Archive for the ‘Film’ Category

Entah untuk yang keberapa kalinya saya diminta untuk jadi moderator atau juga pembicara yang berkaitan dengan film Badai Pasti Berlalu,termasuk pula kaset soundtracknya yang fenomenal itu.Kali ini saya diminta oleh Cinema Inclusive dengan taglinenya Movies Reveal Cultural Identity ,untuk menjadi moderator acara diskusi film Badai Pasti Berlalu yang berlangsung jumat 14 November 2014 di Gedung Auditorium Terapung Perpustakaan Universitas Indonesia Depok.Cinema Inclusive adalah sebuah komunitas film berskala lokal yang beranggotakan mahasiswa dari sejumlah Universitas di Jakarta.

BPB

Para pendiri komunitas ini mengaku ingin melestarikan dan mengapresiasikan film-film Indonesia terutama film-film klasik agar jauh dari kepunahan.Acara ini mereka namakan Tonton,Diskusi Bicarakan !.Sebuah urgensi yang lugas dan patut diacung jempol.Setidaknya upaya mereka adalah menbghalau amnesia budaya yang kerap menjangkiti generasi-generasi sesudahnya yang tuna wawasan pereihal pencapaian seni dan budaya kita di masa silam.

Diskusi Badai Pasti Berlalu bersama Roy Marten,Erros Djarot dan Slamet Rahardjo (Foto Yugo Isal)

Diskusi Badai Pasti Berlalu bersama Roy Marten,Erros Djarot dan Slamet Rahardjo (Foto Yugo Isal)

Bagi saya ini merupakan kegiatan menarik yang berkecambah di sekitar anak muda yang masih belum kering gagasan dan wawasannya dalam berkesenian,termasuk didalamnya bagaimana upaya memaknai sebuah pencapaian dalam pop culture atau budaya populer seperti film atau musik.

DSDS

Dalam tujuan yang mereka paparkan ada satu hal menarik menurut saya,yaitu ketika merekla merasa terpanggil untuk melakukan hal semacam ini dalam hal meningkatkan kesadaran publik terutama anak muda tentang pentingnya kehadiran sebuah karya film sebagai refleksi jatidiri budaya bangsa serta mengangsurpencerahan kepada khalayak,siapa saja, tentangf pentingnya pelestarian budaya dalam hal ini film.

Sebelum diskusi film Badai Pasti Berlau di Auditorium Terapung Universitas Indonesia (Foto Yugo Isal)

Sebelum diskusi film Badai Pasti Berlau di Auditorium Terapung Universitas Indonesia (Foto Yugo Isal)

Menghadirkan para saksi sejarah film Inbdonesia terutama berkaitan dengan tema yang diangkat merupakan daya pikat untuk lebih jauh menanamkan apresiasi yang dalam ke benak para mahasiswa.Sore itu hadir dua aktor yang menjadi pemeran utama film yang diangkat dari novel karya Marga T,sebuah novel populer yang laris manis pada paruh era 70an,yaitu Slamet Rahardjo dan Roy Marten.Christine Hakim sebetulnya juga diundang tapi jadwalnya bentrok dan berhalangan.

Slamet  Rahardjo pemeran Helmi dalam film Badai Pasti Berlalu (Foto Yugo Isal)

Slamet Rahardjo pemeran Helmi dalam film Badai Pasti Berlalu (Foto Yugo Isal)

Juga ada Erros Djarot seniman yang berkubang di dua dunia,musik dan film,dimana dalam film Badai Pasti Berlalu,adik kandung Slamet Rahardjo ini berperan sebagai pembuat music score Badai Pasti Berlalu sekaligus music director album soundtrack Badai Pasti Berlalu.

Suasana diskusi Badai Pasti Berlalu di Auditorium Terapung UI (Foto Denny Sakrie)

Suasana diskusi Badai Pasti Berlalu di Auditorium Terapung UI (Foto Denny Sakrie)

Ketiga pembicara ini menuturkan perihal proses penggarpan film Badi Pasti Berlalu serta romantika dibalik penggarapan film Badai Pasti Berlalu   .Film ini digarap oleh sutradara kawakan Teguh Karya dengan semangat poppish,yangt berbeda dengan film film Teguh Karya sebelumna seperti Wajah Seorang Lelaki,Kawin Lari atau Perkawinan Dalam Semusik.Film film Teguh Karya pada galibnya adalah film yang bertendensi serius dan biasanya gagal dalam memikat penonton massive.Ketika menggarap Badai Pasti Berlalu,Teguh Karya ingin mermberikan nuansa yang lebih segar dan lkebih dekat ke selera pasar tanpoa harus mengorbankan idedalisme.

Poster

Film ini berkisah tentang Siska (Christine Hakim) yang patah hati karena tunangannya membatalkan perkawinan mereka dan menikah dengan gadis lain.Siska yang kehilangan semangat hidup memutuskan keluar dari pekerjaannya dan hidup menyendiri. Leo, sahabat Johnny, kakak Siska, mendekatinya untuk memenangkan taruhan dengan teman-temannya untuk menaklukkan Siska. Leo  (Roy Marten)  sang playboy berhasil membangkitkan semangat hidup Siska yang sudah terlelap dalam apati sdan beku bagaikan gunung es, namun ia sendiri benar-benar jatuh hati kepada gadis itu.

RM

Kesalahpahaman terjadi di antara mereka, menyebabkan mereka tidak bisa bersatu. Lalu, muncul pula Helmi, seniman pegawai niteclub, seorang pemuda yang lincah, perayu, dan licik. Badai demi badai yang hitam pekat melanda hati Siska. Namun, memang badai akhirnya  toh pasti berlalu.

Slamet Rahardjo menuturkan secara global suasana perfilman Indonesia di era 70an dimana kadang iklim berkesenian harus tumpul dan tunduk pada nilai-nilai komersialisme.Di tahun 1977 produksi film Indonesia berada di puncak secara kuantitatif yaitu berada di kisaran 135 judul film.Roy Marten sebagai bintang film tenar saat itu harus bermain dalam 4 judul film sekaligus.”Saya masih ingat,teman-teman harus menunggu saya untuk shooting film Badai Pasti Berlalu,karena saya telah terlibat kontrak dalam 3 film lainnya” ungkap Roy Marten lagi.

Gua

Film Badai Pasti Berlalu memang tidak terpilih sebagai Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia yang berlangsung di Ujung Pandang pada tahun 1978, namun berhasil menggiring banyak penonton ke dalam bioskop .Ada 4 Piala Citra yang diraih Badai Pasti Berlalu yaitu untuk kategori  untuk editing, fotografi, editing suara dan penata musik.Film Badai Pasti Berlalu juga berhasil meraih  Piala Antemas dalam Festival Film Indonesia 1979 sebagai film terlaris 1978-1979 dan film terlaris kedua di Jakarta  dengan  perolehan jumlah penonton 212.551 orang.

Poster Film Duo Kribo tahun 1978 (Foto Kineforum)

Poster Film Duo Kribo tahun 1978 (Foto Kineforum)

Judul Film : Duo Kribo
Tahun Edar : 1978
Produksi : PT Interstudio Film Jakarta
Durasi : 116 menit

Pemain : Achmad Albar,Ucok AKA Harahap
Pemain : Eva Yanti Arnaz,Marlia Hardy,Ita Mustafa,Yolanda Sulaiman,Micky Jaguar,Fadhil Usman,Innisisri,Chitra Dewi,AN Alcaff,Ida Kusumah,Komalasari.
Musik : Achmad Albar & Ucok AKA Harahap
Ide Cerita : Ucok AKA Harahap
Skenario : Remy Sylado
Sutradara :Edward Pesta Sirait

Tak pelak lagi Achmad Albar dan Ucok Aka Harahap adalah dua bintang rock yang banyak menumpah ruahkan sensasi panggung pada paruh dasawarsa 70-an.Apalagi.dengan band masing masing : God Bless dan AKA,keduanya sering diskenariokan dalam panggung sarat sensasi bertajuk duel meet.

Lalu muncullah wartawan Masherry Manshur yang kemudian memempelaikan kedua paduka berambut kribo itu dalam sebuah album bertajuk “Duo Kribo”.

Masih belum cukup ? Lalu dirancanglah sebuah film musikal (lebih tepatnya mungkin disebut film berlatar musik,dalam hal ini pastilah musik rock).

Ceritanya memang ringan dan mengalir bahkan memang dimirip-miripkan dengan latar belakang para tokoh utamanya.Yaitu Achmad Albar yang baru saja pulang ke tanah air setelah menimba ilmu musik di sebuah konservatori musik (ini pun tak dijelaskan,musik apa yang dipelajari Albar) di Eropah.Bahkan hebatnya lulus dengan cum laude pula.Achmad Albar akhirnya memang dicitrakan sebagai penyanyi rock.”Saya belajar klasik,tapi memilih rock” tutur Albar di layar lebar.Gaya tuturan ala Remy Syulado terungkap dalam dialog dialog dalam film.Terutama perbincangan mengenai musik klasik.Serta kegilaan Albar terhadap beat rock n’roll di era 50-an.Tentunya lengkap dengan tribute untuk Elvis Presley segala.

Disisi lain,Ucok Harahap dari Medan bermuhibah ke Jakarta untuk mencari peruntungan sebagai penyanyi rock pula.Mulailah terjadi persaingan yang mudah ditebak.Untuk pemanis dimunculkanlah bintang baru bertubuh sintal dan tatapan mata menggoda,Eva Yanti Arnaz.
Di ujung cerita persaingan itu pun berakhir ketika dua penyanyi kribo itu menyatu dalam Duo Kribo.

Film ini pun menyertakan album soundtrack yang dirilis Musica Studio’s dan melejitkan hits “Panggung Sandiwara” karya Ian Antono dan Taufiq Ismail.
Beberapa setting berlangsung di Musica Studio’s di Jalan Perdatam Jakarta.Beberapa pemusik rock era 70-an ikut pula tampil di film ini semisal Fadhil Usman,gitaris The Minstrels Medan yang menjadi gitaris band Achmad Albar.Juga terlihat rocker kontroversi asal Malang Mickey Michael Merkelbach yang berperan sebagai gitaris band Ucok AKA Harahap.Bahkan drummer Kantata Takwa dan Kelompok Kampungan Innisisri juga tampil sebagai drummer Achmad Albar.
Film ini tepat pula dianggap sebagai dokumentasi fiksi perjalanan musik rock Indonesia di jelang akhir era 70-an

Lagu Dalam Soundtrack Film Indonesia

Posted: Februari 7, 2011 in Film, Wawasan

Idris Sardi latihan bersama Badai Band

Film Asmara Dara karya Usmr Ismail (1958)

Soundtrck Pengantin Remadja 1972

Soundtrack Film A.M.B.I.S.I (1973)

Yang membekas di benak penonton adalah adegan yang dilatari komposisi lagu.

Dengan tergesa-gesa Dwi dan Sri berlari meninggalkan rumah, meninggalkan Pak Lik, sang suami yang beristri empat, tanpa pesan sama sekali. Mereka sepakat meninggalkan keruwetan rumah tangga yang unik itu. Adegan film Berbagi Suami yang dibesut Nia di Nata ini dilatari lagu lawas karya Iskandar Pergi tanpa Pesan yang di-remake grup band Sore.

Adegan itu terasa kontekstual dengan soundtrack lagunya, meskipun berbeda era. Tak ada kesan pemaksaan. Dan secara keseluruhan soundtrack film itu memang tidak mengintimidasi, melainkan menjadi bagian yang sinergis dari film.

Idealnya sebuah soundtrack memang seperti itu. Antara adegan atau setting film dan music score bersimbiosis mutualisme. Tegasnya, harus kawin. Album Berbagi Suami (Aksara Records), yang mengetengahkan music score dan sederet lagu, bisa dianggap satu contoh yang bagus untuk soundtrack film Indonesia saat ini.

Sejak bangkitnya perfilman Indonesia pada 1997 lewat film Kuldesak, album soundtrack menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan film. Kini hampir semua film Indonesia memiliki album soundtrack. Tidak semuanya berhasil, baik dalam penjualan maupun kualitas. Ada yang gagal secara komersial, tapi istimewa dalam sisi musikal. Ada juga yang berkesan asal-asal, tapi laris manis di pasar.

Aquarius Musikindo tercatat sebagai perusahaan rekaman yang banyak merilis album soundtrack. Selain soundtrack Kuldesak, yang lain misalnya Ada Apa dengan Cinta?, Eiffel, I’m in Love, Tentang Dia, Apa Artinya Cinta, dan Dealova. Menurut Meidi Ferialdy dari Aquarius, dari semua album soundtrack yang dirilis, Ada Apa dengan Cinta? yang digarap pasangan Melly Goeslaw dan Anto Hoed terjual sekitar 700 ribu keping serta album Dealova terjual sekitar 250 ribu keping.

Dari Sony BMG Indonesia hadir Rumah Ke Tujuh, Tusuk Jelangkung, 30 Hari Mencari Cinta, Brownies, Gie, Cinta Silver, dan Vina Bilang Cinta. “Soundtrack produksi Sony BMG yang berhasil dalam penjualan adalah 30 Hari Mencari Cinta, sekitar 500 ribu keping,” ungkap Jan N. Djuhana dari Sony BMG. Album soundtrack yang unggul secara musikal, seperti Gie, malah gagal dalam pemasaran. “Album Gie memang untuk masyarakat luas terasa berat,” Jan menambahkan.

Pihak Miles Film malah merilis Gie dengan menampilkan music score yang digarap dalam bentuk chamber music oleh Thoersi Agreswara, penata musiknya. “Sebetulnya kami ingin juga menampilkan music score, tapi pihak major label tidak berkenan dengan alasan sulit dijual. Akhirnya kami memutuskan untuk merilis music score Gie walau tidak dalam jumlah banyak,” kata Mira Lesmana, produser Gie.

Tak bisa dimungkiri, masyarakat kita memang belum terbiasa menyimak music score secara utuh seperti di mancanegara. “Kami menyadari hal itu, makanya dalam album soundtrack Berbagi Suami diambil solusi menampilkan lagu dan score,” tutur Nia di Nata.

Addie M.S. bisa dianggap beruntung karena album soundtrack film Biola Tak Berdawai, yang disutradarai Sekar Ayu Asmara, dirilis oleh Warner Music Indonesia dengan 90 persen isinya music score yang dimainkan Victorian Philharmonic Orchestra Australia. Dan, seperti bisa ditebak, album Biola Tak Berdawai memang gagal dalam penjualan.

Kejadian seperti itu semakin menguatkan opini bahwa wujud sebuah lagu dalam album soundtrack masih memegang takhta dibanding music score. Bahwa yang membekas di benak penonton setelah menonton film adalah kelebat adegan yang dilatari komposisi lagu.

Dan itu telah berlangsung sejak dulu. Dalam film Menanti Kasih (1949), yang disutradarai Mohammad Said H.J. dengan pemeran utama A. Hamid Arief dan Nila Djuwita, penonton dipastikan lebih mengenang theme song-nya, Menanti Kasih, yang dinyanyikan Bing Slamet.

Tradisi film dengan menghadirkan sederet lagu sebagai soundtrack terlacak pada film Terang Boelan (Het Eilan der Droomen), yang dibintangi Roekiah dan Rd. Mochtar. Dalam buku Katalog Film Nasional yang disusun J.B. Kristanto tercatat bahwa film Pantjawarna (1941), yang dibintangi Dhalia dan Mochtar Widjaja, diiringi 12 lagu keroncong yang sedang hit. Film itu juga dianggap sebagai film musikal pertama di negeri ini. Film-film lain yang pantas dicatat adalah Asmara Dara (1958) dan Tiga Dara (1956), garapan sineas Usmar Ismail dan musiknya oleh Syaiful Bachrie.

Memasuki 1970-an mulai bermunculan album-album soundtrack yang didominasi oleh Idris Sardi, antara lain Dunia Belum Kiamat (1971) yang oleh Nyak Abbas Akup (sang sutradara) disebut sebagai operette pop, Pengantin Remaja (1971) yang theme song-nya dianggap mirip Love Story-nya Francis Lai, Cinta Pertama (1973) dengan penyanyi Anna Mathovani dan Broery Marantika, Cinta (1975) dengan penyanyi Marini dan Idris Sardi, dan masih sederet panjang lagi.

Idris Sardi memiliki kekuatan menggarap soundtrack bertema romansa dan drama. Dengan gesekan biolanya yang khas, dia pada akhirnya mencuatkan tipikal dalam penggarapan karya-karya lagunya yang cenderung mellow dan sarat harmoni minor, misalnya pada lagu Cinta Pertama, Satu-Satu, dan Musim Bercinta pada film Cinta Pertama, lagu Christina untuk film Christina (1977), atau lagu Karmila untuk film Karmila (1974).

Lalu ada juga album soundtrack yang digarap A. Riyanto, seperti Akhir Sebuah Impian (1973), yang menampilkan penyanyi Emillia Contessa, Broery Marantika, dan Benyamin S. Juga soundtrack Kasih Sayang (1974) dengan penyanyi Broery Marantika, Tanty Josepha, dan Titiek Sandhora, Romi dan Juli (1974) dengan penyanyi Tanty Josepha dan Rano Karno.

Pada 1980-an, soundtrack film-film remajalah yang bertakhta. Setidaknya album soundtrack sekuel film Catatan Si Boy menjadi hit dengan lagu-lagu seperti Theme Song Catatan Si Boy, yang dibawakan Ikang Fawzy, hingga Emosi Jiwa, yang dilantunkan Yana dan Lita. Juga soundtrack film Gita Cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati, yang menampilkan lagu-lagu karya Guruh Soekarno Putra yang dinyanyikan Chrisye.

Namun, album soundtrack yang tak lekang dimakan zaman adalah Badai Pasti Berlalu (1977) garapan Eros Djarot dan didukung penyanyi Chrisye dan Berlian Hutauruk. Album ini dianggap tonggak pencapaian estetika baru dalam musik pop Indonesia. Sejak dirilis pada 1978, album produksi PT Irama Mas ini terus dicetak ulang. Tak ada data yang akurat perihal penjualannya. Tapi tak berlebihan jika album yang pada 1999 direkonstruksi ulang dengan aransemen garapan Erwin Gutawa ini dianggap sebagai album soundtrack fenomenal hingga kini.

Denny Sakrie, pengamat musik
Koran Tempo
Senin, 01 Mei 2006

Album Soundtrack Film Berbnagi Suami

Inilah salah satu soundtrack film terbaik di era 1970-an,disamping “Cinta Pertama” (1975)  dan “Badai Pasti Berlalu” (1977).

Pengantin Remadja” karya almarhum Wim Umbog di tahun 1971 memang seolah hibrida dua film “Love Story” dan “Romeo & Juliet” yang menokohkan  Romi (Sophan Sophiaan),lelaki muda yang tengah  mengalami kesulitan dalam hubungan percintaannya dengan teman sekolahnya, Juli (Widyawati). Kesulitan datang dari orangtua Juli, seorang petani kaya (WD Mochtar), yang tidak bisa percaya pada Romi yang punya latar belakang besar di luar negeri karena ayahnya memang seorang diplomat. Romi sendiri dijodohkan oleh eyangnya (Fifi Young) dengan seorang gadis Solo (Ratih Dardo), tidak bisa berpaling dari Juli. Ketidaksukaan petani kaya tadi semakin menjadi saat memergoki Romi dan Juli telanjang berdua di tengah padang rumput. Bahkan Basuki (Kusno Sudjarwadi), ikut kena labrak, hingga menulis testamen mengutuk Romi bila kawin dengan Juli.

Sikap kedua orangtua itu kemudian berubah saat dokter (Aedy Moward) menemukan penyakit kanker darah pada Juli. Hidupnya divonis tinggal sebulan lagi. Perkawinan pun berlangsung meski hanya sebulan. kematian Juli tak terelakkan. Di malam kematian, Romi berangkat duluan dengan janji ketemu dalam waktu tidak lama. Juli meninggal dengan tenang di ranjang dan hanya kartu penduduk Romi yang kembali ke rumah orangtuanya.

Music Score nya digarap oleh maestro Idris Sardi.Idris yang liris pun menuliskan theme song “Pengantin Remadja” yang dinyanyikan Widyawati,pemeran utama pere,puan yang sebelumnya memang pernah tergabung dalam kelompok vokal Trio Visca bersama 2 saudara kandungnya.Ketika album soundtrack ini dirilis pada tahun 1971 oleh Mutiara Record,sempat timbul kehebohan,karena notasi lagu ini agak memiripi theme song “Love Story” yang diciptakan oleh Francis Lai.

Pada soundtrack album “Pengantin Remadja”,musik didukung oleh The Crabs,band yang dibentuk Bambang Trihatmodjo Soeharto.Band yang mangkal di Jalan Cendana ini terdiri atas Bambang Trihatmodjo (bass),Ade Anwar (vokal utama),Daddy (gitar),Aling (drum),Chano (keyboard) dan Harry Santoso (gitar).

Lagu “Pengantin Remadja” sendiri ditulis oleh Idris Sardi bersama Sjumandjaja dan Broery Marantika..Lagu lagu lain yang terdapat di album soundtrack ini ditulis oleh almarhum A.Riyanto,Is Haryanto dan Harry Toos dari Favorite’s Group.

Karakter lagunya memang cenderung melodrama,sesuai dengan alur cerita filmnya.Dalam lagy “Tjinta Sedjati” karya A.Riyanto,terasa pengaruh lagu “J’etaime Plus Non Moi” nya Jane Birkin dan Serge Gainsboroug.Aura romantik berbaur dengan atmosfer erotik.Lagu ini pun ditata dalam gaya instrumental dengan imbuhan voicing antara Sophan Sophiaan dan Widyawati.Dalam salah satu spoken word-nya Sophan berucap :”Apapun yang terjadi kita akan menjadib suami-isteri”.

Namun yang dramatis adalah “Surat Romi” yang memperdengarkan suara Sophan Sophiaan membacakan surat terakhir pada Yuli,dengan iringan derai tangis Yuli (Widyawati) :

Yuli,Yuli sayang !

Kalau kau terbangun bersama matahari pagi membaca surat ini,jangan sesali burung burung yang berkicau dan alam sekitarmu yang tertutup kabut.Hidup nyatanya begitu singkat untuk kita berdua.Juga jangan sesali ini,karena betapapun kebahagiaan sudah pernah kita reguk bersama berdua…..sampai ke dasar.

 

TRACKLIST

1.Pengantin Remadja

2.Disimpang Djalan

3.Perkenalan Pertama

4.Difitnah

5.Tjinta Sedjati

6.Picnic.

7.Pernikahan

8.Rina

9.Derita Hatiku

10.Surat Romi

11.Pesta Pengantin

Membedah Warkop Prambors

Posted: Januari 31, 2011 in Film, Tinjau Film

Ternyata nonton bareng a.k.a Nobar sambil berdiskusi film layar lebar merupakan ritual yang mengasyikkan dan menggairahkan.Setidaknya itu yang terlihat pada saat bicarafilm.com menggelar acara nobar dan diskusi film Warkop Prambors jumat malam 28 Januari 2011 di Black Studio milik Zeke Khaseli yang berada di Panglima Polim III/136 Jakarta Selatan.

Pas maghrib usai,sekitar jam 18.45 penonton yang datang,yang bergerombol sejak petang mulai perlahan memasuki hall kecil Black Studio.Sebagian besar memang terdiri dari kaum belia.Masih muda.Mungkin saat film-film Warkop itu booming mereka masih belum bisa bicara lancar.Atau malah ada yang belum lahir saat film-film Warkop merajai khazanah bioskop Indonesia yang terpentang antara tahun 1979 hingga 1995.

Tadinya film yang telah dipilih panitia untuk diputar adalah film bertajuk “Jodoh Bisa Diatur” karya sutradara Ami Priyono.Tapi karena kondisi disc filmnya mengalami ganggguan ,akhirnya film Warkop Prambors yang jadi diputar malam itu adalah “Dongkrak Antik” karya A.Rizal.

Usai film diputar,acara pun berlanjut dengan diskusi yang dipandu Edwin dan Edwin dari bicarafilm.com.Pembicaranya adalah Indro Warkop.Lalu ada sutradara muda Affandi AR yang pernah membesut “Heartbreak.com” .Juga ada Hana Kasino,puteri almarhum Kasino Warkop

Affandi AR,Indro Warkop ,Denny Sakrie dan Eddy Suhardy

Hana Kasino,puteri almarhum Kasino ikut ngobrol juga

Adegan film “Dongkrak Antik”

serta dua penulis buku Warkop “Main Main Jadi Bukan Main” yaitu Eddy Suhardy dan saya sendiri.

Suasana diskusi malam itu memang jadi meriah.Karena Indro Warkop memang tangkas bertutur disertai susupan lelucon segar.Ini yang membuat diskusi ini tanpa terasa berakhir tepat di jam 24.00 WIB.

Warkop sendiri menurut Indro tampil berbeda dalam format yang berbeda.”Di saat kami tampil di radio atau panggung,mungkin kita lebih kritis dengan sindiran-sindiran yang tajam.Karena audiens kita memang berasal dari kalangan menengah keatas.Ya mahasiswa gitu lah.Tapi ketika kami masuk ke dunia film.Warkop harus memenuhi segala macam status sosial.Maka jadilah Warkop tontonan untuk segala umur.Jadi tak heran bila slapstick akhirnya mau gak mau jadi pilihan” ungkap Indro Warkop.

Konsistensi dan loyalitas Warkop memang patut diacung jempol.Sisi ini pulalah yang banyak menuai pertanyaan dari para penonton.Bagaimanakah Warkop bisa bertahan selama itu ? Bahkan ketika Kasino dan Dono sempat tak bertegur sapa selama tiga tahun.Dengan segenap profesionalismenya Warkop tetap berjalan tegar.

Foto Foto : Yudhi Arfani dan Edwin