Arsip untuk April, 2014

Simfoni Gado-Gado Idris Sardi

Posted: April 30, 2014 in Opini

Sejak memasuki era 2000-an, Idris Sardi terlihat berbeda dalam penampilan, baik di atas panggung maupun penampilan sehari-hari.Lelaki bertubuh kerempeng ini selalu menggunakan sarung. Mas Idris-demikian panggilan akrabnya-terlihat lebih bersahaja dan sangat Indonesia. Dengan menggunakan sarung, Idris Sardi terlihat merakyat.

violin

Idris Sardi

Idris Sardi

Sesungguhnya itulah jati diri Idris Sardi, termasuk dalam sikap bermusik. Semasa hidupnya, Idris Sardi, yang kerap dipanggil Idris Simfoni, selalu mengupayakan musik itu tak hanya dinikmati sebagian orang. Orkes Simfoni, di tangan Idris, selalu diupayakan agar merakyat.

“Di era 1970-an, TVRI menampilkan acara musik klasik Orkes Simfoni NHK Jepang yang memainkan repertoar klasik, seperti Mozart, Schubert, dan Beethoven. Tapi, begitu acara ini ditayangkan, rata-rata penonton langsung mematikan TV. Mereka nggak ngerti. Mereka merasa musik klasik itu berat untuk dinikmati. Dan ini perlu waktu untuk ke arah itu,” demikian Idris Sardi bercerita perihal musik klasik di Indonesia.

“Lalu saat itu saya ditantang oleh Drs Sumadi sebagai Dirjen RTF untuk tiap bulan menampilkan orkestra di TVRI. Saya pun mengajukan konsep yang intinya ingin mengedukasi penonton. tidak serta-merta langsung musik klasik yang berat-berat. Saya membongkar aransemen lagu-lagu daerah, lagu-lagu perjuangan, keroncong, serta lagu-lagu Barat yang sedang ngetop, seperti Feeling-nya Morris Albert. Itu saya sajikan dengan orkestra. Sudah barang tentu dengan aransemen yang disesuaikan. Responsnya ternyata baik. Ketika saya memainkan Walang Kekek dan Es Lilin, penonton terbawa dan terhanyut, karena mereka kenal dengan lagu-lagu ini,” kata Idris Sardi kepada saya November 2008.

Idris Sardi di dasawarsa 2000an

Idris Sardi di dasawarsa 2000an

“Saya menyajikan musik seperti menghidangkan makanan gado-gado dengan menggunakan piring, garpu, sendok, dan serbet, bukan dengan beralaskan daun pisang,” ujar Idris bertamsil kata. Namun Idris banyak menuai kritik dari kritikus musik. “Saya ingat ketika Franki Raden hingga Suka Hardjana mengecam saya. Menurut mereka, orkes simfoni, ya, musik klasik. Dan menurut saya, anggapan itu keliru besar,” ujar Idris Sardi.

Sebab, akhirnya memang terbukti bahwa musik pop bahkan rock pun juga tetap afdol berbalut orkes simfoni yang megah. Di paruh era 1960-an, Idris Sardi, Bing Slamet, dan Jack Lesmana diajak oleh Presiden Soekarno untuk menghasilkan musik populer yang bisa lepas dari akar Barat.

Kemudian mereka menggali musik pergaulan di Maluku dan muncullah Irama Lenso, yang diupayakan menghadang pengaruh musik pop Barat. Konsep kesenimanan Idris Sardi memang jelas: dia selalu menghadirkan nasionalisme dalam karya-karya yang sebetulnya berakar dari pola seni Barat.

Proses adaptasi memang menjadi sesuatu yang mutlak dalam berkesenian. Idris Sardi telah membuktikan bahwa nasionalisme dalam bermusik itu penting untuk jati diri bangsa. Orkes Simfoni yang berasal dari Barat toh bisa disajikan dalam dialektika kita sendiri.

Idris Sardi dan Sarung (Foto Kemal Gallery)

Idris Sardi dan Sarung (Foto Kemal Gallery)

Gesekan biola Idris Sardi, yang dijuluki biola maut, pun telah membuktikan bahwa seniman yang banyak meraup tradisi klasik Barat itu tetap menghasilkan bunyi-bunyian musik yang sarat atmosfer keindonesiaan. Pemikiran Idris Sardi ini sepatutnya diteladani oleh anak muda sekarang.

Selamat Jalan Mas Idris

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo 30 April  2014

Untuk kesekian kali saya diminta untuk memandu konser musik Orkes White Shoes and The Couples Company.Kenapa Orkes ? Aha….ini sebetulnya hanya mencoba mengangkat istilah yang pernah dipakai pada era 50an dan 60an dalam khazanah dunia musik Indonesia, dimana sebuah kelompok musik masih disebut dengan istilah Orkes.Saat itu memang belum dikenal istilah band. Jadi saat saya memandu konser kecil White Shoes and the Couples Company pada 27 April 2014 di Kopi Tiam Tan yang berada di area SCBD Sudirman saya menyebut mereka sebagai Orkes White Shoes and The Couples Company.

Inilah Orkes White Shoes and The Couples Company

Inilah Orkes White Shoes and The Couples Company

Santai dan separuh becanda adalah atmosfer yang kerap saya rasakan jika memandu konser White Shoes and The Couples Company.Apalagi mereka,Sari,Mela,Rio,Ale,Ricky dan John, kesemuanya memang selalu bersikap santai.Walhasil konser White Shoes and The Couples Company yang dikaitkan dengan peluncuran vinyl Menyanyikan Lagu2 Daerah bisa berlangsung penuh keintiman.

Saat membuka penampilan White Shoes and The Couples Company sore itu saya memperkenalkan mereka sebagai kelompok musik yang didukung oleh 3 etnis besar yang memiliki kemampuan berdagang yaitu etnis Arab,Cina dan Melayu sembari memanggil Ale sang gitaris yang turunan Arab,drummer John yang berdarah Tionghoa serta keempat lainnya Rio,Sari,Mela dan Ricky yang mewakili etnik Melayu.Saya menyebut mereka sebagai saudagar yang bermusik,tentunya ini sekedar canda untuk mencairkan suasana.Kenapa saya menyebut mereka saudagar dengan intuisi berniaga yang tinggi, karena ternyata sore itu sekitar 100 keping vinyl White Shoes and The Couples Company Menyanyikan lagu2 Daerah habis terjual.Laris manis.Fantastis.Harga yang dibandrol Rp 280.000 sepertinya bukan kendala bagi para penggemar  White Shoes and The Couples Company.

GG

Sore itu,konser Orkes White Shoes and The Couples Company dibagi dalam dua sesi.Sesi pertama mereka membawakan lagu-lagu dari album debut serta Album Vakansi termasuk saat mengcover lagu milik Jimi Hendrix Crosstown Traffic.Tak lupa juga mereka menginterpretasikan lagu karya Fariz RM di tahun 1979 “Selangkah Ke Seberang”.

Orkes White Shoes and The Couples Company di Kopi Tiam Tan SCBD 27 April 2014 (Foto Denny Sakrie)

Orkes White Shoes and The Couples Company di Kopi Tiam Tan SCBD 27 April 2014 (Foto Denny Sakrie)

White Shoes and The Couples Company dimata saya adalah Orkes yang termapil melakukan interpretasi terhadap lagu-lagu milik pemusik lain dengan menjadikannya sebagai signatural mereka sendiri.Artinya White Shoes mampu menjadikan lagu orang lain seolah menjadi karya mereka dengan jatidiri yang khas.

Interpretasi mereka terhadap khazanah lagu-lagu daerah yang pernah mencapai tingkat kejayaan di Indonesia pada akhir 50an hingga era 60an pun merupakan satu catatan khusus terutama bagaimana upaya mereka melestarikan karya-karya seniman musik era masa lalu ke dalam penyajian yang terasa kekiniannya.

Di dasawarsa itu ,50an dan 60an, sebagian besar pemusik Indonesia menebar karya dalam bahasa daerah masing masing mulai dari bahasa Jawa,Sunda,Minang,Kalimantan,Minahasa,Ambon,Bugis Makassar hingga Papua.Dan bisa populer contoh misalnya ketenaran lagu Ayam Den Lapeh,Lembe Lembe Lembe,Anging Mamiri hingga O  Ina Ni Ke Ke dan masih banyak lagi.

Vinyl Orkes White Shoes and The Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah

Vinyl Orkes White Shoes and The Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah

Kenapa lagu-lagu daerah bisa mengangkasa saat itu.Ini mungkin merupakan dampak dari maklumat presiden Soekarno yang bersikap anti Barat dan berinisiatif mengangkat budaya bangsa sendiri.Itu jelas termaktub dalam Manipol Usdek.Musik Barat bagi Bung Karno dianggap sebagai musik ngak ngik ngok yang tak sesuai dengan jatidiri bangsa.

Sebetulnya ini upaya bagus dari seorang pemimpin negeri yang menaruh perhatian luar biasa dalam seni dan budaya.

Momen ini kemudian ditangkap dan diolah lagi oleh White Shoes and The Couples Company yang lalu menggagas untuk merekam Lima lagu-lagu daerah yang pernah ngetop pada masanya di Studio rekaman milik Pemerintah Lokananta Solo.

Sebelum memasuki sesi kedua dimana White Shoes and The Couples Company akan menyanyikan lagu-lagu daerah, saya sengaja memutar kembali piringan hitam EP 45 RPM yang memuat lagu berbahasa Sunda karya Koko Koswara “Tjangkeurileung” yang di era 60an dinaynyikan oleh Jules Fiole bersama Orkes Simanalagi pada label Irama milik Soejoso Karsono.Sejenak penonton menyimak dengan takzim versi Jules Fiole yang dipengaruhi aura rock n’roll.

White Shoes and The Couples Company (Foto Denny Sakrie)

White Shoes and The Couples Company (Foto Denny Sakrie)

Usai pemutaran vinyl Jules Fiole saya memanggil personil Orkes White Shoes And The Couples Company untuk berbincang-bincang perihal album Menyanyikan Lagu2 Daerah yang ternyata mendapat respon bagus dari anak muda yang menggemari White Shoes and The Couples Company.

Setelah itu Orkes White Shoes and The Couples Company kembali tampil dalam sesi dua yang membawakan lagu-lagu daerah mulai dari Tjangkeurileung hingga Tam Tam Buku.

Apa yang dilakukan Orkes White Shoes and The Couples Company yang membongkar ulang khazanah lagu-lagu daerah jelas merupakan upaya terpuji membingkai mahakarya musik Indonesia yang selama ini kerap terabaikan bahkan terlupakan oleh generasi-generasi setelahnya.

Saya baru saja menyimak album solo Ian Antono bertajuk “Ian Antono Song Book 1” yang dirilis menandai perjalanan musik gitaris dan komposer asal Malang ini yang ke  45 tahun.Album yang digarap Ian Antono bersama beberapa cameo musik lintas genre ini bagaikan otobiografi musikal .Karena di album ini lelaki kelahiran Malang, 29 Oktober 1950 melakukan revisited atau kunjung ulang terhadap pusparagam karya-karyanya dari era 70an hingga sekarang ini.
Ian Antono (Foto Drigo Tobing)

Ian Antono (Foto Drigo Tobing)

Lagu “Uang” yang pertamakali dibawakan Pretty Sisters pada sekitar tahun 1984,lalu didaur ulang lagi oleh Nicky Astria di tahun 1988, kini diinterpretasikan kembali oleh penyanyi yang cenderung bernyanyi dengan aksen jazz Syaharani.Lirik lagu yang tampaknya masih relevan hingga sekarang ini ,ditangan Syaharani cenderung memiliki jiwa blues rock yang ekspresif. Di album solo debutnya ini Ian Antono terlihat teliti memilih penyanyi dalam membawakan karya-karyanya. Jatidiri dan ekspresi penyanyi agaknya menjadi pilihan utama Ian Antono.Simak saja kekuatan vokal mantan vokalis band rock Boomerang Roy Jeconiah yang mereka-ulang lagu “Kepada Perang” dari album Gong 2000 maupun “Neraka Jahanam” dari album Duo Kribo (1977).Roy memang cukup akrab dengan lagu-lagu karya Ian Antono.Saat masih bergabung dengan Boomerang, Roy Jeconiah pernah menyanyikan lagu “Neraka Jahanam”  dalam album “Segitiga” (Boomerang,1998).Dalam album “Tribute To Ian Antono” (Sony Music,2004),bersama Boomerang Roy Jeconiah justru menginterpretasikan lagu dangdut karya Ian Antono itu menjadi sajian rock yang menggelegar. Mungkin dengan interpretasi rock yang khas dari Roy Jeconiah inilah membuat Ian Antono memilihnya sebagai salah satu vokalis di album solonya ini. Koming Surya penyanyi yang ditemukan oleh Ian Antono di sebuah café di Seminyak, Bali, dipercaya membawakan lagu “Gersang”, karyan Ian Antono, (dari album Nicky Astria) dan lagu “Saksi Gitar Tua” (dari album Gong 2000), karya Ian Antono dengan  lirik yang ditulis oleh Areng Widodo.
Lalu ada Rezi Pratomo, berduet bersama  Ian Antono, yang setelah sekian lama berkarya, untuk pertama kalinya dalam sebuah album,menyanyikan sendiri lagunya,lagu baru yang kali ini diberi judul“Suara Cinta”, liriknya ditulis Areng Widodo.  Selain lagu tersebut, Rezi juga menyanyikan lagu “Tertipu Lagi”,  dari album debut Duo Kribo tahun 1977,karya Ian Antono yang liriknya ditulis Ahmad Abar.
Jemari Ian Antono Menelusuri Dawai Gitar (Foto Drigo Tobing)

Jemari Ian Antono Menelusuri Dawai Gitar (Foto Drigo Tobing)

Ada juga lagu  “Lari”, karya Ian Antono yang liriknya ditulis Fajar Budiman dibawakan Anindimas, vokalis 21st Night. “Lari” diangkat  dari soundtrack film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” yang sempat mengantarkan Ian Antono meraih Piala Citra Festival Film Indonesia  2010 sebagai Penata Musik Terbaik. Ada dua karya Ian Antono di album ini  yang disajikan dalam bentuk instrumental yaitu ,“Kepada Perang” (Gong 2000)   dan “Setan Jalanan” (God Bless) .
 
Selama hampir 45 tahun Ian Anton  mendedikasikan diri terhadap musik rock. Meskipun Ian, yang nama kompletnya Jusuf Antono Djojo, juga terlibat dalam penggarapan album-album di luar genre rock. Entah pop atau dangdut, sentuhan rock, terutama dari riff-riff gitarnya, tetap terasa. Hebatnya, Ian menafsirkan rock yang bercita rasa western dengan rasa Melayu. Sepintas saja, orang awam bisa menebak musik yang ditata Ian Antono. Artinya, Ian Antono telah menemukan jati dirinya sebagai seorang pemusik. Tapi, hal ini tidak diperolehnya dalam sekejap. Band demi band dimasukinya. Berbagai rekaman telah digarapnya sejak tahun 1969 hingga sekarang. Musik adalah kehidupan  Ian Antono. Dan  Ian memperlihatkan konsistensi. Perjalanan musiknya yang panjang dimulai saat  bergabung dalam sebuah band bocah saat kanak-kanak di era 60an . Instrumen yang dipegangnya adalah bongo dan sering memainkan lagu-lagu bernuansa Melayu seperti yang dibawakan Orkes yang bernuansa Latin.
Lalu, bersama kakaknya, Ian Antono membentuk Zodiacs. Saat itu ia sedang mengagumi gitaris Hank Marvin dari grup The Shadows (Inggris) serta pasangan gitaris Don Wilson dan Bob Bogle dari kelompok instrumental Amerika The Ventures. Kedua grup itu menonjolkan permainan gitar elektrik. Ketika bergabung ke Irama Abadi (Abadi Soesman) pada 1969, mulailah Ian bermain profesional di Marco Polo Hotel Menteng, Jakarta, selama dua tahun.
Di awal 1970, Ian balik ke Malang memperkuat kelompok Bentoel, yang dibiayai perusahaan rokok Bentoel. Di grup ini Ian sempat bermain drum sebelum akhirnya memetik gitar. Bentoel Band sempat rekaman mengiringi beberapa penyanyi pop seperti Trio The Kings,Emillia Contessa,Benyamin S,Inneke Kusumawati dan banyak lagi. Namun saat tampil di panggung,Bentoel Band justru memainkan musik rock.
Pada 1971-1973 Bentoel adalah grup musik yang aktif melakukan tur ke berbagai kota di Indonesia. Tahun 1975 dua personil Bentoel Band yaitu Ian Antono dan Teddy Sujaya direkrut menjadi anggota God Bless.
Di  era 1970-an, musik rock hanya laku sebagai tontonan panggung. Perusahaan rekaman besar seperti Remaco, Metropolitan, Yukawi atau Purnama menganggap sebelah mata jenis musik ini. Kalaupun ada grup yang merekam album, dipastikan mereka dituntut membawakan lagu-lagu  pop yang mendayu-dayu.. Tak heran God Bless baru merilis album perdana pada 1976 pada label idealis  Pramaqua. Di album ini, God Bless menulis lagu sendiri yang sebagian besar ditulis Donny Fattah dan Ian Antono, di samping menyanyikan lagu Friday on My Mind (The Easybeats) dan Eleanor Rigby (The Beatles).
 Era kreativitas Ian Antono mulai kokoh  justru pada 1980 setelah  sebelumnya berhasil menjadi penata musik untuk beberapa album pop rock seperti Biarawati (Sylvia Saartje, 1977) dan proyek Duo Kribo (Achmad Albar-Utjok Harahap, 1976-1978).
Ian Antono kemudian menjadi peñata musik sederet penyanyi pop,mulai dari  Berlian Hutauruk, Happy Pretty, Dewi Puspa, Angel Pfaff, Hetty Koes Endang,  Grace Simon hingga Ebiet G Ade.. Dengan cerdas Ian membalut sentuhan rock dalam lagu-lagu pop mereka.. Mungkin lewat tangan Ian jugalah musik rock yang sempat terpinggirkan berubah menjadi tambang emas. Lihat saja sukses yang diraih Nicky Astria sebagai penyanyi rock wanita di pertengahan 1980-an lewat album Jarum Neraka, Tangan Setan, dan Gersang. Sukses Nicky lalu menjadi tren munculnya istilah lady rockers, ditandai oleh Anggun C. Sasmi, Nike Ardilla, Jossy Lucky, Mel Shandy, Ayu Laksmi, Lady Avisha, Cut Irna, Ita Purnamasari, dan Mayangsari.
Bukan hanya itu, Ian Antono mulai menangani album penyanyi rock pria yang berawal Achmad Albar, Ikang Fawzy, Freddy Tamaela, Gito Rollies,Deddy Stanzah,Dolf Wemay  dan lainnya. Tangan dinginnya terlibat dalam memoles dua album fenomenal Iwan Fals 1910 dan Mata Dewa. Ian meraih  penghargaan Penata Musik Terbaik album Mata Dewa dalam BASF Award 1992.Ian juga ikut membina regenerasi grup rock dengan menuntun sederet grup rock ke dunia rekaman, seperti Grass Rock, El Pamas, Whizz Kid, U-Camp, Sket, Geger, dan Jaque Mate. Menurut Ian, jika tidak ikut langsung dalam membina mereka niscaya sejumlah grup rock senior justru tak akan memiliki pengganti. Alhasil rock di negeri ini bakal pupus. Dalam album Tribute to Ian Antono yang dirilis oleh Sony Music Indonesia, Ian malah tampil bersama grup rock baru Gallagasi yang didukung dua putranya, Stefan Antono dan Rocky Antono. Setelah membubarkan grup Gong 2000 secara resmi pada acara tutup tahun 2000 dalam sebuah konser perpisahan di Ancol, Ian Antono tetap bertahan dengan  God Bless Selain memiliki aktivitas dan kreativitas tinggi, tak bisa disangkal jika Ian Antono sebagai pemusik yang berpengaruh dalam gugus musik di negeri ini. Tradisi menulis lagu, terutama musik rock dengan syair Indonesia, bisa jadi ditularkan oleh Ian Antono dan grupnya, God Bless. Upaya God Bless menembus rekaman dengan idealisme musik rock  pada paruh era  1970-an hasilnya dirasakan oleh para pemusik rock hingga sekarang.
Bertutur tentang perjalanan musik rock Indonesia tanpa menyebut sosok Ian Antono merupakan sebuah kekeliruan besar. 
 
 
Tadi pagi sekitar jam 8 saya mendapat BBM dari Sys NS yang mengabarkan bahwa maestro musik Indonesia Idris Sardi telah meninggal dunia senin 28 April 2014 jam 07:20 WIB di Rumah Sakit Meilia Cibubur .Idris Sardi,penggesek biola,pianis,bassist,komposer,arranger dan actor, yang dilahirkan pada tanggal 7 Juni 1938 ,berpulang dalam usia 75 tahun.
Saya merasakan penyesalan yang teramat dalam, karena beberapa waktu lalu selalu tidak sempat mengunjungi almarhum yang tengah terbaring sakit di kediamannya di kawasan Beji Depok. Terakhir saya mendengar Idris Sardi masuk Rumah Sakit Meilia Cibubur.Setahun ini Idris Sardi telah beberapa kali keluar masuk Rumah Sakit .
Saya terakhir bersua dengan Idris Sardi pada hari jumat 30 Agustus 2013 saat menghadiri Pameran Gitar Lukis “Dawai Dawai Budjana” gitaris Dewa Budjana yang berlangsung di Museum Nasional Jakarta.Karena tempat pameran yang ramai saya hanya sempat ngobrol sebentar dengan Idris Sardi.
Saya juga masih ingat ketika Idris Sardi melalui putrid sulungnya Santi mengundang saya untuk hadir dalam peluncuran buku biografinya yang disusun Fadli Zon “Perjalanan Musik Maestro Indris Sardi” yang berlangsung di Ballroom Kartika Chandra selasa 23 Oktober 2012.
“Ada beberapa tulisan anda yang dimasukkan dalam buku biografi saya tuh” ucap Idris Sardi lirih.
Idris Sardi memang sosok lelaki yang tegas dan lugas.Namun sesungguhnya Idris yang telah tampil bersama orkes simfoni dalam usia dini adalah sosok humoris yang bisa diajak ngobrol apa saja.
Enam tahun silam saya bermaksud untuk mewawancarai Idris Sardi  untuk keperluan penulisan buku saya “100 Tahun Musik Indonesia” dan “Jejak Musik Anak Pegangsaan”
Mulanya saya menghubungi Santi Sardi.Lalu Santi mengatur pertemuan dengan Idris Sardi yang lebih suka dipanggil Mas Idris Sardi.Jadwal dan tempat pertemuan lalu diarancang oleh Santi Sardi.
Mas Idris Sardi seperti biasa tepat waktu.Dia ditemani puterinya Santi Sardi,penyanyi dan aktris cilik era 70-an.Dan saya datang bersama dedengkot pemusik Pegangsaan Keenan Nasution.Kita bertemu di Cinere Mall jam 13:00 WIB kamis 6 November 2008
Bersama Idris Sardi dan Keenan Nasution di Cinere Mall kamis 6 November 2008 (Foto Denny Sakrie)

Bersama Idris Sardi dan Keenan Nasution di Cinere Mall kamis 6 November 2008 (Foto Denny Sakrie)

Mas Idris Sardi siang itu mengenakan “seragam” kebesarannya : sarung, serta  membawa setumpuk  album foto masa silam  diantaranya foto saat bersama Orkes Simphony-nya tampil di TVRI pada tahun 1976 mengiringi kelompok vokal Saka Suara yang terdiri atas Chrisye,Keenan Nasution,Berlian Hutauruk,Rugun Hutauruk dan Bornok Hutauruk.
Lantas mas Idris Sardi,memperlihatkan foto-foto lainnya yaitu saat di studio bersama pemusik Orkestra Jepang dan Orkestra Australia tengah menggarap music score film-film layar lebar Indonesia.
“Saya sejak tahun 1969……luar biasa sibuk.Mondar mandir antara main musik rekaman,musik untuk film dan orkes simfoni.Pipi saya jadi kempot he he…..Di Pesawat pun saya gunakan untuk bikin partitur…..Anda bayangkan itu ” kata Idris Sari penuh semangat.
Daya ingat Idris Sardi masih tajam.Idris Sardi yang wajahnya tak pernah berubah itu kemudian  bercerita bahwa di tahun 70-an selain dikenal sebagai Idris Sardi,dia juga lebih dikenal sebagai Idris Simfoni.
Mas Idris Sardi juga bercerita tentang bagaimana dia berupaya agar Orkes Simfoni itu bisa memasyarakat.
”Anda ingat gak ?…..di tahun 70-an ada acara musik klasik yang ditampilkan di TVRI menampilkan Orkes Simfoni NHK Jepang yang memainkan repertoar klasik seperti Mozart,Schubert,Beethoven dan lain lain.Acara ini disponsori oleh Astra International.Tapi tau gak……begitu acara ini ditayangkan…..kebanyakan penonton langsung mematikan TV.Mereka gak ngerti.Mereka merasa musik klasik  berat.Jadi momok.Dan ini perlu waktu untuk ke arah itu” cerita Idris Sardi perihal musik klasik di Indonesia.
“Lalu saat itu saya ditantang oleh Drs Sumadi sebagai Dirjen RTF untuk tiap bulan menampilkan orkestra di TVRI.Saya pun mengajukan konsep ……Tau gak apa konsepnya.Saya ingin mengedukasi penonton…..tidak serta merta langsung musik klasik yang kelotokan.Caranya ? saya membongkar lagu-lagu daerah,lagu-lagu perjuangan,keroncong hingga lagu-lagu Barat yang lagi ngetop kayak Feeling-nya Morris Albert.Itu saya sajikan dengan orkestra.Sudah barang tentu dengan arransemen yang disesuaikan.Responnya ternyata baik.Ketika saya memainkan Walang Kekek dan Es Lilin,penonton terbawa dan terhanyut,karena mereka kenal dengan lagu-lagu ini” tukas Idris Sardi.
Jadi,kata Idris,konsep saya adalah menghidangkan makanan gado-gado dengan menggunakan piring,garpu,sendok dan serbet,tidak beralaskan daun pisang.Itu tamsil kata Idris Sardi.Namun Idris toh banyak menuai kritik dari kritikus musik.”Saya ingat bener Franki Raden hingga Suka Hardjana mengecam saya.Bahwa orkes simfoni ya…..musik klasik.Dan menurut saya anggapan itu keliru besar” ujar Idris Sardi.Karena akhirnya memang terbukti bahwa musik pop bahkan rock pun juga tetap afdol berbalut orkestra.
Dan saat itu Idris Sardi pun dekat dengan anak muda.”Saya sempat membagi ilmu dengan 10 pemusik muda yaitu tentang teori Harmoni Musik.Belajarnya di beranda rumah Keenan Nasution di Pegangsaan.Mereka adalah Keenan,Addie MS,Raidy Noor,Marusya Nainggolan,Candra Darusman,Ikang Fawzy,Yockie,Riza Arshad ……..” tukas Idris Sardi.
Yockie pun ikut melibatkan Idri Sardi dan Orkes Simfoninya dalam acara “Musik Saya Adalah Saya” di Balai Sidang Senayan Jakarta pada tahun 1979.
Di paruh 80-an Idris Sardi dan orkestranya bahkan tampil bersama sederet grup rock seperti SAS hingga Giant Steps termasuk Sylvia Saartje.Jauh sebelum Erwin Gutawa menampilkan “Rockestra” di tahun 2000 di Jakarta Convention Center.
Idris Sardi dari era k era memang selalu tampil dengan berderet pemusik yang jauh lebih muda usianya dari dirinya. Tahun 2005 Idris Sardi ikut menyumbangkan gesekan biolanya yang khas dalam lagu “Masih Tetap Tersenyum” yang terdapat pada album Padi.
Tahun 2012 Idris Sardi ikut mendukung penampilan Peterpan tanpa Ariel dalam album bertajuk “Suara Lainnya” dan “Konser Tanpa Nama” .
Jika membolak-balik sejarah musik popular Indonesia dari era akhir 50an hingga sekarang ini, maka tak syak lagi sosok Idris Sardi selalu ada.
Selamat jalan Mas Idris ! 

Ketika Rekaman Fisik Menolak Punah

Posted: April 21, 2014 in Opini

Masih segar ingatan kita ketika akhir tahun 2013 gerai musik terbesar dan terlengkap di Jakarta Aquarius tutup untuk selamanya.Beberapa tahun sebelumnya sebetulnya sudah banyak gerai musik yang tutup, bukan hanya di Indonesia tapi di negara-negara yang industri musiknya telah mapan seperti Amerika Serikat atau Jepang juga mengalami hal yang sama.Sebut saja gerai musik raksasa seperti Tower Record maupun Virgin Music Store yang akhirnya membubarkan diri.

Rusty Gordon pemilik Canterbury Record di Pasadena California (Foto Mark Spitz)

Rusty Gordon pemilik Canterbury Record di Pasadena California (Foto Mark Spitz)

Penyebabnya adalah pergeseran paradigma dalam industri musik dengan menyeruaknya teknologi digital dimana format era lalu seperti compact disc,kaset dan piringan hitam mulai ditinggalkan konsumen musik.Pembelian produk musik kini lebih popular dilakukan secara digital.

Record Store Day 2013 di Amoeba Record,Los Angeles California (Foto Mike Spitz)

Record Store Day 2013 di Amoeba Record,Los Angeles California (Foto Mike Spitz)

Namun beberapa pihak mulai melakukan semacam gerakan untuk kembali melakukan sosialisasi menghidupkan penggunaan format fisik seperti piringan hitam yang dimulai pada tahun 2008.Beberapa pemilik gerai musik independen seperti Eric Levin, Michael Kurtz, Carrie Colliton, Amy Dorfman, Don Van Cleave and Brian Poehner lalu melakukan pertemuan di Baltimore .Tercetuslah gagasan Record Store Day yang kemudian dirayakan setiap tahun pada minggu ketiga April yang didukung oleh gerai musik independen ,label rekaman ,artis musik dan penikmat musik.Dalam acara Record Store Day ini berlangsung jual beli piringan hitam dan cd,meet and greet,diskusi serta pertunjukan musik .

Suasana Record Store Day Indonesia di Jakarta sabtu 19 April 2014 (Foto Agus WM)

Suasana Record Store Day Indonesia di Jakarta sabtu 19 April 2014 (Foto Agus WM)

Sekitar 300 gerai musik termasuk Waterloo Record,Vintage Vinyl dan School Kids Records ikut mendukung Record Store Day yang pertamakali diadakan pada 19 April 2008 di Amerika Serikat serta di Inggris yang didukung Picadilly Records,Jumbo Records serta Avalanche Records.Tercatat sekitar 10 album baru yang diluncurkan dalam Record Store Day ini.
Pada penyelenggaraan berikutnya 18 April 2009, tercatat sekitar 85 album dirilis dalam Record Store Day serta sekitar 500 artis musik berpartisipasi dalam pertunjukan musik. Di tahun ini Record Store Day juga diadakan di Jepang,Kanada,Irlandia,Italia,Belanda,Jerman ,Norwegia dan Swedia.
Di tahun 2010 ,Record Store Day diikuti lebih dari 1400 gerai musik independen ,sekitar 1000 gerai berasal dari Amerika.
Dari tahun ke tahun Record Store Day memperlihatkan grafik yang meningkat mulai dari jumlah album yang dirilis serta artis musik yang tampil di pentas.Di tahun 2012 sekitar 400 judul album dirilis di acara ini mulai dari album baru hingga reissue atau rilis ulang.
Di Indonesia sendiri,Record Store Day mulai digelar sejak tahun 2013 oleh komunitas musik independen di Jakarta .Tahun ini Record Store Day tak hanya di Jakarta tapi juga dibeberapa daerah mulai dari Bandung,Malang,Makassar  hingga ke Purwokerto. Jumlah rilisan album yang mencakup piringan hitam dan cd tercatat lebih dari 20 judul album. Ini tentunya sangat menggembirakan.Karena kelesuan dalam produksi rekaman fisik yang dialami oleh label-label besar justru berbanding terbalik dengan produksi rekaman fisik yang dihasilkan oleh label maupun penggiat musik independen.

Selebrasi Record Store Day di Jakarta (Foto Agus WM)

Selebrasi Record Store Day di Jakarta (Foto Agus WM)

Event Record Store Day ini pada akhirnya seolah menjadi ajang selebrasi kembalinya rekaman musik dalam format piringan hitam di tengah berlangsungnya paradigma musik digital . Dalam kurun waktu 4 tahun belakangan penjualan piringan hitam naik 300 persen dengan penjualan di tahun 2006 sebesar 858.000, menjadi 2,5 juta di tahun 2009. Menurut data yang dikeluarkan oleh Nielsen SoundScan tahun 2010, penjualan piringan hitam telah mencapai 2,8 juta keping .

Agus pemilik gerai musik Warung Musik Blok M Square dan Majemuk Record bersama Denny Sakrie dan David Tarigan.

Agus pemilik gerai musik Warung Musik Blok M Square dan Majemuk Record bersama Denny Sakrie dan David Tarigan.

Bahkan data per juni 2011 penjualan album vinyl terjual 40 persen melebihi tahun sebelumnya.
Dan Record Store Day yang berlangsung di Indonesia pada 19 dan 20 April 2014 dan diikuti 16 gerai musik independen dan 11 label musik independen ini setidaknya bisa dianggap sebagai salah satu upaya penggerak untuk mengatasi kelesuan dalam industri musik di Indonesia.

 

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo edisi Minggu 20 April 2014

Pianis jazz muda Indonesia Joey Alexander  (10 tahun) akhir April ini direncanakan menuju Amerika Serikat untuk melakukan serangkaian konser jazz. Ini tentunya sebuah warta yang membanggakan bagi dunia jazz negeri ini terutama juga kebanggaan untuk Indonesia.

Joey Alexander (Foto Tempo)

Joey Alexander (Foto Tempo)

Kehadiran Joey Alexander di Amerika Serikat atas undangan dari trumpetis jazz sohor Wynton Marsalis dalam sebuah konser dan gala dinner bertajuk “Love,Loss and Laughter: The Story of Jazz” yang mengambil tempat di Frederick P Rose Hall “The House Of Swing” yang berlokasi di Broadway 60 th Street,New York .Acara ini merupakan event tahunan dari Jazz At Lincoln Center yang digagas oleh Wynton Marsalis.Acara ini berbentuk musical revue yang menampilkan highlight karya-karya musik jazz dalam sejarah musik jazz yang berkembang dari New Orleans dan menjalar ke New York hingga pada akhirnya menyeruak dalam budaya global ke seantero jagad. Acara yang dipandu oleh aktor Billy Crystal ini menampilkan banyak tokoh-mulai dari tokoh jazz,blues hingga actor seperti Jon Faddis,Bill Cosby,Jonathan Batiste,Marcus Roberts,Dianne Reeves,Mark O’Connor,Taj Mahal,Dominick Farinacci,Pedrito Martinez,Brian Stokes Mitchel,Cecile McLorin Salvant serta Fairview Baptist Church Brass Band.Dan tentunya Wynton Marsalis with Jazz At Lincoln Center Orchestra.

JOEY
Joey Alexandera sendiri adalah satu-satunya pemusik yang datang dari luar Amerika Serikat.Direncanakan Joey akan memainkan dua komposisi jazz ,sebuah solo piano serta sebuah penampilan yang membanggakan karena Joey akan bermain piano diiringi Jazz At Lincoln Orchestra yang dipimpin Wynton Marsalis.
Lalu bagaimana Joey Alexander bisa diundang bermain di acara jazz bergengsi itu ?
Ikhwalnya bermula ketika Wynton Marsalis melihat permaianan piano solo Joey yang membawakan komposisi karya Thelonius Monk “Round Midnight” lewat video bertajuk “Son Of The Future” yang diunggah dikanal youtube dan kemudian ditampilkan lewat The Good News With The Ellen DeGeneres Show. Kemudian Jason Olaine Director of Programming and Touring dari Jazz At Lincoln Center menghubungi pihak Joey Alexander melalui facebook dan meminta kesediaan Joey Alexander tampil di New York Amerika Serikat.
Wynton Marsalis,pemusik jazz peraih 9 Grammy Award ini tertarik dan kagum melihat ekspresi dan karakter permainan piano jazz Joey Alexander.Lalu Wynton Marsalis bersama Jazz At Lincoln Center tertarik untuk mengajak Joey Alexander tampil sebagai “surprising guest” di acara gala dinner “Love ,Loss and Laughter :The Story Of Jazz” pada 1 Mei 2014 nanti.

Saya sedang berbincang dengan pianis Joey Alexander di Goethehaus Agustus  2013 (Foto Jazzuality)

Saya sedang berbincang dengan pianis Joey Alexander di Goethehaus Agustus 2013 (Foto Jazzuality)

Joey Alexander pun dijadwalkan akan tampil bermain solo piano jazz pada tanggal 7 Mei di Paul Roberson Center For The Arts , 102 Witherspoon Street Princeton,New Jersey, Amerika Serikat.Konser yang ini atas prakarsa dari Leonardo Pavkovich, pemilik label Moonjune Record di New York, yang juga merilis album-album jazz dari simakDialog,Dewa Budjana hingga Tohpati secara internasional.
Joey Alexander memang pianis jazz berbakat.Joey belajar jazz secara otodidak. Bakat musik terutama jazz yang dimiliki Joey memang telah ditelisik oleh kedua orang tuanya Denny Sila dan Farah Sila .Menurut ayahnya Denny, Joey , telah memperlihatkan talenta dan minatnya yang tinggi terhadap permainan piano sejak berusia 6 tahun. Di bawah asuhan ayahnya, Joey Alexander pun mengikuti berbagai festival jazz antara lain Java Jazz International Festival, Jakarta I, World Youth Jazz Festival di Kuala Lumpur. Hingga suatu hari tepatnya tanggal 23 Desember 2011 Joey juga diundang oleh UNESCO untuk bermain di depan tokoh jazz dunia yang juga berperan sebagai Unesco Goodwill Ambassador , Herbie Hancock, di @atamerica
Herbie Hancock terperangah saat Joey memainkan komposisi karyanya Watermelon Man dengan fasih diatas tuts grand piano.

Joey Alexander (Foto Jazzuality)

Joey Alexander (Foto Jazzuality)

Joey Alexander  tercatat berhasil meraih prestasi dalam event dunia dengan meraih Grand Prix 1st International Festival – Contest of Jazz Improvisation Skill yang diselenggarakan pada 5-8 Juni 2013 di Odessa, Ukraina.
Dalam situs resmi International Festival–Contest of Jazz Improvisation Skill disebutkan, para juri akhirnya menyimpulkan penghargaan tidak hanya diberikan untuk musisi jazz profesional dan berbakat, tetapi juga untuk mereka yang menjadi fenomena di dunia jazz. Joey Aleaxander adalah pemusik jenius muda yang dimaksud. Joey merupakan peserta termuda dan mampu mengalahkan 43 peserta final dari 15 negara yang rata-rata musisi jazz mumpuni.
Semoga penampilan pianis belia Joey Alexander Sila membuka mata dunia terhadap konstelasi musik jazz di Indonesia.
Denny Sakrie

Symphony Band Yang Menyiasati Tren

Posted: April 16, 2014 in Kisah, profil

Banyak yang menyangka bahwa penggagas dan pendiri Symphony adalah Fariz RM.Sebetulnya Symphony ini tercetus atas gagasan dua alumni SMA 3 Setiabudi Jakarta yaitu almarhum Jimmy Paais dan Herman “Gelly” Effendy yang saat itu tengah kasak kusuk bikin band.Secara kebetulan baik Jimmy Paais maupun Herman Gelly menyukai music rock terutama yang bernuansa progresif rock.Keduanya semasa SMA ikut tergabung dalam kegiatan vokal group SMA 3 Setiabudi Jakarta. Jadi tak heran ketika membentuk Symphony yang terpikir dalam benak mereka dalah Fariz RM,alumnus SMA 3 juga dan sama-sama ikut aktif dalam kegiatan vokal grup SMA 3. Sekedar informasi,vocal grup SMA 3 ini didukung oleh sederet pemusik tenar Indonesia pada akhirnya seperti Fariz RM,Adjie Soetama,Raidy Noor,Addie MS dan Ikang Fauzi.Di tahun 1977 Vokal Grup SMA 3 ini mencetak prestasi mengagumkan,dimana 3 lagu karya mereka yang diambil dari sebuah opera karya mereka berhasil masuk 10 Besar dalam Lomba Cipta Lagu Remaja yang diadakan radio Prambors Rasisonia .

Symphony formasi pertama tahun 1982 dari kiri Fariz RM,Ekki Soekarno,Herman Gelly dan Jimmy Paais (Foto Koleksi Herman Gelly)

Symphony formasi pertama tahun 1982 dari kiri Fariz RM,Ekki Soekarno,Herman Gelly dan Jimmy Paais (Foto Koleksi Herman Gelly)

Ketika Jimmy dan Gelly menawarkan pada Fariz RM untuk bergabung dalam Symphony, Fariz yang telah tergabung dalam beberapa band seperti Badai Band hingga Transs, ternyata memenuhinya.Akhirnya Fariz RM pun bergabung dengan Symphony sebagai vokalis utama dan pemetik bass gitar.Selanjutnya Symphony mengajak drummer yang kental nuansa rock nya yaitu Ekki Akadhita Soekarno.Saat itu Ekki Soekarno juga berprofesi sebagai instruktur kursus drum di sebuah sekolah musik.
Tahun 1982 Symphony merilis album perdana bertajuk Trapesium.Kuartet ini tampaknya ingin menyusupkan tren musik yang tengah berkumandang di dunia.Pilihan jatuh pada gaya New Wave atau yang kerap juga disebut SynthPop.Di era awal 80an, band-band seperti The Clash,The Police,The Specials hingga Duran Duran tengah berada diatas permukaan industry music internasional.Musik reggae dan ska menjadi benang merah beberapa band new wave terutama The Police. Inspirasi ini lalu ditebar Symphony pada beberapa komposisinya seperti Astoria atau Sirkus Optik dan Video Game. Pengaruh dari band-band bergaya pop rock seperti Asia pun tersimak dalam karya-karya Symphony.Bahkan dalam komposisi instrumental bertajuk Sepertigapuluh Dua Symphony bahkan terlihat memasuki wilayah progresif rock.Komposisi ini mengingatkan saya pada tipikal musik progresif rock ala Emerson ,Lake and Palmer maupun kelompok epigon ELP asal Jerman Triumvirat.
Ekki Soekarno memperlihatkan kemampuannya dalam menghentak drum dalam pattern rock yang cenderung complicated, sepintas kita bisa merasakan bahwa Ekki meraup pengaruh dari gaya bermain drum dari Carl Palmer maupun Rod Morgenstein.Demikian pula halnya Herman Gelly yang melakukan solo keyboard baik piano maupun synthesizers ala Keith Emerson. Meskipun demikian Symphony tetap patuh menapak pakem industri musik antara lain dengan menulis komposisi lagu yang lebih kompromistis misalnya pada lagu Interlokal yang kemudian menjadi hits besar Symphony.
Symphony tampaknya bisa menyelaraskan antara idealisma dan komersialisme secara imbang dalam produksi albumnya.
Symphony menghasilkan 3 album yaitu “Trapesium” (Akurama,1982),”Metal” (Akurama,1983) dan “N.O.R.M.A.L” (1987).
Formasi Symphony sempat beberapa kali mengalami pergeseran.Saat merilis album kedua,Symphony menyertakan Tony Wenas,keyboardis dan vokalis Solid 80.Pada album N.O.R.M.A.L Symphony tinggal bertiga dengan mundurnya Tony Wenas dan Ekki Soekarno yang mulai sibuk dengan proyek solo albumnya.
Memasuki akhir 80an, formasi Symphony berubah lagi dengan masuknya Budhy Haryono (drums),Adi Adrian (keyboard) dan Sonny Subowo (keyboard programming).
Formasi Symphony era 1982-1983 yang terdiri atas Fariz RM,Jimmy Paais,Herman Gelly Effendy,Tony Wenas dan Ekki Soekarno sempat melakukan reuni tahun 2009. Saat itu mereka tengah merancang untuk tampil kembali secara utuh namun saying pada tanggal 2 Agustus 2010 Jimmy Paais sang penggagas Symphony telah berpulang kerahmatullah.

Mungkin banyak yang tidak mengetahui keberadaan album ini.Mungkin ini adalah album solo dari bassist sekaligus vokalis Koes Bersaudara atau Koes Plus Yok Koeswoyo yang berbeda dengan konsep musik Koes Plus.Tajuk album ini yaitu “Nyanyian Hitam” agaknya telah menyiratkan isi lagu-lagu dalam album ini yang merupakan kolaborasi antara Yok Koeswoyo dan novelis Teguh Esha.Sosok Teguh Esha mulai diperbincangkan anak muda pada paruh era 70an saat meluncurkan novel Ali Topan Anak Jalanan yang kemudian dilayarlebarkan pada tahun 1977.

Album solo Yok Koeswoyo di tahun 1982 "Nyanyian Hitam" berkolaborasi dengan novelis Teguh Esha dan musik oleh Maroesja Naninggolan (Foto Denny Sakrie)

Album solo Yok Koeswoyo di tahun 1982 “Nyanyian Hitam” berkolaborasi dengan novelis Teguh Esha dan musik oleh Maroesja Naninggolan (Foto Denny Sakrie)

Teguh Esha juga dikenal sebagai penyebar istilah bahasa Prokem di kalangan anak muda terutama lewat narasi novel Ali Topan Anak Jalanan.
Syair-syair lagu yang ditulis Teguh Esha memang berkesan lugas dan terkadang gelap.Tersimak elemen protes maupun kritik sosial dalam karya-karya Teguh Esha, ambil contoh misalnya saat Teguh Esha berkolaborasi dengan penyanyi Mogi Darusman di tahun 1978 lewat album Aje Gile yang kemudian dibreidel pihak berwajib karena lirik-lirik lagunya yang mengkritik Pemerintah tanpa tedeng aling aling semisal pada lagu Rayap-Rayap yang liriknya mengkritik para koruptor di negeri ini.
Nah, nuansa seperti itulah yang tertuang dalam 9lagu yang ditulis Yok Koeswoyo bersama Teguh Esha pada album yang dirilis Purnama Record.
Lagu lagu itu adalah ,Lagu Anak Gedongan,Nyanyian Hitam,Balada Pondok Indah,Optimisme,Selamat Pagi Bunga Muda,Teratai Ditengah Luka,Buanglah Dukamu,Buku Biru dan Percintaan Selesai
Dari departemen musik sendiri album ini juga mengedepankan warna musik yang tak lazim dimainkan Yok Koeswoyo saat bersama Koes Bersaudara maupun Koes Plus.Di album ini,aransemen music digarap oleh pianis dan komposer klasik/kontemporer Maroesja Nainggolan dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Maruiesja yang khatam bermain piano klasik itu mengajak rekan-rekannya sealmamater dari IKJ ikut mendandani album Nyanyian Hitam Yok Koeswoyo ini.Mereka adalah Harry Sabar Tobing yang bermain drum dan perkusi,Robin Simangunsong juga bermain drum dan perkusi serta Jose memetik gitar dan menggesek cello.Baik Robin dan Jose adalah mahasiswa jurusan ilmu seni musik di IKJ dan juga anggota dari band progresif yang dibentuk Iwan Madjid yaitu Abbhama. Maroesja sendiri selain menjadi music director,menulis arransemen juga memainkan berbagai perangkat keyboard mulai dari piano hingga synthesizers.

Sayangnya album solo yang memikat ini ironisnya nyaris tak dikenal orang.Popularitas lagu-lagu Koes Plus yang massive agaknya menutup permukaan album Nyanyian Hitam ini.

tigapagi di @atamerica 12 April (foto @atamerica)

tigapagi di @atamerica 12 April (foto @atamerica)

Tajuk yang saya gurat diatas mungkin terkesan agak serius.Tapi saya tak menemukan tajuk yang tepat untuk menyimpulkan tontonan bertajuk “Sound Of Saturday” yang berlangsung di @atamerica sabtu 12 April kemarin. Sejak beberapa minggu sebelum acara digelar saya dihantui rasa waswas, moga moga kali ini tak ada lagi halangan untuk menyaksikan dua kelompok musik yang mampu menggoyang khalwat jiwa saya yaitu Pandai Besi dan tigapagi.

Penonton konser Sounds Of Saturdat di @atamerica (Foto @atamerica)

Penonton konser Sounds Of Saturdat di @atamerica (Foto @atamerica)

Beberapa waktu sebelumnya,ketika Pandai Besi maupun tigapagi menggelar konser di Jakarta maupun Bandung, selalu ada saja halangan untuk datang menikmati konser musik mereka yang gurih.Dari album Daur Baur yang digarap Pandai Besi di studio Lokananta dengan memberdayakan crowfunding hingga album “Roekmana’s Repertoire” nya kelompok folk tigapagi ini sesungguhnya saat itu saya penasaran ingin melihat bagaimana jadinya konsep musik mereka jika dipindahkan dari album rekaman ke pentas pertunjukan. Secara kebetulan, baik Pandai Besi dan tigapagi, merupakan dua kelompok musik dari paguyuban bebas merdeka (baca :indie) telah terpilih sebagai dua kandidat Album Pilihan Majalah Tempo 2013.Dua kelompok musik yang mencuatkan harmoni musik secara cerlang cemerlang ini seolah saling bersaing ketat untuk menjadi Album Of The Year versi majalah berita berwibawa di negeri ini.

Kebetulan lagi, saya dan David Tarigan diundang oleh majalah yang digagas oleh Goenawan Mohamad itu sebagai tim penilai bersama tim redaksi seni budaya Tempo. Jam 18.30 saya menginjakkan kaki di lantai 3 Pacific Place dimana @atamerica berada.Ruangan pertunjukan yang berkapasitas sekitar 250 penonton itu mulai terlihat menyemut. Agaknya pesona dua kelompok musik ini mampu menyeret perhatian mereka ,para penikmat music dari berbagai usia untuk datang menyaksikan mereka . Ada satu ketentuan mutlak jika sebuah kelompok musik atau pemusik menggelar konser di @atamerica yaitu diharuskan untuk mengcover atau meremake sebuah karya musik dari khazanah musik popular di Amerika Serikat. Dan malam itu Sigit dari tigapagi berhasil mereka ulang lagu milik Nirvana Something In The Way yang ditulis dan dinyanyikan oleh sang frontman Kurt Cobain dari album fenomenal “Nevermind” (1991) yang menandai lanskap grunge, mazhab yang berkecambah di Seattle. Pandai Besi diluar dugaan mengcover lagu anthem era hippies di penghujung dasawarsa 60an yaitu California Dreaming yang dipopulerkan The Mamas and The Papas.kelompok folk rock pada tahun 1965.Sebuah era yang diwarnai menyeruaknya counterculture di kalangan anak muda terutama lewat idiom musik bernafas psikedelik.Pandai Besi memberi nafas baru dari lagu yang di eranya menjadi salah satu jatidiri dari generasi bunga. Entah kenapa saya tiba-tiba teringat dengan gaya Mama Cass atau Cass Elliot salah satu personil dari The Mamas and The Papas yang bertubuh subur saat melihat gaya Nastasha Abigail salah satu vokalis Pandai Besi .Abigail terlihat ekspresif dan lepas saat menginterpretasikan lagu yang menceritakan kehangatan California disaat musim dingin tiba. Menyaksikan tigapagi dan Pandai Besi di konser “Sounds Of Saturday” ini seperti menyaksikan sebuah festival folkrock dengan bingkai psikedelia. Saya sangat menikmati konser kedua paguyuban musik yang menyulam benang folk dalam rajutan musiknya. Dibuka dengan tigapagi yang seperti album cakram padatnya bermain tanpa jeda dari lagu ke lagu.Tigapagi yang terdiri atas Eko Sakti Oktavianto (gitar,Bass), Prima Dian Febrianto (gitar), dan Sigit Agung Pramudita (gitar,vokal) didukung chamber music yang terdiri atas cello dan dua biola. Sayangnya microphone yang dipakai Sigit agak kurang memadai, bahkan sound strings terutama biola terlalu kencang. Saya duduk paling depan berdampingan dengan Eric Wirjanatha dari Death Rock Star disebeklah kiri saya, serta di kanan saya ada Hasief Rolling Stone dan Ade Firza Paloh dedenngkot Sore.Saya membatin, agaknya Ade Paloh pasti akan diajak ke panggung untuk berduet dengan Sigit terutama karena di album “Roekamana’s Repertoire”,Ade Paloh jadi penyanyi tamu pada lagu “Alang-Alang”. Dan ternyata memang benar.Sigit lalu mengajak Ade paloh untuk ke panggung berduet lirih pada lagu Alang Alang. Sebuah komposisi yang sangat folkie.Tigapagi menyuntikkan rasa Indonesia dalam olahan musik folknya yang terbingkai dari bunyi-bunyian akustik dari gitar dan seksi strings.Ditengah-tengah tata musiknya tiba-tiba kita bisa tersodorkan dengan ritme kroncong hingga notasi Sunda yang cenderung minor. Sigit pun mengajak Paramita Sarasvati dari kelompok Nadafiksi untuk berduet.Sayangnya,sekali lagi disayangkan sound yang terdengar dari tata suara sangat buruk.Bukan penyanyinya lho, tapi dari tata suara. Padahal tigapagi telah memberikan sentuhan baru pada lagu Interpol “NYC”.Sebuah penafsiran yang pantas dipuji. Di konser ini tigapagi seolah mempertemukan Roekmana dalam aura peristiwa di Indonesia sekitar tahun 1965 dengan Kurt Cobain yang bunuh diri di tahun 1994 dalam bingkai tutur yang gelap tentunya lewat lagu cover Nirvana “Something In The Way”.Seminggu sebelum konser “Sounds Of Saturday”,para penggemar Nirvana memperingati tragedi meninggalnya Kurt Cobain pada 5 April 1994.

Abigail Pandai Besi terlihat seperti Mama Cass Elliot dari The Mamas and The Papas (Foto @atamnerica)

Abigail Pandai Besi terlihat seperti Mama Cass Elliot dari The Mamas and The Papas (Foto @atamnerica)

Panggung lalu berganti ke Pandai Besi yang malam itu tampil tanpa Cholil Machmud sang vokalis yang saat ini tengah menuntut ilmu di Amerika Serikat.Tapi Cholil tetap hadir menyapa penonton lewat skype bersama isterinya.Pasangan suami isteri ini bahkan menyanyikan lagu “Hujan Jangan Marah” lewat petikan gitarlele Cholil.Lagu ini pun menjadi lagu pembuka konser Pandai Besi yang terdiri atas Akbar Akbar Bagus Sudibyo (drum), Muhammad Asranur (keyboard), Andi “Hans” Sabarudin (gitar), Airil ”Poppie” Nurabadiansyah (bas), Agustinus Panji Mahardika (terompet), dan Natasha Abigail serta Monik (vokal) .Mereka juga dibantu dua pemusik additional. Pandai Besi seperti yang mereka perdengarkan pada album Daur Baur, mereka menginterpretasikan ulang sebagian besar lagu-lagu dari Efek Rumah Kaca seperti Insomnia,Laki Laki Pemalu hingga Desember serta Menjadi Indonesia dalam balutan aransemen yang eklektik. Baik tigapagi maupun Pandai Besi terlihat ligat dan terampil memberi jiwa pada lagu yang mereka bawakan

Rencananya pada tanggal 2 April 2014 dijadwalkan Lionel Richie akan melakukan konperensi pers di depan media sehubungan dengan konsernya bertajuk “All The Hits,All Night Long World Tour 2014”.Pihak promotor Black Rock Entertainment meminta saya untuk menjadi moderator konpers Lionel Richie tersebut.Tentunya saya sangat antusias menerima ajakan promotor yang beberapa waktu sebelumnya menggelar konser Metallica di Gelora Bung Karno.

Saat berbincang dengan Lionel Richie di be lakang panggung 3 April 2014 (Foto Denny Sakrie )

Saat berbincang dengan Lionel Richie di be
lakang panggung 3 April 2014 (Foto Denny Sakrie )

Saya akui masa remaja saya diisi oleh beberapa hits dari Lionel Richie termasuk lagu-lagu saat penyanyi,komposer,pianis dan saxophonis ini bergabung dalam kelompok musik soul funk The Commodores yang bernaung dibawah lable Motown Record.Lagu lagu yang saya sukai saat duduk dibangku SMP hingga SMA itu kebanyakan bertema ballad atau anak-anak muda sekarang menyebutnya lagu-lagu galau mulai dari Three Times A Lady,Still,Sail On,Oh No termasuk Easy yang pernah dicover oleh band Faith No More.Di era 80an,setelah Lionel mundur dari Commodores, popularitasnya seperti tak terbendung lagi lewat lagu-lagu ballad yang romantis seperti Endless Love yang berduet dengan Diana Ross, Truly,My Love,Stuck On You,Hello dan banyak lagi.Dan jangan lupa Lionel Richie kian berkibar ketenarannya terutama saat menyanyikkan lagu All Night Long yang diiringi sejumlah para penari breakdance menutup Olimpiade Los Angeles tahun 1984. Lionel juga menulis lagu We Are The World yang fenomenal bersama Michael Jacksons untuk proyek kemanusiaan membantu korban kelaparan di Ethiopia lewat USA For Africa.

Singkat cerita,saya cukup akrablah dengan karya-karya Lionel Richie.Makanya saya agak antusias diminta menjadi moderator konpers Lionel Richie tersebut.Saya bahkan telah menyiapkan 4 piringan hitam untuk ditandatangani Lionel Richie. Namun ternyata rencana berubah karena Lionel terjebak macet dalam perjalanan dari Bandara Cengkareng ke Ritz Carlton Pacific Place Sudirman tempat dia menginap.Akhirnya konpers batal dihadiri Lionel Richie, melainkan hanya diwakili pihak promotor dan agen dari Lionel Richie.

Seusai konperensi pers saya berencana ingin menyambangi Lionel Richie di Ritz Carlton,tapi karena kemacetan yang luar biasa akhirnya saya memutuskan mengurungkan niat saya itu.”Toh besok masih bisa bertemu Lionel ” batin saya dalam hati.

Tayek Mansur dari Black Rock mengatakan pada saya :” Besok aja mas Den di acara meet and greet sebelum Lionel manggung”.

Akhirnya saya mendapat privillege untuk menemui Lionel Richie dibelakang panggung sebelum konser digelar pada jam 20.00 WIB.

vinyl

Pihak Black Rock memang menyiapkan meet and greet secara terbatas yang hanya dihadiri sekitar 20 orang saja.Kesempatan ini tentunya saya pergunakan dengan sebaik-baiknya.Sekitar jam 19.15 Lionel yang menggunakan T Shirt dan celana hitam telah hadir ditengah-tengah kami yang telah menunggunya sejak jam 18.00. Lionel orangnya ramah,mudah bergaul dan humoris.

 

Lionel Richie sempat kegirangan bercampur haru saat saya menyodorkan 4 album milik saya yaitu dua album solonya yaitu “Lionel Richie” (Motown 1981) dan “Can’t Slow Down” (Motown 1983) dan dua album Commodores yaitu Natural High (1978)  yang berisikan hits “Three Times A Lady” serta album “Midnight Magic” (1979) yang berisikan hits Still dan Sail On.