Arsip untuk Oktober, 2011

Peter Gabriel Narsis ?

Posted: Oktober 28, 2011 in Uncategorized

Peter Gabriel baru saja merilis album “New Blood” ,sebuah album tribute untuk dirinya sendiri.Sesuatu yang tak biasa  karena seorang artis musik justru membuat album tribute untuk dirinya sendiri. Terdengarnya nyeleneh dan narsis memang. Tapi, tetep aja tuh cuek dilakukan oleh salah satu pemusik rock Inggris kesohor Peter Gabriel yang di era 70-an dikenal sebagai salah satu penggagas dan vokalis utama kelompok rock progresif Genesis.

10 Oktober 2011 lalu, Peter Gabriel (61 tahun) baru saja meluncurkan album terbarunya dalam bentuk cakram padat (CD) bertajuk New Blood. Peter Gabriel sendiri memilih New Blood sebagai tajuk album karena ingin menyuntikkan darah baru terhadap karya-karya terdahulunya dari akhir 70-an hingga 90-an.

Filosofi yang mendasari penggarapan album ini sendiri tampaknya merupakan sekuel dari album sebelumnya yang dirilis tahun lalu, Scratch My Back.

Just for your info, album scratch back sendiri awalnya berkonsep scratch back karya-karya musisi lain. Mulai dari komposisi karya David Bowie, Elbow, Paul Simon, Talking Head hingga Radiohead. Hal tersebut sendiri dilakukan karena Peter Gabriel juga ingin pemusik-pemusik yang karya-karyanya ia remake, me-remake pula karya-karya Peter Gabriel melalui album yang (rencananya) akan diberi judul I’ll Scratch Yours.

Namun sayang, niat kreatif Peter Gabriel ini tak bersambut dan gagal terlaksana. Tidak putus asa, Peter Gabriel pun mengubah rencananya dengan men-tribute kan karya-karyanya sendiri.


Seperti halnya album Scratch My Back, maka di album New Blood ini Peter Gabriel tetap tidak menggunakan instrument musik yang lazim dipakai dalam karya-karya rocknya. Seperti gitar, bass, drum serta instrument elektronik lainnya.

Sebaliknya, Gabriel tetap lebih memilih gugus orchestra yang didukung 46 orang pemusik. Dengan begitu, maka tak ada lagi hentakan perangkat drum yang membahana dalam San Jacinto yang ber-evolusi menjadi nuansa lirih tapi dalam. Begitu pula lagu tentang tahanan politik yang di penjara berjudul Wallflower yang tersimak muram dan mempesona. Suara Peter Gabriel pada dua lagu tersebut sendiri juga ikut ber-evolusi. Ya, suaranya terdengar sangat matang, jika dibandingkan versi original, saat Gabriel berusia 31 tahun.

Album New Blood (2011)

 

Di album tribute untuk dirinya sendiri, Peter Gabriel memang banyak memberikan imbuhan sentuhan yang lebih dalam, natural namun personal. Tapi pertanyaannya adalah, kenapa dia lebih memilih orkestra?

“Karena orkestra lebih menyentuh wilayah bunyi yang natural dan terasa lebih ekspresif,” ungkap Peter Gabriel.

Oke. Tapi kenapa men-tribute-kan karya-karya sendiri ?

“Awalnya saya merasa ini sesuatu yang janggal dan aneh. Tapi ternyata saya malah menikmatinya. Saya makin merasa lebih hidup dibandingkan melakukan replikasi terhadap karya original orang lain,” lanjut Peter Gabriel.

Atas instruksi kreatif dari Peter Gabriel, kerangka arransemen album New Blood pun coba digubah pemusik John Metcalfe. Tak seperti album-album lainnya, Peter Gabriel coba menata album ini dalam bentuk perjalanan mood yang berkesinambungan antara satu lagu dengan lagu lainnya.

Well, menyimak album ini ibarat menyaksikan sebuah film yang harus diikuti adegan per-adegan secara utuh tanpa adanya pemisahan track.

“Saya lebih mengutamakan album ini berlumur tekstur dan atmosfer,” urai Peter Gabriel yakin!

New Blood’ track list

  1. The Rhythm of the Heat
  2. Downside Up (ft. Melanie Gabriel)
  3. San Jacinto
  4. Intruder
  5. Wallflower
  6. In Your Eyes
  7. Mercy Street
  8. Red Rain
  9. Darkness
  10. Don’t Give Up (ft. Ane Brun)
  11. Digging in the Dirt
  12. The Nest that Sailed the Sky
  13. A Quiet Moment
  14. Solsbury Hill (bonus track)

Sahabat saya Irianti Erningpraja merilis album baru.Saya terhenyak dan menyambut gembira.Karena akhirnya Anti,demikian panggilan akrabnya,telah memenuhi janjinya untuk kembali ke musik.Ketika saya dan Anti sama sama siaran Galeri Musik Indonesia di radio Trijaya di tahun 2005  saya acapkali menantang dia untuk kembali berkarya di musik.

Saya tahu Anti memang telah memendam rindu yang teramat dalam untuk kembali menulis lagu sekaligus menyanyikannya.”Waktunya belum tepat”  itu yang keluar dari mulut Anti.Industri musik,tampaknya  memang seolah mendiskriminasi peluang para pemusik yang telah memasuki ambang maturitas.Saya pun tak setuju dengan anggapan seperti itu,karena menurut saya musik yang baik dan bagus lahir bukan dari usia belia belaka.Setidaknya contoh itu pernah diperlihatkan almarhum Chrisye yang tetap tegak di industri musik walau sosoknya termasuk tak muda lagi.

Anti berontak,tak putus asa.Dia kembali menulis lagu.Tekadnya bulat ingin tampil lagi dipelataran musik persada tercinta.Tiga tahun dihabiskannya untuk mewujudkan impiannya menghasilkan sebuah album.Sekaligus ingin mematahkan mitos dan diskriminasi usia yang telah dipancangkan industri musik.”Saya ingin melakukan kebebasan dalam bermusik.Tapi tidak gegabah” ungkap Irianti.Tema kebebasan inilah yang menjadi benang merah karya cipta Irianti Erningpraja pada album yang berbalut tajuk “Project Bebas”.

Dalam lagu “Bebas” yang ditulisnya,Anti tampak ingin membebaskan diri dari kungkungan pembatas yang membelenggu.Simak petilan liriknya :

Aku ingin

Tak lagi tertekan

Mengikuti segala aturan

Yang tiada berguna

Hanya menyakiti hati

 

Bahkan dalam introduksi lagu ini pun Irianti mencuplik salah satu pidato legendaris tokoh kulit hitam Dr.Martin Luther King Jr yang menjejalkan prinsip kebebasan dalam harkat hidup manusia.Tampaknya Anti ingin menebalkan makna bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk bebas yang tak terikat dalam belenggu-belenggu yang justeru diciptakan oleh manusia itu sendiri.

002

Tak heran jika pada lagu “Bebas” yang beraura rhythm musik masakini itu,Anti menggamit rapper perempuan belia bernama Momeyz.

 Ekspresikan dirimu

Dalam setiap langkahmu

Bebaskan bicaramu

Tanpa batas batas waktu

Jangan malu malu

Tak perlu ragu ragu

 

Dalam Project Bebas ini Irianti Erningpraja melakukan kolaborasi dengan banyak artis musik lintas generasi.Mulai dari Andre Hehanussa,Sita Nursanti,Bonita,Ivy Erningpraja,Ngapz,Chewy,Ika Putri  hingga Momeyz.

Bersama Andre Hehanussa,Irianti melakukan duet pada lagu “Kasih” yang pernah menjadi hits Ismi Aziz pada tahun 1994.Lagu “Kasih” merupakan karya Irianti bersama Noam Kaniel dan Ron Kenan.Arransemennya mengalami perubahan dengan mengambil nuansa quiet storm beraksen romansa.

003

Album “Project Bebas” ini laksana rangkuman perjalanan karir Irianti Erningpraja di khazanah musik Indonesia sejak menorah prestasi sebagai finalis Festival Lagu Populer Indonesia di tahun 1983 hingga sekarang ini.

Konsep revisited atau kunjung ulang terhadap karya-karya terdahulu dilakukan Irianti tanpa harus berpihak pada kesan nostalgia.Anti tak sekedar member baju baru terhadap lagu-lagu lama karyanya,tapi memberi jiwa yang baru pula.Simak saja hits Anti “Ada Kamu” (1987) yang terasa lebih segar saat dinyanyikannnya berduet dengan Ika Putri.Begitu juga lagu “Mengapa Kau Tinggalkan Aku” yang ditulisnya bersama Andre Hehanussa pada tahun 1995 terasa lebih elegan saat dibesut ulang oleh pemusik belia Aldisyah Latuihamallo menjadi “MKTA”.

Simak pula lagu “Salamku Untuknya” (1983)karya Irianti dan Adjie Soetama  yang pernah menjadi finalis Festival Lagu Populer Indonesia 1983 lewat suara Vina Panduwinata kini dibawakan dalam bentuk trio yaitu Irianti Erningpraja,Sita Nursanti dan Bonita dengan harmonisasi vokal yang terjaga.

Begitupula saat Irianti membentuk trio vokal lain bersama pendatang baru seperti Chewy dan Melda lewat lagu baru yang ditulis Irianti bersama Aldisyah Latuihamalo dan Ferry bertajuk “Bolehkah”.Menarik pula untuk menyimak duet antara Irianti dan keponakannya Ivy Erningpraja dalam ballad bertajuk “Sesal”.

Irianti Erningpraja pun mengajak sederet pemusik belia untuk menata album ini seperti Aldisyah Latuihamalo,Joseph Jafar serta Yudhistira Arianto,Arief Kurniawan dsan Mecko Kaunang.

Dalam “Project Bebas” ini Irianti Erningpraja melakukan segalanya,mulai dari menulis lagu,lirik sekaligus menyanyikannya .Dimata saya Anti adalah salah satu  singer/songwriter terbaik dinegeri.

Kehadiran Irianti  Erningpraja dalam album “Project Bebas” ini seperti sebuah jembatan yang menyatukan tali silaturahmi lintas generasi musik Indonesia.

Anda pun bebas untuk menikmati karya Irianti Erningpraja ini.

Lupakan ini itu

Terbang bebas gapai semua mimpimu

Ditulis oleh Denny Sakrie,sahabat Irianti Erningpraja

Tracklist

1.Bebas (Irianti,Aldisyah Latuihamallo)

2.Tak Mau Sebentar (TMS) (Aldisyah,Vitri Zada,Irianti)

3.Kasih  (Noam Kaniel,Ron Kenan,Irianti)

4.Ada Kamu (Irianti,Elfa Secioria)

5.MKTA (Irianti Erningpraja,Andre Hehanussa)

6.Untukmu (Adjie Soetama,Budi Bhidun,Irianti)

7.Salamku Untuknya (Irianti Erningpraja,Adjie Soetama)

8.Separuh Cinta (Irianti Erningpraja)

9.Kunang Kunang (Irianti Erningpraja)

10.Bolehkah (Irianti,Aldisyah,Ferry)

11.Sesal (Irianti Erningpraja)

12.Kulupakan (Irianti Erningpraja)

Tulisan diatas adalah Press Release untuk album “Project Bebas” Irianti Erningpraja

Konser Mono di Nusa Indah Balai Kartini 11 Okt 2011 (foto Rendy Nur Rizal)

                         Konser Mono ,     Tenggelam Dalam Samudera Bunyi

Entah kenapa banyak anak muda yang memandang aneh kearah saya saat menginjakkan kaki di pelataran lobi Nusa Indah Balai Kartini untuk menyaksikan konser Mono,kuartet postrock Jepun pada 11-10-2011 (hei lihat kombinasi angkanya he he).Jakarta lepas maghrib memang diguyur hujan.Macet memagar beberapa ruas jalan saat saya membelah Jakarta dari Senayan ke Gatot Subroto dengan menaiki taksi.Suasana temaram,dingin yang mencekam seperti sebuah fanfare alam sebelum menyimak ritual postrock Mono yang untuk kedua kalinya menyambangi Jakarta .Saat pertama Mono konser di Senayan dalam event Jakarta Rock Parade yang membawa petaka nista itu saya tak memiliki kesempatan untuk menontonnya.Dan kesempatan kedua ini jelas tak saya sia-siakan.Jauh jauh hari sahabat saya Ryann  yang berambut kribo dan gempal itu sudah menjanjikan saya sebuah tiket tanda masuk.

Nah wajah wajah anak muda yang seolah meragukan kredibilitas saya sebagai penonton postrock itu mungkin tak pernah tahu bahwa saya juga menyimak postrock termasuk Mono.Mungkin mereka juga tidak tahu bahwa saya juga menyimpan dua vinyl Mono di rak vinyl saya dirumah.

Saya bahkan terperanjat ketika beberapa hari usai konser Mono saya melihat di Jurnalicca Webzine nama saya disebut-sebut dalam artikel mengenai konser Mono itu.Ini dia petilannya : “Tanpa magnet yang sama mana mungkin hastag #MonoJKT masih berkeliaran beberapa hari paska hari H. Akhirnya, tanpa daya tarik yang sama, mana mungkin Denny Sakrie, kritikus musik tua kenamaan, mau muncul di Nusa Dua Theatre. Denny Sakrie menonton post-rock? Ini baru progres! .

Wah saya kaget terpingkal-pingkal membaca komentar yang berlebihan itu.Kenapa ? Kalimat itu mendeskripsikan seolah saya ini tidak perduli dengan subgenre musik yang kerap dianggap tak popular.Bahkan disebut tua segala yang menurut pemahaman saya bahwa orang tua itu sudah tak mau perduli dengan pergeseran nilai-nilai musik yang baru atau apalah.Gilanya pake ditulis kayak gini lagi  : ”Ini baru progress ?.O my God…….Kalian terlalu mengunderestimate saya.Tapi saya akhirnya jadi mahfum,mungkin anggapan mereka itu lantaran  saya sering terlihat mengomentari banyak artis-artis mainstream di kaca TV dan menganggap kuping dan benak saya tak mungkin bisa involve di ceruk musik  semacam postrock yang seolah mengekslusifkan diri itu.Karena terus terang saya pun bisa mengendus bahwa banyak diantara penonton yang menyaksikan konser Mono itu justeru tengah menjalanai ritual “naik kelas” atau “naik pangkat”.Bahwa kenaikan tingkat atau strata menikmati musik itu merupakan sebuah pengakuan yang patut diamini dalam pergaulan.”Gua bukan bagian dari musik alay.Musik gua lebih cerdas.Musik gua tidak tipikal.Musik gua cutting edge et cetera et cetera”.Walaupun saya yakin juga bahwa tak semua penonton Mono yang berperilaku seperti yang saya tudingkan itu. 

Kedatangan saya di konser Mono ini memang ingin memasrahkan diri berenang dan tenggelam dalam samudera bunyi yang maha luas dan berlapis lapis itu.Sebelum Mono saya memang sudah terkagum kagum dengan para ksatria bunyi bunyian dari negeri Sakura semisal Ryuichi Sakamoto yang tercerabut dari kelompok Yellow Magic Orchestra hingga perkusionis Stomu Yamash’ta yang sejak era 70an kerap bersimbiose mutualisme dengan pemusik-pemusik idealis Barat seperti Al Di Meola,Steve Winwood hinggal Michael Shrieve.Di benak saya Mono adalah generasi penerus pemusik Jepang era terdahulu walau mungkin dalam subgenre yang tak sama.

MONO

Tamaki,multi-instrumentalis yang menawan (foto Rendy Nur Rizal)

Sebelum Mono yang terdiri atas Tamaki (satu satunya wanita di band ini),Yasunori Takada (drums), serta duo gitaris Takaakira “Taka” Goto  dan Yoda naik panggung,menyeruak alunan playback musik klasikal yang simfonik dan disusupi suara penyanyi wanita sopran membentuk tekstural yang mencekam .Angelic voice yang mencengkram indra pendengaran kita.Pemilihan sequencing music semacam ini memang tepat untuk menjadi bridging pertunjukan Mono.Meski introduksi ini terasa melelahkan karena berdurasi sekitar 25 menit.Keempat Mono akhirnya muncul juga dari balik tirai hitam dengan menggunakan busana hitam pekat pula.Takada dan Tamaki kemudia membentuk harmoni tabuhan glockenspiel yang repetitive seolah pengantar sebuah ritme mantra dalam sebuah ritual tertutup.Dan saya mengenal komposisi ini Ashes In The Snow dari album “Hymn To The Immortal Wind” yang dirilis tahun 2009.

MONO

(Foto Foto Rendy Nur Rizal)

Komposisi yang mereka garap berempat itu terasa begitu kontekstual dengan muramnya cuaca di Jakarta karena rinai hujan yang mengguyur.Saya sengaja mengambil posisi duduk di tengah tepat dua row di depan FOH.Ini posisi yang bisa memanjakan kuping saya.Komposisi ini memang beranjak dari sebuah repetisi ritme muram hingga akhirnya mencapai klimaks sesuai dengan tajuk lagunya Ashes In The Snow.

MONO

Mono (Foto Rendy Nur Rizal)

Komposisi musik Mono memang mencuatkan citarasa sinematik.Komposisi yang mereka torehkan seperti sebuah peniruan atas jelujur simfonik ala music klasik.Simak bilah bilah keyboard Tamaki yang terasa chordial dan seperti merepresentasikan sebuah bunyi orchestral yang grand dan megah. Ternyata Mono masih berkutat di album “Hymn To The Immortal Wind”.kali ini bertajuk “Follow The Map” yang bernaunsa adventurial.Dalam album rekamannya,Mono didukung oleh sebuah chamber 25 pieces.Ah andaikan saat itu ada imbuhan chamber juga.

MONO

Konser Mono di Jakarta (Foto Rendy Nur Rizal)

Jantung saya ikut berdetak saat Tamaki menghadirkan bunyi virtual organ vintage Hammond B-3 pada lagu “Burial At Sea” yang juga dipetik dari album yang sama.Diikuti dengan harmoni duo gitar elektrik yang membius,Taka dan Yoda berbagi tugas antara memetik single string theme dan melodi.Bunyi-bunyian elektris itu seperti menggumpal dan saya betul betul tenggelam dalam samudera bunyi yang maha luas dan lebar itu.

Mono seperti meniupkan udara salju yang luar biasa dingin lewat  “Pure As Snow” (Trails Of The Winter Storm) .Sebuah komposisi yang membuat seisi ruangan menjadi bergidik.Saya pun merasa efek kedinginan yang tiada tara saat itu.Apalagi saat itu saya datang nonton konser Mono sendirian tanpa siapa-siapa.Imbuhan drum Takada perlahan terasa powerful dengan konstanitas yang terjaga baik.

Kemudian tanpa sama sekali komunikasi dengan penonton,Mono tetap berkomunikasi melalui musik yang mereka jejalkan.Masuklah “Sabbath” yang mistis dari album “One Step More And You Die” yang dirilis tahun 2003.Inilah album Mono yang saya dengarkan untuk pertama kali dan kemudian jatuh cinta dengan kuartet ini.Kenapa ? Karena sound tekstural yang menggenangi seluruh permukaan album mengingatkan saya pada King Crimsons,grup prog-rock Inggeris yang dimotori Robert Fripp.King Crimson saat itu,terutama pada era album Lark’s In Tongue Aspic banyak memainkan fragmen-fragmen bunyi yang esensialistik.Komposisi “Sabbath” yang menyemburatkan dinamika ini akhirnya membuat duo gitaris yang tadinya duduk di kursi lalu berdiri dan seperti tengah in trance  .Berlanjut dengan “Halo” dari album “One Step More And You Die”.Komposisi ini berdurasi mendekati 8 menit.Cukup panjang tapi menggairahkan raga.

Saya yakin sebagian besar penonton dirangkul imajinasi masing-masing akibat semburan music dari Mono yang tekstural itu.Saya merasakan hal itu,terutama ketika menyimak komposisi bertajuk “Moonlight” yang secara harafiah seperti menyiratkan sebuah titik kesepian yang hanya ditemani cahaya bulan yang temaram dan muram.”Moonlight” berasal dari album “You Are There” (2006).

Tamaki adalah sosok yang menarik disamping duo gitaris Yoda dan Goto yang bersosok psikedelik itu.Tamaki berpindah pindah instrument dari glockenspiel,bass dan tumpukan keyboard.Suasana muram menjadi kian muram saat jari jemari Tamaki menggerayangi bilah bilah tuts keyboard menghasilkan ambience yang subtil dan tetap mistikal.dan ternyata itulah muasal dari komposisi “Everlasting Light”,komposisi yang menutup album “Hymn to The Immortal Wind” dan ternyata juga dipilih menjadi penutup konser Mono di Jakarta.Tapi sebagian besar penonton tetap tak beranjak dari kursi.Mereka tampaknya mendambakan munculnya encore dari mono.Teriakan We want more yang berkumandang toh tetap tak digubris.Mono tetap tak naik panggung melayani encore.Selama satu jam sepuluh menit,Mono telah melukis tekstur bunyi dalam petualangan yang fantastik.Sebuah petualangan musical yang rasanya tetap bersemayam dalam benak saya entah sampai kapan.

The Brandals dan Koes Plus
Yockie Surjoprajogo dan Pure Saturday
Sarasvati dan Keenan Nasution “Sendu” (foto Bayu Adhitia)
Pure Saturday
Margie Segers “Semua Bisa Bilang” (foto DjakSphere)
Yockie Surjoprajogo (foto Pure Saturday)

Djakarta ArtMosphere yang disingkat DjakSphere merupakan konsep pertunjukan musik yang tak hanya menghibur tapi memberikan tumpahan edukasi bahkan merekat tali silaturahmi antar generasi musik yang kerap terputus di negeri ini.Untuk ketiga kalinya DjakSphere digelar dan ditonton dua generasi musik Indonesia.Saya cukup terharu melihat banyak orang tua yang dating bersama anaknya menonton konser yang rada langka ini.Si orang tua bertutur tentang pemusik idolnya di era silam dan si anak menguraikan pahlawan musiknya di era sekarang.Amnesia sejarah music pun sesungguhnya mulai bisa tertangkal di acara yang menampilkan generasi lama Koes Plus,Margie Siegers,Yockie Surjoprajogo dan Keenan Nasution yang dimempelaikan dengan The Brandals,Pure Saturday,Sarasvati dan duo pasutri Endah N Rhesa.Penempatan artis musiknya pun cukup jeli,karena mewakili genre musik yang pernah dan sedang berkibar di negeri ini,ada pop,rock dan jazz.
Dibuka dengan penampilan duo Endah N Rhesa yang mengemuka dengan nuansa minimalis.Rhesa bermain bass membentuk sebuah rhythm section yang kukuh diimbuh petikan gitar Endah isterinya yang juga berperan sebagai pelantun vokal.I Don’t Remember  menguak yang disusul interpretasi mereka pada karya Red Hot Chilli Peppers “Around The World”.Duo ini berjingkat dari genre satu ke genre yang lain tapi tetap dengan format akustik nan menggelitik.Simak saja saat duo ini mengimbuh Tuimbe dengan Yamko Rambe Yamko yang bernuansa worldfolk .Endah N Rhesa memang sangat menguasai panggung,pun saat mereka melantunkan lagu yang bertendensi romansa seperti “When You Love Someone”.Rhesa yang bertubuh tinggi,lalu membungkukkan badan dan mengecup kening Endah.
Endah kemudian memanggil Margie Segers,penyanyi Ambon yang mencuat di industry music 70an oleh tangan dingin Jack Lesmana,ayah Indra Lesmana.Dengan didukug gitaris Andika,Margie bersama Endah N Rhesa menyanyikan lagu “Enggo Lari” karya almarhum Christ Kaihatu dan Georgie Lewakabessy dari album solo Margie Segers di tahun 1982.Disusul lagu “Semua Bisa Bilang” karya almarhum Charles Hutagalung yang juga dipopulerkan Charles bersama The Mercy’s di tahun1973 dan diremake oleh Margie Segers pada tahun 1975 .Jack Lesmana lah yang memilih lagu Semua Bisa Bilang untuk Margie saat akan merilis album solonya pada label Hidayat Audio Bandung .Kolaborasi ini juga meinterpretasikan karya Tracy ChapmanGive Me One Reason”.
Kolaborasi kedua muncul Sarasvati,mantan vokalis kelompok elektronik Bandung Homogenic.Sarasvati tampil dengan aura rada mistis.Berbusana hitam dan ambience musik yang dekat dengan gaya scoring sinema horror.Diperkuat pula dengan atmosfer etnikal Sunda dari Karinding Attack,yang juga pernah mendukung konser band Jasad beberapa waktu lalu.sarasvati tampaknya kekeuh ingin menyusupkan nuansa Jawa Barat.Bahkan lagu yang jelas jelas bertutur tentang Bali pun,musiknya tetap bersendi Sunda.Itu jelas tersimak pada lagu “Chopin Larung” yang ditulis Guruh Soekarno Putera tentang kemasgulannya terhadap budaya Bali yang mulai terusik budaya Barat.Guruh bertamsil kata dengan memasukkan nama komposer klasik Polandia Frederick Chopin sebagai metafora budaya Barat.Sarasvati pun bersenandung “Yen Chopin padem ring Bali kerarung saking Daksina….”.Tapi ambience musiknya diganti menjadi Sunda.Sebuah paradox yang membingungkan.Sarasvati dengan dukungan penyanyi latar yang membayangi vokalnya dengan beberapa layer harmoni itu mengingatkan saya pada konsep vokal ala Laurie Anderson.Lagu lagu seperti Fighting Club,Bilur,Cut and Paste,Aku dan Buih termasuk interpretasi yang berhasil atas karya Franki Sahilatua “Perjalanan” lebih mengukuhkan posisi Sarasvati sebagai vokalis wanita berkarakter khusus,yang memang jumlahnya tak banyak di negeri ini.
Keenan Nasution drummer Guruh Gipsy lalu diajak berkolaborasi menyanyikan “Zamrud Khatulistiwa” karya Guruh dari album solo pertama Keenan “Di Batas Angan Angan” (1978).Sayang di lagu ini harmoninya tak jelas.Tepatnya Keenan dan Sarasvati tak berbaur.Untungnya duet mereka saat menyanyikan lagu “Sendu” karya Keenan dari soundtrack film “Roda Roda Gila” (1979) itu memberikan sebuah harmoni yang padu.Lalu muncullah lagu tentang makhluk halus “Story Of Peter”.Keenan berada dibalik drum berduet dengan drummernya Sarasvati.Tapi duet ini tak berhasil padu.Atraksi solo drum Keenan bahkan terasa tak perlu karena berkesan tidak kontekstual.Sayang !.
Berikutnya Yockie Surjoprajogo yang pernah tergabung dalam Badai Band bersama Keenan Nasution,didapuk untuk berkolaborasi denga band Bandung Pure Saturday .Ini kolaborasi yang menarik,karena pada bagian Yockie mulai ikut mengimbuh dibalik perangkat keyboards,aura music Pure Saturday mulai terdengar lebih progresif.Dengan portamento dan glissando pada synthesizers Virus,Pure Saturday seperti sebuah band yang didukung Tony Banks,Rick Wakeman atau Keith Emerson.Yockie menyanyikan lagu “Citra Hitam” (karya Yockie dan Junaedi Salat) dari album “Sabda Alam” (Chrisye,1978) dan “Elang” dari album solo Yockie di tahun 1983.Kehadiran Yockie pada akhirnya mempertebal musik Pure Saturday yang semula terasa kosong pada lagu ” Buka”, “Spoken”, “Kosong”, dan “Desire” karena Arief sang gitaris urung tampil, kabarnya  karena urusan keluarga .
Di lagu “Elora”,Yockie menyusupkan permainan Hammond-nya.Musik Pure Saturday mulai terasa gempal dan berisi.Bahkan permainan keyboard Yockie memberikan sentuhan lain pada repertoar Pure Saturday terutama pada dua lagu baru mereka “Horse Men” dan “Albatross”.Entah kenapa band ini seperti menjadi follower band progresif rock Inggeris era 80an Marilllion.
Puncak perhelatan musik lintas generasi ini dipungkas oleh The Brandals dan Koes Plus.Bagi saya The Brandals tampil dengan aura rockn’roll yang tepat,tidak dibuat buat.Eka Annash dengan energik menggeram lewat “ Hati Emosi”, “Obsesi Mesin Kota”, dan “Perak”.Dilanjutkan dengan berkolaborasi dengan Koes Plus lewat “Kelelawar”,lagu yang diambil dari debut album Koes Plus di tahun 1969 “Dheg Dheg Plas”.Lagu yang riff nya memiripi “Jumping Jack Flash” nya Rolling Stones ini bahkan seperti adegan battle antara Koes Plus dan The Brandals.The Brandals turun panggung ,berganti Koes Plus yang menggeber “Bujangan” dan berlanjut terus ke lagu “Diana” dengan bassline yang mengingatkan kita pada “Obladi Oblada” nya The Beatles.
Dipenghujung acara,The Brandals dan Koes Plus bersama-sama meneriakkan “Jemu” dan “Pelangi”.Kolaborasi lintas generasi pun usai.Penonton dari dua generasi berbeda itu pun pulang dengan suka cita.Semoga amnesia sejarah musik Indonesia bisa sirna dengan konsep acara seperti yang disajikan DjakSphere ini.

God Bless tampil di konser The Legend (foto Adib Hidayat)

9 kelompok musik yang pernah menuai kejayaan di era 70an,di era rezim Soeharto juga tengah berada di puncak kejayaan, tampil dalam konser bertajuk “The Legend”.Penggagas acara musik beratmosfer nostalgia ini adalah Metro TV yang memiliki acara mingguan “Zona Memori”.”The Legend” ini kami gelar untuk memperingati HUT Zona Memori” ungkap Agus Mulyadi dari Metro TV.
Sekitar 4000 penonton yang memadati Tennis Indoor tiada henti-hentinya mengaplause band-band favorit mereka masing-masing mulai dari Koes Plus,Panbers,Bimbo ,The Rollies,Favorite’s Group,D’Lloyd,Usman Bersaudara,Orkes Moral Pancaran Sinar Petromak hingga God Bless.
Kesembilan grup musik ini memang meniti karir pada saat rezim Orde Baru mulai berkuasa di negeri ini.Bimbo dan The Rollies terbentuk tahun 1967.Koes Plus dan D’Lloyd terbentuk di tahun 1969,Panbers di tahun 1971,Favorite’s Group di tahun 1972,God Bless di tahun 1973 dan Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks di tahun 1978.Usia mereka rata-rata memasuki kepala enam dan tujuh.Achmad Albar yang berusia 65 tahun masih memperlihatkan stamina menggaungkan musik rock.Yon Koeswoyo bahkan tetap memperlihatkan kestabilan vokal di usia yang ke 70.”Saat mereka ngeband dulu,kami ini masih ABG” tutur Omen dari OM PSP.
Walaupun usia telah memasuki senja,bahkan beberapa band personilnya sudah tidak utuh lagi karena ada yang telah berpulang,namun semangat bermusik mereka sangat tinggi.Mereka terlihat sangat passionate.Benny Panjaitan vokalis dan leader Panbers yang duduk di kursi roda pasca stroke seolah tak menganggap handicap itu penghalang untuk bermain music di hadapan para penggemarnya yang fanatic.Suara Benny melengking tinggi membawakan “Akhir Cinta”,hits pertama mereka di tahun 1972 termasuk lagu “Indonesia My Lovely Country” yang mengambil pattern ritme Tapanuli itu.Sekedar mengingatkan bahwa Panbers adalah salah satu band yang masuk dalam kompilasi “Those Shocking Shaking Days”,album yang berisikan lagu-lagu Indonesia era 70-an oleh label indie di Kanada.Di album itu lagu Panbers “Haai” bahkan disebut-sebut sebagai lagu bernuansa rock yang kental.Henry Rollin bahkan memuji Panbers.

Benny Panjaitan diatas kursi roda (Foto:Dudut SP)
Passionate bermusik itu pun diperlihatkan Favorite’s Group yang telah kehilangan dua tokoh utamanya yaitu A.Riyanto dan Is Haryanto.Dengan dua vokalis Mus Mulyadi dan Mamiek Slamet,Favorite’s Group juga berupaya tampil prima dengan hits seperti “Mawar Berduri” dan “Rek Ayo Rek”.Dengan kondisi mata yang tuna netra,Mus Mulyadi terlihat sangat bersemangat membawakan lagu-lagunya.Sebuah pemandangan yang mengharukan.Bahwa semangat bermusik bisa mengalahkan kendala apa saja.Ini bisa menjadi teladan bagi anak-anak band sekarang.
Kelanggengan usia band yang telah melewati tiga dasawarsa ini juga merupakan pelajaran bagus untuk pemusik atau anak band sekarang yang rentan bubar dan sebagainya.
The Rollies walaupun telah kehilangan sederet personil kuatnya seperti Iwan Krisnawan,Deddy Stanzah,Bonnie Nurdaya,Delly Djoko dan Bangun Sugito tapi mereka tetap gigih mempertahankan formasi bandnya.”The Rollies sudah masuk dalam formasi kelima” ucap Benny Likumahuwa yang bergabung dengan The Rollies tahun 1969.
Malam itu The Rollies mempersembahkan lagu-lagunya untuk ketiga vokalisnya yang telah almarhum seperti “Burung Kecil”,”Kau Yang Kusayang” dan “Hanya Bila haus Di Padang Tandus”.The Rollies pun menyanyikan lagu milik kelompok Love Affair “Gone Are The Song Of Yesterday” yang diambil dari album debut mereka pada label PopSound Singapore di tahun 1969.

The Rollies dibelakang panggung (Foto Denny Sakrie)
Bimbo dan Usman Bersaudara mungkin adalah kelompok musik yang beruntung.Kenapa ? Karena kedua grup ini formasinya masih utuh.Bimbo masih ada Sam,Acil,Jaka dan Iin Parlina.Usman Bersaudara masih ada Usman,Sofyan,Said dan Mamo.”Syukur Alhamdulillah kami masih diberi kesempatan olehNya untuk bermain musik bersama “ ungkap Sam dengan mata berkaca kaca dibelakang panggung.
Bimbo membawakan sederet hitsnya di era 70-an mulai dari Adinda,Antara Kabul dan Beirut hingga Tante Sun yang sempat dicekal pada paruh era 70-an karena dianggap menyindir isteri pejabat.
Di era rezim Soeharto memang tercatat cukup banyak lagu lagu yang dicekal karena dianggap menyindir atau sarat dengan kritik sosial.Lagu “Hidup Di Bui” milik D’Lloyd pun termasuk yang pernah dicekal karena dianggap menggambarkan keadaan yang tak benar mengenai Lembaga Pemasyarakatan.”Saat itu saya harus merevisi ulang liriknya.Bahkan untuk lebih safety lagi,saya kemudian rela tidak mencantumkan nama saya sebagai komposer.Di kaset lagu itu tercantum sebagai karya NN” jelas Bartje Van Houten,gitaris,komposer dan leader dari D’Lloyd.
Kritik sosial dalam lirik lagu memang menjadi hal yang tabu dalam konsep penulisan lirik di negeri di saat Orde Baru berkuasa.”Kami sendiri akhirnya mengkritik diri kami sendiri sebagai mahasiswa saat itu lewat lagu “Gaya Mahasiswa” ujar Ade Anwar dari OM Pancaran Sinar Petromaks.Lebih jauh Ade Anwar mengatakan bahwa terbentuknya OM PSP itu sendiri adalah bentuk kritik beberapa mahasiswa UI atas diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang saat itu melarang mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan politik di kampus.”Kami lalu bikin orkes dangdut ha ha ha” tambah Omen berderai tawa.
God Bless pun adalah band rock yang juga senantiasa menyusupkan lirik lirik lagu bertema kritik sosial.Misalnya tentang Kusni Kasdut dalam lagu “Selamat Pagi Indonesia”.Namun God Bless dengan pola penulisan lirik yang lebih terjaga pada akhirnya memang luput dari pembreidelan pemerintah.Dalam konser The Legend,God Bless yang terdiri atas Achmad Albar (vokal),Donny Fattah (bass),Ian Antono (gitar),Abadi Soesman (keyboard) dan Yaya Moektio membawakan sederet hits di era 70an dan 80an seperti Panggung Sandiwara,Bla Bla Bla,Menjilat Matahari,Syair Kehidupan,Bis Kota,Kehidupan dan Semut Hitam.

Yok Koeswoyo nyanyi tanpa bass (Foto Dudut SP)
Puncak The Legend menampilkan Koes Plus dengan dua anggota yang tersisa duo kakak beradik Yon dan Yok Koeswoyo.Secara historis mereka memulainya dengan nama Koes Bersaudara dengan mengetengahkan harmoni vokal duo Yon dan Yok yang terisnpirasi dari duo bersaudara The Everly Brothers dan The Kalin Twin.”Saya dan Yon itu tepatnya mirip Nakula Sadewa ha ha ha tokoh kembar dalam pewayangan.Dan Alhamdulillah kita berdua masih diberi kesempatan untuk nyanyi bareng di hadapan masyarakat” pungkas Yok Koeswoyo,adik dari Yon Koeswoyo.
The Legend memang tak sekadar romantika nostalgia belaka,tapi merupaka ajang napak tilas yang bisa merekat missing link antar generasi musik di negeri ini.Beberapa artis sekarang yang ikut tampil bersama the Legend seperti Andien,Saykoji,Rio Febrian,Piyu,Fadly atau Anji setidaknya bisa memetik banyak hikmah di acara The Legend ini.

Duet Drum……adalah salah satu daya tarik dari sebuah konser rock. Duet drum paling fenomenal adalah dari kelompok southern rock The Allman Brothers Band.

The Allman Brothers Band

Serta sudah pasti adalah duet drum dari Genesis,yang mempertemukan Phil Collins dan Vill Bruford dalam serangkaian tur kelompok rock progresif Inggeris  Genesis di tahun 1976 dan duet antara Phil Collins dan Chester Thompson,drummer jebolan Frank Zappa dan Weather Report .

Genesis 1976

Dalam King Crimson pun pernah terjadi duet drum antara Bill Bruford dan Pat Mastelotto.Ketika Yes melakukan “reuni” di tahun 1990,Bill Bruford pun melakukan duet drum dengan Alan White.

Di Indonesia sendiri duet drum telah dilakukan God Bless pada tahun 1974 dengan mempertemukan Fuad Hassan dan Keenan Nasution.Ini merupakan salah satu konser terbaik God Bless.Sayangnya setelah duet drum tersebut,Fuad Hassan mengalami kecelakaan lalu lintas di Pancoran.Posisi Fuad yang ayah Alba Fuad itu lalu digantikan oleh Keenan Nasution.

Di tahun 1978 Keenan Nasution menggelar konser tunggal “Negeriku Cintaku” di Teater Terbuka TIM yang juga menampilkan duet drum antara Keenan Nasution dan Fariz RM.Duet drum ini berlanjut pada Badai Band.Badai Band yang dihuni almarhum Chrisye,Yockie Suryo Prayogo,Roni Harahap dan Oding Nasution ini mungkin adalah band yang paling konsisten menampilkan duet drum.Yaya Moektiopun pernah mendukung formasi Badai Band  .

Duet drum Keenan Nasution dan Fariz RM di Taman Ismail Marzuki November 1978

Konsistensi Alice Cooper

Posted: Oktober 9, 2011 in Tinjau Acara

Orianthi (gitar),Alice Cooper,Chuck Garrick (bass),Glen Sobel (drums)
Membuka konser dengan lagu “The Black Widow”
Alice Cooper bersama gitaris Tommy Herikson di lagu “I’m Eighteen”
Alice Cooper menyiksa boneka wanita pirang di panggung