Archive for the ‘Tinjau Acara’ Category

Pada tanggal 16 April 2013 saya diundang pihak TV One untuk jadi narasumber  dalam acara musik “Satu jam Lebih Dekat” di studio yang berada di kawasan Industri Pulogadung Jakarta..Ini bukan acara live melainkan taping.Ternyata sosok yang menjadi tamu di acara ini yaitu Amy Search,penyanyi rock Malaysia yang di sekitar pertengahan era 80an sangat populer di negeri ini lewat ballad rocknya Isabella.Ketika disebutkan nama Amy Search serta merta benak saya melakukan napak tilas seketika dan tepat berhenti di  tahun 1989 ketika hampir semua masyarakat Indonesia tiba-tiba memutar dan menyanyikan lagu Isabella dari album Fenomena milik band rock Malaysia Search yang dimotori Suhaimi Bin Abdulrahman dengan ciri khas suaranya yang melengking tinggi.

Kaset Search laku keras di Indonesia.Bahkan musik rock dengan cengkok Melayu ala Search ini justru jadi virus yang mewabah di Indonesia.Kelatahan mulai menjelma dalam industry musik di Indonesia.Ini hal yang lumrah,ketika sebuah karya merebak dan menggelegak menjadi hits yang fenomenal, maka para pemilik label rekaman di Indonesia pun rame rame antri untuk mengikuti jejaknya.Search sendiri seperti perambah hutan untuk lahan baru di negera tetangganya Indonesia.Karena usai Search mengharu biru pendengar Indonesia, mulailah muncul sederet band-band sejenis Search,ada Iklim,Wings dan entah apalagi.Kelatahan pihak perekam Indonesia mulai terlihat dengan munculnya nama nama seperti Deddy Dorres hingga Benny Panjaitan dari Panbers yang didapuk untuk membuat lagu-lagu yang setipe dengan band-band Malaysia itu.Bahkan tak cukup sampai disitu, kemudian muncul kesepakatan menduetkan Amy Search dengan penyanyi pop rock wanita Indonesia Inka Christie dalam lagu “Cinta Kita” yang termaktub dalam album Search.Amy Search pun bahkan dipasangkan dengan aktris Nia Dicky Zulkarnaen di layar lebar. Saat itu Amy Search kerap bolak-balik Jakarta – Kuala Lumpur.

Serbuan Malaysia ke Indonesia ini secara berkelakar saat itu kerap kita sebut Malaysian Invasion yang mengacu pada British Invasion.Namun dalam telaah yang saya lakukan,kedua Negara serumpun ini memang sejak era 60an hingga sekarang ini kerap terjadi saling pengaruh mempengaruhi dalam dunia musik.Penyebabnya ya  mungkin karena memang serumpun itu.Penyanyi populer pria Malaysia era akhir 50 hingga 60an Puteh Ramlee atau lebih dikenal dengan panggilan P.Ramlee adalah penyanyi yang banyak penggemarnya di Indonesia lewat lagu Anakku Zazali hingga Madu Tiga.Film film yang dibintangi P.Ramlee juga beredar dan diputar dibioskop-bioskop Indonesia saat itu.Lalu muncul tandingan dari Indonesia yaitu penyanyi Said Effendi yang menyanyi dengan cengkok Melayu yang cum laude.Tak heran jika Said Effendi seolah merupakan jawaban Indonesia atas invasi yang dilakukan Malaysia lewat tenggorokan emas P.Ramlee.Di Indonesia sendiri tak sedikit yang terkecoh menyangka Said Effendi adalah penyanyi dari negeri jiran Malaysia. Said Effendy pun juga memiliki banyak penggemar di Malaysia.Lalu terbetiklah kabar bahwa P.Ramlee itu sendiri sebetulnya berasal dari Indonesia, konon dia adalah keturunan Aceh.

Di tahun 1986 tercatat pula kehadiran penyanyi wanita Malaysia bernama Sheila Madjid.Musiknya agak berbeda, nyaris tanpa cengkok Melayu.Agaknya Sheila Madjid lebih banyak terpengaruh gaya R&B atau yang kerap diistilahkan sebagai Adult Contemporary Pop.Dalam pengakuannya Sheila banyak mengadopsi teknik dan gaya bernyanyi Vina Panduwinata.Jelas sudah atara Malaysia dan Indonesia ini memang terjadi semacam kekerabatan dalam musik yang terkadang dibumbui oleh ikhwal persaingan tentunya.Dan ini adalah sebuah kewajaran.

Di era 2000an, kembali banyak band Indonesia yang Berjaya di Malaysia semisal Sheila On 7 hingga Peterpan.Bahkan radio-radio di Malaysia lebih cenderung memutar lagu-lagu dari band Indonesia.Hal ini semakin memuncak ketika di tahun 2006 mulai merebak band-band Indonesia yang menyanyikan lagu-lagu pop dengan cengkok Melayu, sebut saja misalnya Kangen Band dan ST 12.Band yang disebut terakhir ini bahkan meremake lagu Isabella yang dulu dipopulerkan Amy bersama bandnya Search pada tahun 1989.

Amy Search di tahun 2008 secara lantang melakukan protes kepada pemerintah Malaysia agar mengurangi dominasi lagu-lagu dari band/penyanyi Indonesia di putar di radio-radio.Ini tentunya sebuan protes untuk meminta proteksi Pemerintah yang terasa aneh.Karena pada kenyataannya masyarakat Malaysia memang sangat menggandrungi lagu-lagu karya pemusik Indonesia.

Amy sendiri bahkan cukup dekat dengan para pemusik Indonesia.Selain berduet dengan Inka Christie, Amy sebetulnya adalah penggemar Gigi.Amy Search  bahkan pernah berkolaborasi dengan Gigi.Apa komentar Amy ? “  Saya tidak anti pemusik Indonesia.Tak ada masalah. Tapi masalahnya penguasa yang tidak menjaga kuota artis-artis Indonesia, sampai-sampai artis Malaysia, tidak mendapat show. Jadi kita cuma mita protection dari penguasa” tutur Amy Search.

Bagi saya ini masih dalam batas kelumrahan, karena pertikaian semacam ini sebetulnya telah terjadi sejak zaman dulu.

Dan saat tampil dalam Satu Jam Lebih Dekat dengan Amy Search di TVOne yang disiarkan pada 24 Mei 2013, Amy tak lagi mengungkit-ungkit hal yang diucapkannya pada tahun 2008.Amy lalu berduet dengan Inka Christie menyanyikan hits mereka dulu “Cinta Kita” bahkan berduet dengan Candil mantan vokalis Seurieus menyanyikan lagu “Never Say Goodbye” nya Bon Jovi.Keduanya kompak bernyanyi.Sama sama melengking.Tak ada persaingan yang terlihat.

 

Kekerabatan satu rumpun (Foto TVone)

Kekerabatan satu rumpun (Foto TVone)

Pesta Rakyat Robert Plant

Posted: Maret 25, 2013 in Liputan, Tinjau Acara
Tiket Timbre Rock and Roots 2013 (Foto Denny Sakrie)

Tiket Timbre Rock and Roots 2013 (Foto Denny Sakrie)

But the act that the 5,000-strong crowd was waiting for came up next – the 63-year-old lead singer of one of the most legendary bands on the planet, Robert Plant.

With his newest group in tow, The Sensational Space Shifters, a motley crew of collaborators from bands like Strange Sensation, Portishead and Jah Wobble, the old ‘witchdoctor’ is finally in Singapore to take us on a “questionably good time”.

                          Hey fellas have you heard the news ?

 

Robert Plant (65 tahun) menyapa sekitar 5000 penonton yang menjejali arena festival music Timbre Rock and Roots di Fort Canning Green Park  Singapore 21 maret 2013 lewat lagu Heartbreaker dari album Led Zeppelin II yang dirilis tahun 1969.Plant yang mengenakan kaos oblong abu abu masih memancarkan kharisma seorang god-rock.Rambutnya yang panjang keemasan menjuntai bagai surai singa yang gagah perkasa. Penampilan Robert Plant bersama bandnya bernama Sensational Space Shifter  dilatari backdrop bergambar wajah Robert Plant di sekitar tahun 1971 seperti mengingatkan kita di saat Led Zeppelin tengah merampas perhatian dunia pada era 70an.Kehadiran penonton malam itu memang ingin melepaskan kerinduan yang memuncak terhadap Led Zeppelin.Bagi Planty,sang singa tua, Singapore adalah negara yang tak mungkin dilupakan begitu saja.Negara yang dikenal dengan kesterilannnya ini pada paruh dasawarsa 70an pernah menolak kehadiran Led Zeppelin konser sebanyak dua kali karena alasan mereka memelihara rambut panjang.

Robert Plant saat akan tampil sebagai headliner di Timbre Rock and Roots 2013 ini bahkan masih diminta menyerahkan medical record  untuk mengetahui apakah Planty masih menggunakan narkoba.”Padahal saya hampir 35 tahun tak pernah menyentuh drugs lagi” ungkap Robert Plant di harian Straits Time Singapore. 

Festival tahunan Rock and Roots yang telah digelar empat kali ini diselenggarakan oleh Timbre Group Pte Ltd bersama Bluesfest Pty Ltd dan berlangsung selama dua hari 21 dan 22 Maret 2013.Selain Robert Plant,juga tampil Paulk Simon,Bonnie Raitt,Jimmy Cliff, Tedeschi Trucks Band, Rufus Wainwright dan Kara Grainger.

Penantian terhadap konser Led Zeppelin di Singapore setidaknya pupus dengan pemunculan Robert Plant yang malam itu banyak  menghadirkan repertoar Led Zeppelin meski dengan dimensi yang berbeda.8 dari 12 lagu yang dinyanyikan Robert Plant adalah dari katalog Led Zeppelin .Dari album Led Zeppelin II (1969)  ada Heartbreaker,Ramble On dan Whole Lotta Love . Dari album Led Zeppelin III (1970) ada “Friends” dan “Bron-Y-Aur Stomp” serta 3 lagu dari album Led Zeppelin IV (1971) yaitu Black Dog,Going To California dan Rock N’Roll.

Blues yang menjadi akar utama dari musik Led Zeppelin tak pernah terlewat sedikit pun oleh Robert Plant yang malam itu membawakan lagu “Spoonful” milik maestro blues Howlin Wolf .Plant juga  tak pernah melupakan Bukka White,pemusik blues yang digandrunginya saat remaja dulu dengan menulis lagu “Funny In My Mind” (I Believe I’m Fixin To Die) berdasarkan karya klasik Bukka White.Lagu yang direkam Plant pada album “Dreamland” (2002) dibawakan pula oleh Robert Plant malam itu dengan dilumuri atmosfer folk,psychedelic  dan world music, tiga genre musik yang dijadikan alas penataan musik Robert Plant bersama Sensational Space Shifter. 

Robert Plant yang banyak melakukan eksplorasi musik ke berbagai belahan dunia ini,juga menghadirkan dua komposisi Tin Pan Valley dan The Enchanter yang ditulisnya bersama Justin Adams,Skin Tyson dan John Baggot   dari album solonya “Mighty Rearranger” (2005)

Eksplorasi musik yang eklektik ini sebetulnya merupakan tradisi yang telah dilakukan Led Zeppelin pada era kejayaan mereka di tahun 1970an.Misalnya pola musik Timur Tengah yang terdengar pada komposisi lagu Kashmir pada album Physical Grafitti (1975) .

Robert Plant sendiri banyak terkesima dengan ragam musik yang berasal dari Timur.Umm Khultum,penyanyi wanita legendaries Mesir adalah inspirasi terbesar Robert Plant.Di tahun 1994 bersama gitaris  Jimmy Page, Robert Plant merilis album “Unledded” bersama sederet pemusik asal Marokko diantaranya poenyanyi wanita Najma Akhtar.     

Sosok Robert Plant bagai pengembara yang tak henti hentinya berkelana menyambangi pelbagai zona musik  Di tahun 2007 Robert Plant berkolaborasi dengan pemusik bluegrass Alisson Kraus pada album “Raising Sand”yang dianugerahi “Album Of The Year” pada Grammy Award ke 51 tahun 2008.

Semangat berkolaborasi dalam music  memang kerap ditunjukkan Robert Plant  dalam rekaman maupun pertunjukan.Ini pun terlihat jelas pada  saat Robert Plant tampil bersama kelompok Sensational Space Shifters kamis malam pekan lalu di Singapore. Konstruksi lagu-lagu Led Zeppelin bias berubah ke dalam berbagai dimensi dan nuansa yang tak pernah kita duga,semisal lagu Black Dog yang kental nuansa blues hingga Rock N’Roll yang menjadi encore justeru dimainkan dengan gaya rockabilly yang riuh.

Kelompok Space Sensational Shifter yang mengiringi Robert Plant terasa guyub dengan sosok Robert Plant yang tampaknya mengupayakan konsernya seperti sebuah pesta rakyat tanpa sekat antara penampil dan penonton.Pemusik Juldeh Camara mencuri perhatian dengan instrument Afrika Barat bernama Kologo yang mirip banjo. Juldeh Camara juga menggesek ritti sejenis biola Afrika dengan satu dawai.   Ragam instrument akustik ini bersenyawa dengan ambience elektronik yang keluar dari perangkat keyboard John Baggot, yang selama ini dikenal dalam beberapa proyek elektronik kelompok Massive Attack dan Portishead.

Robert Plant berhasil menghasilkan persenyawaan yang unik mulai dari lintas genre,lintas etnik hingga lintas era. Setidaknya dari musik,perbedaan mampu berbaur menjadi sebuah harmoni. Kisah kebrutalan para anggota  Led Zeppelin yang suka membuang televisi dari jendela hotel pada era lampau nyaris terlupakan saat melihat sajian musik Robert Plant yang membumi.

 

 

Bahkan lagu Rock N Roll yang dipopulerkan Led Zeppelin pada tahun 1972 dengan nuansa rock tegangan tinggi  itu kini seolah dikembalikan ke fitrahnya oleh Robert Plant sebagai lagu rock n roll dengan progresi 12 Bar Blues .

 

Let me get it back, baby, where I come from.
It’s been a long time, been a long time,

Denny Sakrie,Pengamat Musik

 

Musik Pisang Deep Purple

Posted: Januari 2, 2013 in Sosok, Tinjau Acara
Foto bareng Deep Purple usai interview di Lagoon Tower Hilton Hotel April 2004

Foto bareng Deep Purple usai interview di Lagoon Tower Hilton Hotel April 2004

Ian Gillan (tetap) karismatik

Ian Gillan (tetap) karismatik

Steve Morse

Steve Morse

Purple itu bagai seorang istri. Aku menikahinya pada 1969 dan cerai pada 1973, lalu rujuk lagi pada 1984, kemudian cerai lagi pada 1989. Pada 1992 aku nikah lagi. Sejak itu aku bersumpah tidak mau kawin cerai lagi, ” kata Ian Gillan bersumpah ketika merekam album The Battle Rages On , Desember 1992 di studio milik penyanyi  Peter Maffay , yang berada di Munich Jerman.

Ian Gillan, 59 tahun, vokalis Deep Purple memang membuktikan sumpahnya. Ia bertahan dengan Deep Purple. Grup dari Inggris yang tahun ini berusia 36 tahun-lewat formasi Mark VIII terdiri Ian Paice (drum), Roger Glover (bas), Steve Morse (gitar), dan Don Airey (kibor). Seperti halnya grup-grup rock legendaris yang tetap bertahan seperti Rolling Stones maupun Yes, Deep Purple pun tetap menghasilkan karya baru.

Bananas adalah album terakhir Purple yang dirilis pada 2003. Apakah album ini masih tetap konsisten dengan semangat hard rock Purple di puncak keemasannya pada 1970-an? Ada yang menyebut Bananas tak lebih dari upaya Deep Purple sebagai grup musik yang survival. Tapi juga, tak sedikit yang memuji Deep Purple berhasil mengetengahkan pelebaran wilayah bunyi. Tak lagi sekadar mempertahankan identitas genre hard rock yang telanjur menjadi cap mereka bertahun-tahun.

Musik Purple kini tak berlebihan jika diibaratkan dengan pisang. Manis rasanya, gampang dikunyah, dan biasanya menjadi bagian dari cuci mulut seusai menyantap makanan. Pisang pun bisa disajikan dalam bentuk pisang goreng, kolak pisang dan berbagai penganan lainnya. Siapa pun pasti menyukainya.

Tak heran bila di antara 2.000 penonton yang memadati Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Senin 12 April 2004 dalam konser Deep Purple Peace to The World, Bananas Tour yang diprakarsai Original Productions, tak hanya terdiri dari penggemar Deep Purple yang telah mengelu-elukan grup kesayangannya sejak 1970-an. Melainkan juga dari generasi sekarang yang dibesarkan kultur MTV.

Seorang remaja murid SMP, Michael Adrian, 15 tahun, ditemani sang ayah menyusup ke tengah-tengah konferensi pers Deep Purple yang berlangsung di Libra Room Hilton Hotel, Minggu (11/4) malam. Michael yang memiliki gitar Ernie Ball Music Man dengan tanda tangan Steve Morse lalu menghampiri Steve dan menitipkan sepucuk surat yang antara lain berbunyi: “I like you very much Mr. Morse. I always play Deep Purple and your music. Your music brings advantage to me”.

Karismatik

Dan tepuk tangan membahana ketika Deep Purple membuka konser tepat pukul 20.30 WIB dengan panggung berlatar hutan penuh pohon pisang. Ian Gillan mengenakan setelan putih-putih tanpa mengenakan sepatu. Suaranya memang sudah tidak seprima dulu. Ia mengaku, jangkauan vokalnya telah turun sebanyak 2 oktaf. Namun, tetap karismatik. Ia masih mencoba untuk menjerit, meski dengan lengkingan yang sangat hati-hati. Ini terlihat menyanyikan pembuka bertajuk Silver Tongue dari album Bananas:

Well, I’m Standing here on moving station All the world is traveling by to strange outlandish destination

Ya, meskipun usia rata-rata personel Deep Purple telah memasuki kepala 5, mereka tetap bersemangat melakukan tur ke seantero jagat. Menurut Ian Gillan dalam wawancara khusus Koran Tempo, Minggu (11/4) malam di salah satu kamar di lantai 11 Lagoon Tower Hilton Hotel, tur konser justru banyak mendatangkan ilham untuk penggarapan album-album Deep Purple.

“Contohnya ketika fotografer kami memotret orang yang tengah mengangkut pisang maupun yang menjual pisang. Itu hanya sebagian dari gagasan yang kami angkat ke dalam album,” kata Gillan.

Hadirin kurang bereaksi ketika Deep Purple malam itu banyak menghadirkan repertoar dari album Bananas seperti I Got Your Number, Picture Of Innocence, Bananas hingga satu-satunya lagu balada yang dihadirkan dalam konser Haunted yang beratmosfer Amerika. Ian Gillan pun merasakan sambutan yang dingin dari penonton. “Can I hear you ?” teriaknya sambil memegang telinganya.

Toh, penonton sebetulnya sangat menikmati kepiawaian Deep Purple dalam mengolah musik terutama penjelajahan wilayah bunyi yang dilakukan Don Airey dibalik tumpukan keyboards. Airey menampilkan keterampilannya mengaduk-aduk suara Hammond dengan dukungan perangkat Leslie speakers yang memiliki efek distorsi. Berbeda dengan gaya Jon Lord dulu. Airey lebih cenderung berkesan fusion. Mungkin karena dia pernah tergabung dalam kelompok Colloseum II, yang banyak mengadopsi idiom rock dan jazz.

Dalam salah satu permainan solonya, Airey mengingatkan kita akan salah satu karya fenomenalnya bersama Colloseum II, The Dark Side Of The Moog. Airey yang humoris itu bahkan menyelipkan karya klasik Wolfgang Amadeus Mozart Turkish March, music score film Star Wars (John Williams) dan St. Elmo’s Fire (David Foster). Juga memainkan lagu kebangsaan Indonesia Raya, hal yang pernah dilakukannya ketika Purple tampil di Jakarta Convention Center pada 30 April 2002.

Tingkat tinggi

 Lalu, solo gitar Steve Morse yang dinanti-nanti sebagian besar penonton. Berkumandanglah nomor instrumental dari Steve Morse, Well Dressed Guitar dan Contact Lost. Tak pelak lagi Morse adalah salah satu pahlawan gitar yang memiliki kemampuan tingkat tinggi. Rasanya Morse adalah salah satu nyawa dari eksistensi Deep Purple. Morse banyak memberi nuansa baru dalam grup yang telah 36 tahun malang melintang di dunia musik rock.Seperti halnya konser Deep Purple yang digelar 2 tahun silam. Aplaus meriah dari penonton tetap bertumpu pada repertoar old school seperti Woman From Tokyo, Strange Kind Of Woman, Highway Star, Lazy, Smoke On The Water, Space Truckin”. Termasuk dari album comeback mereka pada 1984, Perfect Strangers, yaitu Knocking At Your Back Door maupun lagu yang reff-nya berkesan musik Arab Perfect Strangers. Di lagu ini Ian Gillan bahkan melucu dengan meniru gerakan penari perut.Dari menu yang ditampilkan konser ini, jelas terbaca Deep Purple banyak menampilkan lagu-lagu yang disesuaikan dengan kondisi vokal Ian Gillan. Tak heran bila lagu-lagu bertaraf sakral seperti Child In Time tidak muncul. Gillan pun melakukan trik jitu, yaitu pada saat mendaki nada-nada tinggi, vokalnya senantiasa ditempel oleh lengkingan gitar dari Steve Morse.
Ketika Koran Tempo melakukan wawancara khusus dengan seluruh personel Deep Purple di Hilton Hotel, mereka berniat ingin membuat sebuah album live dari konser yang digelar hari ini Rabu 14 April di Lotus Pond, Bali. “Jika hasil rekaman tersebut bagus dan layak, maka kami pasti akan merilis dalam bentuk album live,” ungkap Ian Paice, sang penggebuk drum yang diiyakan oleh Roger Glover, pencabik bass yang tak pernah lepas dengan bandananya. Tepat 22.00 WIB Deep Purple menyudahi penampilannya lewat Smoke On The Water, lagu yang termasuk dalam deretan lagu rock dengan riff-riff melegenda di dunia. Permintaan penonton untuk sebuah lagu pungkasan dipenuhi Purple dengan menyajikan Black Night. Sebuah masterpiece dari album In Rock (1970).Malam itu Purple kembali membuat kesan mendalam penggemarnya. Meskipun tidak seheboh ketika Deep Purple tampil pertama kali di Stadion Senayan Jakarta pada tanggal 4 dan 5  Desember 1975. Rasanya mereka menyadari kalau waktu telah merenggut banyak hal : usia dan kejayaan. Yang muncul sisa-sisa keperkasaan mereka.
Pemusik baru telah siap menggantikan. Seperti yang tersirat dalam lagu Bananas :
Some will rise and some will fall

Some will come to nothing at all

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo 14 April 2004

God Bless tampil di konser The Legend (foto Adib Hidayat)

9 kelompok musik yang pernah menuai kejayaan di era 70an,di era rezim Soeharto juga tengah berada di puncak kejayaan, tampil dalam konser bertajuk “The Legend”.Penggagas acara musik beratmosfer nostalgia ini adalah Metro TV yang memiliki acara mingguan “Zona Memori”.”The Legend” ini kami gelar untuk memperingati HUT Zona Memori” ungkap Agus Mulyadi dari Metro TV.
Sekitar 4000 penonton yang memadati Tennis Indoor tiada henti-hentinya mengaplause band-band favorit mereka masing-masing mulai dari Koes Plus,Panbers,Bimbo ,The Rollies,Favorite’s Group,D’Lloyd,Usman Bersaudara,Orkes Moral Pancaran Sinar Petromak hingga God Bless.
Kesembilan grup musik ini memang meniti karir pada saat rezim Orde Baru mulai berkuasa di negeri ini.Bimbo dan The Rollies terbentuk tahun 1967.Koes Plus dan D’Lloyd terbentuk di tahun 1969,Panbers di tahun 1971,Favorite’s Group di tahun 1972,God Bless di tahun 1973 dan Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks di tahun 1978.Usia mereka rata-rata memasuki kepala enam dan tujuh.Achmad Albar yang berusia 65 tahun masih memperlihatkan stamina menggaungkan musik rock.Yon Koeswoyo bahkan tetap memperlihatkan kestabilan vokal di usia yang ke 70.”Saat mereka ngeband dulu,kami ini masih ABG” tutur Omen dari OM PSP.
Walaupun usia telah memasuki senja,bahkan beberapa band personilnya sudah tidak utuh lagi karena ada yang telah berpulang,namun semangat bermusik mereka sangat tinggi.Mereka terlihat sangat passionate.Benny Panjaitan vokalis dan leader Panbers yang duduk di kursi roda pasca stroke seolah tak menganggap handicap itu penghalang untuk bermain music di hadapan para penggemarnya yang fanatic.Suara Benny melengking tinggi membawakan “Akhir Cinta”,hits pertama mereka di tahun 1972 termasuk lagu “Indonesia My Lovely Country” yang mengambil pattern ritme Tapanuli itu.Sekedar mengingatkan bahwa Panbers adalah salah satu band yang masuk dalam kompilasi “Those Shocking Shaking Days”,album yang berisikan lagu-lagu Indonesia era 70-an oleh label indie di Kanada.Di album itu lagu Panbers “Haai” bahkan disebut-sebut sebagai lagu bernuansa rock yang kental.Henry Rollin bahkan memuji Panbers.

Benny Panjaitan diatas kursi roda (Foto:Dudut SP)
Passionate bermusik itu pun diperlihatkan Favorite’s Group yang telah kehilangan dua tokoh utamanya yaitu A.Riyanto dan Is Haryanto.Dengan dua vokalis Mus Mulyadi dan Mamiek Slamet,Favorite’s Group juga berupaya tampil prima dengan hits seperti “Mawar Berduri” dan “Rek Ayo Rek”.Dengan kondisi mata yang tuna netra,Mus Mulyadi terlihat sangat bersemangat membawakan lagu-lagunya.Sebuah pemandangan yang mengharukan.Bahwa semangat bermusik bisa mengalahkan kendala apa saja.Ini bisa menjadi teladan bagi anak-anak band sekarang.
Kelanggengan usia band yang telah melewati tiga dasawarsa ini juga merupakan pelajaran bagus untuk pemusik atau anak band sekarang yang rentan bubar dan sebagainya.
The Rollies walaupun telah kehilangan sederet personil kuatnya seperti Iwan Krisnawan,Deddy Stanzah,Bonnie Nurdaya,Delly Djoko dan Bangun Sugito tapi mereka tetap gigih mempertahankan formasi bandnya.”The Rollies sudah masuk dalam formasi kelima” ucap Benny Likumahuwa yang bergabung dengan The Rollies tahun 1969.
Malam itu The Rollies mempersembahkan lagu-lagunya untuk ketiga vokalisnya yang telah almarhum seperti “Burung Kecil”,”Kau Yang Kusayang” dan “Hanya Bila haus Di Padang Tandus”.The Rollies pun menyanyikan lagu milik kelompok Love Affair “Gone Are The Song Of Yesterday” yang diambil dari album debut mereka pada label PopSound Singapore di tahun 1969.

The Rollies dibelakang panggung (Foto Denny Sakrie)
Bimbo dan Usman Bersaudara mungkin adalah kelompok musik yang beruntung.Kenapa ? Karena kedua grup ini formasinya masih utuh.Bimbo masih ada Sam,Acil,Jaka dan Iin Parlina.Usman Bersaudara masih ada Usman,Sofyan,Said dan Mamo.”Syukur Alhamdulillah kami masih diberi kesempatan olehNya untuk bermain musik bersama “ ungkap Sam dengan mata berkaca kaca dibelakang panggung.
Bimbo membawakan sederet hitsnya di era 70-an mulai dari Adinda,Antara Kabul dan Beirut hingga Tante Sun yang sempat dicekal pada paruh era 70-an karena dianggap menyindir isteri pejabat.
Di era rezim Soeharto memang tercatat cukup banyak lagu lagu yang dicekal karena dianggap menyindir atau sarat dengan kritik sosial.Lagu “Hidup Di Bui” milik D’Lloyd pun termasuk yang pernah dicekal karena dianggap menggambarkan keadaan yang tak benar mengenai Lembaga Pemasyarakatan.”Saat itu saya harus merevisi ulang liriknya.Bahkan untuk lebih safety lagi,saya kemudian rela tidak mencantumkan nama saya sebagai komposer.Di kaset lagu itu tercantum sebagai karya NN” jelas Bartje Van Houten,gitaris,komposer dan leader dari D’Lloyd.
Kritik sosial dalam lirik lagu memang menjadi hal yang tabu dalam konsep penulisan lirik di negeri di saat Orde Baru berkuasa.”Kami sendiri akhirnya mengkritik diri kami sendiri sebagai mahasiswa saat itu lewat lagu “Gaya Mahasiswa” ujar Ade Anwar dari OM Pancaran Sinar Petromaks.Lebih jauh Ade Anwar mengatakan bahwa terbentuknya OM PSP itu sendiri adalah bentuk kritik beberapa mahasiswa UI atas diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang saat itu melarang mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan politik di kampus.”Kami lalu bikin orkes dangdut ha ha ha” tambah Omen berderai tawa.
God Bless pun adalah band rock yang juga senantiasa menyusupkan lirik lirik lagu bertema kritik sosial.Misalnya tentang Kusni Kasdut dalam lagu “Selamat Pagi Indonesia”.Namun God Bless dengan pola penulisan lirik yang lebih terjaga pada akhirnya memang luput dari pembreidelan pemerintah.Dalam konser The Legend,God Bless yang terdiri atas Achmad Albar (vokal),Donny Fattah (bass),Ian Antono (gitar),Abadi Soesman (keyboard) dan Yaya Moektio membawakan sederet hits di era 70an dan 80an seperti Panggung Sandiwara,Bla Bla Bla,Menjilat Matahari,Syair Kehidupan,Bis Kota,Kehidupan dan Semut Hitam.

Yok Koeswoyo nyanyi tanpa bass (Foto Dudut SP)
Puncak The Legend menampilkan Koes Plus dengan dua anggota yang tersisa duo kakak beradik Yon dan Yok Koeswoyo.Secara historis mereka memulainya dengan nama Koes Bersaudara dengan mengetengahkan harmoni vokal duo Yon dan Yok yang terisnpirasi dari duo bersaudara The Everly Brothers dan The Kalin Twin.”Saya dan Yon itu tepatnya mirip Nakula Sadewa ha ha ha tokoh kembar dalam pewayangan.Dan Alhamdulillah kita berdua masih diberi kesempatan untuk nyanyi bareng di hadapan masyarakat” pungkas Yok Koeswoyo,adik dari Yon Koeswoyo.
The Legend memang tak sekadar romantika nostalgia belaka,tapi merupaka ajang napak tilas yang bisa merekat missing link antar generasi musik di negeri ini.Beberapa artis sekarang yang ikut tampil bersama the Legend seperti Andien,Saykoji,Rio Febrian,Piyu,Fadly atau Anji setidaknya bisa memetik banyak hikmah di acara The Legend ini.

Konsistensi Alice Cooper

Posted: Oktober 9, 2011 in Tinjau Acara

Orianthi (gitar),Alice Cooper,Chuck Garrick (bass),Glen Sobel (drums)
Membuka konser dengan lagu “The Black Widow”
Alice Cooper bersama gitaris Tommy Herikson di lagu “I’m Eighteen”
Alice Cooper menyiksa boneka wanita pirang di panggung