Tahun ini begitu banyak pemusik yang berpulang termasuk George Duke yang meninggal dunia pada Senin (5/08/2013) lalu. Cukup terhenyak mendapat kabar berpulangnya George Duke dalam usia 67 tahun.
Awal Maret 2013 lalu saya sempat bertemu George Duke yang tampil dengan The Clarke/Duke Project, kolaborasi yang digagasnya bersama bassist virtuoso Stanley Clarke sejak 1981. Tercatat sejak tampil dalam perhelatan Java Jazz Festival yang pertama pada 2005, George Duke beberapa kali muncul di ajang jazz yang digagas Peter F. Gontha tersebut.
Saya selalu bertemu dan ngobrol dengan George Duke saat dia manggung di Java Jazz pada 2005, 2010, 2012 dan 2013. Dalam setiap konsernya di Jakarta, George Duke kerap mengajak pemusik Indonesia untuk tampil bareng di panggung mulai dari Glenn Fredly hingga Cindy Bernadette, bahkan di album terakhirnya George Duke mengajak Dira Sugandi bernyanyi dalam sebuah lagu.
Saat saya bertemu dengan George Duke pada 2 Maret 2013 lalu di Borobudur Hotel, Jakarta, terlihat banyak perubahan dalam fisik Duke. Air mukanya tampak lebih tua dari usianya, apalagi Duke menggunakan topi untuk menutupi kepalanya yang plontos. Duke tampak seperti mengidap penyakit. Tapi hal itu tak berani saya tanyakan.
Dari hasil berselancar di dunia maya saya memperoleh info bahwa Duke mengidap leukemia yang kronis. Ada juga yang mengatakan bahwa kondisi fisik Duke kian menurun setelah berpulangnya sang isteri tercinta Corine pada 2012 lalu. George Duke depresi.
Namun ia tetap berusaha ceria dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar musik. Bahkan tampil energik dan penuh rasa humor saat konser bersama Stanley Clarke di Java Jazz Festival. Kegairahan Duke tampaknya berasal dari musik yang telah digelutinya sejak kecil. Musik adalah hidup Duke. Musik pula yang menghidupkan semangat Duke saat jiwanya terkulai.
George Duke mencintai musik sejak balita. Suatu hari saat usia 4 tahun, sang ibu mengajaknya menonton konser pianis Duke Ellington dan big bandnya. “Meskipun saya tak terlalu ingat persis seperti apa,” kenang George Duke. Yang pasti sejak saat itu, Duke kecil selalu merengek minta dibelikan piano.
Menginjak usia 7 tahun mulailah George Duke belajar mendentingkan tuts piano. “Saat itu merupakan pertama kalinya saya bermain musik funky,” ungkap George Duke saat saya mewawancarainya pada 2005 silam. Memasuki usia 16 tahun Duke telah bergabung dalam sejumlah grup jazz sekolahan. Saat itu Duke mulai banyak dipengaruhi karya-karya Miles Davis hingga Les McCan dan Cal Tjader.
George lalu belajar musik di San Francisco Conservatory of Music dan mengambil jurusan komposisi musik dan trombone serta contrabass. Gelar sarjana musik diraihnya pada 1967.
Berbekal sebagai seorang multi-instrumentalis dan komposer, mulailah Duke menceburkan diri ke industri musik. Saya masih ingat saat George Duke tampil di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, 4 Maret 2005 dalam Java Jazz Festival yang disesaki ratusan penonton, George Duke sempat menyelipkan cuplikan komposisi karya Zappa “Echidna’s Arf (Of You)” dari album Frank Zappa Roxy & Elsewhere (1974).
Bisa jadi penonton yang datang malam itu tidak ngeh dengan kejahilan George Duke ini. Sebab, penonton rata-rata memang ingin menghanyutkan diri dengan karya-karya pop Duke seperti “Sweet Baby” hingga “Born to Love You” yang sempat populer diputar di radio-radio lokal pada dasawarsa 80-an.
Saya yakin George Duke paham betul bahwa penonton yang menyaksikan penampilannya memang tak sepenuhnya memahami jazz yang sesungguhnya. Bahkan dalam kariernya sendiri Duke memang memasang strategi semacam ini. Tak aneh jika dalam portofolio musiknya Duke tak hanya memainkan jazz tapi juga pop, R&B, hingga rock sekalipun. Sosoknya bisa dianalogikan dengan bunglon yang memiliki kemampuan mengubah-ubah warna kulit.
Meskipun perangai semacam ini sering dicaci kalangan purist, namun George Duke tak sendirian. Kita mengenal Herbie Hancock yang bisa memainkan jenis musik apa pun. Bahkan Miles Davis, salah satu mentor George Duke lainnya, pun menerapkan hal serupa ketika bereksperimen menyilangkan jazz dengan rock di akhir 1960-an. George Duke di era 80an sempat diajak Miles Davis mendukung album Tutu (1986) dan Amandla (1989).
“Saya sangat beruntung bisa bertemu dan bekerja sama dengan orang-orang seperti Frank Zappa atau Miles Davis. Wawasan musik saya pun menjadi luas,” tutur George Duke.
Bahkan jika tidak bermusik dengan Frank Zappa, cerita Duke, dirinya mungkin tidak akan bernyanyi hingga sekarang ini. “Suatu ketika Zappa menyuruh saya untuk menyanyi. ‘Hey look, I need this note here and I need you to sing it.’ Dan sejak itulah saya mulai menyanyi,” ujar George Duke.
Dalam album Frank Zappa, One Size Fits All (1974), George Duke diberi kesempatan oleh Zappa untuk bernyanyi tunggal lewat komposisi bertajuk “Inca Road”.
Frank Zappa pun memaksa Duke untuk memainkan mini Moog synthesizers yang ditemukan Dr. Robert Moog itu.
“Banyak yang bisa kamu peroleh dengan synthesizer,” pesan Zappa ke George Duke suatu hari. Dan sejak itu pulalah George Duke tidak hanya berkutat dengan piano akustik. Duke pun mulai merambah pelbagai bunyi-bunyian sintesis melalui synthesizer.
“Sejak bergabung dengan Zappa saya mulai banyak bereksplorasi dengan musik apa saja,” kata George Duke.
Selepas dari Frank Zappa, pada 1976 George Duke mulai bersolo karier. Sekitar 40 album solo telah dihasilkannya. Berbagai elemen musik mencuat dari karya-karya solonya.
“Unsur funk yang ekspresif memang selalu terasa dalam album-album saya,” kata George Duke yang sejak awal merekam suaranya selalu menggunakan teknik falsetto. Namun memasuki dekade ’80-an, Duke malah lebih menata musiknya ke arah pop yang manis.
Salah satunya ketika George Duke bersama bassist Stanley Clarke menghasilkan hit “Sweet Baby” dari album The Clarke/Duke Project (1981) dan mendapat Grammy Award untuk kategori Best R&B Performance by Duo Or Group pada 1981.
Selamat jalan George Duke. So long, Dukey !