Kaset Guruh Gipsy dijajakan disebuah blog
Lukisan Guruh Gipsy karya Ayik Soegeng
Singkirkan cadar ragu
Singsingkan fajar baru
Mari kita bersatu
Di dalam setiap nafasmu
(“Geger Gelgel” Guruh Soekarno Putera 1975)
Sepulang dari lawatan musik di New York Amerika Serikat antara tahun 1973-1974 , dua bersaudara Keenan Nasution dan Gauri Nasution mulai banyak berhubungan dengan Guruh Soekarno Putera.
Gauri Nasution dan Guruh Soekarno Putera sebetulnya merupakan dua sahabat lama.Mereka berdua merupakan teman sekelas saat sama sama bersekolah di Yayasan Perguruan Cikini Jakarta Pusat
”Guruh memang memiliki visi berkesenian yang tinggi.Dia menguasai tari,musik dan juga teater barangkali ” puji Gauri Nasution yang kini menekuni profesi sebagai perancang grafis .Mereka yaitu Guruh,Gauri dan Keenan Nasution ternyata tengah kasak kusuk melakukan rencana proyek musik yang beratmosfer eksperimental.
Guruh Soekarno Putera yang baru saja tiba dari Belanda setelah berinisiatif tidak melanjutkan kuliahnya disana,didera gelisah ingin menampilkan sebuah proyek musik yang menampilkan musik tradisional Indonesia yang bersanding dengan musik Barat.
“Saya memang terobsesi ingin melakukan semacam percampuran budaya ini.Saya pernah mendengar Debussy memasukkan gamelan atau pun orang Kanada Collin Mc Phee yang juga bereksperimen dengan gamelan” tutur Guruh Soekarno Putera di kediamannya di Jalan Sriwijaya 26 Jakarta Selatan.
Terkadang kita memang seolah terlambat berkreasi dibanding pemusik Barat.Collin McPhee di tahun 1937 telah menghasilkan karya “Tabuh-tabuhan” yang menggabungkan perangai musik tradisional Bali dengan musik Klasik Barat.
Guruh sendiri selama dua tahun sempat belajar arkeologi pada Universiteit Van Amsterdaam Belanda. Tapi entah kenapa justeru semangatnya berkesenian justeru kian semakin membuncah dan kian menggelegak.Bahkan dipicu pula dengan semangat nasionalisme yang tinggi yang meletup-letup .Di mata Guruh,mungkin dia hanya melihat warna merah dan putih.Dwiwarna inilah yang menyelubungi jiwa seninya.
Di Belanda,Guruh SoekarnoPutera pernah bersua dengan Pandji, Direktur Konservatorium Bali yang kebetulan tengah menimba ilmu pula. Atas gagasan Pandji, Guruh Soekarno Putera pun menampilkan kemampuannya menabuh gamelan dan menari.Selanjutnya kelangsungan komunitas penabuh gamelan Bali yang dibentuk Pandji diserahkan pada Guruh Soekarno Putera.
Guruh memang telah terbiasa dengan kebudayaan Bali.Ketika masih bersekolah di Perguruan Cikini,Guruh pun telah mempelajari kesenian Bali secaratekun dan seksama pada I Made Gerindem di Ubud Bali.
Bagi Gauri Nasution dan Keenan Nasution seni musik Bali bukanlah sesuatu yang asing lagi.
Pada tahun 1966-1968 bersama Sabda Nada mereka sudah terbiasa bereksperimen menggabungkan musik Barat dengan gamelan Bali yang di arahkan oleh I Wayan Suparta.
Hal serupa pun mereka lakukan ketika Gipsy tampil di Restauran Ramayana New York pada tahun 1973.
Lalu di tahun 1974 setelah mundur dari formasi God Bless,Keenan Nasution (drums,vokal) mengajak Oding Nasution (gitar),Debby Nasution (bass),Abadi Soesman (synthesizers) dan Roni Harahap (piano,keyboards) untuk membentuk kembali formasi Gipsy yang sudah tidak aktif manggung dengan bereksperimen memadukan musik rock dan gamelan Bali yang dimainkan oleh kelompok yang dipimpin Syaukat Suryasubrata.
“Saya masih ingat saat itu kita bereksperimen membawakan “Topograpic Oceans” nya kelompok Yes tapi pada beberapa segmen justeru dimainkan dengan membaurkan musik gamelan Bali” cerita Abadi Soesman.
Pertemuan antara Keenan Nasution dan Guruh Soekarno Putera akhirnya membuahkan kesepakatan untuk membuat sebuah eksperimen musik bertajuk Bali Rock.
Keenan Nasution dan Guruh pun akhirnya memulai proyek ini dengan menghubungi Pontjo Sutowo sebagai penyandang dana.Pontjo bersedia membantu proyek ini.”Untuk musik saya memang selalu bersedia membantu,meskipun proyek musik idealis semacam ini membutuhkan biaya banyak dan siap merugi” ungkap Pontjo Sutowo yang ditemui di kantornya di Sultan Hotel Jakarta.
Memasuki bulan Juli 1975 rekaman yang kemudian diberi nama Guruh Gipsy mulai dilakukan di Laboratorium Pengembangan dan Penelitian Audio Visual Tri Angkasa,sebuah studio rekaman dengan fasilitas kanal 16 track pertama di Indonesia yang berada di kawasan Jalan Hang Tuah Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Penggarapan album ini cukup panjang dan berakhir pada November 1976. Menurut Guruh penggarapan album ini sesungguhnya hanya menggunakan jadwal studio sebanyak 52 hari. Ada pun kurun waktu sekitar 16 bulan itu termasuk dihabiskan untuk mengumpulkan biaya dari para donatur (selain dari Pontjo),latihan dan menulis materi lagu hingga menunggu jadwal studio kosong ketika Tri Angkasa digunakan oleh pihak lain .
Proyek ini betul-betul menguras energi dan stamina. Gipsy yang terdiri dari Keenan,Roni,Abadi,Chrisye dan Oding tidak tampil sendirian.Sederet pemusik lainnya mendukung performa mereka di bilik rekam yang sesak dan sempit itu .Ada Trisutji Kamal,pianis yang juga ikut membuat arransemen.Kelompok Saraswati Bali yang dipimpin I Gusti Kompyang Raka, juga ada paduan suara Rugun Hutauruk dan Bornok Hutauruk serta sederet chamber music yang terdiri atas Fauzan,Suryati Supilin,Seno pada biola.Sudarmadi pada cello,Amir Katamsi pada kontra bas,Suparlan pada flute serta Yudianto pada oboe dan clarinet.
Rekaman Guruh Gipsy fase pertama berlangsung dari Juli 1975 hingga Februari 1976 dan berhasil menyelesaikan sebanyak 4 buah komposisi yaitu Geger Gelgel,Barong Gundah,Chopin Larung dan sebuah komposisi yang belum diberi judul tapi kemudian tidak jadi dimasukkan dalam album.Karena dianggap kurang layak dimasukkan ke dalam album Guruh Gipsy.
Lalu rekaman Guruh Gipsy fase 2 berlangsung dari Mei hingga Juni 1976 yang menghasilkan 3 lagu masing masing Djanger 1897 Saka,Indonesia Maharddhika dan Smaradhana.
Pada fase ini ada 3 komposisi yang direkam lagi dan disempurnakan yaitu Barong Gundah,Chopin Larung dan Geger Gelgel.
Menurut peñata rekamannya Alex Kumara , bahwa dalam proses perekaman “Indonesia Maharddhika” dan “Geger Gelgel” termasuk sulit penggarapannya secara teknis,karena begitu banyak bunyi-bunyian yang harus direkam serta jumlah pemainnya yang mencapai 25 orang hingga studio berukuran 50 meter persegi terasa begitu sesak dan pengap.
Namun,kendala ini tak membuat satu pendukung pun yang menyerah.Mereka bagaikan pejuang yang tengah berjuang di medan laga.
Penempatan microphone pun harus tepat di tengah sesaknya studio Tri Angkasa.
Lagu “Indonesia Maharddhika”misalnya membutuhkan proses dubbing berupa pengisian suara gitar elektrik ,keyboard,piano elektrik dan synthesizers sebanyak 200 kali.Sesuatu yang pasti tak akan ditemui pada proses perekaman di zaman sekarang yang telah didukung teknologi mutakhir.
“Beruntunglah pemusik sekarang yang tertolong oleh kemudahan teknologi.Dulu saat harus mengadopsi banyak bunyi-bunyian keyboard dalam berbagai layer harus melakukan overdub ratusan kali”jelas Abadi Soesman yang terampil memainkan miniMoog synthesizers.
Keenan Nasution dan Chrisye menjadi vokalis utama dalam Guruh Gipsy.Keenan membawakan Indonesia Maharddhika dan Geger Gelgel.Chrisye menyanyikan Chopin Larung dan Smaradhana.Sementara pada lagu “Djanger1897 Saka” dinyanyikan secara bergantian oleh Keenan dan Chrisye.
Album Guruh Gipsy ini lalu dilepas ke masyarakat dan dijual seharga Rp 1.750 yang disertai semacam scrap book yang dimaksudkan untuk bertutur perihal ikhwal asal-usul lagu dan proses kreatif yang menyertai penggarapan Guruh Gipsy.
Sampul album Guruh Gipsy berlatar warna coklat tua dengan tagline : kesepakatan dalam kepekatan.Maksudnya album ini merupakan sebuah karya yang dihasilkan dari sebuah kesepakatan di dalam masa yang penuh kepekatan.
Lirik lagu seperti “Geger Gelgel” sebetulnya adalah bentuk keprihatinan Guruh sebagai penafsir lirik terhadap keadaan negeri tercinta ini.Simaklah liriknya ini :
Dulu di Gelgel pernah geger
namun tak segeger hatiku
Hasrat hati ingin membeber
segala peri-laku palsu
Degup jantung irama Batel
bagai derap pasukan Gelgel
Menentang penjajah angkara
penindas hak dasar manusia
Wahai kawan nyalangkan matamu
Simaklah dalam babad moyangmu
Di Gelgel pernah geger
semangat suci luber
Kepasuan tersebar
Orang batil tercecer-cecer
Geger Gelgel – Gelgel geger, di Gelgel geger
Hatta nasib rakyat jelata
yang bukan ahli berbicara
Tapi hatinya bersuara
menuntut hak alam merdeka
Kaum sudra dipermainkan
oleh muliawan gadungan
Hati tercekam suasana
ngeri waswas meraja-lela
Wahai kawan jangan engkau lengah
Ketidakadilan harus musnah
Singkirkan cadar ragu
singsingkan fajar baru
Mari kita bersatu
du dalam setiap nafasmu
Menyingkap dan menelanjangi adegan palsu
membahas sangkakala
menyibak mega raya
Menyongsong bahagia
moga sirna duka derita
janji Sang Hyang Maheswara niscaya ‘kan nyata
Demikian juga lagu “Chopin Larung” dan “Djanger 1897 Saka” yang menyitir tentang kontaminasi budaya yang terjadi di kantung kantung budaya Indonesia seperti di Bali.Simaklah lirik “Djanger 1897 Saka” dibawah ini :
Dulu memahat buat menghias pura (-puri)
dulu menari dengan sepenuh hati
Sekarang memahat untuk pelancong mancanegari
Sekarang menari turut cita turis luar negeri
Tari Legong jaman masyhurnya di Saba (-Kedaton)
dipersingkat demi selera penonton
Wingit barong dan tari keris sering sekedar tontonan turis
kekhusukan upacara melins sering terganggu jepret lampu blitz.
Onde-onde dari Cisalak, berkonde Jawa rambut disasak
Ondenya masakan Semarang, konde sasakan mode sekarang
Art shop megah berleret memagar sawah ( Cak he he )
Cottage mewah berjajar dipantai indah
Karya – cipta nan elok – indah ditantang alam modernisasi
Permai alam mulai punah karena gersang rasa mandiri
Boleh saja bersikap selalu ramah (-tamah)
bukanlah berarti bangsa kita murah
Kalau kawan tak hati-hati bisa punah budaya asli
Kalau punah budaya asli harga diri tak ada lagi
(harga diri tak ada lagi maka tak dapat berbangga hati)
Selain itu ,pada sampul Guruh Gipsy tertera kaligrafi Dasabayu, yang terdiri atas 10 aksara Bali dengan arti tertentu yaitu I-A (kejadian, keadaan), A-Ka-Sa (kesendirian,, kekosongan), Ma-Ra (baru), La-Wa (kebenaran), dan Ya-Ung (sejati).
Menurut Guruh Soekarno Putera,himpunan dari kesepuluh aksara itu pada zaman dahulun kala di Bali memberikan semacam mukjizat bagi yang mempercayainya. Secara keseluruhan aksara-aksara itu bermakna bahwa dengan keadaan yang kosong barulah akan timbul kebenaran yang sejati.
Menariknya lagi,Guruh yang terpengaruh Ronggowarsito mengabadikan nama-nama personil Guruh Gipsy dalam barisan lirik lagu “Indonesia Maharddhika” :
Om awignam mastu
DING Aryan ring sasi karo
ROhini kanta padem
NIshite redite pratama
KIlat sapte tusteng padem
NANte wira megawi plambang
Aku dengar deru jiwa
BA dai badai mahaghora
DI Nusantara Raya
Cerah gilang gemilang
Harapan masa dating
Rukun damaimulia
Indonesia tercinta
Selamatsejahtera
GUnung langit samudera
RUH semestamemuja
Rukun damai mulia
Indonesia tercinta
Menjelang akhir tahun 1976 album Guruh Gipsy dirilis ke pasaran.Tapi tak semua orang mengenal dan menyimak karya kolosal ini.Namun siapa sangka, tiga dasawarsa berselang ,album Guruh Gipsymenjadi album yang paling dicari-cari orang,Bukan hanya di Indonesia,melainkan juga di berbagai belahan dunia termasuk Amerika,Inggeris hingga Jepang.
Bahkan beberapa radio di Kanada,Swiss dan Belanda memutar Guruh Gipsysekaligus mengulasnya dalam apresiasi musik yang mendalam.Pada akhirnya Guruh Gipsy menjadi salah satu milestone perjalanan musik Indonesia.Tak berlebihan jika album ini diibaratkan album “Sgt Pepper’s Lonely Heart’s Club Band” nya The Beatles.Sebuah album yang membuat revolusi dalam musik pop.
Revolusi musik pop di Indonesia itu bermula pada album Guruh Gispy itu.
Scrapbook Guruh Gipsy yang artistik
(Tulisan ini merupakan nukilan dari buku yang saya tulis tentang kiprah musik “Anak Anak Pegangsaan” yang siap terbit)