Arsip untuk Oktober, 2012

Jalan Panjang Bermusik Ian Antono

Posted: Oktober 27, 2012 in Sosok

Ian Antono saat tergabung dengan band Bentoel Malang

Suka atau tidak, Ian Antono bagian dari sejarah musik rock Indonesia. Lebih dari 35 tahun ia mendedikasikan diri terhadap musik rock. Meskipun Ian, yang nama kompletnya Jusuf Antono Djojo, juga terlibat dalam penggarapan album-album di luar genre rock. Entah pop atau dangdut, sentuhan rock, terutama dari riff-riff gitarnya, tetap terasa. Hebatnya, Ian menafsirkan rock yang bercita rasa western dengan rasa Melayu. Sepintas saja, orang awam mudah menebak musik yang ditata Ian Antono. Artinya, Ian menemukan jati dirinya sebagai seorang pemusik. Namun, hal ini tidak diperolehnya dalam sekejap. Band demi band dimasukinya. Berbagai rekaman telah digarapnya sejak 1970-an hingga sekarang. Layaknya ksatria, Ian Antono adalah sosok yang telah kenyang mencicipi asam garam (musik) rock. Gitar adalah instrumen yang mewujudkan segala imajinasi musikalnya.

Musik memang hidup Ian Antono. Musisi kelahiran Malang, 29 Maret 1950, ini telah bergabung dalam sebuah band bocah saat kanak-kanak. Instrumen yang dipegangnya adalah bongo dan sering memainkan lagu-lagu bernuansa Melayu seperti yang dibawakan Orkes Gumarangnya Asbon dan Nurseha.

Lalu, bersama dengan saudaranya, Ian Antono membentuk Zodiacs. Saat itu ia sedang mengagumi gitaris Hank Marvin dari grup The Shadows (Inggris) serta pasangan gitaris Don Wilson dan Bob Bogle dari kelompok instrumental Amerika The Ventures. Kedua grup itu menonjolkan permainan gitar elektrik. Ketika bergabung ke Irama Abadi (Abadi Soesman) pada 1969, mulailah Ian bermain profesional di Marco Polo Hotel Menteng, Jakarta, selama dua tahun.

Di awal 1970, Ian balik ke Malang memperkuat kelompok Bentoel, yang dibiayai perusahaan rokok Bentoel. Di grup ini Ian sempat bermain drum sebelum akhirnya gitar. Bentoel Band terdiri atas Ian Antono (gitar), Teddy Sujaya (drum), Wanto (flute), Bambang M.G. (bas), Mickey Michael Merkelbach (vokal), dan Yanto (keyboard). Yang disebut terakhir adalah abang kandung Ian Antono. Bentoel Band ini memainkan musik pop hingga rock. Jika di atas pentas, Bentoel lebih banyak memainkan repertoar rock mulai dari Traffic hingga The Rolling Stones. Bahkan Mickey, sang vokalis, sempat menampilkan aksi menggigit leher kelinci, lalu darahnya ditenggak. Atraksi itu mungkin ingin meniru kelompok Black Sabbath atau Alice Cooper. Tetapi, Bentoel bisa berubah santun ketika menjadi pengiring Emillia Contessa dalam rekaman.

Pada 1971-1973 Bentoel adalah grup musik yang aktif melakukan tur ke berbagai kota di Indonesia. Saat Bentoel tampil di “Jakarta Fair 1974”, mereka dilirik God Bless yang sedang mencari pengganti Keenan Nasution (drum) dan Oding Nasution (gitar). God Bless terkesima melihat dua personel Bentoel Teddy Sujaya (drum) dan Ian Antono (gitar). Tak lama berselang keduanya direkrut. Ketika bergabung, God Bless aktif membawakan repertoar seperti Free Ride (Edgar Winter Group) atau From Another Time (James Gang).

Medio 1970-an, musik rock hanya laku sebagai tontonan panggung. Perusahaan rekaman besar Remaco, Metropolitan, atau Purnama menganggap sebelah mata jenis ini. Kalaupun ada grup yang merekam album, dipastikan mereka dituntut membawakan lagu-lagu berkonotasi pop yang lembek. Tak heran God Bless baru merilis album perdana pada 1976 oleh PT Pramaqua, perusahaan rekaman baru kongsi Radio Prambors dan Aquarius. Di album ini, God Bless menulis lagu sendiri yang sebagian besar ditulis Donny Fattah dan Ian Antono, di samping menyanyikan lagu Friday on My Mind (The Easybeats) dan Eleanor Rigby (The Beatles).

Album tersebut banyak menuai kritik karena beberapa aransemen lagu God Bless banyak menjiplak dari grup mancanegara yang ditambal sulam ke pola mereka. Mulai dari interlude Firth of Fifth dan Dancing With The Moonlit Knight-nya Genesis, Thick As A Brick (Jethro Tull), hingga Valedictory (Gentle Giant) atau She Passed Away yang seolah kembaran lagu Spooky Tooth The Mirror Hal ini terulang ketika merilis Cermin (1980) yang banyak mencomot musik grup Kansas, misalnya lagu Anak Adam yang introduksinya diambil dari Journey from Maria Bronn. Bahkan tujuh tahun berselang terulang lagi pada Semut Hitam yang nyaris sama dengan Goin’ Crazy-nya David Lee Roth atau intro Kehidupan mirip Livin’ on A Prayer-nya Bon Jovi.

Kenapa hal semacam ini bisa terjadi? Antara lain keterpengaruhan grup mancanegara yang dikagumi. Tetapi, ada sisi positifnya, karena pengaruh-pengaruh tersebut Ian akhirnya menemukan cetak biru karakter musiknya sendiri. Sebetulnya ini lumrah. George Harrison pernah dituding menjiplak He’s So Fine-nya The Chiffon pada lagu My Sweet Lord. Deep Purple menjiplak riff Bombay Calling milik grup It’s A Beautiful Day untuk lagu Child in Time dan lainnya. Era kreativitas Ian Antono mulai mengkristal justru pada 1980 ketika sebelumnya ia berhasil menjadi penata musik untuk beberapa album pop rock seperti Biarawati (Sylvia Saartje, 1977) dan proyek Duo Kribo (Achmad Albar-Utjok Harahap, 1976-1978).

Lalu, album penyanyi pop wanita digarap Ian Antono, antara lain Berlian Hutauruk, Happy Pretty, Dewi Puspa, Angel Pfaff, Hetty Koes Endang, hingga Grace Simon. Dengan cerdas Ian membalut sentuhan rock dalam lagu-lagu pop mereka. Misalnya, ketika ia mengaransemen Rindu (Ferdi Ferdian) yang dinyanyikan Hetty Koes Endang dan menjadi hits. Mungkin lewat tangan Ian jugalah musik rock yang sempat terpinggirkan berubah menjadi tambang emas. Lihat saja sukses yang diraih Nicky Astria sebagai penyanyi rock wanita di pertengahan 1980-an lewat album Jarum Neraka, Tangan Setan, dan Gersang. Sukses Nicky lalu menjadi tren munculnya istilah lady rockers, ditandai oleh Anggun C. Sasmi, Nike Ardilla, Jossy Lucky, Mel Shandy, Ayu Laksmi, Lady Avisha, Cut Irna, Ita Purnamasari, dan Mayangsari.

Bukan hanya itu, Ian Antono mulai menyulut tren penyanyi rock pria yang berawal Achmad Albar, Ikang Fawzy, Freddy Tamaela, Gito Rollies, dan lainnya. Tangan dinginnya terlibat dalam memoles dua album fenomenal Iwan Fals 1910 dan Mata Dewa. Ian pun sempat menggondol penghargaan Penata Musik Terbaik album Mata Dewa dalam BASF Award 1992.Ian juga ikut membina regenerasi grup rock dengan menuntun sederet grup rock ke dunia rekaman, seperti Grass Rock, El Pamas, Whizz Kid, U-Camp, Sket, Geger, dan Jaque Mate. Menurut Ian, jika tidak ikut langsung dalam membina mereka niscaya sejumlah grup rock senior justru tak akan memiliki pengganti. Alhasil rock di negeri ini bakal pupus. Dalam album Tribute to Ian Antono yang dirilis oleh Sony Music Indonesia, Ian malah tampil bersama grup rock baru Gallagasi yang didukung dua putranya, Stefan Antono dan Rocky Antono. Setelah membubarkan grup Gong 2000 secara resmi pada acara tutup tahun 2000 dalam sebuah konser perpisahan di Ancol, ia masih setia dengan God Bless yang kini terkatung-katung menjalani proses album baru.
Gong 2000 sendiri salah satu tonggak perjalanan Ian Antono. Grup yang dibentuk pada 1991 ini sering membuat bingung karena Ian juga mengajak dua kugiran God Bless, yaitu Achmad Albar dan Donny Fattah. Tetapi, perbedaannya di Gong 2000 Ian Antono bertanggung jawab total terhadap musiknya. Dalam beberapa lagunya ada sentuhan instrumen etnik Bali.

Selain memiliki aktivitas dan kreativitas tinggi, tak bisa disangkal jika Ian Antono sebagai pemusik yang berpengaruh dalam konstelasi musik di negeri ini. Tradisi menulis lagu, terutama musik rock dengan syair Indonesia, bisa jadi ditularkan oleh Ian Antono dan grupnya, God Bless. Upaya God Bless menembus rekaman dengan idealisme musik rock medio 1970-an hasilnya dirasakan oleh para pemusik rock hingga sekarang.

Denny Sakrie, Pengamat Musik

(Tulisan ini dimuat di Koran Tempo 25 Mei 2004)

Ian Antono bersama God Bless 1985

dari kiri wartawan Theodore KS,Benny Panjaitan dan Dimas Wahab

Perlukah Museum Musik Indonesia ?…………

Apakah yang akan kita jawab,jika meluncur pertanyaan yang menyergah semacam itu.Pasti,sebagai rakyat Indonesia,kita akan menyerukan…..PERLU.Namun sampai detik ini,kita memang belum memiliki museum khusus yang menampung khazanah musik Indonesia dari jaman dahulu hingga sekarang.sayangnya,hal semacam ini terkadang memang selalu tak masuk dalam skala prioritas.Seringkali kita gelagapan jika banyak orang dari luar negeri yang menanyakan sdebetulnya industri musik pop Indonesia itu dimulai sejak tahun kapan ? Lalu muncul pertanyaan mengenai artis musik,album-album yang pernah dihasilkan.Berapa banyakkah perusahaan rekaman yang pernah berdiri di Indonesia.Siapakah pencipta lagu ini atau itu ?.Dan segudang pertanyaan lainnya.Kita memang tak bisa menjawab dengan eksak.Bahkan jika kita melakukan investigasi di internet dengan googling,tetap hasilnya tak bisa maksimal.Tak bisa tinggal klik seperti khazanah musik di Amerika Serikat,Inggeris atau negara-negara maju lainnya.Pendek kata,kejadian,peristiwa,karya-karya,apa dan siapa sosok yang berkecimpung di dunia musik Indonesia nyaris tak terdokumentasi secara akurat.Cukup memprihatinkan memang.

Nah dengan dasar dasar itulah,sekelompok insan musik Indonesia,tadi sore jam 15.00 WIB melakukan pertemuan awal untuk mewujudkan yang namanya Museum Musik Indonesia.Secara kronologis gagasan ini mencuat ketika Sys NS dan saya tengah berada di lokasi taping acara Zona 80 di Metro TV pada September 2008 silam.Saat itu,tercetus gagasan Sys NS untuk membuat Museum Musik Indonesia.Dia langsung mengangsur pendapat ke saya.”Sebetulnya ide ini sudah pernah dilakukan banyak pihak beberapa tahun lalu.Namun selalu berbenturan dengan pendanaan.Siapakah yang akan memayungi museum ini.Itulah pangkal persoalannya” ujar saya.

“Oke,mestinya ini ditangani Pemerintah.Sebagai langkah awal saya akn menemui Menteri Jero Wacik,untuk mengemukakan gagasan ini” tukas Sys NS.

Lalu,tadi pagi,sekitar jam 9.45 WIB,Sys NS menelpon saya :”Saya sudah ketemu pak Jero Wacik.Dia tertarik dengan gagasan museum musik itu.Nah,gimana kalo sore nanti kita bikin pertemuan dengan beberapa orang yang punya kompeten atau care di musik Indonesia.Setelah itu baru kita bikiin secara tertulis dan menghadap Jero Wacik” ungkap Sys NS.

Dan,lalu dilist-lah nama nama seperti Bens Leo (pengamat musik),Theodore KS (pengamat musik),Seno M Hardjo (produser rekaman),,Denny MR (wartawan musik),Denny Sakrie (pengamat musik),David Tarigan (label rekaman),Dimas Wahab (pemusik dan pengusaha) ,Benny Pandjaitan (pemusiki),Imran Amir (pengusaha radio) ,James F Sundah (pemusik)  dan Harry Sabar (pemusik)  untuk melakukan pertemuan  .

Ternyata yang bisa hadir tadi sore adalah Dimas Wahab,Theodore KS,Imran Amir,Harry Sabar,Benny Pandjaitan,Denny Sakrie dan Sys NS.

Secara santai kami lalu menyusun renacan untuk membuat semacam usulan mengenai terbentuknya Museum Musik Indonesia yang akan menampung dan mendokumentasikan pelbagai hal yang berkaitan dengan Khazanah Musik Indonesia.Kami saling melempar ide tentang idealnya sebuah Museum Musik.Ini memang baru langkah awal dari sebuah idealisme yang moga-moga bisa menciptakan Sejarah Musik Indonesia yang akurat dan sahih.

Kami butuh dukungan dan bantuan dari kalian semua.

Hidup Musik Indonesia

Harry Sabar (pemusik) dan Imran Amir (radio Prambors)

Inilah salah satu soundtrack film terbaik di era 1970-an,disamping “Cinta Pertama” (1975)  dan “Badai Pasti Berlalu” (1977).

“Pengantin Remadja” karya almarhum Wim Umbog di tahun 1971 memang seolah hibrida dua film “Love Story” dan “Romeo & Juliet” yang menokohkan  Romi (Sophan Sophiaan),lelaki muda yang tengah  mengalami kesulitan dalam hubungan percintaannya dengan teman sekolahnya, Juli (Widyawati). Kesulitan datang dari orangtua Juli, seorang petani kaya (WD Mochtar), yang tidak bisa percaya pada Romi yang punya latar belakang besar di luar negeri karena ayahnya memang seorang diplomat. Romi sendiri dijodohkan oleh eyangnya (Fifi Young) dengan seorang gadis Solo (Ratih Dardo), tidak bisa berpaling dari Juli. Ketidaksukaan petani kaya tadi semakin menjadi saat memergoki Romi dan Juli telanjang berdua di tengah padang rumput. Bahkan Basuki (Kusno Sudjarwadi), ikut kena labrak, hingga menulis testamen mengutuk Romi bila kawin dengan Juli. Sikap kedua orangtua itu kemudian berubah saat dokter (Aedy Moward) menemukan penyakit kanker darah pada Juli. Hidupnya divonis tinggal sebulan lagi. Perkawinan pun berlangsung meski hanya sebulan. kematian Juli tak terelakkan. Di malam kematian, Romi berangkat duluan dengan janji ketemu dalam waktu tidak lama. Juli meninggal dengan tenang di ranjang dan hanya kartu penduduk Romi yang kembali ke rumah orangtuanya.

Music Score nya digarap oleh maestro Idris Sardi.Idris yang liris pun menuliskan theme song “Pengantin Remadja” yang dinyanyikan Widyawati,pemeran utama pere,puan yang sebelumnya memang pernah tergabung dalam kelompok vokal Trio Visca bersama 2 saudara kandungnya.Ketika album soundtrack ini dirilis pada tahun 1971 oleh Mutiara Record,sempat timbul kehebohan,karena notasi lagu ini agak memiripi theme song “Love Story” yang diciptakan oleh Francis Lai.

Pada soundtrack album “Pengantin Remadja”,musik didukung oleh The Crabs,band yang dibentuk Bambang Trihatmodjo Soeharto.Band yang mangkal di Jalan Cendana ini terdiri atas Bambang Trihatmodjo (bass),Ade Anwar (vokal utama),Daddy (gitar),Aling (drum),Chano (keyboard) dan Harry Santoso (gitar).

Lagu “Pengantin Remadja” sendiri ditulis oleh Idris Sardi bersama Sjumandjaja dan Broery Marantika..Lagu lagu lain yang terdapat di album soundtrack ini ditulis oleh almarhum A.Riyanto,Is Haryanto dan Harry Toos dari Favorite’s Group.

Karakter lagunya memang cenderung melodrama,sesuai dengan alur cerita filmnya.Dalam lagy “Tjinta Sedjati” karya A.Riyanto,terasa pengaruh lagu “J’etaime Plus Non Moi” nya Jane Birkin dan Serge Gainsboroug.Aura romantik berbaur dengan atmosfer erotik.Lagu ini pun ditata dalam gaya instrumental dengan imbuhan voicing antara Sophan Sophiaan dan Widyawati.Dalam salah satu spoken word-nya Sophan berucap :”Apapun yang terjadi kita akan menjadib suami-isteri”.

Namun yang dramatis adalah “Surat Romi” yang memperdengarkan suara Sophan Sophiaan membacakan surat terakhir pada Yuli,dengan iringan derai tangis Yuli (Widyawati) :

  Yuli,Yuli sayang !

Kalau kau terbangun bersama matahari pagi membaca surat ini,jangan sesali burung burung yang berkicau dan alam sekitarmu yang tertutup kabut.Hidup nyatanya begitu singkat untuk kita berdua.Juga jangan sesali ini,karena betapapun kebahagiaan sudah pernah kita reguk bersama berdua…..sampai ke dasar.

 

TRACKLIST

1.Pengantin Remadja

2.Disimpang Djalan

3.Perkenalan Pertama

4.Difitnah

5.Tjinta Sedjati

6.Picnic.

7.Pernikahan

8.Rina

9.Derita Hatiku

10.Surat Romi

11.Pesta Pengantin

 

 

Denny Sakrie

Kolam Susu Ungkapan Nasionalisme

Posted: Oktober 24, 2012 in Tinjau Lagu

“Kolam Susu” bisa jadi merupakan ungkapan nasionalisme Yok Koeswoyo bassist dan vokalis Koes Plus terhadap negeri ini.”Bayangkan betapa kita tak cinta Indonesia.Kita bagai di surge,tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman.Ikan pun menghampiri kita” ungkap Yok Koeswoyo yang kini lebih banyak menghabiskan waktu di Pandeglang Banten bersama para petani.

Yok Koeswoyo mempunyai hobi memancing.Dengan menggunakan sebuah boat Yok bahkan memancing di lautan lepas pantai .Saat itu,di tahun 1972,Yok bertemu dengan orang Jerman yang juga tengah memancing.Tiba tiba orang Jerman ini berkata pada Yok : “ Kamu harus bangga,Indonesia bagaikan kolam susu yang besar”   .Sejenak Yok tercenung dan mengiyakan apa yang dikatakan orang Jerman tadi.Dan seketika naluri kesenimanannya menggeliat.Yok Koeswoyo  lalu terilhami untuk membuat sebuah lagu.”Judulnya langsung muncul di kepala saya……Kolam Susu” tutur Yok Koeswoyo yang kini telah memutih rambutnya.

“Keinginan saya untuk menuliskan lagu yang menggambarkan kekayaan Indonesia ini kian menjadi setelah berkunjung ke pulau Susuk di wilayah Attambua Nusa Tenggara Timur pada tahun itu juga “ tambahnya lagi.

“Kolam Susu” lalu dinyanyikan sendiri oleh Yok Koeswoyo dengan musik yang bernuansa pantai : reggae , dalam album Koes Plus Vol.8 di tahun 1973  .Ini merupakan album pertama Koes Plus setelah dikontrak Remaco dan menjadi popular dimana-mana terutama “Kolam Susu” yang tetap dikenang orang hingga kini.

Denny Sakrie

(Dikutip dari “150 Lagu Terbaik Indonesia” versi Rolling Stone Indonesia)

Tepat 32 tahun silam,tiba-tiba menyeruak sebuah kaset yang cukup banyak mengundang perhatian.Fariz yang saat itu lebih dikenal sebagai drummer alumni SMA III Jakarta dan ikut mendukung album fenomenal LCLR 1977,”Badai Pasti Berlalu” (1977) dan dua album Keenan Nasution “Di batas Angan Angan” (1978) dan “Tak Semudah Kata-Kata” serta meraih perhatian publik lewat karyanya “Hasrat dan Cita” yang disenandungkan almarhumah Andi Meriem Mattalatta tanpa diduga merilis album solo yang betul-betul solo.Karena di albumnya yang diberi judul “Sakura” ini Fariz nyaris memainkan seluruh instrumen musik.

Mulai dari drum,perkusi,bass,gitar,piano,mellotron,synthesizers ternasuk menulis semua lagi,mengaransemen serta menyanyikannya sendiri.Ada beberapa bantuan dari bberapa sahabat seperti Anita Carolina Mohede yang berduet bersama Fariz dalam lagu “Mega Bhuana”,”Malam Kesembilan” dan “Nada Cinta”.Almarhum Wibi AK bermain perkusi pada “Malam Kesembilan” serta beberapa lirik yang ditulis Jimmy Paais dan Anton Panggabean.
Ini sesuatu yang baru,walaupun Keenan dan Yockie pernah berbuat hal yang sama pada album “Jurang Pemisah” dan “Di Batas Angan Angan”.Bedanya Fariz RM melakukannnya pada 9 komposisi yang terdapat di album yang dirilis Akurama Record ini.Stevie Wonder dan Mike Oldfield adalah salah satu artis luar yang pernah menggagas cara bermain solo seperti ini di era 70-an.Saat itu memang belum dikenal teknik MIDI atau music programming.Jadi setiap alat musik yang dimainkan diisi satu persatu pada track yang tersedia,seytelah itu baru dirangkum menjadi satu kesatuan seperti layaknya sebuah band yang utuh dan lengkap.

Terbayangkan betapa ribet dan repotnya seorang Fariz RM melakukan hal yang tidak prkatis itu,mengingat teknologi saat itu memang belum dikenal dalam industri musiki Indonesia.
Kenapa Fariz nekad melakukan hal ini ? Sekedar gagah-gagahan belaka ? “saya tak memiliki banyak budget untuk membiayai produksi album ini.Karena kebetulan saya bisa memainkan beberapa alat musik.Akhirnya saya memilih cara seperti ini” ungkap Fariz RM.
Di luar dugaan album “Sakura” ternyata menuai keuntungan.Lagu “Sakura” yang sebelumnya telah dinyanyikan Grace Simon dalam film “Sakura Dalam Pelukan” yang dibintangi Liem Swie King itu menjadi hits besar Fariz RM.Lagu yang dikemas dalam beat disko bernuansa R&B ini juga menyertakan sebuah spoken berbahasa Jepang pada bagian interlude dimana Fariz memberi aksentuasi berupa cabikan bass beratmosfer funk yang kental.
Sebagian lagu yang ada di album ini bernuansa disko,funk,R&B.Plus teknik falsetto yang diperagakan Fariz pada beberapa lagu seperti “Cermin Noda”,”Mega Bhuana” ,”Perjalanan” atau “Suasana yang Ada”.
Di era itu teknik falsetto memang tengah ngetren,terutama ketika Bee Gees memperdengarkan gaya ini pada album “Main Course” hingga “saturday Night Fever” yang bernuansa disko funk R&B.
Jangan lupa pula merebaknya musik R&B funk milik Earth Wind & Fire maupun George Duke,yang dua-duanya kerap secara instens mengedepankan suara falsetto,adalah pengaruh yang sangat terasa kuat dalam racikan musik yang dilakukan Fariz rM.
Pada lagu “Semusim” yang bertamosfer piano song,kita bisa teringat dengan lagu-lagu piano ballad ala Stevie Wonder seperti “You and I” atau “Too Shy To Say”.
Fariz dengan segenap pengaruh pengaruh musik yang didengar untuk kemudian diserapnya itu menjadikan album ini bisa dianggap pemicu sebuah warna baru lagi dalam hiruk pikuk musik Indonesia saat memasuki era 80-an.Tak berlebihan rasanya jika mengklaim album “Sakura” ini sebagai album terbaik dan sebuah masterpiece dari Fariz RM

Tracklist
1.Sakura
2.Selangkah Ke Seberang
3.Belenggu (Perjalanan)
4.Semusim
5.Nada Cinta
6.Mega Bhuana
7.Suasana Yang Ada
8.Cermin Noda

Berjumpa Si Biola Maut

Posted: Oktober 24, 2012 in Sosok

Idris Sari menjadi konduktor konser Musik Saya Adalah Saya di Balai Sidang Senayan Jakarta tahun 1979

Ini catatan saya empat tahun yang silam .Kamis 6 November 2008 Jam 13.00 WIB saya janjian ketemuan dengan sang Maestro Idris Sardi .
Mulanya saya menghubungi puteri tertuanya Santi Sardi.Lalu Santi mengatur pertemuan dengan Idris Sardi yang lebih suka dipanggil Mas Idris Sardi.Jadwal dan tempat pertemuan lalu diarancang oleh Santi Sardi.
Mas Idris Sardi seperti biasa tepat waktu.Dia ditemani puterinya Shanty Sardi,penyanyi dan aktris cilik era 70-an.

Pertemuan saya dengan Idris Sardi dalam rangka penulisan 2 buku yang tengah saya garap yaitu “Musikku Musik Kita di Pegangsaan” dan “Ensiklopop Indonesia 1950-2000”.

Mas Idris Sardi siang tadi dengan mengenakan “seragam” kebesarannya : sarung,juga membawa setumpuk foto-foto “jadoel diantaranya foto saat bersama Orkes Simphony-nya tampil di TVRI pada tahun 1976 mengiringi kelompok vokal Saka Suara yang terdiri atas Chrisye,Keenan Nasution,Berlian Hutauruk,Rugun Hutauruk dan Bornok Hutauruk.

Lantas mas Idris Sardi yang tampangnya gak pernah berubah .Gitu-gitu aja.Awet tua atau awet muda,memperlihatkan foto-foto lainnya yaitu saat di studio bersama pemusik Orkestra Jepang dan Orkestra Australia tengah menggarap music score film-film layar lebar Indonesia.

“Saya sejak tahun 1969……luar biasa sibuk.Mondar mandir antara main musik rekaman,musik untuk film dan orkes simfoni.Pipi saya jadi kempot he he…..Di Pesawat pun saya gunakan untuk bikin partitur…..Anda bayangkan” katanya penuh semangat.


Idris Sardi The Maestro dan Yudianto peniup oboe (foto koleksi Yockie)

Idris Sardi daya ingat masih tajam.Dia lalu bercerita bahwa di tahun 70-an selain dikenal sebagai Idris Sardi,dia juga lebih dikenal sebagai Idris Simfoni.

Mas Idris Sardi juga bercerita tentang bagaimana dia berupaya agar Orkes Simfoni itu bisa memasyarkat.”Anda ingat gak ?…..di tahun 70-an ada acara musik klasik yang ditampilkan di TVRI menampilkan Orkes Simfoni NHK Jepang yang memainkan repertoar klasik seperti Mozart,Schubert,Beethoven dan lain lain.Acara ini disponsori oleh Astra International.Tapi tau gak……begitu acara ini ditayangkan…..kebanyakan penonton langsung mematikan TV.Mereka gak ngerti.Musik klasik mereka rasa berat.Jadi momok.Dan ini perlu waktu untuk ke arah itu” cerita Idris Sardi.

“Lalu saat itu saya ditantang oleh Drs Sumadi sebagai Dirjen RTF untuk tiap bulan menampilkan orkestra di TVRI.Saya pun mengajukan konsep ……Tau gak apa konsepnya.Saya ingin mengedukasi penonton…..tidak serta merta langsung musik klasik yang kelotokan.Caranya ? saya membongkar lagu-lagu daerah,lagu-lagu perjuangan,keroncong hingga lagu-lagu Barat yang lagi ngetop kayak Feeling-nya Morris Albert.Itu saya sajikan dengan orkestra.Sudah barang tentu dengan arransemen yang disesuaikan.Responnya ternyata baik.Ketika saya memainkan Walang Kekek dan Es Lilin,penonton terbawa dan terhanyut,karena mereka kenal dengan lagu-lagu ini” tukas Idris Sardi.

Jadi,kata Idris,konsep saya adalah menghidangkan makanan gado-gado dengan menggunakan piring,garpu,sendok dan serbet,tidak beralaskan daun pisang.Itu tamsil kata Idris Sardi.Namun Idris toh banyak menuai kritik dari kritikus musik.”Saya ingat bener Franki Raden hingga Suka Hardjana mengecam saya.Bahwa orkes simfoni ya…..musik klasik.Dan menurut saya anggapan itu keliru besar” ujar Idris Sardi.Karena akhirnya memang terbukti bahwa musik pop bahkan rock pun juga tetap afdol berbalut orkestra.

Idris Sardi (di depan).Di belakangnya (dari kiri) Oding Nasution (gitar),Yockie Soerjoprayogo (keyboards),Roni Harahap (piano) dan Suryati Supilin (biola)

Dan saat itu Idris Sardi pun dekat dengan anak muda.”Saya sempat membagi ilmu dengan 10 pemusik muda yaitu tentang teori Harmoni Musik.Belajarnya di beranda rumah Keenan Nasution di Pegangsaan.Mereka adalah Addie MS,Raidy Noor,Marusya Nainggolan,Candra Darusman,Ikang Fawzy,Yockie,Riza Arshad ……..” tukas Idris Sardi.

Yockie pun ikut melibatkan Idri Sardi dan Orkes Simfoninya dalam acara “Musik Saya Adalah Saya” di Balai Sidang Senayan Jakarta pada tahun 1979.

Di paruh 80-an Idris Sardi dan orkestranya bahkan tampil bersama sederet grup rock seperti SAS hingga Giant Steps termasuk Sylvia Saartje.Jauh sebelum Erwin Gutawa menampilkan “Rockestra” di tahun 2000 di Jakarta Convention Center.
Idris Sardi dan Orkestra tengah latihan di Kuningan Jakarta untuk persiapan konser Yockie “Musik Saya Adalah Saya” tahun 1979.

Pertemuan siang itu memang terputus.Karena Jam 15.00 WIB mas Idris Sardi punya appointmen dengan Jaya Suprana.”Maaf Den,aku harus bertemu Jaya Suprana setengah jam lagi.Aku rencananya mau bikin konser dengan mas Jaya.Nati kita ketemu lagi ya.Maaf lho….” ucap Idris Sardi sembari menyingkap sarung bermotif kotak-kotak kecil yang dikenakannya.

“Oke mas .Kita atur lagi pertemuan berikutnya” ujar saya sembari menyalami tangan si biola maut.

Sekelumit A.Rijanto

Posted: Oktober 2, 2012 in Uncategorized

Ketika Rolling Stone menggelar 25 Immortals,kata Andy F Noya ,banyak juga yang protes kok gak ada A.Riyanto dideretan 25 “para musisi abadi” itu ?

Tapi terlepas dari masuk tidaknya A.Riyanto dalam polling majalah Rolling Stone itu.Mas Kelik,demikian panggilan akrabnya,tak perlu disangkal telah banyak menoreh karya dalam khazanah musik pop Indonesia.

Kebisaan Aloysius Riyanto kelahiran 23 November 1943.Seandainya mas Kelik masih sehat wal afiat.Kini berusia 65 tahun.

A.Riyanto dibesarkan dari keluarga pemusik.Turun temurun.Ayahnya Daldjono ,yang lebih dikenal dengan panggilan Pak Dal adalah seorang komposer .Tepatnya pencipta lagu anak-anak mashur.Ingat gak dengan lagu “Bintang Kecil”  atau “Peramah dan Sopan” ?.Nah,itu lah beberapa lagu karya pak Dal,ayah A.Riyanto.

Sejak kecil,pak Dal memupuk A.Riyanto di kancah musik antara lain diberi bekal kursus piano klasik.Duduk di bangku SMA,A.Riyanto mulai bergabung dalam band bernama Homen.Seusai SMA,Kelik remaja berpindah ke Bandung dan kuliah di Fakultas Teknik Universitas Parahyangan Bandung.Hanya bertahan di Tingkat III.Ternyata dunia musik tak henti henti memanggil nurani dan nalurinya.Berbagai band pun dimasukinya.Mulai dari Remitta yang kemudian mengganti nama menjadi Tourista Nada,Di Band ini A.Riyanto bertahan 3 tahun.Lumayan lama.Di tahun 1966,pada saat Orde Baru mulai merekah,A.Riyanto memulai debut sebagai seorang komposer.Lagu ciptaannya “Teringat Selalu” berhasil mengemuka lewat suara Tetty Kadi,sepupunya.

Ditahun 1968,A.Riyanto yang terampil bermain piano dan keyboards bergabung dalam kelompok sohor saat itu Zaenal Combo yang dipimpin Zaenal Arifin.
Sesungguhnya bergabung dengan Zaenal Combo justeru merupakan  batu loncatan baginya
untuk membuat band yang kemudian menjadi band “tuan rumah” di perusahaan rekaman raksasa milik EugenevTimothy  Remaco.Nama bandnya adalah Empat Nada.Band inilah yang ditugaskan menjadi pengiring resmi setiap artis yang dikontrak oleh Remaco.Personilnya adalah A.Riyanto (keyboard),M.Sani (drums),Eddy Syam (gitar) dan Nana (bass).Saat itu A.Riyanto sudah masuk daftar komposer kreatif yang produktif.Hingga tahun 1972 A.Riyanto mengaku telah menulis 300 lagu.Bayangkan.Namun entah kenapa pada Oktober 1972,A.Riyanto mundur dari Empat Nada.Tapi Kelik justeru telah siap dengan band baru bernama Favorite’s Group bersama Is Haryanto (drum),Mus Mulyadi (vokal),Harry Santoso (gitar) dan Tommy WS (bass).Band ini tak hanya sekedar band pengiring,tapi siap berkompetisi dengan band-band yang telah duluan meraup sukses di belantara musik pop saat itu,seperti Koes Plus,Panbers,The Mercy’s,D’Lloyd dan banyak lagi.

“Favorite’s Group tidak berangkat dari nol, karena masing-masing
pemain sudah punya modal”, kata Rijanto seperti yang ditulis majalah Tempo edisi Februari 1972.

Saat itu ditengah derasnya arus kreativitas A.Riyanto.Ia dituding melakukan penjiplakan maupun pencomotan atas karya-karya musisi mancanegara.
Lantas terhadap beberapa buah lagunya yang dikatakan Mus
Mualim sebagai penterjemahan harmoni, dibuatnya istilah baru. Ia
memang belum pernah sampai pada tingkat menggubah Apa yang
dilakukannya adalah ‘menafsirkan’. Ia sikut satu bagian dari
lagu Barat, selanjutnya ia tafsirkan sendiri menurut dia punya
mau, sehingga akhirnya lain. Tetapi dengan begini paling tidak
ia sudah mengakui pula tidak selamanya mencoba mencari
orisinalitas. Ingin juga kita tahu, seperti Mus ‘: apa dia sudah
terkuras atau terlalu ingin mencari uang lebih banyak ?.Demikian,seperti yang dikutip oleh majalah mingguan Tempo edisi 1973 silam.

.
Bagi A.Riyanto  ciri satu grup ditentukan oleh lagu, musik dan penyanyi
dengan perbandingan 2: 2: 6.”Karena itu bila misalnya Titiek
Puspa menyanyi pada Favourite’s Group dengan lagu dan musik
kami, maka hanya 40% dari kekhasan kami yang tampak”, katanya
Mengenai soal suara ini, ia berpendapat bahwa sampai sekarang
grupnya sudah punya. Ada kemungkinan dimasa datang ia akan
mencoba menggabungkan suara Harry Santoso dan Is Haryanto, yang
belum Inendapat kesempatan sampai saat ini. Erat dengan soal
ciri ini ia menyimpulkan perbedaan grupnya dengan Koes Plus:
yakni dari segi aransemen musik dan warna suara. Tapi ia toh tak
menutupi kenyataan bahwa sering keduanya meneguk ilham dari
sumber yang sama, seperti dari lagu Long of Jov misalnya.
Dalam edisi ketiga nanti, tak banyak kemajuan Faltourite’s dari
segi warna suara. Aransemennya memang boleh dipuji. Sedang lagu
yang bernama Teratai Putih punya nafas sama dengan lagu Mawar
Berduri, mengarah pada lagu seriosa, tetapi tidak kehilangan
unsur pop. Rijanto sendiri akan terus menyanyi dengan cengengnya
pada beberapa lagu — terutama yang bernama Kasih Sayang dan
Kisah Bunga di Bulan April.

Kiprah A.Riyanto di tahun 70-an terlihat dengan begitu banyaknya artis penyanyi yang membawakan lagu-lagu karyanya dengan sukses.Dia adalah hitmaker bagi Broery Marantika,Tetty Kadi,Mus Mulyadi,Titiek Sandhora,Bimbo,Emillia Contessa,Hetty Koes Endang,Andi Meriem Mattalatta,Rafika Duri,Harvey Malaiholo  dan sederet panjang lainnya.

Lagu lagu seperti “Mimpi Sedih”,”Angin Malam”,”Layu Sebelum Berkembang”,”Mawar Berduri” ,”Permata Hati”,”Setangkai Anggrek Bulan”,”Kemuning”,”Hanya Untukmu” menjadi lagu-lagu abadi dalam pelataran musik pop Indonesia.

Di tahun 80-an,A.Riyanto malah banyak menemukan bibit baru dalam kancah musik pop antara lain Atiek CB, Jamal Mirdad,Johan Untung,Endang S.Taurina,Ratih Purwasih,Maharani Kahar  dan yang lainnya.Lagu “Hati Selembut Salju” yang dinyanyikan Jamal Mirdad menjadi lagu pop tersukses di era 80-an.

A.Riyanto meninggal dunia pada tahun 1994 pada usia 50 tahun karena mengidap komplikasi diabetes dan liver.

Saya Sting Bukan Gordon

Posted: Oktober 2, 2012 in Uncategorized

Beberapa minggu lalu ditwitter sempat terjadi euphoria ketika muncul sebuah tweet yang menginfokan bahwa Sting akan menggelar konser di Jakarta pada 15 Desember.Antusias ini kian membumbung karena akhirnya Sting memang bakal tampil di sebuah hall baru di Ancol Jakarta.Sebelumnya info yang beredar adalah bahwa Sting akan tampil di Singapore pada tanggal 13 desember.

Kicauan kaum pekicau di twitter kian marak apalagi setelah mengetahui bahwa Sting akan tampil bersama line up yang pernah dibawanya ketika tampil pertamakali di Jakarta Hilton Convention Center tahun 1994 yaitu Dominic Miller (gitar),Vinnie Colaiuta (drums) dan David Sancious (keyboards) dan Sting kembali membetot bass, sesuai dengan nama turnya kali ini “Back To Bass Tour 2012”.Perpaduan suara dan petikan bass Sting itulagsesungguhnya merupakan daya pikat utama Sting selama ini.Saya yakin sebagian besar penggemar Sting menyukai penampilan Sting dengan mendekap bass Fendernya yang melegenda itu.

Pagi ini saya terdorong untuk menulis tentang musikalitas Sting ketika mengetahui hari ini selasa 2 Oktober 2012 Sting berulang tahun yang ke 61.Tahun 1981 adalah saat pertama saya mengenal trio The Police lewat kaset Regatta DeBlanc yang ternyata merupakan album kedua The Police yang dirilis tahun 1979.Penikmat musik di Indonesia mulai ngeh dengan kehadiran trio ini sebetulnya pada sekitar tahun 1981 atau 1982,padahal the Police mulai merilis album debut Outlandos D’Amour di tahun 1978.Merebaknya ketenaran the Police di negeri ini seiring dengan dimulainya demam new wave dimana hampir semua perekam Barat disini mulai dari Aquarius,Team Record,King’s,Yess dan entah apa lagi mulai merekam secara illegal tapi legal sederet band-band beraliran new wave diantaranya adalah The Police.New Wave itu sendiri merupakan perpanjangan dari era Punk Rock yang mencapai titik kehebohan dunia pada tahun 1977.

Di Inggeris pada paruh era 70an Punk Rock tengah merajalela.Semua mendadak Punk.Ini pulalah yang membuat Sting dan Stewart Copeland,orang Amerika yang saat itu menetap di Inggeris memanfaatkan situasi serba punk untuk terjun dalam industri musik.Ini sebuah gagasan yang cerdik.Baik Sting maupun Copeland sebetulnya bukan orang baru dalam konstelasi musik.Mereka hanya berpura-pura menjadi pemusik punk antara lain dengan tampil di sebuah Punk Festival di Mont De Marsan.Jelas The Police seolah melanggar pakem punk saat itu,mulai dari format trio hingga timbre vokal Sting yang high-pitched belum lagi pola drumming Stewart Copeland yang sarat kompleksitas. Padahal Stewart Copeland sebelumnya pernah bergabung dalam band rock progresif Curved Air,gitaris Andy Summers sempat mendukung The Animals dan Sting yang menjadi bassist jazz di sederet band jazz seperti Last Exit,The Phenix Jazzmen hingga the Newcastles Big Band.Bahkan Sting dan Stewart Copeland pun ikut mendukung proyek album eksperimental pemusik kontemporer Jerman Eberhard Schoener yang pernah merilis album Bali Agung di tahun 1976.

Sting memang menyukai jazz dan rock.Di akhir era 60an Sting kerap mendatangi Club A Go Go untuk menyaksikan penampilan trio Cream dan Jimi Hendrix Experience.Dua band ini merupakan ilham musik terbesar Sting.Secara kebetulan baik Cream maupun Jimi Hendrix tampil dengan formasi trio.Bahkan keduanya menyilangkan genre musik rock dan jazz.

Tampaknya Sting memang telah mempersiapkan diri secara matang sebelum akhirnya terjun ke industri music di tahun 1977.Sejak remaja Sting terbiasa dengan kerja keras.Disela kegiatan rutin sekolah Sting menyempatkan diri bekerja serabutan sebagai kondektur bus,pekerja bangunan hingga menjadi petugas pajak.Setelah menyelesaikan pendidikan di Northern Counties College of Education,Sting lalu menekuni dunia pendidikan sebagai seorang guru sekolah .Di waktu senggang Sting bermain jazz secara berkala.Dia juga seorang kutu buku.Tak sedikit karya karyanya diangkat dari beberapa buku misalnya Ghost In The Machine karya Arthur Koestler yang menjadi inspirasi materi lagu dalam album The Police “Ghost In The Machine”  ,judul album Nothing Like The Sun diambil dari bagian karya William Shakespeare “Sonnet” lalu lagu “Moon Over Bourbon Street” terinspirasi dari buku “Interview With Vampire” karya Anne Rice.

Jika menelusuri perjalanan karir Sting secara seksama,maka saya berkesimpulan bahwa Sting adalah sosok penyuka perubahan.Sting selalu berubah dari waktu ke waktu.Dan saya kira itu jualah yang memperpanjang karirnya yang panjang dalam berkesenian entah itu seni  musik maupun seni peran.

Disaat The Police berada dipuncak kejayaan pada tahun 1983,Sting memilih untuk bersolo karir dimana perannnya kian maksimal.Musik yang dimainkannya pun kian eklektik tak hanya rock atau jazz tapi mulai menyambangi classical,New Age hingga World Music sekalipun.

Sting menjadi sosok yang fleksibel.Tak hanya musik atau film saja yang digelutinya.Sting bahkan menjadi seorang filantropi dan aktivis pelbagai kegiatan sosial. Dalam berkarya Sting tak pernah ingin kembali pada pencapaian terdahulu yang pernah dilakoninya.Apa yang dilakukan Sting tak ubahnya yang dilakukan Miles Davis,pemusik idolanya yang juga dianggap sebagai mentor.Sting bahkan pernah ikut mendukung album Miles Davis “You’re Under Arrest”.Ketika di tahun 2007 Sting melakukan reuni bersama The Police,toh itu hanya kangen kangenan dalam bentuk reuni saja.Dan memang terbukti The Police sampai detik ini tidak merilis album baru sedikitpun.Bagi Sting,The Police adalah masa lalu saja.Sting tak pernah terjebak kedigdayaan masa silam.Sting tetap menggali dan menggali kreativitas bermusik.

Bahkan Sting keberatan jika ada yang masih memanggilnya Gordon.Walaupun semua orang tahu bahwa nama asli Sting adalah Gordon Matthew Sumner.Masih ingatkah anda pada film documenter tentang Sting “Bring On The Night” (1985), dimana dalam salah satu bagian film tersebut Sting menolak disebut sebagai Gordon :” “My children call me Sting, my mother calls me Sting, who is this Gordon character?”.

Dalam hasil wawancara majalah Time dengan Sting yang terbit pada edisi tahun 2011 Sting berucap begini :” “I was never called Gordon. You could shout Gordon in the street and I would just move out of your way.

Dan saya pun berupaya mematuhi rule dari Sting ini jika pada tanggal 15 Desember nanti diberi kesempatan bertemu Sting.Saya akan menyapanya Sting bukan Gordon.

Happy Birthday Mr Gordon eh Sting………

Seorang wanita di usia 30 tahun berada dalam fase kematangan,mandiri dan menebar pesona dalam aura yang lebih mandiri dan tegar.Tapi format Compact Disc atau CD ketika memasuki usia yang ke 30, malah sebaliknya.Kehilangan daya pikat,kehilangan aura,kehilangan greget dan secara perlahan mulai ditinggalkan.

Tiga dasawarsa silam,tepatnya tahun 1982 teknologi compact disc (CD) mulai diperkenalkan dalam industri musik dunia.Saat itu tahun 1982 ,di Jepang, mulai diperkenalkan format cakram padat yang bentuknya lebih mungil dari vinyl atau piringan hitam.Dan album yang pertamakalai diabadikan dalam bentuk CD adalah 52nd Street milik singer/songwriter Amerika Billy Joel.Sebagai bentuk penemuan baru dalam teknologi rekaman audio,kehadiran CD langsung menarik perhatian dunia.Industri musik ternasuk didalamnya konsumen music menyambut penuh antusias kehadiran teknologi CD ini.

Euphoria ini memang bersambut dengan suksesnya teknologi CD memikat pasar dan industri music diseantero jagad.Secara perlahan vinyl atau piringan hitam mulai ditinggalkan.CD berlenggang dengan leluasa.CD memang memiliki elemen penting dalam kenikmatan menikmati musik secara canggih.  Kualitas suara mampu menebar secara steril.Sebuah pencapaian yang tak ditemukan dalam teknologi vinyl atau piringan hitam.

Selama tiga dasawarsa CD menjadi primadona yang tak terbantahkan.Setidaknya lebih dari dua dasawarsa ,jika dihitung dari akhir dasawarsa 80an hingga tahun 2010, penjualan CD terlihat mendominasi secara telak hingga akhirnya muncul teknologi digital yang meluluhlantakkan penjualan fisik.Apa boleh buat supremasi CD pun mulai terpatahkan secara meyakinkan.Diseluruh dunia penjualan fisik menukik tajam bahkan outlet-outlet musik raksasa seperti Tower Record,HMV dan lainnya mulai bangkrut dan gulung tikar.Penikmat music tidak lagi dating berkunjung ke outlet-outlet musik.

Tapi jika kita cermati secara seksama sebetulnya pergeseran seperti ini memang menjadi suatu kelumrahan dimana perkembangan teknologi secara pasti akan mengubah perilaku manusia dalam mengkonsumsi barang barang atau benda yang diinginkan.Lihat saja pergeseran menikmati musik mulai dari sheet music,Grammaphone,vinyl,cassette,CD hingga akhirnya ke format digital audio yang terasa kian praktis dan ramping disbanding format format sebelumnya.

Hadirnya iPod hingga MP3 Player diawal abad ke 21 secara cepat mengubah perilaku konsumen musik dalam menikmati sajian musik rekaman.Format baru ini memang betul betul sangat praktis bagi sebagian orang terkecuali bagi telinga kaum audiophile yang tetap merasa bahwa ketimpangan sound masih terasa dalam format MP3 misalnya.

Sayangnya teknologi MP3 ini bahkan lebih membuat para pembajak kian berleluasa.Dengan penjualan yang kian drastis, maka penjualan CD disaat merayakan ulang tahun yang ke 30 apa boleh buat jika saat ini para record label telah bersiap siap untuk menghilangkan pembuatan CD dalam produksi mereka.Mau tak mau.hal yang sama ketika industri  musik mulai meninggalkan pembuatan vinyl atau piringan hitam  pada akhir dekade 80an atau dekade 90an.