Arsip untuk Januari, 2011

Membedah Warkop Prambors

Posted: Januari 31, 2011 in Film, Tinjau Film

Ternyata nonton bareng a.k.a Nobar sambil berdiskusi film layar lebar merupakan ritual yang mengasyikkan dan menggairahkan.Setidaknya itu yang terlihat pada saat bicarafilm.com menggelar acara nobar dan diskusi film Warkop Prambors jumat malam 28 Januari 2011 di Black Studio milik Zeke Khaseli yang berada di Panglima Polim III/136 Jakarta Selatan.

Pas maghrib usai,sekitar jam 18.45 penonton yang datang,yang bergerombol sejak petang mulai perlahan memasuki hall kecil Black Studio.Sebagian besar memang terdiri dari kaum belia.Masih muda.Mungkin saat film-film Warkop itu booming mereka masih belum bisa bicara lancar.Atau malah ada yang belum lahir saat film-film Warkop merajai khazanah bioskop Indonesia yang terpentang antara tahun 1979 hingga 1995.

Tadinya film yang telah dipilih panitia untuk diputar adalah film bertajuk “Jodoh Bisa Diatur” karya sutradara Ami Priyono.Tapi karena kondisi disc filmnya mengalami ganggguan ,akhirnya film Warkop Prambors yang jadi diputar malam itu adalah “Dongkrak Antik” karya A.Rizal.

Usai film diputar,acara pun berlanjut dengan diskusi yang dipandu Edwin dan Edwin dari bicarafilm.com.Pembicaranya adalah Indro Warkop.Lalu ada sutradara muda Affandi AR yang pernah membesut “Heartbreak.com” .Juga ada Hana Kasino,puteri almarhum Kasino Warkop

Affandi AR,Indro Warkop ,Denny Sakrie dan Eddy Suhardy

Hana Kasino,puteri almarhum Kasino ikut ngobrol juga

Adegan film “Dongkrak Antik”

serta dua penulis buku Warkop “Main Main Jadi Bukan Main” yaitu Eddy Suhardy dan saya sendiri.

Suasana diskusi malam itu memang jadi meriah.Karena Indro Warkop memang tangkas bertutur disertai susupan lelucon segar.Ini yang membuat diskusi ini tanpa terasa berakhir tepat di jam 24.00 WIB.

Warkop sendiri menurut Indro tampil berbeda dalam format yang berbeda.”Di saat kami tampil di radio atau panggung,mungkin kita lebih kritis dengan sindiran-sindiran yang tajam.Karena audiens kita memang berasal dari kalangan menengah keatas.Ya mahasiswa gitu lah.Tapi ketika kami masuk ke dunia film.Warkop harus memenuhi segala macam status sosial.Maka jadilah Warkop tontonan untuk segala umur.Jadi tak heran bila slapstick akhirnya mau gak mau jadi pilihan” ungkap Indro Warkop.

Konsistensi dan loyalitas Warkop memang patut diacung jempol.Sisi ini pulalah yang banyak menuai pertanyaan dari para penonton.Bagaimanakah Warkop bisa bertahan selama itu ? Bahkan ketika Kasino dan Dono sempat tak bertegur sapa selama tiga tahun.Dengan segenap profesionalismenya Warkop tetap berjalan tegar.

Foto Foto : Yudhi Arfani dan Edwin

Dan Spidol Hitam Pun Menari

Posted: Januari 30, 2011 in Kisah, Sosok

 

 

 

George Duke menandatangani piringan hitam saya

George Duke terperangah. Musisi jazz itu seolah tak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Seorang pria menyodorkan album di awal kariernya. “Oh, boy, oh, boy?” katanya takjub. Duke meraih spidol hitam yang disodorkan kepadanya lalu menggoreskan tanda tangan di atas sampul piringan hitam album From Me to You. Dia menambahkan sebaris kalimat: “to Denny”.

(Foto Tempo)

(Foto Tempo)

Keruan saja Denny Sakrie, 43 tahun, pemilik piringan hitam itu, gembira tiada terkira. Hatinya jejingkrakan. Usaha penyiar radio jaringan Delta Female Indonesia ini tidaklah sia-sia. Setelah basa-basi sebentar, termasuk berucap thank you– piringan itu dimasukkan kembali ke dalam ranselnya. Selanjutnya, matanya langsung menyapu sejumlah musisi jazz top lainnya yang tengah keliaran di ajang Java Jazz, Maret lalu. Tujuannya sama, dia meminta tanda tangan.

Denny memang telah menyiapkan segalanya. Seperti yang kerap dilakukannya ketika musisi dunia datang ke Indonesia, sebuah ransel nemplok di punggungnya. Isinya adalah sampul piringan hitam milik musisi yang manggung di sini. “Piringannya sih aku tinggal di rumah. Aku bawa cover-nya saja,” katanya. Satu lagi yang tak boleh ketinggalan adalah sebatang spidol hitam.

Meski yang datang hanya seorang bintang, dia biasanya membawa lebih dari satu sampul album, dan tidak terbatas milik sang bintang. Semisal ketika Rick Wakeman, pemain keyboard Yes, datang ke Indonesia empat tahun lalu. Selain sampul album Yes dan proyek solonya, dia membawa album lain yang melibatkan Wakeman, seperti Sabbath Bloody Sabbath milik grup Black Sabbath dan beberapa album lain saat dia menjadi produser. “Dia senang banget gue tahu dia ikut dalam album itu dan langsung kasih tanda tangan,” katanya.

Denny Sakrie dan koleksi piringan hitam (Foto Fransiskus S/Tempo)

Denny Sakrie dan koleksi piringan hitam (Foto Fransiskus S/Tempo)

Kegemaran Denny berburu tanda tangan dimulai pada 1995. Bintang yang pertama kali menjadi korbannya adalah Phil Collins, yang manggung di bekas arena drive in Ancol, Jakarta Utara. Ketika itu Denny menyodorkan tiga buah sampul album Collins dalam bentuk compact disc. Sret, sret, spidol hitam itu pun menari.

Namun, pertemuannya dengan eks vokalis Genesis itu selanjutnya membuat dia menyesal. Denny baru sadar ternyata dalam rombongan pemain band yang dibawa Phil Collins itu terdapat nama-nama kondang lain, seperti Nathan East dan Ricky Lawson (penabuh drum The Yellowjackets). “Kalau ngeh mereka datang, gue pasti bawa album-album milik mereka juga,” ujarnya. Ketika itu dia memang hanya mengincar tanda tangan Phil Collins.

Sejak saat itu, memburu tanda tangan menjadi agenda penting tiap kali musisi dunia datang di negeri ini. Media yang dipakai untuk diteken sang bintang pun berubah. Dia memilih sampul piringan hitam. Alasannya, areanya lebih luas untuk ditandatangani ketimbang sampul CD yang sempit.

Perburuannya kini berbuah hasil. Lebih dari 50 musisi sempat menorehkan tanda tangan di album-album koleksinya. “Seorang musisi bisa menandatangani lebih dari satu album.”

Denny Sakrie (Foto Fransiskus S/Tempo)

Denny Sakrie (Foto Fransiskus S/Tempo)

Tanda tangan bukanlah sekadar coretan tangan atau penanda keabsahan. Lebih dari itu, seperti halnya buku yang diteken oleh penulisnya, tentu nilai album ini menjadi lebih. Harganya bisa berlipat-lipat. Begitu pula dengan album musik. Itu sebabnya, pemburu tanda tangan tak pernah kehabisan pelakunya. Tapi agaknya bukan itu tujuan Denny.

Sebenarnya Denny sudah memburu tanda tangan sejak masa kanak-kanak. Ketika itu tokoh buruannya adalah jagoan bulu tangkis negeri ini, seperti Rudy Hartono, Verawati Fadjrin, dan Ivana Lie. “Tapi Rano Karno juga gue mintain tanda tangan,” katanya sambil terbahak. Sayang, buku yang sempat diteken bintang-bintang itu kini raib entah ke mana. Padahal untuk mendapatkannya tidaklah mudah.

Rick Wakeman menandatangani cover album Journey

Berbeda dengan yang dialaminya saat ini. Denny banyak memiliki relasi di perusahaan promotor musik. Biasanya dia mendapat kesempatan untuk mewawancarai musisi dunia itu. Kalaupun tidak ada waktu khusus, dia biasanya menodong sang musisi ketika acara konferensi pers usai. “Langsung saja todong. Mereka tak keberatan, kok,” katanya.

Tapi tak selamanya itu berbuah hasil. Pernah suatu ketika, dia mendapat kabar soal kedatangan Ravi Shankar. Di benaknya langsung terbayang sosok pemain sitar India yang legendaris itu. Seperti biasa dia berkemas, mencari-cari koleksi albumnya. Namun, lama-lama dia tidak yakin juga. Setelah mengecek ke sana-sini, tak tahunya Shankar yang datang itu bukan si jagoan sitar. “Melainkan ahli yoga,” katanya terbahak.

Kali ini spidol hitam miliknya urung menari.

IRFAN BUDIMAN(Koran Tempo 20 Agustus 2006)

Kenapa Lagu Harus Dicekal ?

Posted: Januari 30, 2011 in Opini

Masih ingat kejadian di tahun 1977 ketika pihak pemerintah kita mengeluarkan pelarangan terhadap lagu “Rupiah” nya Oma Irama & Soneta.Kenapa dicekal ? Ini nih alasannya,Rupiah adalah mata uang resmi RI,jadi rupiah tak boleh dianggap sebagai ungkapan penyebab pertikaian ,perpecahan dan lain -lain.Dan ketika lagu iniakan ditampilkan di TVRI yang satu satunya itu ,kata kata rupiah dalam lirik lagu yang ditulis Kak Rhoma harus diganti dengan kata uang atau duit.Hua ha ha…….

TVRI masih dendam banget sama kak Rhoma,ketika lagu “Santai” mau ditayangkan di acara Mana Suka Siaran Niaga…..ada peraturan bahwa bunyi kendang harus dihilangkan.Maka buru burulah kak Rhoma mengganti bunyi gendang dengan snare drum dan tom-tom.Kenapa ?karena dangdut dianggap tak layak masuk TVRI.Hua ha ha

Di tahun 1976,giliran Bimbo kena getah.Lagu “Tante Sun” dicekal masuk TVRI karena menyinggung ibu-ibu pejabat (nah lho)…………………

Tante Sun oh Tante Sun Tante yang manis,tiap pagi giat berolahraga

Pergi bermain golf,hingga datangnya siang terus ke salon untuk mandi susu

Tante Sun oh Tante Sun,tante yang giat segala rapat dan berbagai arisan

Lantas di tahun 1978 lagu-lagu “Rayap Rayap”  milikMogi Darusman (lirik oleh Teguh Esha pun dibreidel.Kasetnya pun ditarik dari pasaran .Karena liriknya memang sangat “keras”.Coba simak :

Kau tau rayap-rayap makin banyak di mana-mana
Di balik baju resmi merongrong tiang negara
Kau tau babi-babi makin gemuk di negeri kita
Mereka dengan tenang memakan kota dan desa
Rayap-rayap yang ganas merayap
Berjas dasi dalam kantor makan minum darah rakyat

Lalu simaklah lagu Mogi Darusman lainnya “Aje Gile” yang liriknya juga digurat Teguh Esha :

Lu kan pegawai negeri kok rumah lu gede, mercy lu ada tiga

Aje gile, lu kire lu siape tampang bodo lagak lu sok jago

e, ape glle, lu sangke lu gaye gue tau kartu lu semuanye

Jangan lu betingke di depan mata gue

kalo lu berani jangan bawa nama babe kepale gile kagak lagi jamannye

aje gile cacing belagu buaye

Aje gile, proyek lu gede-gede

numpang nanya dekingan lu siape e,

aje gile, mendingan lu diem aje daripade bikin ngiler tetangge

Selain  dua lagu di atas masih ada lagu bertajuk Koruptor. Juga dikerjakan dengan baik, sehingga sindiran tidak hanya merupakan umpatan klise yang bikin mual. “Koruptor di dalam kantormu, sembunyi di balik bajumu, tiada seorangpun tau, aduh …. ,” kata Mogi membawakan lirik Teguh Esha. Kekuatan yang terasa dalam keseluruhan kaset ini merupakan hasil kombinasi semangat protes yang selama ini sudah dicoba-lontarkan oleh banyak musisi muda, tapi baru kali ini dibikin lancar dan musikal.

Tapi lagu  Aje Gile, Keresahan dan Laut Biru sempat ditayangkan  TVRI pada  tanggal 25 Oktober 1978. Setelah itu almarhum Mogi Darusman mendatangi lirikus  Teguh Esha meminta agar  mengubah lirik Aje Gile dan juga Rayap-rayap, karena  ternyata ke dua lagu tersebut lagu itu ditolak tampil  dalam acara Mana Suka Siaran Niaga kecuali apabila liriknya diganti. Teguh menolak. Dan akhirulkalam lagu Aje Gile tidak bisa masuk kaca TVRI lagi.

Pihak Naviri Record yang dimiliki Darmawan Susanto, menerangkan bahwa Mogi Darusman  memang sudah sempat tampil dalam acara musik  TVRI  membawakan Aje Gile, Keresahan dan Laut Biru. Namun tatkla ia mengusulkan Aje Gile dijadikan promo  dalam Mana Suka  Siaran Niaga, pihak TVRI punn menolak. Bagian Programa  TVRI  membenarkan — dan menyatakan mereka punya hak melakukan seleksi.

Dan diparuh 80-anHarmoko pun melarang lagu “Hati Yang Luka” karya Obbie Messakh yang didendangkan Betharia Sonata.Alasannya membuat generasimuda patah semangat.Wah…..wah masak orang gak boleh sedih sih pak ?.

Apa lacur kian dilarang,lagu ini kian berkibar saja.Dan di tahun 1993 kembali Betharia kena cekal lagi.Kini giliran lagu bertajuk Si Buyuang Kini Lah Gadang. Alasan TVRI, lagu berbahasa Minang itu dianggap tak mendidik, dan bisa menimbulkan citra negatif terhadap orang Minang. Lagu itu bercerita soal penderitaan seorang istri yang disia-siakan suaminya. ”Sejak buyung lahir hingga pintar mengaji, si ayah tak pernah pulang ke rumah,” begitu arti lagu tersebut. TVRI banyak menerima telepon dari warga Minang yang menyatakan keberatan. Namun, belum ada surat protes resmi. ”Daripada ribut, mendingan kita bikin yang aman-aman saja. Makanya, dalam rapat, pimpinan saya langsung memutuskan melarang lagu itu,” kata Hudiono Drajat, Kasi Perencanaan Musik dan Hiburan TVRI Pusat, Kamis lalu. ”Mungkin memang nasib saya dicekal TVRI terus,” komentar Betharia. Gadis asal Sunda ini mengaku cukup sedih karena ia sudah bekerja keras untuk memilih lagu dan mengatur warna musiknya. Album itu, katanya, sudah laku hampir 100.000 kopi. Jadi, secara bisnis, pemasaran tak terganggu. ”Sewaktu Hati Yang Luka dilarang, penjualannya malah makin laris, karena banyak orang yang penasaran,” katanya. Entah tentang Si Buyung ini (dikutip dari majalah Tempo 1 Mei 1993.

Tapi toh banyak lagu yang betul-betul bertendensi sebagai lagu protes,tapi lolos dari pencekalan.Satu diantaranya adalah lagu “Poor Clown” nya Koes Bersaudara yang ditulis almarhum Tonny Koeswoyo.Liriknya menyindir pemerintah rezim Orde Lama.Kenapa tak dicekal ? Mungkin karena pesan pesannya justeru dikemas dalam bahasa Inggeris :

Oh my poor clown
Poor clown poor clown
You are too shamed to show your face
*You may not ————
*With all your knowledge then you die
Oh my, oh my
Before your mind has glued you down
For she shall take and move your hand
To hide your word word word word
Until your kingdom comes to end
Oh my poor clown
Why don’t you know your money’s gone
Given the time, you’ve gotta go
It’s night for you, so do sit down
*Look down sometimes we’re to rest
Yeah my poor clown
Go clown go clown
The sun has dropped down from the west
I’ll tell you what you should delight
We’re free. Horizons are so bright

Lagu “Selamat Pagi Indonesia” nya God Bless (lirik ditulis oleh Theodore KS) juga tak pernah dikuatk katik pihak berwajib.Padahal lagu ini bertutur tentang detik-detik terakhir Kusni Kasdut,kriminal yang pernah berjuang untuk negaranya .

Langkahnya berderap dan pandangannya menatap ke depan

Dan kenapa lagu lagu itu harus dicekal ?

DENNY SAKRIE

Hong Wilaheng Gombloh…..

Posted: Januari 30, 2011 in Uncategorized

Patung Gombloh

“Biarpun bumi bergoncang,

kau tetap Indonesiaku
Andaikan matahari terbit dari barat,

kaupun tetap Indonesiaku

Tak sebilah pedang yang tajam dapat palingkan daku darimu
(Kebyar-Kebyar,1979)”

Lirik yang terasa menyelinap ke wilayah jingoisme ini nyaris seperempat abad berkumandang di saat persada tercinta merayakan Proklamasi Kemerdekaan di setiap Agustus. Bahkan, tanpa sadar lagu yang ditulis dan dipopulerkan Gombloh kini secara tak resmi berdampingan dengan Padamu Negeri (Kusbini), Berkibarlah Benderaku (Ibu Sud) atau Dari Sabang Sampai Merauke (R Surarjo) sebagai national anthem atau lagu-lagu wajib nasional.

Sesuatu yang mungkin tak terpikirkan Gombloh ketika menciptakan lagu ini dipertengahan era 70-an. Tetapi sebetulnya Kebyar-Kebyar bukanlah satu-satunya lagu karya cipta Gombloh yang bermotif nasionalisme.

Arkian, Gombloh yang lahir pada tanggal 14 Juli 1948 dengan nama Soedjarwoto Soemarsono, juga banyak menorehkan sederet lagu yang membangkitkan semangat nasionalisme. Simak saja Dewa Ruci (dari album Terimakasih Indonesiaku):

“Dan aku nyanyikan ‘Padamu Negeri’
Berbekal sala kaum sebangsa
Kau terjang aral-aral melanda
Blerbekal rasa cinta sesama
Kau tebar rasa cita manusia

Juga simaklah lagu Gugur Gugur Bunga (dari album “Berita Cuaca”) :

“Kau teriak merdeka, kala peluru melanda
Tersenyum engkau menyongsongnya
Tersenyum engkau dalam darah”

Atau simaklah tutur Gombloh bak orator dalam Gaung Mojokerto-Surabaya (dari album ‘Nadia dan Atmosphere’):

“Bumi rasa bergetar diseling yel-yel menghantar
Nadiku serasa bergeletar
Merdu pekik menggelegar
Senyumlah Surabaya”

Selain itu Gombloh masih menulis banyak lagu bertema cinta negeri mulai dari lagu bertajuk Indonesia Kami, Indonesiaku, Indonesiamu, Pesan Buat Negeriku, hingga BK lagu yang bertutur tentang sosok Bung Karno, sang proklamator.

Tapi Gombloh memang seolah trubadur komplit. Dia tak hanya memuja-muji tanah kelahiran, tak hanya menafsirkan pesan-pesan alam tapi juga memotret fenomena sosial kalangan working class bahkan mengedepankan kritik sosial yang tajam pula.

Betapa fasihnya Gombloh menuturkan sketsa kehidupan rakyat jelata sehari-hari memang terlihat dari deretan kata-kata yang dirangkainya dalam lagu-lagu ciptaannya seperti Doa Seorang Pelacur, Kilang-Kilang, Poligami Poligami, Nyanyi Anak Seorang Pencuri, Selamat Pagi Kotaku
Bahkan Martin Hatch seorang peneliti dari Cornell University mempelajari lagu – lagu dalam album Gombloh Berita Cuaca (1982) dan mengangkatnya dalam sebuah karya ilmiah bertajuk Social Criticsm In The Songs Of 1980’s Indonesian Pop Country Singers dan dipresentasikan dalam seminar musik The Society of Ethnomusicology yang berlangsung di Toronto Kanada pada 2 hingga 5 November 2000 silam.

Dalam makalahnya Martin Hatch meneliti kekuatan dan nilai lagu-lagu karya Gombloh dalam perspektif kehidupan sosial seperti Berita Cuaca, Hong Wilaheng Sekareng Bawono Langgeng, Denok-Denok Debleng, Ujung Kulon Baloran, 3600 Detik, Kebayan-Kebayan, Hitam Putih dan Kami dan Alam.

Memasuki era 80-an,Gombloh mulai menorehkan karya-karya yang berkonotasi humor seperti lagu Lepen (singkatan Lelucon Pendek) maupun Selopen (singkatan Seloroh Pendek) yang menghasilkan sebuah idiom yang begitu lekat di khalayak ramai: Kalau cinta melekat, tai kucing rasa coklat.

Disisi lain, Gombloh yang tercerabut dari budaya pop justru tak bergeming ketika harus menghasilkan lagu seperti Kugadaikan Cintaku yang berhasil terjual diatas jumlah 1 juta keping .

Di era inilah Gombloh seolah terjerembab pada karya-karya yang berorientasi ke pasar. Lalu bermunculanlah lagu-lagu seperti Apel, Hey Kamu, Percayalah Cintaku Tetap Hangat, Karena Iseng, Arjuna Cari Cinta, Konsumsi Cinta hingga Tari Kejang. Gombloh pun mulai menulis lagu-lagu bertema pop untuk penyanyi Tyas Drastiana hingga Vicky Vendi.

Tak sedikit yang menyayangkan sikap Gombloh dalam bermusik seperti ini. Gombloh seperti tak kuat lagi mempertahankan idealisme dalam berkarya. Walhasil Gombloh memang seolah terpilah pada dua kepribadian dalam karya-karya ciptanya, antara karya-karya idealis dan karya-karya yang bermuara di wilayah komersial. Mungkin ini adalah pilihan Gombloh yang pragmatis.

Dan ini sah-sah saja. Namun justru membaurnya Gombloh dengan tema populis membuat sosoknya semakin dikenal masyarakat luas. Kini siapa yang tak mengenal Gombloh ketika tampil di layar TVRI pada acara-acara musik seperti Aneka Ria Safari dan Selekta Pop dengan dandanan yang menjadi trademark: tubuh kerempeng bersepatu kets, pakai topi, rambut dikuncir, kacamata hitam dan setelan putih-putih.

Gombloh sang trubadur yang menghembuskan nafas terakhir pada 9 Januari 1988, tak lagi hanya didengar oleh kelompok tertentu saja. Ia telah menjadi milik masyarakat banyak.

Bahkan pada 20 Juni 2003 sekelompok pemusik Surabaya tergabung dalam Kelompok Pemusik Jalanan Surabaya yang mengunjungi makam Gombloh menobatkan Gombloh sebagai Pahlawan Pemusik Jalanan. Pada 2005 oleh PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia), Gombloh dianugerahkan penghargaan Nugraha Bhakti Musik atas jasa-jasanya untuk dunia musik di Indonesia.

Sayup-sayup suara Gombloh sang trubadur menggaung dari kaset lawas Nadia & Atmosphere yang telah berusia 28 tahun. Lagu bertajuk Silhoutte Kuda Jantan ini seperti menyibak jatidiri Gombloh yang sesungguhnya :

“Tak lekang hempasan zaman
Dan satu jalur pandang mataku
Idealisme kehidupan
Kemurnian yang kukuh tanpa ragu
yang menyengat harian karya”

DISKOGRAFI GOMBLOH
1.Nadia dan Atmosphere (Golden Hand,1978)
2.Mawar Desa (Golden Hand,1978)
3.Kadar Bangsaku (Golden Hand,1979)
4.Kebyar Kebyar (Golden Hand,1979)
5.Pesan Buat Negeriku (Golden Hand,1980)
6.Sekar Mayang (Golden Hand,1981)
7.Terimakasih Indonesiaku (Chandra Recording,1981)
9.Pesan Buat Kaum Belia (Chandra Recording,1982)
10.Berita Cuaca (Chandra Recording,1982)
11.Kami Anak Negeri Ini (Chandra Recording,1983)
12.Gila (Nirwana,1983)
13.1/2 Gila (Nirwana,1984)
14.Semakin Gila (Nirwana,1986)
15.Apel (Nirwana,1986)
16.Apa Itu Tidak Edan (Nirwana,1987)

Kaset Guruh Gipsy dijajakan disebuah blog

Lukisan Guruh Gipsy karya Ayik Soegeng

Singkirkan cadar ragu

Singsingkan fajar baru

Mari kita bersatu

Di dalam setiap nafasmu

(“Geger Gelgel” Guruh Soekarno Putera 1975)

 

 

Sepulang dari lawatan musik di  New York Amerika Serikat antara tahun 1973-1974 , dua bersaudara Keenan Nasution dan Gauri Nasution mulai banyak berhubungan dengan Guruh Soekarno Putera.

Gauri Nasution  dan Guruh Soekarno Putera sebetulnya merupakan dua sahabat lama.Mereka berdua merupakan  teman sekelas saat sama sama bersekolah di Yayasan Perguruan Cikini Jakarta Pusat

”Guruh memang memiliki visi berkesenian yang tinggi.Dia menguasai tari,musik dan juga teater barangkali ” puji Gauri Nasution yang kini menekuni profesi sebagai perancang grafis .Mereka yaitu  Guruh,Gauri dan Keenan Nasution  ternyata tengah kasak kusuk melakukan  rencana proyek musik yang beratmosfer eksperimental.

Guruh Soekarno Putera yang baru saja tiba dari Belanda setelah berinisiatif tidak melanjutkan kuliahnya disana,didera gelisah ingin menampilkan sebuah proyek musik yang  menampilkan musik tradisional Indonesia yang bersanding dengan musik Barat.

“Saya memang terobsesi ingin melakukan semacam percampuran budaya ini.Saya pernah mendengar Debussy memasukkan gamelan atau pun orang Kanada Collin Mc Phee yang juga bereksperimen dengan gamelan” tutur  Guruh Soekarno Putera di kediamannya di Jalan Sriwijaya 26 Jakarta Selatan.

Terkadang kita memang seolah terlambat berkreasi dibanding  pemusik Barat.Collin McPhee di tahun 1937 telah menghasilkan karya “Tabuh-tabuhan” yang menggabungkan perangai musik tradisional Bali dengan musik Klasik Barat.

Guruh sendiri selama dua tahun sempat belajar arkeologi pada Universiteit Van Amsterdaam Belanda. Tapi entah kenapa justeru semangatnya berkesenian justeru kian semakin membuncah dan kian menggelegak.Bahkan dipicu pula dengan semangat nasionalisme yang tinggi yang meletup-letup .Di mata Guruh,mungkin dia hanya melihat warna merah dan putih.Dwiwarna inilah yang menyelubungi jiwa seninya.

Di Belanda,Guruh SoekarnoPutera pernah bersua dengan Pandji, Direktur Konservatorium Bali yang kebetulan tengah menimba ilmu pula. Atas gagasan Pandji, Guruh Soekarno Putera pun menampilkan kemampuannya menabuh gamelan dan menari.Selanjutnya kelangsungan komunitas penabuh gamelan Bali yang dibentuk Pandji diserahkan pada Guruh Soekarno Putera.

Guruh memang telah terbiasa dengan kebudayaan Bali.Ketika masih bersekolah di Perguruan Cikini,Guruh pun telah mempelajari kesenian Bali secaratekun dan seksama pada I  Made Gerindem di Ubud Bali.

Bagi Gauri Nasution  dan Keenan Nasution seni musik Bali bukanlah sesuatu  yang asing lagi.

Pada tahun 1966-1968 bersama Sabda Nada mereka sudah terbiasa bereksperimen menggabungkan musik Barat dengan gamelan Bali yang di arahkan oleh I Wayan Suparta.

Hal serupa pun mereka lakukan ketika Gipsy tampil di Restauran Ramayana New York   pada tahun 1973.

Lalu di tahun 1974 setelah mundur dari formasi God Bless,Keenan Nasution (drums,vokal) mengajak Oding Nasution (gitar),Debby Nasution (bass),Abadi Soesman (synthesizers) dan Roni Harahap (piano,keyboards) untuk membentuk kembali formasi Gipsy yang sudah tidak aktif manggung dengan bereksperimen memadukan musik rock dan gamelan Bali yang dimainkan oleh kelompok yang dipimpin  Syaukat Suryasubrata.

“Saya masih ingat saat itu kita bereksperimen membawakan “Topograpic Oceans” nya kelompok Yes tapi pada beberapa segmen justeru dimainkan dengan membaurkan musik gamelan Bali” cerita Abadi Soesman.

Pertemuan antara Keenan Nasution dan Guruh Soekarno Putera akhirnya membuahkan kesepakatan untuk membuat sebuah eksperimen musik bertajuk Bali Rock.

Keenan  Nasution dan Guruh pun akhirnya memulai proyek ini dengan menghubungi Pontjo Sutowo sebagai penyandang dana.Pontjo bersedia membantu proyek ini.”Untuk musik saya memang selalu bersedia membantu,meskipun proyek musik idealis semacam ini membutuhkan biaya banyak dan siap merugi” ungkap Pontjo Sutowo yang ditemui di kantornya di Sultan Hotel Jakarta.

Memasuki bulan Juli 1975 rekaman yang kemudian diberi nama Guruh Gipsy mulai dilakukan di Laboratorium Pengembangan dan Penelitian Audio Visual Tri Angkasa,sebuah studio rekaman dengan fasilitas kanal 16 track pertama di Indonesia yang berada di kawasan Jalan Hang Tuah Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Penggarapan album ini cukup panjang dan berakhir pada November 1976. Menurut Guruh penggarapan album ini sesungguhnya hanya menggunakan jadwal studio sebanyak 52 hari. Ada pun kurun waktu sekitar 16 bulan itu termasuk dihabiskan untuk mengumpulkan biaya dari para donatur (selain dari Pontjo),latihan dan menulis materi lagu hingga menunggu jadwal studio kosong ketika Tri Angkasa digunakan oleh pihak lain .

Proyek ini betul-betul menguras energi dan stamina. Gipsy yang terdiri dari Keenan,Roni,Abadi,Chrisye dan Oding tidak tampil sendirian.Sederet pemusik lainnya mendukung performa mereka di bilik rekam yang sesak dan sempit itu .Ada Trisutji Kamal,pianis yang juga ikut membuat arransemen.Kelompok Saraswati Bali yang dipimpin I Gusti Kompyang Raka, juga ada paduan suara Rugun Hutauruk dan Bornok Hutauruk serta sederet chamber music yang terdiri atas Fauzan,Suryati Supilin,Seno pada biola.Sudarmadi pada cello,Amir Katamsi pada kontra bas,Suparlan pada flute serta Yudianto pada oboe dan clarinet.

Rekaman Guruh Gipsy fase pertama berlangsung dari Juli 1975 hingga Februari 1976 dan berhasil menyelesaikan sebanyak 4 buah komposisi yaitu Geger Gelgel,Barong Gundah,Chopin Larung dan sebuah komposisi yang belum diberi judul tapi kemudian tidak jadi dimasukkan dalam album.Karena dianggap kurang layak dimasukkan ke dalam album Guruh Gipsy.

Lalu rekaman Guruh Gipsy fase 2 berlangsung  dari Mei hingga Juni 1976 yang menghasilkan 3 lagu masing masing Djanger 1897 Saka,Indonesia Maharddhika dan Smaradhana.

Pada fase ini ada 3 komposisi yang direkam lagi dan disempurnakan yaitu Barong Gundah,Chopin Larung dan Geger Gelgel.

Menurut peñata rekamannya Alex Kumara , bahwa dalam proses perekaman “Indonesia Maharddhika” dan “Geger Gelgel” termasuk sulit penggarapannya secara teknis,karena begitu banyak bunyi-bunyian yang harus direkam  serta jumlah pemainnya yang mencapai 25 orang hingga studio berukuran 50 meter persegi terasa begitu sesak dan pengap.

Namun,kendala ini tak membuat satu pendukung pun yang menyerah.Mereka bagaikan pejuang yang tengah berjuang di medan laga.

Penempatan microphone pun harus tepat di tengah sesaknya studio Tri Angkasa.

Lagu “Indonesia Maharddhika”misalnya membutuhkan proses dubbing berupa pengisian suara gitar elektrik ,keyboard,piano elektrik dan synthesizers sebanyak 200 kali.Sesuatu yang pasti tak akan ditemui pada proses perekaman di zaman sekarang yang telah didukung teknologi mutakhir.

“Beruntunglah pemusik sekarang yang tertolong oleh kemudahan teknologi.Dulu saat harus mengadopsi banyak bunyi-bunyian keyboard dalam berbagai layer harus melakukan overdub ratusan kali”jelas Abadi Soesman yang terampil memainkan miniMoog synthesizers.

Keenan Nasution dan Chrisye menjadi vokalis utama dalam Guruh Gipsy.Keenan membawakan Indonesia Maharddhika dan Geger Gelgel.Chrisye menyanyikan Chopin Larung dan Smaradhana.Sementara pada lagu “Djanger1897 Saka” dinyanyikan secara bergantian oleh Keenan dan Chrisye.

Album Guruh Gipsy ini  lalu dilepas ke masyarakat dan dijual seharga Rp 1.750 yang disertai semacam scrap book yang  dimaksudkan untuk bertutur perihal ikhwal asal-usul lagu dan proses kreatif yang menyertai penggarapan Guruh Gipsy.

Sampul album Guruh Gipsy berlatar warna coklat tua dengan tagline : kesepakatan dalam kepekatan.Maksudnya album ini merupakan sebuah karya yang dihasilkan dari sebuah kesepakatan di dalam masa yang penuh kepekatan.

Lirik lagu seperti “Geger Gelgel” sebetulnya adalah bentuk keprihatinan Guruh sebagai penafsir lirik terhadap keadaan negeri tercinta ini.Simaklah liriknya ini :

Dulu di Gelgel pernah geger
namun tak segeger hatiku
Hasrat hati ingin membeber
segala peri-laku palsu

Degup jantung irama Batel
bagai derap pasukan Gelgel
Menentang penjajah angkara
penindas hak dasar manusia

Wahai kawan nyalangkan matamu
Simaklah dalam babad moyangmu

Di Gelgel pernah geger
semangat suci luber
Kepasuan tersebar
Orang batil tercecer-cecer
Geger Gelgel – Gelgel geger, di Gelgel geger

Hatta nasib rakyat jelata
yang bukan ahli berbicara

 

Tapi hatinya bersuara
menuntut hak alam merdeka

Kaum sudra dipermainkan
oleh muliawan gadungan
Hati tercekam suasana
ngeri waswas meraja-lela

Wahai kawan jangan engkau lengah
Ketidakadilan harus musnah

Singkirkan cadar ragu
singsingkan fajar baru
Mari kita bersatu
du dalam setiap nafasmu
Menyingkap dan menelanjangi adegan palsu

membahas sangkakala
menyibak mega raya
Menyongsong bahagia
moga sirna duka derita
janji Sang Hyang Maheswara niscaya ‘kan nyata

Demikian juga lagu “Chopin Larung” dan “Djanger 1897 Saka” yang menyitir tentang kontaminasi budaya yang terjadi di kantung kantung budaya Indonesia seperti di Bali.Simaklah lirik “Djanger 1897 Saka” dibawah ini :

Dulu memahat buat menghias pura (-puri)
dulu menari dengan sepenuh hati
Sekarang memahat untuk pelancong mancanegari
Sekarang menari turut cita turis luar negeri

Tari Legong jaman masyhurnya di Saba (-Kedaton)
dipersingkat demi selera penonton
Wingit barong dan tari keris sering sekedar tontonan turis
kekhusukan upacara melins sering terganggu jepret lampu blitz.

Onde-onde dari Cisalak, berkonde Jawa rambut disasak
Ondenya masakan Semarang, konde sasakan mode sekarang

Art shop megah berleret memagar sawah ( Cak he he )
Cottage mewah berjajar dipantai indah
Karya – cipta nan elok – indah ditantang alam modernisasi
Permai alam mulai punah karena gersang rasa mandiri

Boleh saja bersikap selalu ramah (-tamah)
bukanlah berarti bangsa kita murah
Kalau kawan tak hati-hati bisa  punah budaya asli
Kalau punah budaya asli harga diri tak ada lagi
(harga diri tak ada lagi maka tak dapat berbangga hati)

 

Selain itu ,pada sampul Guruh Gipsy tertera kaligrafi Dasabayu, yang terdiri atas 10 aksara Bali dengan arti tertentu yaitu  I-A (kejadian, keadaan), A-Ka-Sa (kesendirian,, kekosongan), Ma-Ra (baru), La-Wa (kebenaran), dan Ya-Ung (sejati).

Menurut Guruh Soekarno Putera,himpunan dari kesepuluh aksara itu pada zaman dahulun kala di Bali memberikan semacam  mukjizat bagi yang mempercayainya. Secara keseluruhan aksara-aksara itu bermakna bahwa dengan keadaan yang kosong barulah akan timbul kebenaran yang sejati.

Menariknya lagi,Guruh yang terpengaruh Ronggowarsito mengabadikan nama-nama personil Guruh Gipsy dalam barisan lirik lagu “Indonesia Maharddhika” :

Om awignam mastu

DING Aryan ring sasi karo

ROhini kanta padem

NIshite redite pratama

KIlat sapte tusteng padem

NANte wira megawi plambang

Aku dengar deru jiwa

BA dai badai mahaghora

DI Nusantara Raya

Cerah gilang gemilang

Harapan masa dating

Rukun damaimulia

Indonesia tercinta

Selamatsejahtera

GUnung langit samudera

RUH semestamemuja

Rukun damai mulia

Indonesia tercinta

Menjelang akhir tahun 1976  album Guruh Gipsy dirilis ke pasaran.Tapi tak semua orang mengenal dan menyimak karya kolosal ini.Namun siapa sangka, tiga  dasawarsa berselang ,album Guruh Gipsymenjadi album yang paling dicari-cari orang,Bukan hanya di Indonesia,melainkan juga di berbagai belahan dunia termasuk Amerika,Inggeris hingga Jepang.

Bahkan beberapa radio di Kanada,Swiss dan Belanda memutar Guruh Gipsysekaligus mengulasnya dalam apresiasi musik yang mendalam.Pada akhirnya Guruh Gipsy menjadi salah satu milestone perjalanan musik Indonesia.Tak berlebihan jika album ini diibaratkan album “Sgt Pepper’s Lonely Heart’s Club Band” nya The Beatles.Sebuah album yang membuat revolusi dalam musik pop.

Revolusi musik pop di Indonesia itu bermula pada album Guruh Gispy itu.

Scrapbook Guruh Gipsy yang artistik

(Tulisan ini merupakan nukilan dari buku yang saya tulis tentang kiprah musik “Anak Anak Pegangsaan” yang siap terbit)

The Beatles In Manila 1966

Posted: Januari 30, 2011 in Uncategorized

After the trials and tribulations of Japan the Beatles headed for a two shows in the Philippine capital Manila. On July 3, 1966, The Beatles landed on Philippine soil for the first and last time. This two-night stopover in Manila proved disastrous from arrival to departure. Upon landing, The Beatles were immediately whisked to a pier and put on Marina, a yacht owned by Don Manolo Elizalde, two miles from the port. This arrangement completely cut The Beatles from their associates for at least two hours— the first time it ever happened.

On July 4, The Beatles held two soldout concerts at the Rizal Memorial Football Stadium with a combined attendance of 80,000; the evening concert registered 50,000 paying audience, being rivaled only in size by the concert The Beatles gave at Shea Stadium in New York on August 15, 1965. Such record-making statistic though was supplanted by the succeeding events owing to a fiasco that happened earlier in the day.

The Beatles’ alleged snub of then-First Lady Imelda Marcos occurred on July 4, where a lunch was scheduled at Malacañang Palace at 11 a.m. with 300 children waiting to see The Beatles. An hour before the party, a delegation came to the Manila Hotel to collect The Beatles. Brian Epstein, The Beatles’ manager, declined the invitation on the grounds that no earlier arrangement had been made and The Beatles were still in bed.

The day’s scheduled concerts, however, later proceeded successfully. In between concerts, local televisions reported the alleged “snub” showing footages of children, some crying, disappointed by The Beatles. Epstein watched in horror and went immediately to the television studio to apologize and set the facts straight. But barely had he started reading his press statement when the transmission blipped.

Newspapers carried the headline, “Beatles Snub President.” The following morning was the scheduled departure of The Beatles to New Delhi. Suddenly, The Beatles and their entourage realized they were practically on their own without any help: Room and transportation services were withdrawn. In the airport, the whole Beatles entourage was manhandled as it made its way to the plane.

Tony Barrow, the tour’s publicity man and part of the entourage, claimed that Epstein received the invitation the night before the concerts but remained noncommittal. Whether it was wise for the local promoter to take this silence as approval is now moot.

Bill Harry, in his book The Ultimate Beatles Encyclopedia, acknowledges the existence of an invitation from Ramon Ramos, the local promoter, for The Beatles to pay a courtesy call on the First Lady, but it was slated for 3 p.m. of July 4, an hour before The Beatles’ scheduled afternoon concert. Ramos did not pursue this invitation, since The Beatles wanted to be in the concert location two hours before the set. Nor did he inform anyone in Malacañang about this. A further mixup in schedule emerged when the Palace set the meeting at 11 a.m. as reported in The Manila Times on July 3. Whether anyone went out of his way to settle the matter, and what transpired in this effort, if any, remains unknown.

Peter Brown, the executive director of NEMS Enterprises (The Beatles’ Vic Lewis, the tour agent, received the invitation while still in Tokyo but failed to relay this to him.

Much to the Beatles surprise, the palatial tyrants were extremely angered at the Beatles neglect and the morning after the concert, The Manila Times ran the headline “Imelda Stood Up!!”. The ramifications were to become serious. Philippine promoter Ramon Ramos refused to pay the Beatles for their performance! Bomb and death threats were telephoned to the deluged British Embassy and to the boys hotel suite. Brian Epstein was so distressed with the situation he arranged for a press conference from the hotel to apologize for the misunderstanding. BUT…as fate would have it, some unforeseen static blipped out his interview from most all TV screens in the country! (more than a few thought it was probably more shenanigans by the Marcos clan).

Pulling more strings the next day when the Beatles were scheduled to depart the country, Misael Vera, Philippine Tax Authority, insisted the group could not leave the country until every penny of the taxes owed them was paid! Of course, they never got paid anything but Brian hurriedly forked over a bond out his own funds for P.74,450 (around $18,000) to settle the matter.

To make matters worse, all security detail assigned to the boys were withdrawn leaving them extremely vulnerable. They were literally kicked and jostled as they left their hotel and totally harassed all the way to the airport. Things were no better there where the airport manager has also removed all security for the Beatles. They went so far as to shut down the power to stop the escalators, forcing the boys to scale several flights of stairs with their own luggage, only to face an angry mob of 200 Filipinos brutally manhandling them! Ringo was literally floored by an uppercut and kicked on the ground. He suffered a sprained ankle as well and had to be helped to the customs area. Mal Evans and Brian Epstein were injured as well. Alf Bicknell suffered a cracked rib and a spinal injury.

When they finally approached the plane, a large booing crowd jeered and mocked them chanting “Beatles Alis Dayan!” (Go Home Beatles!) Once in the plane, some scraping government officials “decided” the Beatles were NOT authorized to leave the country due to inaccurate “check in” procedures days earlier… This led to another 40 minute wait on the Tarmac while Mal & Tony Barrow went back to the terminal to clean up the necessary paperwork. Only minutes after the Beatles angrily departed, did the press run a statement by President Marcos stating “Their was no intention on the part of the Beatles to slight the first lady or the government of the Republic Of The Philippines”. Obviously a bit too late to do the Beatles any good.

The Beatles Ticket

KLa Project ,One Step Ahead

Posted: Januari 25, 2011 in Uncategorized

Album "Exellentia" KLa Project

KLA Project One Step Ahead

 

Album Title     : Exellentia

Artist               : KLa Project

Label               : KLa Corps

Released : 2011

This is the 10th album of KLa Project after in 23 years they do pioneering career in Indonesia music industry. Supported by Katon Bagaskara, Lilo Romulo and Adi Adrian, KLa Project makes a serious effort to present their newest album. They are also ready to deal with the frictions in the musical climate. If you listen to 10 tracks that contained in this album, KLa Project implying that they are ready to step in this present day. It means that KLa Project is ready to pass on his work to young audiences without ignoring their fans, which remained faithful ever since they released the single Tentang Kita” in 1988.

This is an interesting strategy that actually has a speculative trap. But KLa Project has been able to absorb contemporary music without having to chop off their identity that has been formed nearly in two decades.

Traces of more modern musical influence can be heard on tracks such as “Revolusi Disko“, which takes a dance-floor nuance without having to succumb to sounding like cheesy disco. The song still retains that Kla Project nuance that has made the band a known name. The electro sounds beeping out of the track certainly does not take from Katon Bagaskara’s lyrics.

Adi Adrian is the architect behind Kla’s music. He is the one responsible for all the seemingly-small but significant sounds which pops up throughout – and enriches – Kla’s arrangements. He is also the primary pillar to Kla’s overall sound, which continues to take various forms of imaginative sounds without abandoning their true identity.

On this album Katon writes all the lyrics of KLa Project songs, still with a poetic approach and  f romantic atmosphere  but also infiltrate with energetic power that is arousing.

This is such a beautiful trip in the music industry, has been produced by KLa on the album that offering something more attractive: an Exellentia!

KLa has so many attractive songs on this album with a spacey album cover. There is a romance theme that wakens our sense like “Cinta (Bukan) Hanya Kata“. Katon Bagaskara apparently skillfull to arrange words such the following:

 

Cinta hanya kata

Sampai kau datang juga

Dan memberinya makna

The meaning of lost are spoken elegantly in the song titled “Hilang Separuh Arti” :

Rumput hatiku yang mongering

Tak tersiram hujan

Namun coba bertahan

Unification of attractive melodies, a suggestive lyric, inspirational music and genial vocals of Katon, make up an integral element in KLa Project music, which had never faded since long ago. With some contemporary music’s atmospheric , finally KLa Project becomes an Exellentia!

 

Tracklist

1.Revolusi Disco

2.Cinta (Bukan) Hanya Kata

3.Hilang Separuh Arti

4.Mana Kutahu

5.Impian Tumbang

6.Kau Pulihkan Luka

7.Rahasia Semesta

8.Hidup Adalah Pilihan

9.Tak Ingin Kuberalih

10.Mimpimu Nyata

Titi DJ Tak Sekedar Bersenandung

Posted: Januari 25, 2011 in Konser

Titi DJ dan Geisha

Titi DJ akhirnya membuktikan bahwa dia adalah Diva sejati.Predikat itu pantas disemat untuknya.Masih segar dalam ingatan ketika memasuki awal era 2000-an terjadi inflasi istilah diva,yang celakanya berbuntut kesalahkaprahan.

Bayangkan saat itu media-media  dengan seenaknya menyematkan istilah Diva ke penyanyi siapa saja .

Dengan konser tunggal Swara Sang Dewi yang dipentaskan dari tanggal 20 hingga 23 Januari yang terdiri atas 7 pertunjukan itu di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki ,Titi DJ membuktikan bahwa dia adalah diva.

Selain mementang perjalanan karir musiknya sejak dari tahun 1985,di konser yang dikemas megah ini Titi DJ ingin menyusupkan pesan-pesan lingkungan.Menariknya,tema lingkungan yang dipancangkan Titi bukan sekedar slogan atau pamflet kosong belaka.Karena tanpa banyak diketahui orang banyak,Titi sesungguhnya telah melakukan disiplin lingkungan di kediamannya sendiri.Titi DJ bukanlah pejabat yang berkoar-koar  tentang perlunya menjaga lingkungan,tapi penebangan hutan secara liar malah seperti tak terlihat mata.

Saya kebetulan sempat dua kali nonton pertunjukan tunggal Titi DJ,di hari pertama 20 Januari dan hari kedua 21 Januari.Suasana hijau dan sejuk telah menerpa penonton saat memasuki pintu masuk Teater Jakarta yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki itu.Rasa ingin tahu pun menyerang benak saya.Seperti apa pesan lingkungan yang ingin dituturkan Titi DJ dalam konser yang di satu sisi ingin memperlihatkan portfolio karir musiknya itu.

Pertunjukan yang dikuakkan sekitar jam 20.15 itu sejenak membuat penonton terhenyak dengan scoring yang ditata Andi Rianto.Agak muram,gloomy,dengan jejalan orkestra yang lamat-lamat tapi penuh daya.Dikegelapan terlihat Titi DJ berpakaian yang pekat,berkalung rangka tengkorak serta topeng tengkorak yang ditaruh di ubun-ubun sambil memeluk tengkorak nyang lunglai terkulai.Di kiri kanan,Titi DJ ditemani tengkorak-tengkorak yang saling menggeliat,seperti merasakan penderitaan akibat hancurnya bumi akibat ulah manusia sendiri.

Pesan pesan beratmosfer lingkungan pun berseliweran dalam layar .Andi Rianto dan Magenta Orchestra pun memainkan overture yang merunut highlight karya-karya Titi DJ selama ini.Bahkan tak sekedar overture belaka.Titi DJ malah merangkai-rangkai lirik-lirik lagunya menjadi sebuah pesan lingkungan hidup.Mulai dari mencuplik lirik  “Salahkah Aku” (Rully Chaerudin & Adelansyah) yang pernah menjadi finalis LCLR Prambors 1990 :”Salahkah aku bila ingin……..”,di bait lain Titi mencuplik lirik lagu “Potret” (Indra Lesmana dan Mira Lesmana) :”Namun kini tinggal tanya….dimana mereka.Aku bertanya kemana mereka ?” hingga lagu “Stop” karya Dewiq.

Sebuah gagasan yang unik.Pesan tema lingkungan menjadi cair dihadapan penonton yang memang ingin mnyimak sebuah hiburan.Good point.Karena sejak awal sebelum nonton,saya bertanya-tanya jangan jangan konser ini aku dipenuhi slogan lingkungan hidup yang nyinyir dan menggurui.

Untunglah Titi DJ dan timnya sudah memahami hal itu.Titi DJ bahkan menyapa penonton dengan luwes dan bercanda.Di menit-menit awal introduksi,konsep acara ini patut diacung jempol.Karena harus diakui memang tak mudah membaurkan pesan lingkungan dalam konser pop bernuansa glamour.

Tapi sayangnya setelah itu ritme acara jadi tidak fokus.Tak ada intermission.Saling lepas  dan tak punya keterkaitan.Lebihb cenderung sebagai variety show yang dikemas megah.Padahal dari introduksi awal tadi,sebetulnya konser Swara Sang Dewi ini bisa dikonsep secara konseptual.

Tak berlebihan jika,saya berharap acara konser Titi DJ ini perlu sentuhan seorang sutradara yang menjahit keping-kepingan segmen acara menjadi satu kesatuan yang utuh dan tetap menghibur. Kelemahan konser ini juga terasa pada sequencing antar lagu yang banyak menimbulkan jeda.Jika diibaratkan sebuah film,nilai terlemah di acara ini adalah “editing”.

Makanya saya merasakan perlu penanganan dari seorang director, bukan sekedar show director belaka.

Namun diluar itu,semua Titi DJ memperlihatkan kemampuan luar biasa sebagai seorang penyanyi.Bayangkan,stamina Titi tak pupus sedikit pun.Ingat Titi Dj telah berusia paruh 40-an.Kontrol vokal-nya terjaga. Dan ini dilakukannya dalam 7 kali pertunjukan.

Fleksibilitasnya berkolaborasi dengan penyanyi dari berlapis era dan usia juga merupakan sesuatu yang pantas digaris bawahi.Dalam konser ini Titi DJ berduet dengan ikon penyanyi solo wanita 80-an Diana Nasution hingga berduet dengan Ello,Mike Mohede,Marcell Siahaan,Ungu,The Dance Company,Geisha dan Sherina.

Bersama Ovy/rif sang suami yang memetik gitar Titi DJ pun menyanyikan sebuah lagu baru “Tak Ada Ujungnya”.

Titi DJ pun memberian peluang kepada sederet penyanyi untuk menafsirkan lagu-lagu hitnya.”Saya ingin memberikan kesempatan kepada penyanyi lain untuk bagaimana merasakan menjadi seorang sang dewi “ tuturnya bercanda.Lalu muncullah Rossa,Cindy Bernadette hingga Dewi Gita yang menafisirkan lagu karya Titi DJ “Sang Dewi” dengan karakter masing-masing.

“Jika menjaga lingkungan ada recycle atau daur ulang,maka saya pun mendaur ulag karya-karya senior kita” ujar Titi di panggung.Mengalunlah lagu-lagu yang ngetop di era 70-an , 80-an dan 90-an  seperti “Malam Yang Dingin” (1976) karya Minggoes Tahitu,”Jangan Biarkan” karya almarhum Hanny Tuheteru dan “Dasar Lelaki” karya almarhum Melky Goeslaw dan “Tak ‘Kan Ada Cinta Yang Lain” karya Dhani Ahmad.

Pertunjukan berdurasi 2 jam ini berakhir lewat lagu “Salahkah Aku” yang dinyanyikan dalam setting berbentuk hutan hijau ala film “Avatar” nya James Cameron.

Proficia Titi DJ !

Setlist

1.A Lotta Love

2.Bahasa Kalbu

3.Bintang Bintang

4.Dasar Lelaki

5.Dunia Boleh Tertawa

6.Ekspresi

7.Engkau Laksana Bulan

8.Potret

9.Galau

10.Hanya Cinta Yang Bisa

11.Jangan Berhenti Mencintaiku

12.Jangan Biarkan

13.Kala Senandung Itu Pergi

14.Keresahanku

Foto:Widianti Kamil

Titi DJ dalam Swara Sang Dewi di Teater Jakarta TIM

Saya mendampingi Santana yang tengah melayani tanda tangan

Santana di panggung Jakarta Hilton Convention Center 1996

Banyak yang tidak tahu bahwa Santana sudah pernah tampil dia Jakarta tepatnya pada tanggal 9 Mei 1996,Carlos Santana menggelar konser di Plennary Hall Jakarta Convention Center.Konser yang dipromotori oleh Indo Mugi Pratama ini merupakan bagian dari tur dunia Santana dalam rangka promosi album boxset bertajuk “Dance Of the Rainbow Serpent Tour”.

Saat itu penonton yang menyaksikan penampilan Carlos Santana tak terlalu banyak. Perkiraan saya mungkin hanya sekitar 1500 penonton saja yang menyaksikan konser legendaris ini.

Yang datang kebanyakan ekspatriat dan pemusik.Saat itu ,seingat saya pemusik yang sempat saya temui antara lain almarhum  Harry Roesli,Franki Raden,almarhum Delly Rollies,Gatot Sunyoto,Harry Sabar dan beberapa lainnya.

Tapi meski penonton tak banyak, namun Santana tetap memberikan konser terbaiknya/Bahkan Santana memberi encore selama setengah jam.Lumayan……ada Oye Comova,Black Magic Woman,Evil Ways…….Pokoknya hits Santana di dasawrasa 70-an hingga awal era 80-ankeluar semua.Tanpa tersisa.

CarlosSantana sendiri dipanggung tetap santai sambil….ehm……nyimeng dan pelataran panggung dipenuh iasap hio.Gila tuh orang.Yang paling energik dan super sibuk adalah perkusionisnya Karl Perazzo dan Raul Rekow.Tony,drummernya yang berkulit hitam juga tak kalah hebat……powerfull.

Namun,jangan lupa  Carlos Santana selalu didukung oleh permainan organ vintage Hammond B3 yang memikat dari Chester Thompson,pria berkulit hitam yang dulu pernah tergabung dalam kelompok Tower of Power.Almarhum Delly Rollies, sepenglihatan saya  sampai mendekati bibir panggung sambil berjingkat,hanya untuk mengintip dan melihat permainan Chester Thompson dari dekat.Maklum…..The Rollies kan dulu suka bawain lagunya “Tower of Power”……itu lho “You’re Still A Young Man……Baby !!”.

Santana malam itu bermain lebih dari 2 ja.Dia seperti kerasukan.Encore saja hampir dimainkan dalam durasi 45 menit.Bayangkan,betapa puasnya penonton menyimak konser Santana ini.

Dan Maret 2011 ini,menurut rencana,Santana akan tampil dalam event jazz berskala internasional “Java Jazz International Jazz Festival” yang digagas Peter F Gontha.”Sebetulnya kami telah mengincar Santana sejak tahun 2005,saat Java Jazz pertamakali diadakan” ungkap Peter F Gontha.

Kita tunggu saja permainan Santana di Jakarta  nanti

Santana dalam konperensi persvdi Hilton Hotel 1996

,yang dalam portfolionya pernah berkolaborasi dengan berbagai insan jazz,mulai dari John McLaughlin,Herbie Hancock,Stanley Clarke,Weather Report,Joe Zawinul hingga maestro Miles Davis.

Morfem (Bukan) Band Iseng

Posted: Januari 20, 2011 in Uncategorized

Banyak yang bilang ini adalah band iseng-isengnya Jimi Multazham,frontman The Upstairs yang lagi “menganggurkan” The Upstairs.Ada juga yang bilang band ini selaik supergroup,karena didukung sederet pemusik yang “berselingkuh” dengan band-bandnya masing masing semisal Pandu Fathoni (gitaris The Porno),Freddie Warnerin (drummer Nervous Breakdown) maupun Bramasta Juan Sasongko (bassist JARB).

Tapi terlepas dari keisengan atau sekedar band perselingkuhan,band yang kemudian diberi nama Morfem init oh perlu disimak sepak terjangnya.Mulai dari wacana bermusiknya hingga pola penulisan lagu yang menurut saya sangat tidak adil jika disebut hanya iseng-iseng belaka.Ada sesuatu yang tercerabut jika menyimak album debut Morfem yang dirilis demajors,label sakti mandraguna yang masih bernafas ditengah tengah sekaratnya label-label lain.

Morfem intisarinya adalah band pop dengan berbagai kecenderungan.Mulai dari aura bising yang menyembul dari divisi musik tapi terkadang menggelitik dalam pola akustik,hingga bersetubuh dengan lirik-lirik lugas yang ditulis Jimi Multazham.Menyimak secara keseluruhan alabum ini memang terasa bagai sebuah déjà vu.Apakah saya ada di era 80-an ataukah di era 90-an.Lirik-lirik yang ditoreh Jimi secara verbalistik mengingatkan saya pada gaya penulisan lirik ala Jimmy Paais dan Dodo Zakaria.Nakal,liar tapi tepat sasaran.Sayangnya dua nama sahabat saya yang saya sebut itu telah berpulang ke rumah Tuhan.

Simak saja lirik lagu “Gadis Suku Pedalaman” yang naratif dan mau tak mau mengingatkan saya pada pola penulisan lirik ala Jimmy Paais semasa dia mendukung Symphony atau Jakarta Rhthm Section di era 80-an :

Di jejaringan sosial takkudapatkan berita

Di tiap reuni kita tak juga jumpa

Tanyakan tiap sahabat,dijawab gelengan kepala

Di googling di dunia maya.tak muncul juga.

Bahkan mengkritik pemerintah lewat lagu “Who Stole My Bike” :

Why life so unfair ?

The government seems no care

They get a better life

We’re surviving as fuck

Problematika metropolis banyak jadi inspirasi dalam penulisan liriklagu-lagu Morfem.Simak saja “Wahana Jalan Tikus” hingga “ Pilih Sidang Atau Berdamai ”.Ini adalah jargon-jargon yang kerap kita dengar setiap kita berada di kekisruhan lalu lintas metropolitan yang sangat membebalkan.

Kebebalan itu pada akhirnya didokumentasikan lewat lagu :

Pilih sidang atau berdamai

Lepas dari macan digigit buaya.

Dengan kemsan sampul beratmosfer hitam putih yang membalut keping cakram Morfem Indonesia in menyiratkan ada sesuatu yang ingin digugat Morfem walau album ini tetap berada dalam aura pop.Album Morfem  ini menjejalkan spectrum  Punk, Rock, Pop yang  kadang diimbuh aksen Folk Rock .Morfem tampaknya mencoba menawarkan konsep musik dengan referensi masa silam yang diberi darah kekinian.

Menurut Jimi album ini diberi tajuk “Indonesia” berdasarkan tema lirik tentang keseharian, yang ditulis ala Jimi Multhazam.Semacam sebuah potret buram Indonesia saat kini tentunya.

Dan Jimi pun berdendang dengan aksen bengal dan badung :

album debut Morfem "Indonesia"

Ku tertidur dimana pun aku bisa

Ku tertidur dimana pun aku bisa.

Ku bermimpi kapan pun aku mau

Diatas lemari,di trotoar jalan

Disela  tumpukan benda di gudang

Ah ,kenapa saya jadi teringat almarhum Deddy Stanzah ya ?

Denny Sakrie