Arsip untuk Maret, 2013

Ayusitha Memaknai Embun Pagi

Posted: Maret 31, 2013 in Uncategorized

ayusithaEmbun adalah uap air yang lazimnya munculnya di saat dini hari atau pagi hari.Embun muncul mendahului sinar mentari, dibalik dedaunan yang hijau maupun di sela sela kaca jendela.Embun adalah awal langkah hari yang menyejukkan tapi membersitkan semangat.Menyimak album solo perdana Ayusitha ini seperti memaknai harafiah embun yang sejuk,yang bebas polusi industry,yang polos menawarkan keindahan dan kelembutan.Tamsil kata ini tak berlebihan jika kita telah menyimak rangkaian lagu-lagu yang termaktub di album bertajuk “Morning Sugar”.

Tak syak lagi,saya merasa terperangah manakala menyimak untaian lagu-lagu yang disenandungkan lirih oleh Ayushita yang sebelumnya saya kenal sebagai peraga untai-kata di layar kaca,juga peraga peran dalam sinetron maupun film layar lebar.Yang masih segar dalam benak saya adalah ketika Ayushita yang bernama lengkap Ayu Sita Widyastuti Nugraha bersama sederet pesohor belia seperti Dimas Beck, Raffi Achmad ,Laudya Chyntia Bella dan Chelsea Olivia Wijaya tampil dalam film “Bukan Bintang Biasa” (2007) dan kemudian menyatu dalam kelompok vokal Bukan Bintang Biasa yang digagas singer/songwriter Melly Goeslaw.Debut pertama Ayushita bersama BBB adalah mendampingi Melly Goeslaw dalam lagu Let’s Dance Together (2006).Setahun berselang kelompok vokal pesohor belia ini merilis sebuah album yang juga merupakan soundtrack film “Bukan Bintang Biasa” (2007).

Enam tahun berselang tanpa dinyana Ayushita muncul sebagai penyanyi solo lewat album debut “Morning Sugar”.Ada proses re-brand yang menyeruak dalam albumnya ini yang terasa saat melihat sampul albumnya lewat lukisan diri Ayushita .Ketika menyimak “Sehabis Hujan” yang merupakan lagu pertama album ini terasa atmosfer yang lain dan berbeda dengan jatidiri Ayushita sebelumnya yang riuh rendah saat bernyanyi bersama Bukan Bintang Biasa.Ada maturitas dalam gradasi vokalnya.Dia menjadi sosok yang tenang dan teduh.Timbre vokalnya yang berskala antara mezzo sopran hingga sopran ternyata menawarkan kelenturan dalam meniti notasi dan tata musik yang digarap oleh duo produser Ricky Surya Virgana bassist White Shoes and The Couples Company dan Ramondo Gascaro keyboardis yang pernah mendukung Sore dan kerap menggarap music score beberapa film nasional.

Indie Pop pada akhirnya menjadi pilihan yang tepat untuk proses re-brand Ayushita.

Kelenturan vokal Ayushita yang warmy lekat dalam pola melodi ke 7 lagu yang dikemas di album ini.

 Suara  Ayushita bersama latar suara  Ramondo Gascaro lewat lagu “Sehabis Hujan” maupun aroma crooner yang terendus saat berduet dengan Anda Perdana dalam “Didalam Rasa” adalah highlight yang menawan di album ini.Nuansa twee  pop berlumuran pada saat Ayushita menafsir ulang lagu karya Melly Goeslaw saat bersama Potret “Salah”.Detak samba pun tersimak mengiringi lagu Fufu Fafa.Ada string orchestra yang mengingatkan kita pada kedigdayaan Don Sebesky pada label CTI Record maupun termasuk romantisme Eumir Deodato saat menata irama Brasil di akhir 60-an hingga 70an.

Pendengar musik album Ayusitha ini bisa terlena bagai tengah menikmati kelebat adegan sinema.Mungkin karena tata musik yang dihadirkan di album ini kadang menyeruak lebih sinematis.

Album “Morning Sugar” ini didukung sederet pemusik belia berbakat seperti Ricky Surya Virgana (bass,gitar,glockenspiel,cello,electric piano),Ramondo Gascaro (keyboard,gitar,vibraphone,suara latar),John Navid (drums),Riza Arshad (akordeon),Indra Dauna (trumpet),Doni Yusran (keyboard,pianica),Saleh Husein (gitar),Harry Winanto (flute),Adink Permana (gitar elektrik),Aprimela Prawidyanti (viola),Belanegara  Abimanyu (perkusi),Tony Hade (trombone),Denny Yurika (violin),Panjita Krisna (violin ) serta Karina dan Rebecca Theodora (suara latar).

 

1,Sehabis Hujan (Ramondo Gascaro)

    Dengan ritme cha cha dan lirik romansa yang era silam ini ,lagu yang ditulis Ramondo Gascaro  ini memang membuai penikmatnya.Sebuah keriangan saat rintik hujan mereda.Gitar elektrik yang dipetik Adink Permana menyempalkan aksentuasi jelang lagu berakhir.

2.Morning Sugar (Ricky Surya Virgana/Jim Powers)

Saat bangun pagi,bukalah jendela kamar anda sambil menghirup udara segar lalu memulai dialog pagi sembari sarapan pagi.Nuansa semacam inilah yang terserap saat menyimak lagu yang ditulis Ricky Surya Virgana dan Jim Powers.Arransemen string Ramondo Gascaro mengingatkan saya akan gaya Eumir Deodato yang impulsif.

 

3.Fufu Fafa (Ricky Surya Virgana /Aprillia Apsari)

 

Ritem gitar akustik dan perkusi melatari vokal Ayu yang tengah dirasuk ritma samba.Eksotisme Brazillian music yang eksotis terkuak di lagu ini.Ada paduan solo gitar akustik Saleh Husain dan tiupan flute Harry Winanto.Sebuah lagu menyongsong rasa bahagia yang menghipnotis penikmatnya.

 

 

 

4.Cerah Nanti (Ricky Surya Virgana/Bin Harlan)

Sebuah jazz ballad yang lirih dan bernuansa laid back.Disini Ayushita berduet dengan Anda Perdana meggamit pendengaran kita ke era crooner yang elegan pada beberap dasawarsa silam.Maturitas vocal Ayushita teruji disini saat memempelaikan suaranya dengan timbre vokal Anda. Dan Harlan Bin mengubgkap ekspresi romansa lewat jajaran kata bersahaja sarat makna.

 

5.Salah (Melly Goeslaw)

Lagu karya Melly Goeslaw ini dipopulerkan oleh Potret.Ricky Virgana menata ulang arransemennya dengan memasukkan beberapa instrument seperti glockenspiel yang ditabuhnya  serta trumpets dari Indra Dauna yang dilatari arransemen suara latar yang lebih harmonal.Lagu ini seperti strukturisasi ulang dari versi orisinalnya.

6.Tonight Is Mine (Ricky Surya Virgana/Jim Powers)

Introduksi lagu ini merupakan dialog antara permainan akordeon Riza Arshad dan trombone Tony Hade yang berkesan romantik.Jangan salah jika yang menyimak lagu ini pasti merasakan aura White Shoes and the Couples Company, karena lagu ini ditulis Ricky Surya Virgana, basssit White Shoes and The Coupes Company.

7.Didalam Rasa (Anda Perdana)

Lagu yang ditulis Anda Perdana ini bernuansa folkie pop.Dengan vokal yang polos tanpa ornamen Ayushita justeru mengimbuh ekpresi yang kuat disini.Apalagi solo cello yang dimainkan Ricky Surya Virgana pada interlude memberikan  anasir mistis pada lagu ini.Interlude cello rasanya amat jarang dimainkan dalam gugus musik sekarang ini  .

Dan album solo Ayushita “Morning Sugar” ini adalah embun yang menandai datangnya pagi, sebelum munculnya sinar mentari.

Selamat mendengarkan !

 

Denny Sakrie

 

Pesta Rakyat Robert Plant

Posted: Maret 25, 2013 in Liputan, Tinjau Acara
Tiket Timbre Rock and Roots 2013 (Foto Denny Sakrie)

Tiket Timbre Rock and Roots 2013 (Foto Denny Sakrie)

But the act that the 5,000-strong crowd was waiting for came up next – the 63-year-old lead singer of one of the most legendary bands on the planet, Robert Plant.

With his newest group in tow, The Sensational Space Shifters, a motley crew of collaborators from bands like Strange Sensation, Portishead and Jah Wobble, the old ‘witchdoctor’ is finally in Singapore to take us on a “questionably good time”.

                          Hey fellas have you heard the news ?

 

Robert Plant (65 tahun) menyapa sekitar 5000 penonton yang menjejali arena festival music Timbre Rock and Roots di Fort Canning Green Park  Singapore 21 maret 2013 lewat lagu Heartbreaker dari album Led Zeppelin II yang dirilis tahun 1969.Plant yang mengenakan kaos oblong abu abu masih memancarkan kharisma seorang god-rock.Rambutnya yang panjang keemasan menjuntai bagai surai singa yang gagah perkasa. Penampilan Robert Plant bersama bandnya bernama Sensational Space Shifter  dilatari backdrop bergambar wajah Robert Plant di sekitar tahun 1971 seperti mengingatkan kita di saat Led Zeppelin tengah merampas perhatian dunia pada era 70an.Kehadiran penonton malam itu memang ingin melepaskan kerinduan yang memuncak terhadap Led Zeppelin.Bagi Planty,sang singa tua, Singapore adalah negara yang tak mungkin dilupakan begitu saja.Negara yang dikenal dengan kesterilannnya ini pada paruh dasawarsa 70an pernah menolak kehadiran Led Zeppelin konser sebanyak dua kali karena alasan mereka memelihara rambut panjang.

Robert Plant saat akan tampil sebagai headliner di Timbre Rock and Roots 2013 ini bahkan masih diminta menyerahkan medical record  untuk mengetahui apakah Planty masih menggunakan narkoba.”Padahal saya hampir 35 tahun tak pernah menyentuh drugs lagi” ungkap Robert Plant di harian Straits Time Singapore. 

Festival tahunan Rock and Roots yang telah digelar empat kali ini diselenggarakan oleh Timbre Group Pte Ltd bersama Bluesfest Pty Ltd dan berlangsung selama dua hari 21 dan 22 Maret 2013.Selain Robert Plant,juga tampil Paulk Simon,Bonnie Raitt,Jimmy Cliff, Tedeschi Trucks Band, Rufus Wainwright dan Kara Grainger.

Penantian terhadap konser Led Zeppelin di Singapore setidaknya pupus dengan pemunculan Robert Plant yang malam itu banyak  menghadirkan repertoar Led Zeppelin meski dengan dimensi yang berbeda.8 dari 12 lagu yang dinyanyikan Robert Plant adalah dari katalog Led Zeppelin .Dari album Led Zeppelin II (1969)  ada Heartbreaker,Ramble On dan Whole Lotta Love . Dari album Led Zeppelin III (1970) ada “Friends” dan “Bron-Y-Aur Stomp” serta 3 lagu dari album Led Zeppelin IV (1971) yaitu Black Dog,Going To California dan Rock N’Roll.

Blues yang menjadi akar utama dari musik Led Zeppelin tak pernah terlewat sedikit pun oleh Robert Plant yang malam itu membawakan lagu “Spoonful” milik maestro blues Howlin Wolf .Plant juga  tak pernah melupakan Bukka White,pemusik blues yang digandrunginya saat remaja dulu dengan menulis lagu “Funny In My Mind” (I Believe I’m Fixin To Die) berdasarkan karya klasik Bukka White.Lagu yang direkam Plant pada album “Dreamland” (2002) dibawakan pula oleh Robert Plant malam itu dengan dilumuri atmosfer folk,psychedelic  dan world music, tiga genre musik yang dijadikan alas penataan musik Robert Plant bersama Sensational Space Shifter. 

Robert Plant yang banyak melakukan eksplorasi musik ke berbagai belahan dunia ini,juga menghadirkan dua komposisi Tin Pan Valley dan The Enchanter yang ditulisnya bersama Justin Adams,Skin Tyson dan John Baggot   dari album solonya “Mighty Rearranger” (2005)

Eksplorasi musik yang eklektik ini sebetulnya merupakan tradisi yang telah dilakukan Led Zeppelin pada era kejayaan mereka di tahun 1970an.Misalnya pola musik Timur Tengah yang terdengar pada komposisi lagu Kashmir pada album Physical Grafitti (1975) .

Robert Plant sendiri banyak terkesima dengan ragam musik yang berasal dari Timur.Umm Khultum,penyanyi wanita legendaries Mesir adalah inspirasi terbesar Robert Plant.Di tahun 1994 bersama gitaris  Jimmy Page, Robert Plant merilis album “Unledded” bersama sederet pemusik asal Marokko diantaranya poenyanyi wanita Najma Akhtar.     

Sosok Robert Plant bagai pengembara yang tak henti hentinya berkelana menyambangi pelbagai zona musik  Di tahun 2007 Robert Plant berkolaborasi dengan pemusik bluegrass Alisson Kraus pada album “Raising Sand”yang dianugerahi “Album Of The Year” pada Grammy Award ke 51 tahun 2008.

Semangat berkolaborasi dalam music  memang kerap ditunjukkan Robert Plant  dalam rekaman maupun pertunjukan.Ini pun terlihat jelas pada  saat Robert Plant tampil bersama kelompok Sensational Space Shifters kamis malam pekan lalu di Singapore. Konstruksi lagu-lagu Led Zeppelin bias berubah ke dalam berbagai dimensi dan nuansa yang tak pernah kita duga,semisal lagu Black Dog yang kental nuansa blues hingga Rock N’Roll yang menjadi encore justeru dimainkan dengan gaya rockabilly yang riuh.

Kelompok Space Sensational Shifter yang mengiringi Robert Plant terasa guyub dengan sosok Robert Plant yang tampaknya mengupayakan konsernya seperti sebuah pesta rakyat tanpa sekat antara penampil dan penonton.Pemusik Juldeh Camara mencuri perhatian dengan instrument Afrika Barat bernama Kologo yang mirip banjo. Juldeh Camara juga menggesek ritti sejenis biola Afrika dengan satu dawai.   Ragam instrument akustik ini bersenyawa dengan ambience elektronik yang keluar dari perangkat keyboard John Baggot, yang selama ini dikenal dalam beberapa proyek elektronik kelompok Massive Attack dan Portishead.

Robert Plant berhasil menghasilkan persenyawaan yang unik mulai dari lintas genre,lintas etnik hingga lintas era. Setidaknya dari musik,perbedaan mampu berbaur menjadi sebuah harmoni. Kisah kebrutalan para anggota  Led Zeppelin yang suka membuang televisi dari jendela hotel pada era lampau nyaris terlupakan saat melihat sajian musik Robert Plant yang membumi.

 

 

Bahkan lagu Rock N Roll yang dipopulerkan Led Zeppelin pada tahun 1972 dengan nuansa rock tegangan tinggi  itu kini seolah dikembalikan ke fitrahnya oleh Robert Plant sebagai lagu rock n roll dengan progresi 12 Bar Blues .

 

Let me get it back, baby, where I come from.
It’s been a long time, been a long time,

Denny Sakrie,Pengamat Musik

 

Ngobrol bersama Benny Soebardja (Foto Rhama Nalendra)

Ngobrol bersama Benny Soebardja (Foto Rhama Nalendra)

Giant Step 1985 (Foto Giant Step)

Giant Step 1985 (Foto Giant Step)

Benny Soebardja adalah pemusik rock era 70an asal Bandung yang disegani.Lelaki kelahiran Tasikmalaya ini juga memiliki pendirian yang keras.Di saat band band rock era 70an lebih bangga menjadi impersonator band band rock mancanegara,Benny Soebardja bersama Giant Step ,band yang dibentuknya pada tahun 1973 tetap gigih dan keukeuh untuk membawakan karya-karya orisinal mereka diatas panggung.Benny ngotot pasang harga mati untuk tetap mengusung karya cipta sendiri.Bahkan yang paling edan di saat Giant Step diminta tampil membawakan lagu-lagu The Beatles dalam sebuah konser mengenang The Beatles  di Bandung pada tahun 1976,Giant Step tetap tak bergeming.Mereka tak menghiraukan persyaratan yang diajukan panitia untuk membawakan lagu-lagu The Beatles melainkan membawakan karya karya mereka sendiri.

Dipertengahan era 70an Benny Soebardja yang sarjana pertanian ini kembali jadi sorotan publik saat mencerca musik Dangdut sebagai musik maaf…tai anjing .Komentar panas Benny Soebardja ini ditanggapi frontal oleh Oma Irama dari kubu dangdut.Polemik yang kian memanas ini seperti diberi tempat oleh majalah pop Aktuil yang terbit di Bandung.Untungnya polemik yang meruncingh tajam ini berakhir dengan perdamaian antara kedua kubu musik, baik rockj maupun dangdut. Apalagi muncul fakta baru, ternyata baik Benny Soebardja maupun Oma Irma sama-sama berasal dari Tasikmalaya.Perseteruan lintas musik ini berakhir dengan happy ending.

Benny Soebardja ingin bersepanggung dengan Soneta Group tapi batal,dan akhirnya Giant Step sepanggung dengan penyanyi dangduit wanita Lies Saodah.Dalam solo album Benny Soebardja yang didukung band Lizzard,Benny  Soebardja memasukkan unsur tabla,instrument tabuh India yang menjadi inspirasi musik dangdut.

Oma Irama mulai mengadopsi sound gitar rock dalam tata musik dangdut Soneta  Group.Banyak yang menilai Oma Irama mulai menyusupkan anasir music rock dalam music dangdut yang mereka mainkan.Pengaruh style gitar ala Ritchie Blackmore,gitaris Deep Purple menyeruak disana-sini dalam gugus musik Oma Irama dan Soneta Group.Di tahun 1975 band rock Surabaya AKA malah merilis album Pop Melayu dan di tahun 1979 Achmad Albar,vokalis God Bless merilis album dangdut Zakia.

Idealisme Benny Soebardja dalam bermusik memang  tak diragukan.Musik adalah panggilan jiwa yang selalu meronta ronta dalam diri Benny Soebnardja. ”Saya selalu dan tetap ingin bermain musik “ .Di rekaman maupun di panggung.Keinginannya untuk tetap eksis dalam bermusik itu saya rasakan sangat  jelas.Saya ingat ketika tahun 1996 Benny Soebardja datang menemui saya dan mengeluarkan seluruh uneg-unegnya : “Saya ingin rekaman lagi !”. Saya terperangah.Saya kaget,karena ternyata Benny Soebardja betul-betul serius untuk kembali tampil dalam industri musik Indonesia.Jelas saya bingung , akan kemana saya mengarahkan keinginan Benny Soebardja untuk berkutat dalam dunia rekaman mengingat sosoknya telah cukup lama menghilang, belum lagi situasi kekinian musik Indonesia pasti tidak menerima lagio kehadiran pemusik masa lalu.

Saya akui ini adalah situasi musik Indonesia yang sangat tidak fair terutama karena para praktisi industri musik hanya mau berkonsentrasi terhadap pemusik-pemusik belia saja.Namun saya tetap memberikan rekomendasi pada Benny Soebardja ke label mana harus dia temui.Saya ingin agar Benny Soebardja pada akhirnya bisa memahami kondisi industri musik di negeri ini seperti apa.Yang saya ingat,Benny Soebardja menemui sebuah label rekaman yang saya rekomendasikan .Dan seperti yang sudah saya duga,label tersebut mengatakan belum dapat bekerjasama untuk saat ini.

Tapi Benny Soebardja pantang mundur,dia tetap bersemangat ingin kembali bermusik seperti dulu di era 70an.Di saat riuh rendah penonton mengelu-elukannya di panggung panggung rock atau di saat majalahj Aktuil memajang wajahnya sebagai cover depan majalah.Selain meminta bantuan saya serta rekan saya Denny MR, Benny Soebardja ingin tampil di panggung beserta bandnya Giant Step.Sayangnya personil Giant Step susah untuk disatukan kembali.Triawan Munaf misalnya sibuk dengan perusahaan advertisingnya.Tapi Benny Soebardja tetap ingin bermain musik rock di panggung.Tahun 1997 saat saya masih bekerja di radio classic rock M97FM,saya mengajak Benny Soebardja tampil secara solo bersama beberapa pemusik rock era 70an di News Café Kuningan.Saat itu saya melihat bahwa Benny masih memiliki semangat dan kemampuan musik yang memadai diatas panggung pertunjukan  .

Dengan didukung drummer  Jelly Tobing yang pernah masuk dalam formasi Giant Step (1983-1985)  serta beberapa pemusik muda, Benny Soebardja  sempat pula  tampil di Classic Rock Stage,sebuah café khusus memainkan band-band classic rock dibilangan Blok M sekitar akhir era 90an. Kegigihan Benny Soebardja ini membuat saya teringat dengan salah satu judul album Giant Step yang dirilis sekitar tahun 1977 “Kukuh Nan Teguh”.Benny Soebardja tak diragukan lagi adalah sosok yang kukuh dan berpendirian teguh.

Tahun 2006 Benny Soebardja kembali menelpon saya.Saat itu Benny ingin merilis ulang album Gedhe Chokras dari  Shark Move,band yang dibentuk Benny pada tahun 1971 bersama Bagu Ramchand,Sammy Zakaria,Janto Diablo dan Soman Loebis.Kemudian saya memperkenalkan Benny dengan David Tarigan yang saat itu adalah A&R Aksara Record.Atas bantuan David Tarigan akhirnya Benny melakukan remastering album Ghede Chokras (Shark Move) di studio Pendulum.Hasil remastering inilah yang kemudian ditawarkan Benny Soebardja ke Shadoks Record,sebuah label kecil di Jerman yang sebelumnya telah merilis reissue album Ariesta Birawa dan Guruh Gipsy secara internasional.Album Gedhe Chokra’s dirilis Shadoks Record pada 23 Oktober 2007.Diluar dugaan ternyata album Sharkmove yang dirilis pertamakali tahun 1973 itu mendapat review yang bagus di mata internasional.

Benny Soebardja kemudian dihubungi oleh Egon Alapatt dari label Now Again Record yang ingin membuat kompilasi band-band rock/psychedelic Indonesia pada era 70an.Egon tertarik untuk memasukkan lagu Evil War dari Sharkmove dalam kompilasi yang kemudian diberi judul Those Shocking Shacking Days yang diambil dari judul lagu milik kelompok Ivo’s Group.Egon bahkan meminta bantuan Benny Soebardja menghubungi para pemusik Indonesia  seperti Koes Plus,Panbers,The Brims,Ivo’s Group,Black Brothers dan banyak lagi yang lagu-lagunya dimasukkan dalam kompilasi yang dirilis 8 Februari 2011.Album kompilasi ini juga didukung oleh Jason Connoy,pemilik label Strawberry Rain asal Kanada.

Jason Connoy ternyata juga tertarik dengan karya Benny Soebardja bersama Sharkmove sehingga akhirnya Connoy menawarkan kepada Benny Soebardja untuk merilis ulang karya karya solo Benny Soebardja berdasarkan album-album solo Benny Soebardja pada era 70an seperti My Life (1975) Give Me Piece of  A Gut Rock (1977) dan  Night Train (1978) dalam format CD dan Vinyl yang kesemuanya sold out. Jika anda menelusuri di internet maka akan terlihat begitu banyak review yang memuji karya Benny Soebardja tersebut.

Walaupun telah sukses sebagai pengusaha,ternyata Benny Soebardja tetap memiliki passionate yang luar biasa terhadap ingar-bingar musik rock.Setelah sukses berkolaborasi dengan The S.I.G.I.T dalam konser lintas genre lintas generasi  DjakSphere 2012 20 November 2012, kini Benny Soebardja akan melakukan reuni bersama Giant Step dengan mengajak personil Giant Step mulai dari era tahun 1973 hingga 1985 yaitu Triawan Munaf (vokal,keyboard),Erwin Badudu (keyboard),Jelly Tobing (drum),Deddy Dorres (gitar/keyboard),Adhi Sibolangit (bass) dan Donny Suhendra yang menggantikan gitaris Albert Warnerin yang batal ikut karena kesehatan yang tak memungkinkan.Tak hanya sekedar reuni Giant Step saja,tapi Benny Soebardja juga berhasil membujuk rekan rekan rockernya di era 70an untuk turun gunung kembali menyajikan musik rock di panggung pertunjukan.Acara yang bernama Rock Actual 70 ini rencananya akan menampilkan 5 band rock papan atas era 70an yaitu God Bless,Rollies,SAS,Superkid dan Giant Step pada 3 Mei 2013 jam 20.00 di Sting Ray Crown Hotel Jalan Gatot Subroto Jakarta.

Benny Soebardja sudah bisa tersenyum melihat semangat dan kegigihannya berbuah nyata.”Musiklah yang kembali menautkan dan menyatukan kami” ungkap Benny Soebardja.

Saya lalu teringat penggalan lirik lagu Giant Step yang dirilis di tahun 1985 bertajuk “Reuni” :

Oh disini berkumpul lagi kita kembali

Dan masih nyata,masa lalu penuh suka dan duka

Gelak tawa gembira menghias suasana membuka lembaran cerita lama

Hari ini terlukis tingkah laku dahulu

Seakan akan tiada pernah berlalu

Terasa hangat diri detik detik ini

Mungkin tak akan pernah  terulang lagi

Reuni wajah wajah berseri ceria

Reuni saat saat penuh nostalgia

Ketika mengetahui bahwa Dave Grusin akan tampil bersama Lee Ritenour dalamn ajang Java Jazz Festival saya langsung membatin……Yessssss. Akhirnya pemusik old crack yang juga dikenal sebagai produser rekaman ini datang juga ke Indonesia.Saya malah merasa bahwa jangan jangan Dave Grusin memang malas berkunjung ke Indonesia.Tapi toh semua rasa itu pupus setelah saya sendiri bertatap mata langsung dengan Dave Grusin yang menginap ndi Borobudur Hotel Jakarta.Dave Grusin adalah pemusik jazz paling tua yang tampil di ajang Java Jazz International Festival 2013.Dilahirkan dengan nama Robert David Grusin 26 Juni 1934.Dave Grusin yang murah senyum itu pertamakali merilis album di tahun 1962 “Subways for Sleeping”.Pianis,komposer dan pengaransir musik ini lalu memulai karir sebagai penulis score film di tahun 1967 lewat film “Divorce American Style” yang dibintangi Dick Van Dyke dan Debbie Reynolds.Dave Grusin dikenal dalam dua sisi musik yaitu pianis jazz dan pembuat music score film.Di tahun 1979,bersama Larry Rosen, dia mendirikan GRP (Grusin Rosen Production).Di tahun 1994 GRP menjadi bagian dari MCA Records.Tahun 1995 Dave Grusin dan Larry Rosen mundur dari GRP.Di tahun 1997 Grusin dan Rosen membentuk label baru N2K Encode Music bersama produser Phil Ramone.Model bisnis label ini mulai mengarah ke situs music online dengan merilis produknya melalui Music Boulevard.

Saya bersama Dave Grusin di Borobudur Hotel Jakarta

Saya bersama Dave Grusin di Borobudur Hotel Jakarta

Penampilan Dave Grusin bersama gitaris Lee Ritenour selama dua malam di Java Jazz Festival memukau penonton.Komposisi legendaris “Mountain Dance” yang diambil dari album solonya di tahun 1980 mengundang applause penonton.Di era 80an lagu instrumental ini cukup populer diputar di radio-radio kota besar di  Indonesia.   ASpaluse pun menggema lagi saat Dave Grusin yang telah membuat banyak music score film layar lebar itu kemudian memainkan intro piano “It Might Be You” yang menjadi theme song film Tootsie, film humanis yang dibintangi aktor kawakan Dustin Hoffmann.

Sabtu siang 2 Maret 2013 yang cerah  saya memang telah mempersiapkan diri untuk  berbincang-bincang  dengan Dave Grusin.Jam 14.10 lelaki tua ini  baru saja makan siang di Borobudur Hotel Jakarta.

Apa kabar ?

DG : Wow…..I’m fine walau terasa agak panas…..

Jika saya menyebut bahwa seluruh hidup anda,anda dedikasikan ke musik,apakah anda setuju ?

DG : Yeah off course.Saya dilahirkan dari lingkungan musik.Ayah saya pemain biola dan ibu saya seorang pianis.Seperti kebanyakan anak kecil saya juga mulai kursus piano.Saya berhenti belajar piano saat SMP dan SMA,tapi tetap main musik.Kemudian saya kuliah musik di University of Colorado dan lulus tahun 1956.

Setelah itu ?

DG : Ya…..memilih hidup sebagai pemusik.Karya pertama saya yang direkam yaitu  Subways For Sleeping di tahun 1962.Setahun kemudian saya mengisi musik untuk acara acara TV dan di tahun 1967 mulai membuat scoring untuk film layar lebar. I had a vague interest in writing music.

Kenapa berminat menulis scoring untuk film ?

DG : Karena menulis komposisi musik untuk film itu adalah hal yang saya lakukan sampai akhir hayat ha ha ha.Saya bisa bikin scoring film tanpa melihat batas waktu seperti trend dan semacamnya

Ada berapa music score film yang telah anda buat ?

DG : Sekitar 100 judul film……

Kemudian anda mendirikan label rekaman ?

DG : Betul.Di akhir era 70an saya dan Larry Rosen sepakat mendirikan GRP (Grusin Rosen Production), ini semacam bendera untuk kerja kita berdua dalam industri musik terutama musik jazz.Dengan basis freelance,kami memproduksi rekaman jazz seperti Earl Klugh juga dave Valentin.Akhirnya tujuan bisnis kami berubah dari sekedar produksi musik berlanjut ke label rekaman.Larry lalu mendekati Clive Davis dan akhirnya Arista Record berperan sebagai distributor produk-produk GRP.

Bergeser dari produksi musik ke label rekaman merupakan upaya yang berani.Betulkah ?

DG : Absolutely right.Kami memulai dengan interes terhadap musik yang kita hasilkan.Itu modal awal.Saat masih remaja saya memang telah berangan-angan ingin memiliki label rekaman.Ketika GRP terbentuk  kami hanya memiliki product deal saja,kami tak memiliki yang namanya product control ketika hasil rekaman telah meninggalkan studio mastering.Kami juga merasakan ada hal yang tak sesuai antara pemasaran dengan paradigm yang ada.Kesimpulannya,banyak hal yang seharusnya dilakukan ketika label telah didirikan.

Penjualan album jazz semakin hari kian menurun.Bagaimana cara mengatasinya ?

DG : Ini pertanyaan bagus yang sulit untuk saya jawab.Orang membeli album musik yang mereka senangi dan kami beruntung memiliki artis yang disukai orang.Terkadang kami tetap melaju walau terjadi kekeliruan dalam konsep marketingnya.Apalagi yang kami lakukan berada dalam area yang bukan arus besar.Ini adalah soal marketing juga promosi. but if you can get your own audience aware of what you are releasing at any given time, you have a better chance I think.

Lalu kenapa anda melepas label GRP ?

DG : Hmmmm….selama bertahun tahun kami ternyata banyak melakukan hal yang tidak feasible secara ekonomi. I had a film career and we didn’t really make any money at the record label.Secara artistik kami memperoleh kepuasan dalam menghasilkan rekaman melalui GRP tapi kami pun harus memenuhi banyak kewajiban secara ekonomi.Akhirnya saya dan Larry harus rela melepaskan GRP.

Bagaimana kemajuan teknologi berdampak pada dunia musik ?

DG :
Saya rasa ledakkan teknologi yang sedang terjadi sekarang, pada khususnya distribusi informasi (yang meluas), dan banyaknya data informasi yang tersedia, akan sanat mempengaruhi bagaimana musik akan di-distribusikan. Tadinya saya mau mengatakan ‘Bagaimana musik akan di jual’, tapi musik sekarang bisa dibilang sudah tidak dijual lagi. Musik ada diluar sana, dan banyak cara baru untuk menyebarkannya. Saya rasa ini pasti akan sangat mempengaruhi, secara negatif, cara musik dipasarkan. Saya rasa cara lama (memasarkan musik) tidak bisa bertahan lama lagi. Tidak ada alasan bagi cara pemasaran lama seperti itu untuk bertahan. Kadang saya berpikir, tidak ada alasan lagi untuk membeli album lagi – Banyak perusahan yang sekarang memfokuskan diri pada menghantarkan musik langsung ke rumah, kapanpun anda mau.

Banyak layanan yang akan memberikan anda kesempatan untuk mendengarkan musik yang anda mau, kapanpun anda, sampai anda muak dengan musik tersebut. Saya tidak tahu apa itu hal yang bagus atau tidak. Saya merasa ada sesuatu yang spesial dari memiliki sebuah CD (fisik) – yang berhubungan dengan rasa kepemilikkan. Saya rasa kita mengalami suatu proses keterikatan psikologis ketika kita memutuskan untuk membeli sebuah benda fisik. Kamu telah melakukan banyak hal dan proses untuk membelinya.

Ketika itu berubah, saya tidak tahu apakah itu akan mempengaruhi pandangan orang pada musik, pada umumnya. Masalah hak cipta sudah lama menjadi wacana, dan banyak pihak yang telah lama menganggap bahwa musik itu bebas dan milik siapa saja. Bahwa musik itu ada di udara untuk diambil oleh siapa saja. Orang-orang yang berpikir begitu, secara umum, telah dibuktikan sebagai pihak yang benar.

Lalu hilangkah musik ?

Secara filosofi, ketika kemampuan bagi musik untuk menghasilkan uang bagi para penciptanya telah hilang, maka sesuatu akan hilang dan akan ada pengaruhnya nanti. Kita akan kehilangan musik, dan kita akan kehilangan jenis musik yang mungkin tidak begitu menjual. Saya rasa itu bukan hal yang begitu bagus.

Film Badai Pasti Berlalu (Teguh Karya 1977)

Film Badai Pasti Berlalu (Teguh Karya 1977)

Film Djenderal Kantjil  (Nja' Abba Akup 1958)

Film Djenderal Kantjil (Nja’ Abba Akup 1958)

Film Lewat Djam Malam (Usmar Ismail,1954)

Film Lewat Djam Malam (Usmar Ismail,1954)

Film Gie (Riri Riza 2005)

Film Gie (Riri Riza 2005)

Film Komedi Warung Kopi Prambors

Film Komedi Warung Kopi Prambors

Dulu disaat rezim Orde Baru tengah berkuasa ada sebuah pemeo yang kerap didengung dengungkan pada saat seremonial Festival Film Indonesia berlangsung yaitu  Film adalah tontonan sekaligus tuntunan.Sebuah permainan kata yang memikat yang dikoarkan Harmoko,Menterei Penerangan yang pernah berkarir sebagai  karikaturis dan wartawan .Masih ada lagi pemeo lain yang muncul dari mulut Harmoko yaitu Jadikanlah Film Indonesia Tuan Rumah Di Negeri Sendiri. Apa yang dilontarkan Bung Harmoko ini memang beralasan karena meskipun film Indonesia telah berproduksi pada dasawarsa 30an,toh masih tergencet dengan kemilau film-film asing mulai dari Hollywood,Hongkong,Malaysia dan India.Di paruh era 70an para pengimpor film asing diharuskan membuat film Indonesia.Saat itu, patut diakui,banyak penonton kita yang enggan dan malu nonton film Indonesia.”Film Indonesia norak,film Indonesia kampungan.Mudah ditebak dan serba kebetrulan”.Ini adalah reaksi dan respon penonton terhadap film-film Indonesia.Walaupun hal tersebut memang tak semuanya betul.

Menonton film Indonesia,dari kacamata mereka yang merasa berada di kelas menengah keatas,adalah aib tak kepalang tanggung.Bagi mereka jika ingin melihat kasta sosial masyarakat adalah dengan melihat dari film apa saja yang ditonton.Penonton film melodrama dangdut Rhoma Irama, mistis Suzanna atau komedi slapstick Warkop  sudah bisa dipastikan dari kalangan menengah kebawah yang konon hanya menempatkan film sebagai medium hiburan belaka.

Namun bagi saya sendiri yang sejak duduk dibangku SD telah keranjingan nonton bioskop, tetap menganggap bahwa film entah itu film impor maupun film lokal merupakan sebuah dokumentasi sejarah serta penanda atau refleksi zaman.Walaupun seni film tetap berada di zona rekayasa fiksi, namun pola pikir,paradigma,kecenderungan mode,gaya hidup atau arsitektur yang menyelusup dalam skenario dan setting cerita itu adalah cerminan sebuah zaman yang tak terelakkan.Gumpalan gumpalan budaya itu menyatu dalam adegan adegan film yang merefleksikan sebuah miniature peradaban budaya dan sosial.Misalnya kita bisa melihat isu apa yang tengah berlangsung dalam paparan adegan dalam film Lewat Djam Malam misalnya.Kita juga bisa memahami polemic apa yang berkembang secara massive lewat film Guna Guna Isteri Muda.Atau kenapa masyarakat begitu terpukau dengan kisah Nyi Blorong termasuk serial konyol-konyolan mahasiswa kos-kosan dalam film film Warkop.Semuanya adalah kejadian kejadian faktual yang ditumpahkan ke layar lebar melalui semangat hiburan yang betul betul dengan tendensi menghibur.

Saya masih ingat ketika masih anak anak film film  yang saya tonton bersama kedua orang tua saya pastilah film yang telah berlabelkan Untuk Semua Umur .Film film itu antara lain adalah serial Heintje “Heintje – Ein Herz geht auf Reisen” (1968), “ Hurra, die Schule brennt” (1969),” Einmal wird die Sonne wieder  Scheinnen “ (1970) hingga film film yang dibintangi Mark Lester seperti “Oliver Twist” (1968) ,”Run Wild Run Free (1969),”Melody” (1971) dan “Black Beauty” (1971).Dan tentunya film film Indonesia seperti “Malin Kundang (Anak Durhaka)” karya sutradara D.Djajakusuma dengan bintang Rano Karno.Saat itu Rano Karno adalah aktor cilik ketiga yang saya kagumi setelah Heintje dan Mark Lester.Sebagai anak kecil saya mulai mengidentifisir diri saya terhadap tingkah laku mereka dalam film yang menurut saya pantas jadi panutan.Berbagai film Rano Karno pun mulai saya tonton bersama adik adik saya didampingi ibu, seperti Si Doel Anak Betawi,Tabah Sampai Akhir,Yatim,Rio Anakku,Dimana Kau Ibu ?,Romi dan Juli hingga Anak Bintang

Di era 70an itu film  anak-anak Indonesia cukup banyak diproduksi, yang saya ingat ada film Samtidar yang dibintangi Andy Carol,Si Bagong Mujur yang dibintangi Hasanuddin hingga Bonnie dan Nancy yang dibintangi Astri Ivo.Selain itu film Ratapan Anak Tiri yang dibintangi Faradilla Sandy adalah film anak-anak yang laris ditonton walaupun dengan kisah yang menguras air mata setelah sebelumnya film anak anak India  seperti Balak (1969) dengan bintang cilik Mehmood Jr hingga film Haathi Mere Sathi (1971) yang dibintangi aktor Rajesh Khanna tentang persahabatan dengan seekor gajah yang baik hati.

Film film komedi pun menjadi bagian masa kecil saya yang tak terlupakan mulai dari serial film Crazy Boys-nya Les Charlots dari Prancis ,film film Benyamin S hingga film film Kwartet Jaya seperti Bing Slamet Setan Djalanan,Bing Slamet Dukun Palsu,Bing Slamet Sibuk dan Bing Slamet Koboi Cengeng.

Itulah sekelumit film film yang mewarnai masa kecil saya.Banyak pelajaran yang saya bisa ambil dari film film yang oleh pihak Badan Sensor Film dikategorikan sebagai tontonan Untuk Semua Umur. Film sebagai rekayasa fiksi bagi saya selain sebagai medium hiburan juga menjadi inspirasi dan motivasi hidup.Film sebagai miniatur kehidupan banyak memberikan pelajaran tanpa disadari apalagi bagi saya yang saat itu masih seorang murid SD. Misalnya perihal persaingan sesama anak kecil antara Doel (Rano Karno) dan Sjafii (Tino Karno) adalah kejadian kejadian yang kerap kali kita temui dalam kehidupan nyata.

Dalam film juga saya bisa melihat pengadeganan Koes Bersaudara yang dijebloskan ke dalam penjara Glodok oleh pemerintah Orde Lama karena dianggap mengadopsi budaya Barat dsengan musik yang diistilahkan Bung Karno sebagai musik ngak ngik ngok.Adegan memenjarakan Koies Bersauadara ini adalah film A.M.B.I.S.I yang disutradarai Njak Abbas Akup pada tahun 1973.

Bagi saya dan keluarga nonton film di bioskop adalah ritual perekat keharmonisan keluarga yang tiada tanding saat itu.Apalagi tontonan adalah hiburan yang termasuk langka.Saat itu belum ada video,belum ada VCD dan DVD, semua film harus ditonton di bioskop.Televisi saat itu masih satu yaitu TVRI bahkan di zaman saya TVRI baru ada di Jakarta belum meluas ke daerah daerah.Alhasil nonton film adalah hiburan utama.Bandingkan dengan kondisi zaman sekarang,sinepleks bertebaran dimana-mana termasuk di mall-mall megah.Anak anak sekarang bias melihat film-film hanya dengan mengklik kanal Youtube mulai dari trailer film-film termutakhir hingga film film klasik   yang bisa didownload secara utuh pula.

Film harus tetap ada.Film harus tetap diproduksi.Karena film adalah sumber mata air dalam sisi hiburan,perenungan,intropeksi,motivasi sekaligus inspirasi.Dan seperti yang saya tuturkan diatas tadi bahwa film adalah perekam zaman sekaligus perekat ingatan.Bayangkan saja, era atau zaman yang tidak kita alami sebelumnya, bisa kita rekonstruksikan lagi dengan menonton kelebat adegan dalam film.Melihat suasana Jakarta dalam film Tiga Dara adalah sensasi belajar sejarah budaya dan kehidupan yang tiada bandingannya termasuk saat kita menonton rekonstruksi Indonesia di era peralihan Orde Lama ke Orde Baru dalam film besutan Riri Riza “Gie” misalnya.

Antrian panjang penonton film 5 Cm (Rizal Mantovani)  maupun Habibie dan Ainun  (Faozan Rizal) sebetulnya merupakan bukti bahwa film Indonesia masih memiliki penonton yang banyak jumlahnya.Sebuah film yang mampu membuat keseimbangan antara hiburan dan idealisame dipastikan akan dengan cepat menjadi buah bibir masyarakat.Insan film pendahulu seperti Usmar Ismail misalnya terbukti mampu memikat masyarakat penonton dengan rumusan seperti yang saya paparkan diatas.Di tahun 2012 lalu film besutan Usmar Ismail “Lewat Djam Malam” (1955) setelah melalui proses restorasi akhirnya bisa ditronton kembali oleh generasi sekarang, dan tiudak menutup kemungkinan bahwa film-film Indonesia lainnya yang dating dari berbagai era sebelumnya bisa ditonton lagi oleh generasi sekarang.

Jelas sudah bahwa film adalah perekam sejarah yang timeless yang bisa ditonton kapan saja,dimana saja  dan oleh generasi yang tak mengalaminya sama sekali.Jadi sesungguhnya tak ada alasan mematikan film dalkam kondisi apapun.Kelebat adegan film harus tetap terpantul di layar lebar.  Bukanlah kita tak mau disebut bangsa amnesia ?

Menolak Lupa (Musik) Indonesia

Posted: Maret 14, 2013 in Opini
Usman Bersaudara (foto Hengky Herwanto)

Usman Bersaudara (foto Hengky Herwanto)

Menolak Lupa (Musik) Indonesia

Minggu pagi 10 maret saya nonton beberapa kanal TV swasta yang lagi menayangkan beberapa program infotainment yang diwarnai berita kasus narkoba Raffi Ahmad dan berita perceraian artis.Lalu ada berita duka tentang berpulangnya ayah dari pemain sinetron Poppy Bunga.Hampir disemua infotainment memberitakan kepulangan ayah Poppy Bunga.Poppy Bunga pun jadi focus perhatian.Tak dijelaskan secara rinci siapakah ayah Poppy Bunga itu.Mungkin bagi pengelola infotainment,tak penting siapa atau asal usul ayah Poppy Bunga.Ini yang sangat disayangkan.karena ayah Poppy Bunga itu sesungguhnya adalah salah satu bintang musik pop Indonesia era 70an.Dia adalah Usman leader,gitaris dan vokalis band Usman Bersaudara yang terbentuk tahun 1967 yang memiliki banyak hits di era 70an.Hanya sedikit data yang diungkap tentang almarhum Usman ini, tak lebih dari :” Usman,ayah Poppy Bunga,adalah penyanyi senior”.Hanya itu,bahkan footage tentang kejayaan Usman Bersaudara di era 70an sama sekali tak dimunculkan di layar kaca.

Koes Plus

Koes Plus

Miris sekali.Saya hanya menduga bahwa pengelola infotaimen tak mengetahui siapa sosok Usman dan mereka tak memiliki data komprehensif.Mau dicari di google datanya memang sedikit.Dugaan saya lainnya,pihak infotainmen menganggap sosok Usman tak perlu dikedepankan karena toh almarhum adalah tokoh musik masa lalu,jadul dan tak punya arti bagi pemirsa sekarang.Makanya yang dikedepankan adalah puterinya Poppy Bunga yang masih punya daya pikat yang mengangkat rating TV.

Apabila dugaan dugaan saya diatas benar maka kita patut prihatin.Pertama,karena bangsa kita tak terlalu peduli dengan dokumentasi maupun pengarsipan.Kedua,kita hanya terpukau pada pesona sosok penghibur masa kini,yang datang dari masa lalu ya sudah habis alias masuk kotak saja.Pada akhirnya kita memang tidak menaruh hormat kepada para pendahulu,orang-orang masa lalu yang sesungguhnya juga merupakan pembuka jalan bagi para penghibur masa kini.

Kita selalu lupa dengan masa lalu.Kita selalu mengabaikan sejarah.Missing link atau putus mata rantai ini menjadikan kita bangsa pandir yang tak mengetahui sejarah masa silam bangsa dan budayanya.

Saya masih ingat beberapa waktu lalu, banyak rekan jurnalis yang kebingungan saat mau menulis tentang kiprah seni Bing Slamet, seniman serba bisa yang meninggal tahun 1974.Sosok Bing Slamet jarang ditemui dalam literature bahkan ketika kita menggoogling nama Bing Slamet yang keluar adalah data tentang anaknya Adi Bing Slamet atau Uci Bing Slamet dan yang paling banyak adalah info tentang cucu Bing Slamet,Ayundya Bing Slamet.Satu bukti lagi bahwa kita menghiraukan budaya dokumentasi dan pengarsipan.

Akibat fatal yang mencuat dari ketidakpedulian kita terhadap upaya dokumentasi adalah ketika pihak Malaysia mengklaim lagu Rasa Sayange yang berasal dari Maluku sebagai karya cipta milik Malaysia.Nasionalisme semu kita terusik.Sebagian besar meradang atas perilaku Malaysia yang mengakui karya cipta milik Indonesia  sebagai karya mereka.Teriakan Ganyang Malaysia menbahana.Kita seperti kebakaran jenggot.Jika kita telaah dengan arif,yang salah sebetulnya dalah kita sendiri yang tidak sama sekali melakukan upaya dokumentasi atau pendataan karya cipta.Ini adalah kesalahan terbesar bangsa Indonesia.Tak peduli dengan harta karun budaya kita sendiri.

Tidakkah kita miris dan prihatin bahwa naskah kuno I Laga Ligo yang merupakan mahakarya suku Bugis Sulawesi Selatan yang ditulis di abad ke-13 justeru disimpan oleh pemerintah Belanda ?. Naskah ini sekarang merupakan bagian dari koleksi naskah-naskah Indonesia dari the Netherlands Bible Society, yang diberikan hak permanen ke Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden Perpustakaan Universitas Leiden sejak tahun 1905-1915 di Belanda. Bahkan naskah I Laga Ligo ini dijadikan teater musikal oleh Robert Wilson.

Kesadaran terhadap warisan seni budaya kita justeru datang dari bangsa asing.Lihat saja misalnya Shadoks,sebuah label kecil yang berada di Jerman malah berupaya melakukan reissue terhadap beberapa album-album rock Indonesia era 70an seperti Ariesta Birawa,Sharmove hingga Guruh Gipsy.Lalu di tahun 2010,label Sublime Frequencies milik Alan Bishop di Seattle Amerika Serikat berupaya merilis ulang album kompilasi Dara Puspita serta album “To The So Called The Guilties” (Koes Bersaudara,1967) dan album “Dheg Dheg Plas” (1969) dan “Koes Plus Vol.2” (1970).Muncul pula kompilasi lagu-lagu rock Indonesia 70an dari Now Again Record bertajuk “Those Shocking Shaking Days Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk 1970 – 1978.

Now Again Record ini adalah label milik Egon yang ternyata tertarik dengan skena musik Indonesia pada rezim Soeharto.Selain itu ada juga Strawberry Rains label milik Jason Connoy dari Toronto Kanada yang juga telah merilis album kompilasi repertoar rock AKA,band rock 70an dari Surabaya.Kini Jason Connoy siap merilis album reissue Kelompok Kampungan “Mencari Tuhan”.Kelompok Kampungan adalah kelompok folk Yogyakarta yang lahir dari komunitas seni Bengkel Teater WS Rendra.Jason Connoy baru baru ini mengirim e-mail ke saya bahwa dia tertarik untuk merilis ulang 5 judul album karya Harry Roesli pada era 70an seperti Philosophy Gang,Titik Api,Tiga Bendera,L.T.O dan Ken Arok.

Sebuah paradoks yang menggemaskan,di saat generasi sekarang justeru  tak mengenal siapa pendahulunya,generasi yang ikut hidup di era 70an malah terjangkit virus amnesia nan akut.

Belakangan ini kesadaran itu mulai mencuat dalam komunitas yang mengumpulkan kembali produk industri rekaman musik Indonesia di masa silam.Ini upaya apresiasi yang bagus.Malah dari komunitas-komunitas semacam mulai terbetik kabar bahwa mereka berwacana ingin membangun museum musik.Lalu pada 13 maret 2013 Indosiar meluncurkan acara musik Rumah Musik Indonesia yang tampaknya ingin menyatukan serpihan serpihan sejarah musik negeri ini yang berserakan.Lewat episode perdana yang mengangkat kepioniran Koes Bersaudara atau Koes Plus dalam konstelasi musik Indonesia,upaya TV swasta ini rasanya harus kita hargai.Di saat jaringan TV swasta seolah tak peduli terhadap heritage musik Indonesia yang kerap dituding tak memiliki rating, munculnya Rumah Musik Indonesia ini seolah oase di padang tandus nan kering kerontang. Patut dihargai memang.Siapa lagi yang akan berbuat jika bukan kita. Hidup musik Indonesia.

Usman Berpulang 9 Maret 2013

Posted: Maret 10, 2013 in Obituari
Album terlaris Usman Bersaudara di tahun 1978 "Sorry Boy" (Irama Tara)

Album terlaris Usman Bersaudara di tahun 1978 “Sorry Boy” (Irama Tara)

Usman Bersaudara dari kiri Said (bass,vokal),Sofyan (drum,vokal),Usman (gitar,vokal) dan Mamo Agil (keyboard,vokal)

Usman Bersaudara dari kiri Said (bass,vokal),Sofyan (drum,vokal),Usman (gitar,vokal) dan Mamo Agil (keyboard,vokal)

Album debut Usman Bersaudara di akhir era 60an lewat label J&B Record

Album debut Usman Bersaudara di akhir era 60an lewat label J&B Record

Tadi malam dapat kabar duka melalui BBM bahwa Usman (65 tahun) gitaris,vokalis sekaligus leader Usman Bersaudara meninggal dunia jam 20.00  WIB sabtu 9 maret 2013.

Usman Bersaudara adalah band berasal dari Surabaya.Inspirasi band yang terdiri atas Usman (gitar),Gufron (gitar),Said (bass) dan Sofyan (drums) ini adalah Koes Bersaudara,kelompok bersaudara yang tampil memukau publik Indonesia sejak awal era 60an.

Seperti halnya Koes Bersaudara, Usman Bersaudara yang memulai karir musik sebagai pengamen ini juga melakukan harmonisasi vokal yang bening dengan dominasi musik beat ala The Beatles.

Album perdana Usman Bersaudara ini sekarang termasuk barang langka.banyak kolektor yang memburu vinyl Usman Bersaudara ini.

Di era 70an Usman,Sofyan dan Said melebur dalam band Man’s Group.Di tahun 1974 Nomo Koeswoyo merekrut mereka bertiga bergabung dalam No Koes.Tahun 1976 Ketiga bersaudara ini lalu mundur dari No Koes dan kembali mengangkat panji Usman Bersaudara dengan mengajak adik kandung mereka Mamo Agil yang saat itu masih anggota Pandawa Lima bergabung dalam Usman Bersaudara yang kemudian merilis album pada label Irama Tara.

Pendiri dan pemilik label Aquarius Johannes Soerjoko paling kiro bersama Irianti Erning Praja,Andy Liano,Tantowi Yahya,Pay Burman,Adi Adrian dan Lolo Romulo

Pendiri dan pemilik label Aquarius Johannes Soerjoko paling kiro bersama Irianti Erning Praja,Andy Liano,Tantowi Yahya,Pay Burman,Adi Adrian dan Lolo Romulo

Bersama pendiri dan pemilik label Aquarius saat 40th Anniversary Aquarius di Grabnd Hyatt September 2009 (Foto Denny Sakrie)

Bersama pendiri dan pemilik label Aquarius saat 40th Anniversary Aquarius di Grabnd Hyatt September 2009 (Foto Denny Sakrie)

Warung Kopi Prambors adalah kaset lawak pertama yang dirillis Aquarius pada tahun 1979 (Foto Denny Sakrie)

Warung Kopi Prambors adalah kaset lawak pertama yang dirillis Aquarius pada tahun 1979 (Foto Denny Sakrie)

God Bless,album rock pertama yang dirilis Aquarius di tahun 1976.Saat itu masih menggunakan nama PramAqua (kongsi antara radio Prambors dan Aquarius) (Foto Denny Sakrie)

God Bless,album rock pertama yang dirilis Aquarius di tahun 1976.Saat itu masih menggunakan nama PramAqua (kongsi antara radio Prambors dan Aquarius) (Foto Denny Sakrie)

Menakar Keseimbangan Bermusik

Oleh Denny Sakrie

Rekaman Jazz Indonesia Aquarius "Nada dan Improvisasi" di tahun 1982

Rekaman Jazz Indonesia Aquarius “Nada dan Improvisasi” di tahun 1982

Harmony and understanding
Sympathy and trust abounding
No more falsehoods or derisions
Golden living dreams of visions
(“Aquarius/Let The Sunshine In”)

Lagu “Aquarius/Let The Sunshine In” terus terngiang ngiang di kuping Johannes Soerjoko ketika lagu ini acapkali berkumandang di radio pada tahun 1969.Lagu yang ditulis oleh James Rado,Gerome Ragni dan Galt McDermot menjadi representasi generasi bunga yang tak percaya lagi pada generasi tua,pejabat,pemerintah dan apa pun yang mereka anggap sebagai sosok establish.Namun bagi Soerjoko yang saat itu genap berusia 20 tahun,lagu yang diangkat dari sebuah karya musikal bertajuk “Hair” itu menjadi inspirasinya kelak untuk nama perusahaan rekaman yang dirintisnya.Secara kebetulan pula,Ook demikian sapaan akrabnya,berada dibawah naungan zodiak Aquarius.Disisi lain pemuda penggila musik ini terhanyut dengan lirik-lirik lagu “Aquarius” yang seolah berpetuah tentang harmoni,tentang simpati dan tentang rasa percaya.”Bukankah ini visi yang dibutuhkan dalam mengarungi kehidupan” demikian Soerjoko membatin.
Soerjoko pun terinspirasi dengan symbol Im dan yang terdapat pada 8 trigrams (Pat Kwa) sebagai logo Aquarius.Sebuah penafsiran atas Yin dan Yang.Sebuah keseimbangan dalam hidup.Keseimbangan itulah yang kemudian seolah menjadi takaran dalam strateginya menghasilkan sebuah produksi musik.Yakni keseimbangan antara idealisme bermusik dan koridor komersial.

Kegilaannya terhadap musik memang kian menjadi.”Karena lebih memilih menggeluti musik,saya hanya bertahan 3 bulan kuliah di FakultasTeknik Trisakti” ungkap Johannes Soerjoko yang kini telah berusia 60 tahun dan telah memiliki kerajaan musik bernama Aquarius.
Bagi Ook,alunan musik bagaikan candu yang membuatnya ketagihan.Sejak kecil Ook memang sudah terbiasa mendengarkan rekaman musik melalui piringan hitam yang diputar diatas gramophone yang disediakan oleh ayahnya seorang pedagang yang bermukim di Jalan Batu Tulis,yang sejak 40 tahun lalu telah berubah menjadi kantor Aquarius.Tiada hari tanpa menyimak lagu-lagu dari koleksi piringan hitamnya.Ketika duduk dibangku SD pada tahun 1959 lelaki bertampang keras ini telah membeli piringan hitam dengan menggunakan uang jajannya sendiri.”Seorang teman menawarkan sebuah album dari Cliff Richard “Living Doll” pada saya karena butuh duit.Lalu tanpa piker panjang saya beli album single itu” kenang Soerjoko.
Sejak itulah berbagai piringan hitam tak pernah lepas dari genggaman Soerjoko.Apalagi ketika mulai tertarik menggeluti dunia rekaman.”Saya tertarik melihat tetangga saya pak Budiman membuka usaha perekaman lagu-lagu barat dengan mengambil sumber dari piringan hitam.Pak Budiman menerima pesanan dari pelanggannya untuk merekam lagu-lagu yang sedang hits.Disitulah mulai muncul istilah kaset ketikan.Karena judul lagu-lagunya setelah direkam diketik pada secarik kertas.Itu berlangsung tahun 1967” papar Soerjoko.

Kaset Ketikan produksi Aquarius di awal era 70an

Kaset Ketikan produksi Aquarius di awal era 70an

Setelah meraup cara teknik merekam dari Pak Budiman,mulailah Johannes Soerjoko mengembangkan intuisi bisnisnya dari kegiatan merekam musik ini.Ketika perangkat Tape Deck Stereo mulai muncul di pasaran pada tahun 1970-an barulah semua orang dari segala lapisan masyarakat menggandrungi kaset.Jelas kaset lebih praktis dan relatif terjangkau dibandingkan dengan piringan hitam.
Soerjoko kemudian mengawali usahanya dalam bidang merekam lagu-lagu barat pada tahun 1969.”Saya lalu membeli perangkat perekam milik pak Budiman secara kredit.Itulah awal mula Aquarius.Meskipun masih menjalani perekaman secara by request.Belum secara massal” ungkap Soerjoko.
Di awal era 70-an barulah Aquarius melakukan bisnis merekam secara missal dengan merilis berbagai album,mulai dari pop,rock,jazz hingga klasik.”Kita mulai menitipkan produksi kaset kita kebeberapa toko seperti Aloha di Proyek Senen,Jakarta Foto dan Duta Suara di jalan Sabang” tutur Soerjoko.
Kehadiran kaset-kaset barat yang diproduksi Aquarius memang mendapat respon bagus dari penggemar musik.”Kaset Aquarius soundnya bagus dan awet.Mereka lebih banyak merekam album ketimbang kaset kompilasi.Yang saya ingat,Aquarius merekam album the Beatles,Rolling Stones,Led Zeppelin,Black Sabbath bahkan Frank Zappa.Jazz pun mereka rekam seperti Herbie Mann,Ahmad Jamal dan banyak lagi” ungkap Darmanto (58 tahun) yang mengaku fanatik terhadap kaset keluaran Aquarius.
Filosofi Aquarius dalam menghasilkan rekaman musik Barat yaitu memberikan kenyamanan pada penikmat musik segala macam jenis musik.Ini dibuktikan dengan kualitasaudio yang bagus,kualitas pita kaset bahkan hingga ke susunan lagu.Dalam semua album yang dihasilkan Aquarius,susunan lagunya diubah dengan menempatkan lagu-lagu andalan pada urutan pertama sebagai penguak isi album.Ini adalah salah satu strategi yang pada akhirnya timbul fanatisme konsumen terhadap produk- produk Aquarius.
Keunggulan Aquarius dalam memilih dan merekam album barat bermuasal dari kegemaran Soerjoko pada segala genre musik.”Dia paham musik.Dia ngerti jazz dan rock.Terus terang wawasan musik kami terbuka dengan kehadiran album album yang direkam Aquarius” puji gitaris jazz Jopie Reinhard Item.
“Selera musik yang dimiliki Soerjoko tercermin dari album-album yang diproduksi Aquarius .Saat itu Aquarius memang lebih banyak memanjakan telinga penikmat musik dari strata sosial menengah ke atas yang tersirat dari katalog musik pop,rock,jazz dan klasik.
Munculnya produk musik jazz di Aquarius contohnya,merupakan tantangan dari berbagai pihak diantaranya pemusik jazz Jack Lesmana maupun penggemar jazz Indra Malaon,yang menganjurkan agar diproduksi serial musik jazz.
“Makanya saya lebih suka disebut Record Man.Pencinta musik sejati” ujar Soerjoko.
Apa yang diucapkan Soerjoko memang bisa dibuktikan ketika dia berburu piringan hitam hingga ke berbagai penjuru dunia.
“Pada masa awal saya sering belanja piringan hitam di toko Sinar Jaya yang ada di Pasar Baru.karena koleksinya itu itu aja saya mulai ke Singapore.Tapi toh nafsu berburu saya malah kian menjadi dan kian menggebu-gebu.Saya mulai mengarahkan sasaran ke berbagai tempat ” kisah Soerjoko.
Di tahun 1974,Soerjoko berkunjung ke London Inggeris.Dia mulai berbelanja piringan hitam di retail piringan hitam ternama HMV.Musik musik aneh pun menjadi sasarannya seperti Gentle Giant,Genesis,ELP,Yes dan masih banyak lagi.
Saat kembali ke Indonesia,kedua belah tangan Soerjoko menenteng tas berisikan 50 keping piringan hitam,25 keping ditangan kiri dan selebihnya di tangan kanan.
Pada era 80-an,Soerjoko dalam sehari nekad mengunjungi dua kota sekaligus diawali di Paris Perancis dan berakhir di Amsterdam.”Saat itu saya menggunakan Concorde dengan jarak tempuh 7 jam” tuturnya.Soerjoko pun mulai bercerita tentang beberpa tempat strategis yang menyediakan berbagai rekaman musik diantaranya adalah Boudisque di tengah kota Amsterdam.”Boudisque adalah tempat penjualan rekaman musik terbesar dan terlengkap di Eropa” ucap Soerjoko.
Apakah Aquarius ingin tampil secara eksklusif ? ”Aquarius selalu berusaha untuk tidak terpaku dengan produk album yang hanya berorientasi pasar .Tapi berusaha untuk selalu kreatif menyajikan produk-produk yang secara musikalitas mempunyai keunikan .Di era “bajakan” tahun 70’an saat penjualan musik barat dikuasai pop dan hard rock, Aquarius mulai memperkenalkan musik-musik art rock seperti Yes, Genesis, King Crimson, Greenslade, Gentle Giant. Di saat dunia di landa wabah “Saturday Night Fever” Aquarius malah menemukan “Tagalog Disco” Aquarius kemudian memulai pula me-masyarakatkan album-album yang ber-nuansakan jazzy di awal 80-an dengan nama Jazzy Tunes atau Jazz Vocal” tutur Iman Sastrosatomo,yang pernah menduduki posisi A&R dan Production Manager di Aquarius dari awal 80-an hingga paruh 90-an.
Selain Iman Sastrosatomo,Aquarius pernah didukung sederet sosok yang memiliki kontribusi tinggi dalam operasional produksi dan kreatif diantaranya adalah Agus Syarif Hidayat yang kemudian berkiprah di EMI dan Warner Music Indonesia maupun Kunto Hadiwijoyo yang kini berada di Sony Music Indonesia.

Tatkala produksi Aquarius mulai tersebar di awal dasawarsa 70-an,penjualannnya per tahun mencapai angka 2 juta kaset.”Jumlah itu terangkum dari berbagai artis dan genre musiknya” tambah Soerjoko.Harga kaset barat saat itu berkisar dari Rp 400 hingga Rp 700.
Ini bisa dicatat sebagai masa keemasan dalam usaha yang dilakukan perekam barat termasuk Aquarius.Saat itu di Indonesia memang belum ada perlindungan terhadap hak cipta lagu Barat.”Kami merasa itu sesuatu yang bukan illegal.Toh kami dikenakan pajak juga oleh pemerintah” tukas Soerjoko perihal paradoks yang terjadi dalam industri musik di Indonesia.
Pada akhir dasawarsa 70-an dan awal dasawarsa 80-an,omzet Aquarius turun menjadi 1,5 juta per tahun lantaran munculnya berbagai perusahaan rekaman serupa.”Kondisi saat itu disebut free for all.Misalnya sebuah album dari Deep Purple direkam oleh banyak perekam.Bukan hanya Aquarius saja ” tukas Soerjoko.
Saat itu di dasawarsa 80-an,terdapat setidaknya 9 perekam lagu barat.5 diantaranya termasuk yang terbesar yaitu Aquarius,King’s Record,Atlantic Record,Team Records dan EGO Records.4 dibawahnya ada Hins Perfecta,Audio Master,Contessa dan Golden Lion.Ada juga beberapa perekam barat lain yang tiras produksinya tak lebih dari 1000 kaset per bulan diantaranya adalah Queen Record,Yess,Hidayat Connoseur,Monalisa, maupun Golden Rate.

Omzet Aquarius sendiri semakin menurun pada tahun 1987 menjadi 1,2 juta kaset termasuk 350 ribu kaset yang diekspor ke wilayah Timur Tengah.
Namun Aquarius toh masih memiliki hasil penjualan album album Indonesia sekitar 800 ribu kaset untuk album dari penyanyi wanita Nicky Astria dan Ruth Sahanaya serta penyanyi negeri jiran Sheila Madjid.”Sheila Madjid merupakan kerjasama Aquarius dengan pihak EMI Malaysia” tambah Soerjoko.
Di tahun 1988,masa kejayaan perekam Barat berakhir saat Bob Geldof,vokalis kelompok musik Irlandia The Boomtown Rats yang juga sebagai penggagas konser amal terbesar Live Aid menuntut Indonesia sehubungan masalah pembajakan atas konser Live Aid yang berlangsung di Philadelphia Amerika Serikat dan Wembley Stadium Inggeris pada Juli 1985 yang dilakukan para perelam lagu-lagu Barat di Indonesia.
Era pembajakan pun beralih ke penghormatan Undang Undang Hak Cipta pada paruh tahun 1988.Aquarius pun memulai lembaran baru dalam bisnis rekaman.Aquarius masih tetap merekam dan merilis lagu-lagu barat tapi kini dengan cara yang lebih terhormat.Pihak Aquarius malah didekati oleh sederet perusahaan rekaman internasional untuk bermitra .Akhirnya Aquarius memegang lisensi hak cipta dari dua raksasa label internasional yaitu EMI dan Warner Music.”Jelas ini melegakan dan sekaligus membanggakan,karena EMI dan Warner menaruh kepercayaan pada kami.Sebetulnya kepercayaan itu telah mereka endus sejak Aquarius menjalin kerjasama dengan EMI Malaysia saat merilis album Sheila Madjid di tahun 1986” papar Soerjoko.

Disamping berkonsentrasi dengan lagu-lagu Barat.Aquarius tetap tak melupakan scene musik lokal .”Biar bagaimanapun kami kan orang Indonesia.Kami tak boleh melupakan kreativitas pemusik local” ucap Soerjoko.
Sebetulnya sejak tahun 1975 Aquarius yang berkongsi dengan PT Radio Prambors Rasisonia lewat label Pramaqua sudah mulai merilis album karya anak negeri yang ditandai dengan munculnya album Noor Bersaudara dan Prambors Vokal Group yang diteruskan dengan dirilisnya album perdana dari grup rock God Bless pada tahun 1976.
Jika diamati secara seksama,maka katalog musik Indonesia yang dirilis Pramaqua terasa lebih berpihak pada musik apresiasi dibanding dengan produksi rekaman musik Indonesia yang dihasilkan perekam Indonesia seperti Remaco,Purnama,Musica Studios atau Yukawi yang terasa lebih menomorsatukan sisi komersialnya.
“Terus terang ini merupakan bagian dari selera juga.Karena saya telah terbiasa dengan musik yang lebih apresiatif,akhirnya musik musik seperti God Bless,Jopie Item,Noor Bersaudara,Yockie dan lainnya itulah yang kita rekam” tutur Soerjoko.
Dimata para pemusik yang pernah merilis album di Pramaqua atau Aquarius,konsep kreativitas sangat dihargai.
“Suasana kerja di Aquarius sangat kondusif, didalam beberapa proyekt rekaman kita diberi kebebasan untuk berkreasi, tanpa adanya intervensi,Pesan mereka semua lagu yang kita rekam harus memiliki kualitas yang sama, jangan hanya konsentrasi di ‘key tracknya’ saja, sedang sisanya dikerjakan secara asal-asalan. Dalam satu album ,setiap lagu harus memiliki kualitas setara.Mereka concern pada sound quality. Pak Ook sangat memperhatikan secara detil” ungkap Karim Suweileh,drummer jazz yang banyak memberikan kontribusi dalam beberapa penggarapan album di Aquarius mulai dari jazz,cha cha,keroncong hingga ke musik rohani.
:Ketika album Musik Santai yang saya garap pada tahun 1977 itu dianggap membuahkan hasil.Saya pun mendapat privillege dari Aquarius.Saya dibebaskan untuk membuat sebuah rekaman sesuai insting musik saya hingga akhirnya muncul album Jurang Pemisah yang saya buat bersama Chrisye dan James F Sundah.Namun ternyata album ini memang terasa lebih berat.Agak idealis sih” komentar Yockie Suryoprayogo mengenai keterlibatannya dalam proses kreatif di Aquarius pada paruh dasawarsa 70-an.
Perihal idealisme bermusik Aquarius memang tampak konsisten dari tahun ke tahun.Pakem yang dicangkokkan Soerjoko masih tetap bersemi hingga sekarang ini.
“Saya sangat merasakan hal itu.Terlebih ketika saya mulai menjalani solo karir di awal tahun 2000-an.Konsep kreativitas kita sebagai pemusik sangat dihargai oleh Aquarius.Mereka memang memiliki standar yang oleh sementara pemusik mungkin dianggap terlalu cerewet terutama konsep musik dan kualitas audio.Itu sudah harga mati.Tapi saya justeru banyak belajar dari situ.Bayangkan di album kedua saya Keseimbangan saya diberi semacam privillege,mulai dari menentukan arranger hingga rancangan budgeting album” ungkap Ari Lasso,mantan vokalis Dewa yang akhirnya menjalani solo karir di Aquarius.
“Konsep musik,karakter penyanyi atau band merupakan tuntutan utama kami.Jumlah penjualan album itu nomor dua.Mungkin karena itu jugalah yang membuat artis artis yang berada dibawah Aquarius tak terlalu banyak.Kami memang berusaha agar setiap artis Aquarius itu mendapat sentuhan dan perhatian.Jika jumlah terlalu banyak pasti akan sulit .sekali ” ungkap Suwardi Widjaja,Direktur Artis dan Repertoar Aquarius.
Komposer,pianis dan konduktor kesohor Addie MS pun merasa memiliki kenyamanan saat menjalin kerjasama dengan Aquarius.”Aquarius memiliki idealisme dalam mempertahankan kualitas produksinya. Seringkali tidak berpikir dua kali dalam mengulang suatu proses produksi demi mencapai apa yang dikehendakinya. Misalnya dalam proses mixing atau mastering. Aquarius berhasil membentuk citra yang khusus, sedemikian rupa sehingga musisi maupun artis-artis potensial merasa ada kebanggaan untuk bekerja sama dengan Aquarius” komentar Addie MS yang sempat merilis2 album simfonik bertajuk ”Simfoni Negeriku” (1995) dan ”La Forza Del Destino” (1998)” .
”Simfoni Negriku merupakan proyek rekaman yang secara hitungan bisnis jauh dari ideal. Tidak menjanjikan keuntungan sama sekali, karena bukan berisi lagu-lagu perjuangan atau nasional Indonesia. Album yang awalnya tidak dimaksudkan untuk dijual itu, akhirnya dengan pertimbangan agar bisa dinikmati masyarakat seluas-luasnya, berhasil diedarkan secara umum atas jasa Aquarius. Kebetulan Aquarius memiliki idealisme yang sama dalam memasyarakatkan lagu-lagu nasional Indonesia melalui albumini” ujar Addie MS panjang lebar.

Walaupun seolah kukuh dengan idealisme,toh Aquarius sebagai sebuah perusahaan tetap harus survive.:Walaupun tetap tak mengabaikan keuntungan dalam berproduksi,Aquarius berupaya tetap menjaga kualitas.
Sejak merilis Noor Bersaudara di tahun 1975.Kami baru merasakan keuntungan yang lebih dari lumayan justeru dari dua album lawak milik Warung Kopi Prambors di tahun 1979” tutur Soerjoko.
Album pertama Warung Kopi Prambors berhasil terjual sebanyak 258.000 unit dan album keduanya terjual diatas 100.000 unit.Saat itu jumlah yang diraih dari album Warung Kopi Prambors merupakan prestasi tersendiri.
Konsep keseimbangan memang terlihat jelas disini.”Aquarius memang selalu ingin berada dalam posisi win win solution “ tandas Ari Lasso lagi.
“Di saat Aquarius merilis album solo Raidy Noor atau album Nada dan Improvisasi yang bernuansa jazz,toh tampak berimbang dengan merilis album Nicky Astria” jelas Iman S lagi.
Aquarius pada galibnya memang sangat memperhitungkan kondisi pasar dengan menjejalkan produk-produk yang seolah anti-trend,namun sesungguhnya justeru memberikan keseimbangan dalam kualitas bermusik.
Disaat hampir semua perusahan rekaman seolah berlomba lomba menampilkan artis musik dalam pola yang seragam dengan kucuran hasil ring back tone yang menggiurkan,Aquarius seolah nakhoda kapal yang tenang di geladak menghadapi topan yang siap menghancurkan seluruh isi kapal.
Konsistensi inilah yang sangat mencuat dari perusahaan rekaman yang awalnya hanyalah merupakan bentuk kecintaan atau kegilaan seorang anak muda bernama Johannes Soerjoko terhadap musik yang berkumandang dari putaran piringan hitam.

(Tulisan ini dimuat di majalah Rolling Stone edisi Juni 2009)

Kaset Guruh Gipsy dirilis di tahun 1977 (foto Denny Sakrie)

Kaset Guruh Gipsy dirilis di tahun 1977 (foto Denny Sakrie)

Guruh Gipsy Dari kiri Abadi Soesman (synthesizers),Chrisye (bass,vokal),Keenan Nasution (drums,vokal),Roni Harahap (piano/keyboard,komposer ),Oding Nasution (gitar)  dan Guruh Sukarno Putra (piano,gamelan,komposer)

Guruh Gipsy Dari kiri Abadi Soesman (synthesizers),Chrisye (bass,vokal),Keenan Nasution (drums,vokal),Roni Harahap (piano/keyboard,komposer ),Oding Nasution (gitar) dan Guruh Sukarno Putra (piano,gamelan,komposer)

Piringan Hitam Guruh Gipsy dirilis Shadoks Jerman tahun 2006 tanpa izinPiringan Hitam Guruh Gipsy dirilis Shadoks Jerman tahun 2006 tanpa izin

Album Guruh Gipsy menghabiskan waktu dua tahun dalam penggarapannya yang dimulai tahun 1975 hingga 1977.Album cutting edge ini bisa dianggap embrio gerakan indie di negeri ini.Mereka patungan mengumpulkan modal untuk rekaman,memproduksi sendiri lalu mendistribusikannya tanpa jaringan label satu pun.Tahun 2006 sebuah label di Jerman mereissue Guruh Gipsy tanpa izin.Tahun ini label Moon June dari New York tertarik untuk merilis album yang kini jadi target kolektor dunia.

Pada tahun 1974 Sepulang dari lawatan musik di  New York Amerika Serikat,Keenan Nasution mulai banyak berhubungan dengan Guruh Soekarno Putera.Guruh yang baru saja tiba dari Belanda gelisah ingin menampilkan sebuah proyek musik yang  menampilkan musik tradisional Indonesia yang bersanding dengan musik Barat.Di Belanda,Guruh pernah bersua dengan Pandji,Direktur Konservatorium Bali yang kebetulan tengah menimba ilmu pula.Atas gagasan Pandji,Guruh pun menampilkan kemampuannya menabuh gamelan dan menari.Selanjutnya kelangsungan komunitas penabuh gamelan Bali yang dibentuk Pandji diserahkan pada Guruh Soekarno Putera. Keenan Nasution bertutur panjang tentang album Guruh Gipsy yang tahun ini genap berusia 36 tahun.

Sejak kapan kenalan dengan Guruh ?

Sebetulnya sejak kecil,saya dan Guruh sama sama sekelas di Sekolah Yayasan Perguruan Cikini.Guruh memang suka seni.Dia juga punya band namanya The Flower Poetman.Guntur,abangnya saat itu sudah dikenal sebagai drummer band Aneka Nada

Kenapa memilih musik Bali ?

Bagi saya sendiri gamelan Bali itu bukan hal baru.Antara tahun 1966-1968 saat Gipsy masih menggunakan nama Sabda Nada,kita sudah bereksperimen menggabungkan band dan gamelan.Kebetulan di rumah saya tinggal I Wayan Suparta seniman Bali yang paham gamelan Bali.Bahkan seperangkat gamelan Bali ada di Pegangsaan saat itu.Musik Bali itu eksotis dan dinamis.Makanya saya merasa spirit music Bali itu mirip dengan rock.Lalu kami mulai iseng menggabung gabungkan music rock dan Bali.Kami bahkan pernah mebawakan lagu Yes dari album Tales From Topographic Oceans dengan memasukkan gamelan Bali

Jika kita simak, album Guruh Gipsy tampaknya juga  terpengaruh band band art rock era 70an.Betulkah ?

Itu betul.Pada dasarnya saat itu kami lagu gandrung menyimak band band seperti Yes,Genesis atau ELP.Secara gak sadar pengaruh itu muncul saat kami menulis komposisi musiknya.

Misalnya ?

Nah coba simak riffing Geger Gelgel deh,itu kami ambil referensi dari lagu “Heart of Sunrise” nya Yes.Atau pada lagu Indonesia Maharddhika ada yang terpengaruh “And You And I” nya Yes.Bahkan Roni Harahap nekad memasukkan beberapa part Watcher of The Skies-nya Genesis kedalam bentuk paduan suara di lagu Janger 1897 Saka.Oding saat bingung mau mengisi solo gitar di lagu Barong Gundah lalu mengambil inspirasi dengan mendengar Birds Of Fire-nya Mahavishnu Orchestra.Dalam lagu Chopin Larung kami mengadaptasi excerpt karya klasik Chopin “Fantasie Impromptu”.

Siapa saja yang ikut mendukung album Guruh Gipsy ?

Wah lumayan banyak tuh.Ada Hutauruk Sisters sebagai penyanyi latar.Orkes Studio Jakarta.Pianis klasik Trisutji Kamal serta Kelompok Seni Bali Saraswati yang dipimpin I Gusti Kompyang Raka.Pak Kompyang ini pada lagu Geger Gelgel berperan sebagai dalang.

Betulkah album Guruh Gipsy ini digarap selama dua tahun ?

Bisa dikatakan penggarapan album ini jadi panjang karena memang komposisi yang dibuat memang serba kolosal terutama karena ingin menggabungkan musik rock dan Bali.Seingat saya proses rekaman pertama berlangsung Juli 1975 dan berakhir 16 November 1976.Sebetulnya proses rekaman Guruh Gipsy berlangsung selama 52 hari. Ada pun kurun waktu sekitar 16 bulan itu termasuk dihabiskan untuk mengumpulkan biaya dari para donatur,latihan dan menulis materi lagu hingga menunggu jadwal studio kosong  terutama ketika  studio recording digunakan oleh pihak lain .

Dimana Guruh Gipsy direkam ?

Di Laboratorium Pengembangan dan Penelitian Audio Visual Tri Angkasa,sebuah studio rekaman dengan fasilitas kanal 16 track pertama di Indonesia yang berada di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan.Sound engineernya adalah Alex Kumara dan Yongki Mamahit.Saat rekaman kami saling berdesak-desakan karena recording room yang tak seberap besar harus memuat begitu banyak orang terutama ketika sesi yang melibatkan chamber orchestra,paduan suara dan para pemain gamelan.

Bisa cerita proses perekaman Guruh Gispy ?

Rekaman Guruh Gipsy fase pertama berlangsung dari Juli 1975 hingga Februari 1976 dan berhasil menyelesaikan sebanyak 4 komposisi yaitu Geger Gelgel,Barong Gundah,Chopin Larung  dan sebuah komposisi yang belum diberi judul tapi kemudian tidak jadi dimasukkan dalam album. Lalu rekaman Guruh Gipsy fase 2 berlangsung  dari Mei hingga Juni 1976 yang menghasilkan 3 lagu masing masing Djanger 1897 Saka, Indonesia Maharddhika dan Smaradhana.Pada fase ini ada 3 komposisi yang direkam lagi dan disempurnakan yaitu Barong Gundah, Chopin Larung dan Geger Gelgel.

Lagu apa yang dirasakan sulit saat rekaman ?

Lagu “ Indonesia Maharddhika” dan “Geger Gelgel” termasuk sulit penggarapannya secara teknis,karena begitu banyak bunyi-bunyian yang harus direkam  serta jumlah pemainnya yang mencapai 25 orang hingga studio berukuran 50 meter persegi terasa begitu sesak dan pengap.

Lagu “Indonesia Maharddhika”misalnya membutuhkan proses dubbing berupa pengisian suara gitar elektrik ,keyboard,piano elektrik dan synthesizers sebanyak 200 kali. Dulu saat harus mengadopsi banyak bunyi-bunyian keyboard dalam berbagai layer harus melakukan overdub ratusan kali.Sesuatu yang pasti tak akan ditemui pada proses perekaman di zaman sekarang yang telah didukung teknologi mutakhir.

Dari mana modal untuk pembuatan album Guruh Gipsy ?

Dari para donator kenalan kita. Awalnya Pontjo Soetowo yang memang banyak memfasilitasi kegiatan bermusik kami sejak tahun 1966 yang banyak mengeluarkan kocek.Lalu disusul dengan dukungan dana dari banyak pihak antara lain ada dari Hasjim Ning juga Taufik Kiemas.

Apakah betul Guruh Gipsy meniru Bali Agung nya Eberhard Schoener yang berkolaborasi dengan Anak Agung Raka,pemusik Bali ?

Seingat saya saat album Bali Agung dirilis akhir 1976, Guruh Gipsy baru saja menyelesaikan proses rekaman.Jadi kami tidak meniru Eberhard Schoener.

Di tahun 2006 label Shadoks di Jerman merilis ulang Guruh Gipsy dalam bentuk vinyl.Apakah ada izin ?

Wah itu sama sekali gak ada izin secara langsung ke kami.Mereka mengambil materi Guruh Gipsy dari kaset yang ditransfer ke CD.Ketika saya menghubungi Shadoks melalui email,mereka minta maaf dan berdalih tidak tahu harus kemana untuk minta izin rilis ulang.Tapi dengan tegas saya meminta kepada mereka untuk menghentikan produksi Guruh Gipsy

Apa komentar anda tentang respon dunia terhadap Guruh Gipsy ?

Kaget juga terutama setelah melihat review review mereka di internet yang memuji Guruh Gipsy dan lebih kaget lagi ketika mengetahui bahwa album Guruh Gipsy menjadi target para kolektor dunia.Oktober 2012 lalu Leonardo Pavkovic pemilik label MoonJune Record di New York dating menemui saya untuk meminta izin merilis Guruh Gipsy secara internasional.Namun sampai sekarang ini belum ada kesepakatan yang konkrit antara Guruh Gipsy dan MoonJune Record.

Tulisan ini dimuat di majalah Rolling Stone Indonesia edisi no.95 – Maret 2013