Suka atau tidak, Ian Antono bagian dari sejarah musik rock Indonesia. Lebih dari 35 tahun ia mendedikasikan diri terhadap musik rock. Meskipun Ian, yang nama kompletnya Jusuf Antono Djojo, juga terlibat dalam penggarapan album-album di luar genre rock. Entah pop atau dangdut, sentuhan rock, terutama dari riff-riff gitarnya, tetap terasa. Hebatnya, Ian menafsirkan rock yang bercita rasa western dengan rasa Melayu. Sepintas saja, orang awam mudah menebak musik yang ditata Ian Antono. Artinya, Ian menemukan jati dirinya sebagai seorang pemusik. Namun, hal ini tidak diperolehnya dalam sekejap. Band demi band dimasukinya. Berbagai rekaman telah digarapnya sejak 1970-an hingga sekarang. Layaknya ksatria, Ian Antono adalah sosok yang telah kenyang mencicipi asam garam (musik) rock. Gitar adalah instrumen yang mewujudkan segala imajinasi musikalnya.
Musik memang hidup Ian Antono. Musisi kelahiran Malang, 29 Maret 1950, ini telah bergabung dalam sebuah band bocah saat kanak-kanak. Instrumen yang dipegangnya adalah bongo dan sering memainkan lagu-lagu bernuansa Melayu seperti yang dibawakan Orkes Gumarangnya Asbon dan Nurseha.
Lalu, bersama dengan saudaranya, Ian Antono membentuk Zodiacs. Saat itu ia sedang mengagumi gitaris Hank Marvin dari grup The Shadows (Inggris) serta pasangan gitaris Don Wilson dan Bob Bogle dari kelompok instrumental Amerika The Ventures. Kedua grup itu menonjolkan permainan gitar elektrik. Ketika bergabung ke Irama Abadi (Abadi Soesman) pada 1969, mulailah Ian bermain profesional di Marco Polo Hotel Menteng, Jakarta, selama dua tahun.
Di awal 1970, Ian balik ke Malang memperkuat kelompok Bentoel, yang dibiayai perusahaan rokok Bentoel. Di grup ini Ian sempat bermain drum sebelum akhirnya gitar. Bentoel Band terdiri atas Ian Antono (gitar), Teddy Sujaya (drum), Wanto (flute), Bambang M.G. (bas), Mickey Michael Merkelbach (vokal), dan Yanto (keyboard). Yang disebut terakhir adalah abang kandung Ian Antono. Bentoel Band ini memainkan musik pop hingga rock. Jika di atas pentas, Bentoel lebih banyak memainkan repertoar rock mulai dari Traffic hingga The Rolling Stones. Bahkan Mickey, sang vokalis, sempat menampilkan aksi menggigit leher kelinci, lalu darahnya ditenggak. Atraksi itu mungkin ingin meniru kelompok Black Sabbath atau Alice Cooper. Tetapi, Bentoel bisa berubah santun ketika menjadi pengiring Emillia Contessa dalam rekaman.
Pada 1971-1973 Bentoel adalah grup musik yang aktif melakukan tur ke berbagai kota di Indonesia. Saat Bentoel tampil di “Jakarta Fair 1974”, mereka dilirik God Bless yang sedang mencari pengganti Keenan Nasution (drum) dan Oding Nasution (gitar). God Bless terkesima melihat dua personel Bentoel Teddy Sujaya (drum) dan Ian Antono (gitar). Tak lama berselang keduanya direkrut. Ketika bergabung, God Bless aktif membawakan repertoar seperti Free Ride (Edgar Winter Group) atau From Another Time (James Gang).
Medio 1970-an, musik rock hanya laku sebagai tontonan panggung. Perusahaan rekaman besar Remaco, Metropolitan, atau Purnama menganggap sebelah mata jenis ini. Kalaupun ada grup yang merekam album, dipastikan mereka dituntut membawakan lagu-lagu berkonotasi pop yang lembek. Tak heran God Bless baru merilis album perdana pada 1976 oleh PT Pramaqua, perusahaan rekaman baru kongsi Radio Prambors dan Aquarius. Di album ini, God Bless menulis lagu sendiri yang sebagian besar ditulis Donny Fattah dan Ian Antono, di samping menyanyikan lagu Friday on My Mind (The Easybeats) dan Eleanor Rigby (The Beatles).
Album tersebut banyak menuai kritik karena beberapa aransemen lagu God Bless banyak menjiplak dari grup mancanegara yang ditambal sulam ke pola mereka. Mulai dari interlude Firth of Fifth dan Dancing With The Moonlit Knight-nya Genesis, Thick As A Brick (Jethro Tull), hingga Valedictory (Gentle Giant) atau She Passed Away yang seolah kembaran lagu Spooky Tooth The Mirror Hal ini terulang ketika merilis Cermin (1980) yang banyak mencomot musik grup Kansas, misalnya lagu Anak Adam yang introduksinya diambil dari Journey from Maria Bronn. Bahkan tujuh tahun berselang terulang lagi pada Semut Hitam yang nyaris sama dengan Goin’ Crazy-nya David Lee Roth atau intro Kehidupan mirip Livin’ on A Prayer-nya Bon Jovi.
Kenapa hal semacam ini bisa terjadi? Antara lain keterpengaruhan grup mancanegara yang dikagumi. Tetapi, ada sisi positifnya, karena pengaruh-pengaruh tersebut Ian akhirnya menemukan cetak biru karakter musiknya sendiri. Sebetulnya ini lumrah. George Harrison pernah dituding menjiplak He’s So Fine-nya The Chiffon pada lagu My Sweet Lord. Deep Purple menjiplak riff Bombay Calling milik grup It’s A Beautiful Day untuk lagu Child in Time dan lainnya. Era kreativitas Ian Antono mulai mengkristal justru pada 1980 ketika sebelumnya ia berhasil menjadi penata musik untuk beberapa album pop rock seperti Biarawati (Sylvia Saartje, 1977) dan proyek Duo Kribo (Achmad Albar-Utjok Harahap, 1976-1978).
Lalu, album penyanyi pop wanita digarap Ian Antono, antara lain Berlian Hutauruk, Happy Pretty, Dewi Puspa, Angel Pfaff, Hetty Koes Endang, hingga Grace Simon. Dengan cerdas Ian membalut sentuhan rock dalam lagu-lagu pop mereka. Misalnya, ketika ia mengaransemen Rindu (Ferdi Ferdian) yang dinyanyikan Hetty Koes Endang dan menjadi hits. Mungkin lewat tangan Ian jugalah musik rock yang sempat terpinggirkan berubah menjadi tambang emas. Lihat saja sukses yang diraih Nicky Astria sebagai penyanyi rock wanita di pertengahan 1980-an lewat album Jarum Neraka, Tangan Setan, dan Gersang. Sukses Nicky lalu menjadi tren munculnya istilah lady rockers, ditandai oleh Anggun C. Sasmi, Nike Ardilla, Jossy Lucky, Mel Shandy, Ayu Laksmi, Lady Avisha, Cut Irna, Ita Purnamasari, dan Mayangsari.
Bukan hanya itu, Ian Antono mulai menyulut tren penyanyi rock pria yang berawal Achmad Albar, Ikang Fawzy, Freddy Tamaela, Gito Rollies, dan lainnya. Tangan dinginnya terlibat dalam memoles dua album fenomenal Iwan Fals 1910 dan Mata Dewa. Ian pun sempat menggondol penghargaan Penata Musik Terbaik album Mata Dewa dalam BASF Award 1992.Ian juga ikut membina regenerasi grup rock dengan menuntun sederet grup rock ke dunia rekaman, seperti Grass Rock, El Pamas, Whizz Kid, U-Camp, Sket, Geger, dan Jaque Mate. Menurut Ian, jika tidak ikut langsung dalam membina mereka niscaya sejumlah grup rock senior justru tak akan memiliki pengganti. Alhasil rock di negeri ini bakal pupus. Dalam album Tribute to Ian Antono yang dirilis oleh Sony Music Indonesia, Ian malah tampil bersama grup rock baru Gallagasi yang didukung dua putranya, Stefan Antono dan Rocky Antono. Setelah membubarkan grup Gong 2000 secara resmi pada acara tutup tahun 2000 dalam sebuah konser perpisahan di Ancol, ia masih setia dengan God Bless yang kini terkatung-katung menjalani proses album baru.
Gong 2000 sendiri salah satu tonggak perjalanan Ian Antono. Grup yang dibentuk pada 1991 ini sering membuat bingung karena Ian juga mengajak dua kugiran God Bless, yaitu Achmad Albar dan Donny Fattah. Tetapi, perbedaannya di Gong 2000 Ian Antono bertanggung jawab total terhadap musiknya. Dalam beberapa lagunya ada sentuhan instrumen etnik Bali.
Selain memiliki aktivitas dan kreativitas tinggi, tak bisa disangkal jika Ian Antono sebagai pemusik yang berpengaruh dalam konstelasi musik di negeri ini. Tradisi menulis lagu, terutama musik rock dengan syair Indonesia, bisa jadi ditularkan oleh Ian Antono dan grupnya, God Bless. Upaya God Bless menembus rekaman dengan idealisme musik rock medio 1970-an hasilnya dirasakan oleh para pemusik rock hingga sekarang.
Denny Sakrie, Pengamat Musik
(Tulisan ini dimuat di Koran Tempo 25 Mei 2004)