Entah untuk yang keberapa kalinya saya diminta untuk jadi moderator atau juga pembicara yang berkaitan dengan film Badai Pasti Berlalu,termasuk pula kaset soundtracknya yang fenomenal itu.Kali ini saya diminta oleh Cinema Inclusive dengan taglinenya Movies Reveal Cultural Identity ,untuk menjadi moderator acara diskusi film Badai Pasti Berlalu yang berlangsung jumat 14 November 2014 di Gedung Auditorium Terapung Perpustakaan Universitas Indonesia Depok.Cinema Inclusive adalah sebuah komunitas film berskala lokal yang beranggotakan mahasiswa dari sejumlah Universitas di Jakarta.
Para pendiri komunitas ini mengaku ingin melestarikan dan mengapresiasikan film-film Indonesia terutama film-film klasik agar jauh dari kepunahan.Acara ini mereka namakan Tonton,Diskusi Bicarakan !.Sebuah urgensi yang lugas dan patut diacung jempol.Setidaknya upaya mereka adalah menbghalau amnesia budaya yang kerap menjangkiti generasi-generasi sesudahnya yang tuna wawasan pereihal pencapaian seni dan budaya kita di masa silam.
Bagi saya ini merupakan kegiatan menarik yang berkecambah di sekitar anak muda yang masih belum kering gagasan dan wawasannya dalam berkesenian,termasuk didalamnya bagaimana upaya memaknai sebuah pencapaian dalam pop culture atau budaya populer seperti film atau musik.
Dalam tujuan yang mereka paparkan ada satu hal menarik menurut saya,yaitu ketika merekla merasa terpanggil untuk melakukan hal semacam ini dalam hal meningkatkan kesadaran publik terutama anak muda tentang pentingnya kehadiran sebuah karya film sebagai refleksi jatidiri budaya bangsa serta mengangsurpencerahan kepada khalayak,siapa saja, tentangf pentingnya pelestarian budaya dalam hal ini film.
Menghadirkan para saksi sejarah film Inbdonesia terutama berkaitan dengan tema yang diangkat merupakan daya pikat untuk lebih jauh menanamkan apresiasi yang dalam ke benak para mahasiswa.Sore itu hadir dua aktor yang menjadi pemeran utama film yang diangkat dari novel karya Marga T,sebuah novel populer yang laris manis pada paruh era 70an,yaitu Slamet Rahardjo dan Roy Marten.Christine Hakim sebetulnya juga diundang tapi jadwalnya bentrok dan berhalangan.
Juga ada Erros Djarot seniman yang berkubang di dua dunia,musik dan film,dimana dalam film Badai Pasti Berlalu,adik kandung Slamet Rahardjo ini berperan sebagai pembuat music score Badai Pasti Berlalu sekaligus music director album soundtrack Badai Pasti Berlalu.
Ketiga pembicara ini menuturkan perihal proses penggarpan film Badi Pasti Berlalu serta romantika dibalik penggarapan film Badai Pasti Berlalu .Film ini digarap oleh sutradara kawakan Teguh Karya dengan semangat poppish,yangt berbeda dengan film film Teguh Karya sebelumna seperti Wajah Seorang Lelaki,Kawin Lari atau Perkawinan Dalam Semusik.Film film Teguh Karya pada galibnya adalah film yang bertendensi serius dan biasanya gagal dalam memikat penonton massive.Ketika menggarap Badai Pasti Berlalu,Teguh Karya ingin mermberikan nuansa yang lebih segar dan lkebih dekat ke selera pasar tanpoa harus mengorbankan idedalisme.
Film ini berkisah tentang Siska (Christine Hakim) yang patah hati karena tunangannya membatalkan perkawinan mereka dan menikah dengan gadis lain.Siska yang kehilangan semangat hidup memutuskan keluar dari pekerjaannya dan hidup menyendiri. Leo, sahabat Johnny, kakak Siska, mendekatinya untuk memenangkan taruhan dengan teman-temannya untuk menaklukkan Siska. Leo (Roy Marten) sang playboy berhasil membangkitkan semangat hidup Siska yang sudah terlelap dalam apati sdan beku bagaikan gunung es, namun ia sendiri benar-benar jatuh hati kepada gadis itu.
Kesalahpahaman terjadi di antara mereka, menyebabkan mereka tidak bisa bersatu. Lalu, muncul pula Helmi, seniman pegawai niteclub, seorang pemuda yang lincah, perayu, dan licik. Badai demi badai yang hitam pekat melanda hati Siska. Namun, memang badai akhirnya toh pasti berlalu.
Slamet Rahardjo menuturkan secara global suasana perfilman Indonesia di era 70an dimana kadang iklim berkesenian harus tumpul dan tunduk pada nilai-nilai komersialisme.Di tahun 1977 produksi film Indonesia berada di puncak secara kuantitatif yaitu berada di kisaran 135 judul film.Roy Marten sebagai bintang film tenar saat itu harus bermain dalam 4 judul film sekaligus.”Saya masih ingat,teman-teman harus menunggu saya untuk shooting film Badai Pasti Berlalu,karena saya telah terlibat kontrak dalam 3 film lainnya” ungkap Roy Marten lagi.
Film Badai Pasti Berlalu memang tidak terpilih sebagai Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia yang berlangsung di Ujung Pandang pada tahun 1978, namun berhasil menggiring banyak penonton ke dalam bioskop .Ada 4 Piala Citra yang diraih Badai Pasti Berlalu yaitu untuk kategori untuk editing, fotografi, editing suara dan penata musik.Film Badai Pasti Berlalu juga berhasil meraih Piala Antemas dalam Festival Film Indonesia 1979 sebagai film terlaris 1978-1979 dan film terlaris kedua di Jakarta dengan perolehan jumlah penonton 212.551 orang.