak anak muda yang tadinya memainkan metal,mulai mengulik karya-karya Dream Theater” urai Andy Julias drummer Makara,yang juga dikenal sebagai penggagas berdirinya Indonesia Progressive Society di awal era 2000an. Eramono Soekaryo,pemain keyboard alumnus Berklee Music Of College Boston juga ikut tertarik dengan konsep fusi antara musik rock progresif dan metal yang digagas Dream Theater.Di tahun 1995 Eramono Soekaryo mengubah warna music bandnya Spirit dari fusion menjadi prog metal ala Dream Theater.Jika Dream Theater menghadirkan saxophonis jazz Jay Beckenstien dari grup Spyrogyra pada lagu “Another Day” dari album “Images and Words” (1992) , Eramono Soekaryo dalam band Spirit menghadirkan saxophonis jazz Didiek SSS dalam album “Salahkanku” (1995).

DT@
Saat itu repertoar Dream Theater menjadi pilihan bagi berbagai band-band remaja saat ikut berkompetisi dalam berbagai Festival Band.”Saya dan teman-teman saat ikut festival band pernah membawakan lagu milik Dream Theater” ujar Rian D’Masiv vokalis band pop D’Masiv.
Andy Julias lalu menyebut beberapa nama band progresif yang banyak terpengaruh dengan konsep progresif metal Dream Theater seperti The Miracle,Jukebox, dan Ballerina.Meskipun mereka telah merilis album dengan komposisi sendiri misalnya The Miracle merilis album bertajuk “M” (2008) atau Ballerina yang merilis dua album “Hayal” (2003) dan “Dance of Ballet” (2008) .Bahkan saya sempat melihat penampilan Paraikatte Band, band asal Makassar yang menyerap pengaruh Dream Theater saat tampil dalam sebuah kompetisi band
Setidfaknya ini menyiratkan bahwa Dream Theater memiliki banyak penggemar di Indonesia.Komunitas penggemar Dream Theater tumbuh kembang di beberapa kota di Indonesia.
Dalam sesi Act 2 ,kita seolah digiring kembali ke Dream Theater era lalu dengan sederet lagu dari album “Awake” seperti “The Mirror”,”Lie”,”Lifting Shadows off a Dream”,”Scarred”,”Space-Dye Vest” dan diakhiri dengan epic berdurasi 22.18 menit “Illumination Theory” yang terbagi dalam 5 movement, dari album “Dream Theater” (2013).
Penggemar Dream Theater di Indonesia agaknya menikmati sajian yang dahsyat dari Dream Theater yang masih menambahkan encore sebanyak 4 komposisi dari album Metropolis pt 2 : Scenes From A Memory” yaitu Overture 1928,Strange Deja Vu,The dance of Eternity,Finally Free serta outro dari Ilumination Theory.Menyajikan encore dari album Metropolis Pt2 :Scenes From A Memory” ini rasanya merupakan pilihan tepat.Pertama,karena malam itu album yang untuk pertamakali menyertakan keyboardis Jordan Rudess ini merayakan ulang tahun yang ke 15 sejak dirilis 26 Oktober 1999.Kedua,album ini juga merupakan salah satu album landmark dari Dream Theater,dimana majalah Rolling Stone pada edisi akhir Juli 2012 telah memilih album ini sebagai album no.1 dalam polling Album Progresif Rock Terbaik Sepanjang Waktu,mengalahkan album klasik “Close To The Edge” dari Yes (1972) dan album 2112 dari Rush (1976) .
Suara James LaBrie terdengar lirih di ujung konser saat menyanyikan bait bait terakhir lirik Finally Free :” We’ll meet again my friend.Someday Soon !”

Benny Soebardja ,founder sekaligus leader band rock 70an asal Bandung Giant Step tetap gigih ingin menyatukan keutuhan bandnya.Entah untuk keberapa kalinya Benny Soebardja berupaya melakukan hal itu.Seingat saya, Benny Soebardja pernah datang menemui saya pada sekitar tahun 1996 di tempat saya bekerja saat itu Radio M97FM Classic Rock Station yang berada di kawasan Jalan Borobudur Menteng Jakarta Pusat.Saat itu, Benny mengutarakan niatnya untuk kembali ke dunia musik dengan berkuat kembali ke dunia rekaman dan panggung.Saya menyambut dengan antusias keinginan Benny Soebardja untuk kembali lagi bermusik.Karena menurut saya, Benny Soebardja masih memiliki dan menyimpan kemampuan menulis lagu sekaligus bernyanyi dengan baik.Suaranya masih lantang dengan artikulasi yang jernih.Namun.yang patut disayangkan adalah beberapa personil Giant Step agak susah untuk disatukan kembali.Misalnya Triawan Munaf yang lebih berkonsentrasi pada bisnis periklanan ,Albert Warnerin yang sibuk bermain blues dengan grupnya Big City Blues Band maupun Adhi Sibolangit yang telah meninggalkan dunia musik dengan menjamah dunia spritualisme. Tapi toh Benny Soebardja tetap gigih untuk kembali tampil di panggung dengan Giant Step. Di tahun 1997 dengan didukung Jelly Tobing pada drum, Benny Soebardja juga mengajak beberapa pemusik muda seperti Krisna Prameswara (keyboard) dan Shankan (gitar) untuk melahirkan kembali formasi Giant Step.Formasi ini sempat manggung di Classic Rock Cafe yang berada di bilangan Blok M Jakarta.

Benny Soebardja (gitar,vokal) dan Adhi Sibolangit (bass) di Musro Music Lounge Borobudur Hotel 15 Juni 2014 (Foto Denny Sakrie)

Benny Soebardja (gitar,vokal) dan Adhi Sibolangit (bass) di Musro Music Lounge Borobudur Hotel 15 Juni 2014 (Foto Denny Sakrie)

Saya sangat memahami keinginan dan tekad Benny Soebardja untuk memanggungkan kembali Giant Step meskipun dengan tertatih-tatih.Pada zamannya ,era 70an hingga 80an, Giant Step adalah band rock yang agak menjurus ke progresif rock,yang sarat dengan idealisme.Mereka,saat itu, dalam berbagai konser-konser yang digelar di Jakarta,Malang,Bandung,Surabaya dan beberapa kota besar lainnya,pantang atau mengharamkan mebawakan karya-karya orang lain.Dengan rasa percaya diri yang tinggi,Giant Step yang terbentuk di tahun 1973 lebih bangga membawakan lagu-lagu karya sendiri.Dan itu harga mati yang tak bisa diganggu gugat lagi. Ini pula yang membuat saya respek atau menaruh rasa hormat setinggi lagi pada Benny Soebardja dan Giant Step.Mereka tak mau kompromi dalam mengusung karya-karya lagu sendiri.

Benny Soebardja membawakan My Life dari album Giant Step Mark 1 (Foto Denny Sakrie)

Benny Soebardja membawakan My Life dari album Giant Step Mark 1 (Foto Denny Sakrie)

Jelly Tobing tengah menyaksikan Benny Soebardja dan Adhi Sibolangit yang melakukan rehearsal di Musro Borobudur Hotel (Foto Denny Sakrie)

Jelly Tobing tengah menyaksikan Benny Soebardja dan Adhi Sibolangit yang melakukan rehearsal di Musro Borobudur Hotel (Foto Denny Sakrie)

Di sekitar tahun 2009, kembali Benny Soebardja berupaya untuk memanggungkan Giant Step.Saat itu Erwin Badudu,keyboardis yang masuk menggantikan TriawanMunaf pada tahun 1977 malah telah mengacungkan jari untuk siap bermain lagi dengan Giant Step.Erwin bahkan sempat menghubungi saya dan kita ngobrol tentang dimana konser Giant Step akan digelar.Sayangnya ide reuni Giant Step kembali gagal,karena Erwin Badudu disibukkan dengan kegiatan musik gereja. Diantara rentang waktu tersebut sebuah label indie Strawberry Rain yang berada di Toronto Kanada berminat merilis album-album solo Benny Soebardja di era 70an dalam format vinyl dan CD.Jason Connoy sang pemilik label langsung merilisnya dalam 3 album vinyl.Rilisan dalam bentuk reissue ini ternyata mendapat sambutan hangat dari penikmat musik rock di belahan sana.Terlihat jelas dari review-review yang bertebaran di dunia maya. Peristiwa ini tentu saja kembali menyemangati Benny Soebardja untuk kembali muncul dengan Giant Step. Terbetik kabar Benny Soebardja bersama Jelly Tobing,drummer Giant Step era 80an telah menemui gitaris Albert Warnerin.Sayangnya kondisi Albert Warnerin yang didera penyakit,justru tak memungkinkan untuk tampil kembali di panggung pertunjukan bersama Giant Step.

Namun Benny Soebardja tetap tak mundur sejengkal pun.Suatu hari Benny melemparkan pesan ke saya via BBM.Dalam pesannya itu Benny mengatakan bahwa dia telah berhasil mengajak Deddy Dorres,pemain keyboard yang pernah mendukung Giant Step di tahun 1973, untuk ikut manggung.Bahkan Benny pun berhasil membujuk Adhi Sibolangit sang bassist yang sudah meninggalkan dunia musik untuk turun gunung.

Formasi Giant Step yang terdiri atas Benny Soebardja (gitar,vokal utama),Adhi Sibolangit (bass),Deddy Dorres (gitar),Erwin Badudu (keyboard) serta Jelly Tobing (drum) itu menurut Benny Soebardja siap untuk melakukan reuni.Mendengar kabar itu,saya merasa tidak sabaran untuk nonton konser reuni Giant Step tersebut. Akhirnya terbetik kabar formasi Giant Step ini akan tampil dalam acara launching reissue album Sharkmove “Ghede Chokra’s pada tanggal 15 Juni 2014 di Musro Music Lounge Borobudur Hotel.

Benny Soebardja (Foto Denny Sakrie)

Benny Soebardja (Foto Denny Sakrie)

Saya bahkan menawarkan diri untuk memandu acara tersebut. Namun sayang Deddy Dorres yang telah menyanggupi untuk ikut bermain bersama Giant Step mengabarkan bahwa dia tengah berada dalam sebuah acara politik.Blam……Erwin Badudu jauh sebelum acara juga menyatakan berhalangan.Walhasil malam itu Giant Step hadir dengan formasi Benny Soebardja (vokal,gitar),Adhi Sibolangit (bass) dan Jelly Tobing yang malah bermain gitar.Drum dimainkan Rhama Nalendra putra Benny Soebardja serta Krisna Prameswara yang memainkan keyboard.

Meskipun tampil dengan formasi yang tak utuh,toh aura Giant Step tetap menyembul dalam pola permainan mereka malam itu yang membawakn lagu-lagu dari album Giant Step Mark 1 (1975) seperti My Life,Childhood and Seabird, Fortunate Paradise serta Persada Tercinta.

Jazz Bersulam Puisi

Posted: Mei 25, 2014 in Konser, Opini

Denise Jannah (53 tahun) menyapa sekitar 250 penonton yang memenuhi Teater Salihara selama dua malam 24 dan 25 Juli 2009 bersama kuartetnya yang terdiri atas Wolf Martini (gitar),Lesley Joseph (bass), Gilbert Breuer (perkusi) dan Walter Muringen (drum) lewat sajian jazz bersulam puisi.Penyanyi jazz bertubuh gempal kelahiran Suriname Amerika Selatan ini juga tampil di Erasmus Huis Jakarta 26 Juli dan di Yogyakarta 27 Juli 2009.

Konser Denise Jannah di Teater Salihara (Foto Salihara)

Konser Denise Jannah di Teater Salihara (Foto Salihara)

Denise Jannah memang berhasil menyita simpati penonton dengan keramahannya yang tak jarang berbumbu canda.Suaranya mungkin bisa dipadankan dengan songstress seperti Ella Fitzgerald atau Sarah Vaughn.Artikulasinya jelas.

Malam itu Denise tampil dengan multi-lingual.Dia tampaknya memang terampil menyanyikan lagu dalam berbagai bahasa mulai dari Inggeris,Belanda, Prancis , Suriname termasuk Indonesia .

Bukan hanya itu,wanita kulit hitam yang memiliki nama asli Denise Johanna Zeefuik ini juga seorang komposer yang cenderung mengaduk-aduk berbagai gaya musik seperti blues,funk,samba,bossanova termasuk kaseko ,sebuah polar item dari Suriname,dalam bingkai jazz.

Selain mengedepankan berbagai lagu jazz standar seperti “Nature Boy”,”Teach Me Tonight”,”Autumn Leaves”,”How Do You Keep Music Playing”,”Turn Out The Stars” maupun Caravan. Denise yang telah merilis 6 album (3 diantaranya dirilis Blue Note Amerika) ini pun menyajikan sederet lagu lagu yang tercerabut dari karya puisi.

Mungkin disini sisi menarik dari penampilan Denise Jannah.

Inilah Denise Jannah (Foto Salihara)

Inilah Denise Jannah (Foto Salihara)

Memusikalisikan puisi mulai dilakukannya sejak awal 2002 yang ditampilkannya dalam beberapa festival di Belanda , Suriname ,Afrika Selatan,Aruba serta Indonesia . Di tahun 2004 muncullah albumnya yang ke 6 “Gedicht Gezongen” yang diproduserinya sendiri. Berisikan 22 lagu yang semuanya diangkat dari sebuah puisi. Dengan telaten Denise mengumpulkan sejumlah puisi dari berbagai penyair dari Belanda (M.Vasalis,Neeltje Maria Min,Gerrit Komrij,Hans Andreus),Suriname (Shrinivasi,Margo Morrison,Trefossa,Orlando Emmanuels,Celestine Raalte,Michael Siary),Aruba (Ernesto Rosenstand), Curacao (Frank Martinus Arion ,Eis Juliana),Afrika Selatan (C.Louis Leopoldt),St,Maarten (Ruby Bute) dan Indonesia (Sitok Srengenge).

Memusikalisasikan puisi dalam tekstur jazz memang bukan sesuatu yang baru.Di era 60-an saxophonis Stan Getz pernah berkolaborasi dengan penyair Lawrence Ferlinghetti.Di era 70-an Gil-Scott Heron pun melakukan jazz poetry .

Denise Jannah sebelum menyanyikan lagunya,selalu bertutur tentang penyair dan puisi yang dinyanyikannya.

Dia bercerita tentang penyair Ruby Bute dari St Maarten yang menulis “She Walks The Streets.”Ini kisah tentang seorang wanita.Mungkin tuna wisma.Selalu melintas di jalanan dengan wajah yang sedih,tapi ternyata tak mau dikasihani”.

Dengan pola blues Denise pun berdendang :

No one knows what made her fail

What desperation made her walk the streets

She gazes beyond the passing crowds

While her secret cry silentyly

Within her hearts shattered life

Leans up against a wall

Denise lalu menyanyikan puisi karya Frank Martinus Arion,penyair asal Curacao bertajuk “Mi Tin Gana Di Mirabu”,sebuah penafsiran romansa dengan mengambil idiom metaforik.”Dalam bahasa Inggeris artinya When I See You” imbuhnya menjelaskan.

Hanya diiringi petikan gitar Wolf Martini,Denise Jannah kemudian menyanyikan “Voor Een Dag Van Morgen” karya penyair Belanda Hans Andreus.

Lalu dengan gaya samba Denise menyanyikan puisi karya penyair Suriname Celestine Raalte Sondongo.”Sondongo itu artinya sunset” tukas Denise Jannah sembari tersenyum.

Denise Jannah mendaulat penyair Sitok Srengenge (Foto Salihara)

Denise Jannah mendaulat penyair Sitok Srengenge (Foto Salihara)

Kemudian Denise mendaulat penyair Sitok Srengenge ke pentas untuk membacakan puisi “Osmosa Asal Usul” yang ditulis Sitok tahun 1995.

Setelahnya Denise lalu melantunkan puisi Sitok.Notasi yang dibuatnya berdasarkan rima puisi Sitok bagai sebuah senyawa meski lagu ini bergulir tanpa refrain.Dengan introduksi suara ghatam dan saron yang disampling Gilbert Breuer lewat perkusi elektroniknya serta disusul petikan gitar Wolf Martini,maka lagu ini seolah memberi keteduhan pada penikmatnya.Sepintas ada nuansa Indonesia yang menyembul.

Aku bertanya kepada angin

Dari mana asalnya angan

Angin menggoyangkan pucuk pucuk daun

Dan kusaksikan pohon pohon

Melukis lingkaran tahun

Dan Denise Jannah malam itu , seolah melepas sekat sekat budaya,bahasa dan ras lewat musik jazz.

Denny Sakrie,pengamat musik

(Tulisan ini dimuat di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009)

tigapagi di @atamerica 12 April (foto @atamerica)

tigapagi di @atamerica 12 April (foto @atamerica)

Tajuk yang saya gurat diatas mungkin terkesan agak serius.Tapi saya tak menemukan tajuk yang tepat untuk menyimpulkan tontonan bertajuk “Sound Of Saturday” yang berlangsung di @atamerica sabtu 12 April kemarin. Sejak beberapa minggu sebelum acara digelar saya dihantui rasa waswas, moga moga kali ini tak ada lagi halangan untuk menyaksikan dua kelompok musik yang mampu menggoyang khalwat jiwa saya yaitu Pandai Besi dan tigapagi.

Penonton konser Sounds Of Saturdat di @atamerica (Foto @atamerica)

Penonton konser Sounds Of Saturdat di @atamerica (Foto @atamerica)

Beberapa waktu sebelumnya,ketika Pandai Besi maupun tigapagi menggelar konser di Jakarta maupun Bandung, selalu ada saja halangan untuk datang menikmati konser musik mereka yang gurih.Dari album Daur Baur yang digarap Pandai Besi di studio Lokananta dengan memberdayakan crowfunding hingga album “Roekmana’s Repertoire” nya kelompok folk tigapagi ini sesungguhnya saat itu saya penasaran ingin melihat bagaimana jadinya konsep musik mereka jika dipindahkan dari album rekaman ke pentas pertunjukan. Secara kebetulan, baik Pandai Besi dan tigapagi, merupakan dua kelompok musik dari paguyuban bebas merdeka (baca :indie) telah terpilih sebagai dua kandidat Album Pilihan Majalah Tempo 2013.Dua kelompok musik yang mencuatkan harmoni musik secara cerlang cemerlang ini seolah saling bersaing ketat untuk menjadi Album Of The Year versi majalah berita berwibawa di negeri ini.

Kebetulan lagi, saya dan David Tarigan diundang oleh majalah yang digagas oleh Goenawan Mohamad itu sebagai tim penilai bersama tim redaksi seni budaya Tempo. Jam 18.30 saya menginjakkan kaki di lantai 3 Pacific Place dimana @atamerica berada.Ruangan pertunjukan yang berkapasitas sekitar 250 penonton itu mulai terlihat menyemut. Agaknya pesona dua kelompok musik ini mampu menyeret perhatian mereka ,para penikmat music dari berbagai usia untuk datang menyaksikan mereka . Ada satu ketentuan mutlak jika sebuah kelompok musik atau pemusik menggelar konser di @atamerica yaitu diharuskan untuk mengcover atau meremake sebuah karya musik dari khazanah musik popular di Amerika Serikat. Dan malam itu Sigit dari tigapagi berhasil mereka ulang lagu milik Nirvana Something In The Way yang ditulis dan dinyanyikan oleh sang frontman Kurt Cobain dari album fenomenal “Nevermind” (1991) yang menandai lanskap grunge, mazhab yang berkecambah di Seattle. Pandai Besi diluar dugaan mengcover lagu anthem era hippies di penghujung dasawarsa 60an yaitu California Dreaming yang dipopulerkan The Mamas and The Papas.kelompok folk rock pada tahun 1965.Sebuah era yang diwarnai menyeruaknya counterculture di kalangan anak muda terutama lewat idiom musik bernafas psikedelik.Pandai Besi memberi nafas baru dari lagu yang di eranya menjadi salah satu jatidiri dari generasi bunga. Entah kenapa saya tiba-tiba teringat dengan gaya Mama Cass atau Cass Elliot salah satu personil dari The Mamas and The Papas yang bertubuh subur saat melihat gaya Nastasha Abigail salah satu vokalis Pandai Besi .Abigail terlihat ekspresif dan lepas saat menginterpretasikan lagu yang menceritakan kehangatan California disaat musim dingin tiba. Menyaksikan tigapagi dan Pandai Besi di konser “Sounds Of Saturday” ini seperti menyaksikan sebuah festival folkrock dengan bingkai psikedelia. Saya sangat menikmati konser kedua paguyuban musik yang menyulam benang folk dalam rajutan musiknya. Dibuka dengan tigapagi yang seperti album cakram padatnya bermain tanpa jeda dari lagu ke lagu.Tigapagi yang terdiri atas Eko Sakti Oktavianto (gitar,Bass), Prima Dian Febrianto (gitar), dan Sigit Agung Pramudita (gitar,vokal) didukung chamber music yang terdiri atas cello dan dua biola. Sayangnya microphone yang dipakai Sigit agak kurang memadai, bahkan sound strings terutama biola terlalu kencang. Saya duduk paling depan berdampingan dengan Eric Wirjanatha dari Death Rock Star disebeklah kiri saya, serta di kanan saya ada Hasief Rolling Stone dan Ade Firza Paloh dedenngkot Sore.Saya membatin, agaknya Ade Paloh pasti akan diajak ke panggung untuk berduet dengan Sigit terutama karena di album “Roekamana’s Repertoire”,Ade Paloh jadi penyanyi tamu pada lagu “Alang-Alang”. Dan ternyata memang benar.Sigit lalu mengajak Ade paloh untuk ke panggung berduet lirih pada lagu Alang Alang. Sebuah komposisi yang sangat folkie.Tigapagi menyuntikkan rasa Indonesia dalam olahan musik folknya yang terbingkai dari bunyi-bunyian akustik dari gitar dan seksi strings.Ditengah-tengah tata musiknya tiba-tiba kita bisa tersodorkan dengan ritme kroncong hingga notasi Sunda yang cenderung minor. Sigit pun mengajak Paramita Sarasvati dari kelompok Nadafiksi untuk berduet.Sayangnya,sekali lagi disayangkan sound yang terdengar dari tata suara sangat buruk.Bukan penyanyinya lho, tapi dari tata suara. Padahal tigapagi telah memberikan sentuhan baru pada lagu Interpol “NYC”.Sebuah penafsiran yang pantas dipuji. Di konser ini tigapagi seolah mempertemukan Roekmana dalam aura peristiwa di Indonesia sekitar tahun 1965 dengan Kurt Cobain yang bunuh diri di tahun 1994 dalam bingkai tutur yang gelap tentunya lewat lagu cover Nirvana “Something In The Way”.Seminggu sebelum konser “Sounds Of Saturday”,para penggemar Nirvana memperingati tragedi meninggalnya Kurt Cobain pada 5 April 1994.

Abigail Pandai Besi terlihat seperti Mama Cass Elliot dari The Mamas and The Papas (Foto @atamnerica)

Abigail Pandai Besi terlihat seperti Mama Cass Elliot dari The Mamas and The Papas (Foto @atamnerica)

Panggung lalu berganti ke Pandai Besi yang malam itu tampil tanpa Cholil Machmud sang vokalis yang saat ini tengah menuntut ilmu di Amerika Serikat.Tapi Cholil tetap hadir menyapa penonton lewat skype bersama isterinya.Pasangan suami isteri ini bahkan menyanyikan lagu “Hujan Jangan Marah” lewat petikan gitarlele Cholil.Lagu ini pun menjadi lagu pembuka konser Pandai Besi yang terdiri atas Akbar Akbar Bagus Sudibyo (drum), Muhammad Asranur (keyboard), Andi “Hans” Sabarudin (gitar), Airil ”Poppie” Nurabadiansyah (bas), Agustinus Panji Mahardika (terompet), dan Natasha Abigail serta Monik (vokal) .Mereka juga dibantu dua pemusik additional. Pandai Besi seperti yang mereka perdengarkan pada album Daur Baur, mereka menginterpretasikan ulang sebagian besar lagu-lagu dari Efek Rumah Kaca seperti Insomnia,Laki Laki Pemalu hingga Desember serta Menjadi Indonesia dalam balutan aransemen yang eklektik. Baik tigapagi maupun Pandai Besi terlihat ligat dan terampil memberi jiwa pada lagu yang mereka bawakan

Jumat malam 20 Desember 2013 lalu,bertempat di XXI Lounge Djakarta Theater Jalan Thamrin Jakarta berlangsung perhelatan 50 Th Anniversary Bharata Band, band tribute the Beatles yang berasal dari Malang.Sejak terbentuk tahun 1963, Bharata Band memang telah memilih hanya membawakan lagu-lagu the Beatles.

Abadi Soesman dan Jelly Tobing (Foto Djajusman)

Abadi Soesman dan Jelly Tobing (Foto Djajusman)

Kini hanya Tato Bharata yang merupakan satu-satunya anggota Bharata Band yang asli.Meskipun telah memasuki usia senja Tato tetap bersemangat memainkan lagu-lagu The Beatles bersama Yudha Prasetyo,putranya yang kedua yang bermain gitar,serta didukung pula Iwan (bass) dan Agus (drums).

Tikert

Bharata 2013 saat merayakan 50 th Anniversary 20 Desember 2013

Bharata 2013 saat merayakan 50 th Anniversary 20 Desember 2013

Di tahun 1967 Bharata vakuum dari dunia pertunjukan karena personilnya fokus pada pekerjaan seperti Tato Bharata yang menjadi karyawan Pertamina.

Di tahun 1984 tBharata Band muncul kembali ke dunia pertunjukan.Band yang telah terbentuk sejak dasawarsa 60-an ini kembali menjadi sorotan publik ketika mereka didaulat tampil dalam acara “Beatles Belum Mati”.Kebangkitan mereka tepatnya pada tanggal 11 Juli 1984 ketika Yapto Surjo Sumarmo  (ketua Pemuda Pancasila) bersama Sys NS  membuat acara memperingati  The Beatles di Taman Ismail Marzuki. Mereka diajak Yapto untuk bermain dalam kesempatan tersebut.
Kejayaan Bharata band muncul kembali antara tahun 1984 sampai tahun 1990.

Almarhum Harry Bharata (Foto Djajusman Joenoes)

Almarhum Harry Bharata (Foto Djajusman Joenoes)

Khalayak Jakarta seolah tersihir dengan lagu lagu The Beatles yang dilantunkan Bharata.Walaupun Bharata tampil bukan dengan formasi asli,tapi penampilan mereka mendapat aplause luar biasa.Mungkin karena kehadiran Abadi Soesman (vokal,gitar,keyboard) dan Jelly Tobing (drum).
Tak sedikit yang berkomentar,energi bermusik Bharata kian meletup dengan masuknya Abadi Soesman dan Jelly Tobing .Ini memang tak bisa dimungkiri.Baik Abadi dan Jelly memang memiliki kemampuan bermusik diatas rata-rata.Sama sama komunikatif dan enerjik.

Tato Bharata,satu satunya anggota Bharata asli yang tersissa

Tato Bharata,satu satunya anggota Bharata asli yang tersissa

Sejak itulah Bharata kemudian banyak tampil di berbagai konser lagi setelah cukup lama terbenam dalam kevakuuman.
Bharata sendiri terbentuk bersamaan dengan munculnya Koes Bersaudara,di saat hampir seluruh anak muda Indonesia kerasukan demam The Beatles.Bharata sendiri merupakan akronim dari keempat personilnya yaitu Bambang Herwidi ( drum),Harrie Putranto  (bas,vokal),A.Suharlie (gitar,vokal) dan Tato (rhythm gitar,vokal).Bambang,Harrie dan Tato adalah bersaudara kandung.
Seperti halnya,Koes Bersaudara,Bharata pun sempat dijebloskan ke dalam penjaran lantaran memainkan musik The Beatles yang oleh rezim Orde Lama disebut sebagai musik ngak ngik ngok.

Bharata Band saat tampil di Gedung Kemanunggalan ABRI Rakyat Makassar tahun 1987 (Foto Denny Sakrie)

Bharata Band saat tampil di Gedung Kemanunggalan ABRI Rakyat Makassar tahun 1987 (Foto Denny Sakrie)

Memang patut disayangkan, langkah yang diambil Bharata tidak seperti yang dilakukan Koes Bersaudara yaitu menulis lagu karya sendiri.Bharata tetap setia dengan repertoar The Beatles.

Abadi Soesman dan Tato Bharata

Abadi Soesman dan Tato Bharata

Namun pada tahun 1985,diluar dugaan,Bharata Band yang terdiri atas Tato,Harrie,Abadi dan Jelly tiba tiba menulis lagu sendiri dan merilis sebuah album bertajuk “Kawula Muda”.Abadi Soesman bertindak sebagai music directornya.Lagu lagu ditulis oleh mereka berempat.Karakter The Beatles tetap terasa dalam lagu-lagu yang mereka ciptakan.Abadi bahkan meniru arransemen Penny Lane segala.
Ada 13 lagu yang tersemat pada album yang dirilis oleh Romeo Record.Sampul albumnya pun dimirip miripkan dengan sampul album “A Hard Day’s Night” nya The Beatles.
Ke 13 lagu tersebut adalah
1.Kawula Muda
2.Cinta Palsu
3.Janji
4.Lestari Alamku
5.Cinta & Khayal
6.Sendiri Oh Sendiri
7.Untuk Indonesia
8.Maafkan
9.Sendiri Lagi
10.Terimakasih
11.Horay….Horay
12.Relakan
13.Oh

Pada lagu “Kawula Muda” penampilan Bharata didukung sederet bintang tamu seperti Sys NS,Nani Sakri,Rizali PSP,Utje Anwar (isteri Jelly Tobing),Renny Djajoesman dan almarhum Pria Bombom.
Anehnya lagu-lagu di album semata wayang ini tak pernah dibawakan Bharata jika manggung.Di pentas pertunjukan Bharata tetap memainkan The Beatles.

Tahun 1990 Abadi Soesman mundur dari Bharata Band.Posisi Abadi  digantikan oleh Wawan Hid dari Mat Bitel ,band tribute The Beatles asal Bandung.

28 tahun silam tepatnya tanggal 22 Desember 1985 untuk kedua kalinya Soneta Group,orkes dangdut yang dibentuk Rhoma Irama bersepanggung dengan God Bless, band rock yang dimotori Achmad Albar.Pertamakali God Bless diskenariokan tampil bersama Soneta Group pada perayaan malam tahun baru yang berlangsung di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 31 Desember 1977. Tampilnya God Bless dan Soneta Group merupakan konser yang banyak menyerap minat penonton.Massa penonton rock dan dangdut bisa dikatakan seimbang.Bahkan bukan tak mungkin ada penikmat rock yang juga menyukai dangdut, demikian juga sebaliknya. Secara jujur harus diakui rock dan dangdut adalah musik yang memiliki karakter dan dinamika yang dekat semangat anak muda atau yang berjiwa muda.Rock dengan kredo kebebasan berekspresi nyaris memiliki persamaan dalam sudut ekspresi yang dimiliki dangdut, dimana dangdut juga merupakan ekspresi kebebasan bagi kaum akar rumput yang menurut pengamatan saya lekat dengan bunyi-bunyian musik dangdut.Mereka, yang kerap terpinggirkan,menemukan ekspresi kebebasan saat rentak dan ritme  dangdut membahana.Bahkan kemungkinan besar justru musik dangdutlah yang justru memiliki jumlah penggemar lebih banyak dibanding musik rock.Disatu sisi,penikmat musik rock kebanyakan berkembang dari kalangan menengah keatas,yang masih menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap budaya barat.Dimana musik rock,sebagai produk budaya pop barat dianggap memiliki kekuatan sebagai upaya eskalasi status sosial.

Achmad Albar berduet dengan Rhoma Irama di Istora Senayan jakarta 31 Desember 1977 (Foto Majalah Aktuil edisi 1978)

Achmad Albar berduet dengan Rhoma Irama di Istora Senayan jakarta 31 Desember 1977 (Foto Majalah Aktuil edisi 1978)

Rhoma Irama sadar bahwa meskipun dangdut banyak dicintai oleh kalangan bawah, tetapi kerap menjadi cemoohan orang sebagai musik kelas bawah,kampungan,musik babu dan sederet julukan yang bernada menghina dan  sarat ejekan.Rhoma Irama yang sebelum terjun total menyelami dangdut sebetulnya banyak berkutat menyanyikan lagu-lagu pop bahkan yang berbahasa Inggris seperti Paul Anka maupun Tom Jones, ini pun menyadari “kekurangan” dangdut dalam pamor.Sebagian besar masyarakat yang merasa dirinya modern pun kerap mengusik-usik dangdut seolah najis tak berampun.TVRI pun pernah mengharamkan penampilan dangdut di layar kaca.Bahkan rocker Benny Soebardja dari band Giant Step Bandung mencerca dangdut sebagai musik tai anjing.Pernyataan ini kontan menuai perseteruan panas yang mengemuka melalui majalah pop anak muda bernama Aktuil.Polemik ini kian memanas, antara Benny Soebardja dan Rhoma Irama, bahkan antar penikmat rock dan dangdut itu sendiri. Dipertengahan era 70an Benny Soebardja yang sarjana pertanian ini kembali jadi sorotan publik saat mencerca musik Dangdut sebagai musik maaf…tai anjing. Komentar panas Benny Soebardja ini ditanggapi frontal oleh Oma Irama dari kubu dangdut. Polemik yang kian memanas ini seperti diberi tempat oleh majalah pop Aktuil yang terbit di Bandung.

Disisi lain,antara tahun 1973 dan 1974 musik dangdut makin berkibar.Sukses yang dicapai Oma Irama bersama Soneta Group terutama lewat lagu Begadang, sempat menggoyang kedudukan musik pop.Eugene Timothy,pemilik label Remaco lalu bikin strategi untuk bisnis musiknya.Timothy lalu meminta band-band yang berada dibawah naungan Remaco untuk membuat album dangdut atau Pop Melayu, dimulai dari Koes Plus,Bimbo,The Mercy’s,D’Lloyd ,Favorite’s Group hingga AKA, band rock asal Surabya yang baru bergabung di Remaco.Dangdut memang menjadi primadona musik populer di Indonesia.

Namun pertikaian maupun perseteruan antara rock versus dangdut tak terelakkan dan berlangsung bertahun-tahun. Saat itu tahun 1970-an sudah mafhum bila penggemar rock tawuran dengan penggemar  dangdut. Korban terluka tak terbilang jumalhnya. Panggung Soneta Group bahkan pernah dikencingi seorang rocker. Rhoma Irama konon,  saat itu mengejarnya dengan kabel setrum. Caci-maki di panggung sampai umpatan di media bertubi-tubi.

Untungnya polemik yang meruncing tajam ini berakhir dengan perdamaian antara kedua kubu musik, baik rock maupun dangdut. Apalagi muncul fakta baru, ternyata baik Benny Soebardja maupun Oma Irma sama-sama berasal dari Tasikmalaya. Perseteruan lintas musik ini berakhir dengan happy ending.

Benny Soebardja yang menyadari arogansi dan kekeliruannya menyatkan niat bulat untu bersepanggung dengan Soneta Group tapi batal, dan akhirnya Giant Step justru sepanggung dengan penyanyi dangdut wanita Lies Saodah. Dalam solo album Benny Soebardja yang didukung band Lizzard, Benny Soebardja memasukkan unsur tabla, instrumen tabuh India yang menjadi inspirasi musik dangdut.

Tahun 1977 lewat album Hak Azazi yang dirilis Yukawi Record,Rhoma Irama bersama Soneta Groupnya mulai memasukkan elemen rock dan funk dalam sajian arransemen musiknya.Style petikan gitar elektrik Rhoma Irama mulai cenderung mengekor pada sound gitar Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple.Dalam lagu “Santai”,Rhoma Irama terlihat menyerap gaya funky rock ala James Gang seperti pada lagu Kick Back Man.Kostum personil Soneta Group pun mulai terlihat ngerock dengan kostum ala Spaceman.Jelas ini semua adalah upaya upaya yang ditempuh Rhoma Irama untuk menghapus stigma kampungan yang telah disematkan sebagian masyarakat kita.

Di ujung tahun 1977, akhirnya ada konser yang menyatukan God Bless dan Soneta Group.Acara sarat sensasi ini bisa juga dianggap sebagai pertanda bahwa antara musik dangdut dan rock tak ada pertikaian atau perseteruan lagi.Bahkan Rhoma Irama dengan tanpa malu-malu lagi mengadopsi gaya rock ala Deep Purple dalam sajian musik Soneta Group. Konser yang berlangsung 31 Desember 1977 itu berlangsung dengan riuh tanpa insiden sama sekali.Achmad Albar berduet dengan Rhoma Irama menyanyikan lagu Begadang serta hits dari Duo Kribo bertajuk Neraka Jahanam.

Di tahun 1979,Achmad Albar dengan musik yang digarap gitaris God Bless Ian Antono merilis album dangdut bertajuk Zakia.Album ini sukses di pasaran.Achmad Albar bahkan sempat merilis sekitar 4 album bercorak dangdut.Achmad Albar bahkan mengikuti jejak Rhoma Irama bermain dalam dua film bertema dangdut yaitu “Irama Cinta” dan “Cubit Cubitan” bersama Elvy Sukaesih.

Rhoma Irama sendiri mengajak Ucok Harahap dedengkot AKA bermain dalam film “Darah Muda” (1977) dimana di film ini Rhoma Irama yang mewakili dangdut menundukkan Ucok Harahap yang mewakili rock.Cerita sejenis ini pun berulang lagi dalam film Menggapai Matahari dan sekuelnya Menggapai Matahari II di tahun 1986, kali ini Ikang Fawzi memerankan penyanyi rock yang berseteru dengan Rhoma Irama.

Di tahun 1985 akhirnya Rhoma Irama bersepanggung dengan God Bless dalam acara bertajuk “Apresiasi Musik Anak Muda 1985” yang digelar di Stadion Utama Senayan 22 Desember mulai jam 19.00 WIB.

Leaflet acara Apresiasi Musik Anak Muda 1985 yang menampilkan God Bless dan Soneta Group 22 Desember 1985

Leaflet acara Apresiasi Musik Anak Muda 1985 yang menampilkan God Bless dan Soneta Group 22 Desember 1985

Indie Pop di Upper Room

Posted: Desember 20, 2013 in Konser

Tulisan saya ini pernah dimuat di Koran Tempo kamis 26 Juli 2007 .

I’ll never find another way .

to say I love you more each day

It’s quite romantic I know .

That’s how I wanna feel today .

I wanna feel this way today .

Can you feel my heartbeat .

Can you feel my heartbeat.

Can you feel my heartbeat .

When I’m close to you

Sekitar 2.000 penonton yang menjejali Upper Room, Hotel Nikko, di Jalan Thamrin, Jakarta, Sabtu lalu, ikut bernyanyi bersama Tahiti 80. Kelompok indie-pop asal Prancis ini mengumandangkan Heartbeat, lagu dari debut album mereka bertajuk Puzzle (2000).

Sebuah pemandangan yang menakjubkan. Lantaran Tahiti 80 adalah kelompok musik yang tercerabut dari komunitas indie. Jika Tahiti 80 adalah kelompok mainstream dari gugus musik industrial, hal demikian merupakan sesuatu yang wajar. Nyaris dalam sepanjang pertunjukan Tahiti 80, yang dibuka oleh penampilan kelompok indie lokal, seperti Sore dan Pure Saturday, penonton–yang rata-rata berusia 17-25 tahun–menjadi choir tak resmi.

HH

Alhasil, Tahiti 80 tak perlu lagi mengajak atau menghasut penonton untuk bernyanyi. Lagu-lagu bertempo medium-up beat dan catchy dari album terakhirnya, Fosbury, seperti Big Day dan Matter of Time, pun akhirnya dinyanyikan secara massal.

Come and get it,come and get it now
There’s a big day waiting for you

Tak pelak, grup yang terdiri atas Xavier Boyer (vokal utama dan keyboard), Pedro Resende (bas), Mederic Gontier (gitar), serta Sylvain Marchand (drum) terpesona dan semringah melihat polah tingkah penonton Indonesia yang responsif. Dan konser Tahiti 80 ini tampaknya mengulang lagi sukses yang dicapai beberapa kelompok indie yang manggung di Upper Room beberapa waktu lalu, seperti Kings of Convenience, Club 8, dan Sondre Lerche. Tak berlebihan jika Upper Room pada akhirnya bisa dianggap venue yang mempertemukan kelompok musik indie dengan para penggemarnya.

Menariknya, kelompok musik indie yang manggung di Upper Room justru banyak terpengaruh oleh musik pop era terdahulu. Sebut saja, misalnya, Kings of Convenience, yang justru mengingatkan kita pada pola harmoni vokal ala Simon & Garfunkel; Sondre Lerche, yang dipengaruhi Nick Drake dan Elvis Costello; Club 8, yang terpengaruh The Smith ataupun Antonio Carlos Jobim. Kings of Convenience dan Sondre Lerche berasal dari Norwegia, sedangkan Club 8 berasal dari Swedia.

BB

Kelompok-kelompok musik dari Eropa ini memang memendam kekaguman terhadap pencapaian musik pop era masa silam. Serpihan-serpihan musik masa lalu itu lalu diracik dengan semangat kekinian.

Pola semacam itu jualah yang ditapaki oleh kelompok musik indie negeri ini, seperti White Shoes & Couples Company, The Adams, Mocca, ataupun Sore, yang malam itu didapuk menjadi salah satu band pembuka konser Tahiti 80. Mereka, para pemusik muda, seolah hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang sebetulnya justru tak pernah mereka alami. Sebuah upaya pseudo dalam ranah musik yang bisa dianggap menjembatani gap generation.

Karakter vokal Xavier Boyer terasa elastis. Timbre vokalnya seolah menjejak pada dua sekat berbeda, antara atmosfer yang manis dan lembut hingga geraman yang terasa menggigit. Setidaknya timbre vokal Boyer mengingatkan kita pada Eric Carmen dari The Raspberries ataupun John Waite dari The Babys. Terkadang warna yang mencuat seolah merupakan gabungan antara perangai vocal Paul McCartney dan John Lennon. Dalam Your Love Shines, Boyer malah terdengar seperti embusan lirih dari penyanyi berkulit hitam Smokey Robinson.

Tahiti 80 dibentuk oleh dua mahasiswa Universitas Rouen, Paris, Prancis, pada 1993, yaitu Xavier Boyer dan Pedro Resende. Kedua sahabat ini sangat terpukau oleh era British Invasion pada 1960-an. Mereka menggandrungi The Beatles hingga The Kinks.

Setahun berikutnya masuk gitaris Mederic Gontier serta drumer Sylvain Marchand. Lalu keempatnya memilih Tahiti 80 sebagai jati diri kelompok musiknya. “Tahiti 80 itu kami ambil dari tulisan yang tertera pada kaus yang dikenakan ayah saya ketika pulang berlibur dari kepulauan Hawaii pada 1980-an,” ujarnya sambil tersenyum. Tahiti 80 telah merilis beberapa album, seperti Puzzle (2000), Wallpaper for the Soul (2002), A Piece of Sunshine (2004), dan Fosburry (2005).

Dan para penggemar Tahiti 80 di sini justru menyimak dan mengakrabi repertoar Tahiti 80 dari Internet hingga i-Pod.

Paduan suara penonton di Upper Room pun terdengar membahana.

I know we can work it out
It just a matter of a time
Baby can’t you see
The look on my face
Won’t you give me a try

Denny Sakrie, pengamat musik

Kayon Jazz (Berdialek) Indonesia

Posted: Desember 20, 2013 in Konser

Jari jemari Indra Lesmana secara perlahan menggerayangi tuts grand piano Yamaha.Lamat-lamat gaung piano merembes,berbaur dengan geraman bass slendro Prasaja Budidarma yang dikawal sebuah ritme yang mengingatkan kita pada gandrung Banyuwangi yang tercerabut dari musik tradisional Jawa Timur .Ritme pun semakin kuat membahana,namun secara tak sadar trio ini malah merengsek ke pola ritme western.Terciumlah anasir modal jazz yang merupakan ruh dari genre hard bop maupun post bop.Itulah komposisi yang ditulis Indra Lesmana bertajuk “Kayon” sekaligus merupakan judul album bernuansa etno jazz yang dirilis Demajors Records.

Trio Kayon di Salihara

Trio Kayon di Salihara

Entah untuk yang keberapa kalinya,musik jazz bersanding dengan pesona musik etnik penampilan trio Indra Lesmana (piano,melodica),Prasaja Budidarma (bass slendro) dan Gilang Ramadhan (perkusi) pada jumat malam 7 September 2007 di Gedung Kesenian Jakarta tampaknya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Tony Scott & Indonesian All Stars pada tahun 1967 lewat album “Djanger Bali” (MPS,1967) dan konser jazz di Berlin Jerman.

Kebetulan,trio ini tampil pula dalam acara “Asia Pacific 2007” pada tanggal 13 September 2007 di Berlin atas undangan dari “House of World Culture”. Menurut Indra Lesmana,tema yang ditentukan penyelenggara adalah pengaruh Be Bop atau Hard Bop dalam aura musik di sekitar Asia Pasifik.
Persenyawaan antara bop dan musik etnik Indonesia akhirnya menjadi pilihan trio yang sebetulnya telah terbentuk di sekitar tahun 1986.
Dalam konser yang menyuguhkan 8 komposisi dari album “Kayon” itu,stigma keterpaksaan menyatunya konsep east meets west menjadi lumer disini.
Mungkin karena ketrampilan ketiga instrumentalis mandraguna ini justeru mencuatkan polarisasi aura musik kutub timur dan kutub barat.
Jika mencermati perhelatan musik Indra Pra Gilang ini,maka kita akan menyingkap siasat mereka dalam memadu musiknya.Walau memendam muatan musik etnik,trio ini terlihat tetap hirau pada instrumen Barat seperti piano,bass dan drum.Meskipun untuk bass telah dilakukan modifikasi secara slendro.Sementara drum kit Gilang Ramadhan dilengkapi ragam perkusi seperti kenong,kecrek dan ceng ceng.
Instrumentasi Barat memang dihadirkan dengan feel etnik yang kuat.Misalnya pada lagu “Mumang”, mereka menyerap pengaruh musik dari ranah Aceh.Gilang Ramadhan mengeksplorasi bunyi-bunyian perkusi Aceh yang repetitif.Indra terkadang mengimbuh dengan ketukan piano secara single not .

Jika membandingkan pencapaian yang dilakukan Indonesian All Stars di tahun 1967 yang terdiri atas Jack Lesmana (gitar),Bubi Chen (piano),Benny Mustafa (drums),Jopi Chen (bas) dan Maryono (saxophone),maka terlihat kemiripan.Saat itu Jack Lesmana,ayah Indra,hanya memetik senar gitar dalam nada rendah untuk menghasilkan bunyi gong maupun kenong.
Indra sendiri menyentuh bagian string piano untuk meniru bunyi kenong ketika Gilang Ramadhan tengah memainkan solo drumming.
Beruntung ketiga pemusik ini sebelumnya sudah seringkali melakukan persenyawaan dengan musik etnik.Gilang Ramadhan bersama kelompoknya Nera banyak menjelujur ragam musik Timor hingga Papua.Pra Budi Dharma bersama kelompok
Krakatau banyak menyerap anasir musik Karawitan Sunda dan Nanggroe Aceh Darussalam.Indra Lesmana pernah menyusupkan musik Jegog dari Bali dalam konser “Megalitikum Kuantum” dua tahun silam.
Mereka paham betul bagaimana menyelinapkan tema dalam pola ritme yang baur
itu. Dalam lagu “Pangheurepan” Indra Lesmana meniup melodica dengan struktur
melodi Sunda menggantikan bunyi seruling.
Rentak tifa yang repetitif dihasilkan Gilang Ramadhan melalui perangkat drumnya pada lagu “Mademato Kamaki Sawosi”.Sementara dari permainan bass Pra terasa unsur funk yang groovy.
Pada komposisi “Little Jakarta”,Indra Lesmana memainkan ritme piano dengan
nuansa Gambang Kromong. Nuansa Qasidah dan musik Melayu terendus pada lagu “First Dawn”.Di lagu ini Gilang menghadirkan pola ritme rebana yang diikuti gemerincing piano Indra Lesmana.
Karakteristik musik etnik seperti dari Jawa,Bali,Sumatera dan Papua yang bersanding dengan karakter modern jazz memang tak saling mengintimidasi.Tepatnya lebih bertumpu pada kredo saling isi.Unsur unsur jazz seperti swingin maupun bop tetap menancap kuat.Siasat seperti pergeseran chord banyak membantu menampilkan kemasan etno-jazz yang mengalir.Dan rasanya inilah yang membedakannya dengan world music.
Jazz berdialek Indonesia,mungkin inilah jawaban yang tepat jika ada yang berupaya menelisik musik seperti apakah yang kali ini diusung Indra Lesmana Pra Budidarma Gilang Ramadhan.

Denny Sakrie,pengamat musik

(tulisan ini di muat di Koran Tempo 11 September 2007)

Java Jazz, Sebuah Deja Vu Fusion

Posted: Desember 20, 2013 in Konser

Sekitar Jam 15.10 saya memasuki ruang Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Cikini Jakarta kamis 10 Desember 2009.Di atas pentas terlihat Indra Lesmana,Dewa Budjana,Gilang Ramadhan,AS Mates dan Donny Suhendra tengah melakukan final reherseal untuk konser “Java Jazz” yang akan disajikan jam 20.00 WIB.

Indra Lesmana (Foto Djajusman Joenoes)

Indra Lesmana (Foto Djajusman Joenoes)

Saat itu mereka berlima tengah memainkan komposisi yang ditulis Indra Lesmana pada awal dekade 90-an “Bulan Di atas Asia”.

Dewa Budjana (Foto Djajusman Joenoes)

Dewa Budjana (Foto Djajusman Joenoes)

Geletar komposisi yang seolah merangkum nuansa etnik musik Asia ini seolah mencubit kuping saya.Saya seperti terjerembab ke kawah deja vu.Kenapa ? karena atmosfer musik seperti ini,mungkin lebih tepat disebut fusion,syahdan dahulu antara paruh 80-an hingga awal 90-an pernah mengguncang degup nurani saya.

Gilang Ramadhan (Foto Djajusman Joenoes)

Gilang Ramadhan (Foto Djajusman Joenoes)

Saat itu juga,saya seolah telah merasakan keriaan apa yang akan saya peroleh dari persembahan Java Jazz yang seperti kebanyakan band-band era sebelumnya,pada giat melakukan ritual reuni.
Dan untungnya Java Jazz bisa menyelamatkan perahu mereka dari tudingan :”ah……sekedar nostalgia aja “.Mereka seolah menjahit kembali kain dan benang yang sempat terkoyak dalam rentang 11 tahun.Karena dalam kekiniannya,Java Jazz menyempatkan diri merekam komposisi komposisi baru yang sebahagian dibawakan dalam konser bahkan sudah terangkum dalam album terbaru mereka bertajuk “Joy Joy Joy”
Dalam kekiniannya pula,Java Jazz terlihat seperti menyeruakkan ambience baru dalam permukaan tata musiknya.Ada kesan bahwa mereka ini ingin lebih cenderung meniupkan ruh anasir musik rock terutama jika menyimak duo dynamic gitar yang dipintal Dewa Budjana dan Donny Suhendra.
Kesan itu telah terasa saat Java Jazz memulai pertunjukan pada jam 20.27 WIB dengan komposisi “Drama” yang diambil dari album “Java Jazz” di tahun 1993 silam.

Donny Suhendra

Donny Suhendra

Java Jazz tampil lugas dan ketat.Rhythm section-nya padu dan pipih.Gilang Ramadhan menampilkan aura seorang rock star mengingatkan kita pada gaya Tony Williams dalam proyek berbasisa rock atau Bill Bruford yang mengimbuh jazz dalam bingkai rock.Kurang lebih seperti itula analoginya.
Keputusan untuk meniadakan ruang untuk bunyi saxophone yang dulu diisi oleh almarhum Embong Rahardjo merupakan keputusan berani dan sarat ranjau spekulatif.Tapi toh dengan konsep yang agak bergeser,meski tak sampai menguburkan jatidiri yang tertoreh sejak awal,membuat tampilan Java Jazz lebih bernas,bergairah dan bermagnet pula.

Java Jazz

Java Jazz

Di sektor keyboard Indra Lesmana memang banyak menyeruakkan sound vintage dari perangkat piano elektrik Lender Rhodes Stage 73 maupun miniMoog synthesizers,Little Phatty Moog,Hammond XB2 termasuk Hammond Melodica.Dalam beberapa segmen Indra Lesmana pun tak pernah lepas dengan breathe controller-nya,sesuatu yang mungkin dilakukan untuk sedikit mengisi ruang yang pernah diisi almarhum Embong Rahardjo.
Dewa Budjana sendiri banyak mengdopsi riffing yang beratmosfer rock lewat gitar Parker-nya serta menggerayangi dawai Hofner Banjo yang kadang membuat saya jadi teringat dengan sosok Bela Fleck dengan Flecktones-nya itu.Kenapa ? karena oleh Bela Fleck maupun Budjana,mampu menepiskan imaji bahwa banjo hanya tepat untuk musik country,bluegrass atau dixieland belaka.

jj6
Musik Java Jazz relatif bisa diterima oleh bukan penyimak jazz advanced.Mungkin karena Java Jazz masih hirau dengan keramahtamahan notasi yang melodik.Mereka pun kerap melakukan repetisi.
Serta beat yang masih “masuk akal”.Walau terkadang pergeseran dari multi-tempo yang terecerabut dalam sebuah komposisi seperti “Exit Permit”,sebuah lagu baru karya Indra Lesmana dan Gilang Ramadhan yang terdapat dalam album “Joy Joy Joy”,kadang bisa membuat penonton Java Jazz terkejut.Semisal pergeseran dari pola 7/8 lalu kemudian menukik lagi ke dalam pola normal 4/4.Bahkan di sini bassline yang dihadirkan Mates seperti membawa kita pada lagu “Do It Again” nya Steely Dan di paruh era 70-an.Degup jantung kita seolah diaduk disini.
Java Jazz pun terampil menata set list,dengan memperhitungkan dinamika dan mood .Ini terlihat ketika Jav Jazz yang kemudian memainkan The Seeker,karya lama mereka yang mengingatkan kita pada lagu-lagu jazz friendly yang kerap diputar di radio-radio dengan bersematkan label smooth jazz.

jj7
Pengaruh rock,terasa lagi pada komposisi baru karya Dewa Budjana dan Indra Lesmana bertajuk “Border Line” yang membawa imaji penonton pada adegan kejar kejaran dalam film layar lebar.
Riffing gitar berbingkai distorsi yang digetarkan Budjana terasa adalah bentuk adopsi Budjana terhadap karakter gamelan Bali yang agresif.Ini mungkin seperti ingin meneruskan tradisi adopsi musik etnikal yang terjadi pada lagu “Bulan Di Asia” : mereka menghasilkan atmosfer etnik tanpa harus menyemaikan instrumen tradisional.Hal ini juga pernah dikembangkan Indra Lesmana dan Gilang Ramadhan dalam proyek Kayon beberapa waktu silam.
Dalam “I Wish”,Java Jazz terasa sekali ingin memperlihatkan bahwa mereka tak sekedar hanya ingin mengulang jejak yang pernah ditapak beberapa tahun silam.Setidaknya bagi generasi sekarang yang mungkin telah berakrab akrab dengan Medeski Martin & Wood mampu menyelami kaarkter Java Jazz disini.Namun,dalam beberapa sajiannya Java Jazz justeru mengingatkan saya pada Steps Ahead atau setidaknya Weather Report.Mulai dari penelusuran departemen keyboard,bass line hingga kemitraan duo gitarnya.Strumming gitar Budjana terasa tajam,bagaikan strumming gitar yang kerap diperlihatkan oleh band-band beraliran prog-met seperti Dream Theater misalnya.
Unsur funk yang fun pun terasa merembes dalam komposisi “Joy Joy Joy”.Penonton pun ikut terseret dalam pola riang yang dikedepankan Java Jazz.
Terlebih saat menyimak encore “Java’s Weather” yang ditampilkan dipenghujung konser Java Jazz.Karya Indra Lesmana ini memang diperuntukkan buat almarhum Josep Zawinul,dedengkot Weather Report,salah satu band fusion berpengaruh di dekade 70-an.

Setlist

1.Drama
2.Exit Permit
3.Lembah
4.The Seeker
5.I Wish
6.Crystal Sky
7.Border Line
8.Bulan Di Atas Asia
9.Violation
10.Joy Joy Joy

Encore :

11.Java’s Weather