Arsip untuk Januari, 2015

Selamat Ulang Tahun Fariz RM

Posted: Januari 2, 2015 in Kisah, profil

Sahabat saya Fariz Rustam Munaf berulang tahun 5 Januari.Saya selalu mengingat tanggal kelahiran pemusik multi talenta ini, karena tanggal kelahirannya berada disetiap awal tahun baru.Hingga saat sekarang Fariz yang biasa dipanggil dengan Bule masih tetap aktif mendenyutkan musik di berbagai panggung pertunjukan .Fariz seperti halnya di era 80an,ketika masa kejayaannya tengah pasang menggelegak,masih tetap berkiprah di dunia musik. Dalam beberapa event musik saya selalu ikut bersama dengan Fariz baik sebagai pemandu acara konser-konsernya hingga road manager dadakan saat Fariz melakukan konser di daerah di luar Jakarta.Fariz juga sering menghubungi saya jika tengah melakukan proses kreativitas bikin lagu atau pun bikin album.Kita berdua kerap melakukan brainstorming yang seru.

Saya memberikan testimoni untuk album Fenomena Fariz RM yang digarap oleh Erwin Gutawa (Foto Denny Sakrie)

Saya memberikan testimoni untuk album Fenomena Fariz RM yang digarap oleh Erwin Gutawa (Foto Denny Sakrie)

Ketika Fariz merilis album Fenomena di tahun 2012 yang berisikan CD dan DVD,saya pun diminta untuk memberikan testimony terhadap karya dan sosok Fariz RM .Pada saat saya masih bekerja sebagai penyiar di Radio M9&FM Classic Rock Station,saya kerap mengajak Fariz siaran bareng membahas band-band klasik rock seperti Yes,Genesis,Traffic dan banyak lagi.Begitupula ketika saya jadi penyiar di FeMale Radio saya kerap mengundang Fariz sebagai partner siaran membahas musik mulai dari Earth Wind & Fire hingga Gino Vannelli.Fariz memang suka ngobrol dan bertukar fikiran.

Fariz RM di tahun 1980 saat rilis album Sakura (Akurama Record)

Fariz RM di tahun 1980 saat rilis album Sakura (Akurama Record)

Saya mengenal sosok  Fariz RM sekitar tahun 1979.Saat itu Fariz bersama Badai Band bikin konser di Gedung Olahraga Mattoanging Ujung Pandang .Terus terang saya sangat terpesona dengan pola permainan drum Fariz yang melakukan duet drum dengan Keenan Nasution.

Fariz RM

Fariz RM

Dahsyat sekali permainan drum Fariz.Setahun kemudian,Fariz merilis album Sakura yang kian membuat saya terkagum-kagum.Bayangkan,Fariz nyaris melakukan apa saja di album fenomenal itu,mulai dari bikin lagu,arransemen,nyanyi,main drum,bass,gitar hingga keyboard.Sejak saat itu saya mencatatkan diri sebagai penggemar Fariz RM. Konsep musiknya . Ada secercah atmosfer baru dalam musik Fariz yang disumbangkan pada khazanah musik Indonesia saat itu.Konsep musiknya telah menghela kredo musikal futuristik.Jatidiri musiknya kian mengkristal saat merilis album debut “Sakura” di tahun 1980.Pertengahan dasawarsa 80an Fariz kembali menggurat fenomena dengan eksperimentasi musik yang menghasilkan  musik lewat bantuan MIDI ,sebuah system programming yang mempermudah memainkan perangkat musik secara simultan dalam sebuah kendali.

Tahun 1979 saat Fariz RM bergabung sebagai drummer Badai Band

Tahun 1979 saat Fariz RM bergabung sebagai drummer Badai Band

Sejak awal bergelut di dunia musik , Fariz memilih memainkan musik apa saja  tanpa sekat genre sedikitpun.Fariz bermain genre pop,R&B,soul funk,blues,rock bahkan  jazz sekalipun .Dalam komunitas jazz Fariz peranh bersekutu dengan Candra Darusman hingga Jack Lesmana. Diparuh era 80an bersama Indra Lesmana dan Gilang Ramadhan,Fariz ikut tergabung dalam Trio GIF. Pilihan bermusik semacam ini  setidaknya menjadikan pergaulan musik Fariz menjadi lebih luas dan lebar. Fariz bisa bermain dan berkolaborasi dengan pemusik mana saja. Fariz tetap konsisten dengan paradigma musiknya.Dia tetap menyeruak dalam kekinian yang secara lentur diadaptasinya dalam gaya bermusiknya yang tetap kukuh dan ajeg.

Dengan pergaulan musik yang luas ,mulai dari Jakarta hingga Bandung.justru membentuk sosok Fariz RM menjadi lebih open minded terhadap genre/subgenre musik apapun.

Di Jakarta, Fariz yang dulu tinggal di kawasan Jalan Maluku, Menteng kerap nongkrong di Jalan Pegangsaan Barat No.12 A, Menteng, rumah kediaman Keenan Nasution, penabuh drum Gipsy dan juga God Bless.

Di rumah yang kini telah berubah menjadi apartemen mewah itu dulu adalah tempat nongkrong anak band serta para simpatisannya. Fariz yang saat itu duduk di bangku SMP seusai pulang sekolah pasti tidak langsung pulang ke rumahnya melainkan mampir ke Jalan Pegangsaan.

”Saya masih ingat si Bule (panggilan akrab Fariz) datang ke rumah masih menggunakan seragam sekolah. Bercelana pendek terus gebuk-gebuk set drum dan ngeband bareng Oding dan Debby, adik-adik saya,” ungkap Keenan Nasution yang pada 1977 meminta lagu karya Fariz “Cakrawala Senja” untuk dimasukkan ke album solo perdananya, Di Batas Angan Angan (1978).

Bahkan Chrisye kemudian mengajak Fariz RM yang saat itu duduk di bangku SMA Negeri 3 Setiabudi, Jakarta untuk bermain drums di album fenomenal Badai Pasti Berlalu. Jika kita bertanya soal ikhwal terjunnya Fariz ke dunia musik secara profesional maka pastilah dia akan menyebut nama Keenan dan Chrisye, dua pemusik Gipsy yang kediamannya hanya dibatasi tembok di bilangan Pegangsaan itu sebagai biang keladinya.

Nah, itu adalah komunitas musik yang dimasuki Fariz di Jakarta. Komunitas musik lainnya yang disambangi Fariz adalah Paris Van Java alias Bandung.

Bersama Fariz RM dan Oneng tahun 1990 (Dokumentasi Denny Sakrie)

Bersama Fariz RM dan Oneng tahun 1990 (Dokumentasi Denny Sakrie)

Seusai menamatkan pendidikan SMA di Jakarta, Fariz mendaftarkan diri ke ITB Bandung jurusan Seni Rupa. Hijrahlah Fariz ke Bandung untuk menuntut ilmu. Di Bandung Fariz bermukim di rumah saudara sepupunya yang juga anak band, namanya Triawan Munaf.

Triawan adalah salah satu pemain keyboards yang diperhitungkan dalam skena rock di Bandung antara lain pernah mendukung band Tripod United bersama Deddy Stanzah, lalu membentuk Lizzard bersama Harry Soebardja, kemudian direkrut Benny Soebardja di Giant Step menggantikan posisi Deddy Dorres.

Triawan juga dikenal sebagai pemain keyboard dari Gang of Harry Roesli. Berkat Triawan lah akhirnya Fariz RM diperkenalkan dengan Harry Roesli, Benny Soebardja hingga Hari Soebardja. Di luar kegiatan kuliahnya di ITB Bandung, Fariz pun mulai menyusup di komunitas musik Bandung. Di antaranya adalah nongkrong di kediaman Harry Roesli yang berada di Jalan WR Supratman 57 Bandung. Fariz lebur di komunitas musik yang dikembangkan Harry Roesli.

Dia mulai terlibat diskusi musik hingga jam session dengan Harry Roesli. Hal yang tak pernah dilupakan Fariz manakala Harry Roesli mengajarkan teknik bermain bass funk yang digagas oleh Larry Graham dari Sly and The Family Stones. Harry Roesli adalah salah satu pencabik bass funk terbaik di Bandung. Saat itu Harry Roesli tengah siap-siap meninggalkan Bandung untuk mengambil beasiswa studi musik di Amsterdam, Belanda.

m1
Menurut Fariz RM, Harry Roesli menitipkan Kharisma, grup vokal yang dibina dan dikelola Harry Roesli. Tentu saja Fariz bersuka cita mendapat mandat seperti ini dari Harry Roesli. Apalagi bagi Fariz dunia vocal groupbukan hal baru baginya. Saat masih duduk di bangku SMA 3 Setiabudi, Jakarta, Fariz RM tergabung dalam Grup Vokal SMA 3 Jakarta bersama rekan rekannya seperti Adjie Soetama, Addie MS, Raidy Noor, dan Iman Sastrosatomo. Prestasi Grup Vokal SMA 3 Jakarta ini memang patut diacung jempol lantaran pernah menggelar pertunjukan Opera dan berhasil menempatkan 3 lagu karya mereka sebagai finalis dalam 10 Besar ajang Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors Rasisonia pada 1977.

Selain terlibat dalam kegiatan Kharisma Vocal Group, Fariz RM pun mulai sering diminta membantu band-band Bandung yang akan konser, misalnya menggantikan posisi drummer The Rollies, Jimmie Manopo yang berhalangan main, termasuk menggantikan saudara sepupunya Triawan Munaf yang harus meninggalkan formasi Giant Step untuk melanjutkan studi ke London, Inggris. Fariz akhirnya menjadi bagian skena musik Bandung saat itu.Uniknya kegiatan musik yang digeluti Fariz memiliki genre/sub-genre yang tak sama. Setidaknya Fariz berhasil memperlihatkan kemampuan bermain rock, blues, funk, soul hingga pop secara merata.

Benny Soebardja, dedengkot Giant Step menaruh kepercayaan soal musik pada Fariz RM untuk penggarapan dua album solonya yaitu, Setitik Harapan (1979) dan Lestari (1980). Di kedua album solo Benny Soebardja itu, Fariz bermain keyboards dan drums serta menulis lagu berikut aransemennya. Saat itu Fariz cukup dekat dengan Hari Soebardja, adik Benny yang juga ikut mendukung album solo kakaknya sebagai gitaris.

Pada 1979 Fariz RM diminta menjadi music director album solo Harie Dea, penyanyi dan penulis lagu dari Vocal Group Balagadona Bandung. Ini adalah untuk pertama kali Fariz berperan sebagai music director dalam penggarapan sebuah album rekaman. Musik album Harie Dea digarap oleh Fariz yang memainkan semua perangkat keyboards dan drums serta Hari Soebardja yang memainkan gitar, bass dan drum. Album Harie Dea ini diberi judul Santun Petaka.

Selain Hari Soebardja, Fariz juga bersahabat dengan Oetje F. Tekol (bass) dan Jimmie Manopo (drums) dari The Rollies. Untuk penggarapan album solo perdana Fariz bertajuk Selangkah Ke Seberang (PramAqua 1979), Fariz juga mengajak Oetje F. Tekol sebagai pencabik bass. Begitu pula ketika Fariz diminta menggarap album jazz milik penyanyi jazz Jacky, Gairah Baru, dia pun mengajak dua pemusik Bandung, yaitu Oetje F Tekol dan Hari Soebardja sebagai session musician-nya.

Perjalanan karir musik Fariz RM yang dimulai sejak tahun 1977 hingga sekarang ini bagai bianglala,sarat warna.Saya yakin Fariz tak akan meninggalkan atau menjauhi dunia musik.Karena kemampuan bermusik itu anugerah.Rasanya kita setuju jika ada yang menyebutkan bahwa profesi pemusik tak pernah mengenal kata pensiun.Selamat Ulang tahun Bule eh…..Fariz…….

Majalah Gitar Zaman Dulu

Posted: Januari 2, 2015 in Kisah, Konser

Majalah musik selalu datang dan pergi.Ada yang pernah berjaya selama satu dekade, ada yang bertahan hingga hari ini.Tapi yang seumur jagung pun banyak.Tapi secara spesisfik majalah berbasis gitar dengan mengandalkan teknik bermain gitar plus akor-akor gitar atau tablatur agaknya selalu ada dalam setiap era.Tak pernah mati.
Di hari kedua tahun baru 2015 mendadak saya jadi teringat dengan majalah gitar terbitan lokal yang pernah mengisi masa-masa SMP dan SMA dulu.Ada dua nama majalah gitar yang kerap menjadi buku putih atau referensi anak muda yang tengah belajar gitar atau yang selalu updating perihal lagu-lagu baru.

Majalh MG edisi no 11 dengan mrenampilkan foto Bay City Rollers pada cover depannya (Foto Denny Sakrie)

Majalh MG edisi no 11 dengan mrenampilkan foto Bay City Rollers pada cover depannya (Foto Denny Sakrie)

Pertama adalah majalah MG yang terbit di Jakarta.Dan yang muncul setelahnya adalah majalah Topchords yang terbit di Salatiga,Jawa Tengah.
Mari kita kembali mundur ke belakang.Mengenang sebuah peristiwa yang rasanya tiada mungkin terlupakan begitu saja.Di tahun 1976 muncul sebuah majalah musik baru
Namanya MG,singkatan dari Musik Gitar.Hadir dengan tagline “musik dengan chord gitar” pada sebelah kanan sampul majalah.Saat itu anak muda se Nusantara sudah diharu birukan oleh majalah Aktuil,yang juga diikuti oleh followernya majalah TOP yang dibangun oleh Remy Sylado,mantan redaksi Aktuil pada tahun 1975.
Saya ingat,tahun 1976 saya baru diterima di bangku SMP.Itu adalah era getol-getolnya terhadap musik.Saat itu benak saya selalu haus informasi mengenai musik dan musik.Beruntunglah anak muda sekarang yang bisa mengupdate hal terbaru sekalipun mengenai perkembangan musik populer melalui internet dan media sosial lainnya yang bertebaran dimana-mana.

Kaset yang berisikan lagu-lagu hits Barat pilihan majalah MG.

Kaset yang berisikan lagu-lagu hits Barat pilihan majalah MG.

Era paruh 70-an itu memang disesaki oleh banjir dan tumpah ruahnya kaset kaset barat ilegal tapi legal yang disodorkan berbagai perekam Barat seperti Perina,Aquarius,Atlantic Record,Saturn,Lolita,BSR dan banyak lagi.Tak pelak lagi remaja Indonesia saat itu memang tengah dininabobokkan oleh budaya pop yang kental nuansa western-nya.Lihatlah berita berita yang dimunculkan Aktuil maupun Top yang didominasi artis musik Barat mulai dari berita hingga poster poster warna warni dalam ukuran besar sebagai bonus majalah.
Ini masih diperkuat lagi dengan gencarnya band-band sohor yang manggung di Jakarta seperti Shocking Blue,Bee Gees,Suzi Quatro hingga puncaknya dengan kehadiuran Deep Purple pada Desember 1975 di stadion Senayan Jakarta.
Riuhnya alam musik populer (rock) di Indonesia saat itu ditambah lagi dengan kehadiran majalh MG yang berkedudukan di Jakarta.
Namun majalah MG sengaja mengambil segmen yang berbeda dengan Aktuil maupun Top.MG malah menyasar target ke perilaku anak muda yang saat itu mulai terjun main gitar atau membentuk band dengan menyuguhkan lagu lagu up to date yang dilengkapi dengan chord gitar.Ini sesuatu yang menarik .Patut dipuji perihal kejelian MG yang diterbitkan oleh Yayasan Penggemar Musik dan Gitar (YPMG) ini yaitu dengan menyediakan sarana berupa chord gitar dari lagu-lagu yang tengah ngetren saat itu.MG pun menyisipkan berita berita terkini perkembangan musik dunia dan tanah air,tidak dalam artikel besar tapi berupa berita singkat.MG pun memberikan bonus poster serta kaset.
Kaset inilah yang mungkij dimaksudkan untuk membantu pembaca mengikuti chord chord yang ditampilkan oleh MG.
Saat itu harga majalah MG dipatok Rp 400.Harga kaset Indonesia saat itu adalah Rp 500 dan kaset Barat antara Rp 600 – Rp 700. Kaset MG sendiri dipatok Rp 600.Penjualan kaset terpisah dengan majalah.
MG memang berhasil merebut simpati anak muda saat itu.MG seperti sarapan kedua para remaja setelah melahap berita-berita musik yang dipaparkan oleh majalah Aktuil.
Memuncaknya ketenaran MG,diikuti dengan munculnya majalah serupa tapi dengan format yang lebih kecil dibanding MC,dengan nama Topchords yang diterbitkan di Salatiga.Seperti halnya MG,Topchord pun merilis kaset juga.
Majalah Topchord mulai terbit pada tahun 1977 dengan ukuran majalah sebesar buku tulis.Seperti halnya MG,lagu-lagu(Barat) yang tercantum dalam majalah Topchord juga direkam dalam kasetnya.Saat itu terjadi persaingan yang ketat antara MG dan Topchord dalam pemilihan lagu-lagu yang ditampilkan setiap edisinya.Bahkan majlah Topchord menurut saya selangkah lebih maju karena menghadirkan apresiasi terhadap lirik lagu yang dibedah oleh Ariel Heryanto.Ulasan Ariel Heryanto ,alumni Universitas Satya Wacana Salatiga ini cukup dalam dan agaknya sangat memahami budaya pop dengan baik.Saya banyak mengambil saripati dari tulisan apresiasi Ariel Heryanto dalam setiap penerbitan majalah Topchord tersebut.
Sebaliknya, salah satu tokoh pencinta musik yang ikut mengasuh majalah MG ini adalah Tim Kantoso yang saat itu kerap dikaitkan dengan komunitas musik jazz.Almarhum Tim Kantoso ini juga yang kerap menulis editorial MG dan selalu ditutup dengan semboyan khasnya “Music as always.MG as always”.MG juga menghadirkan sedikit ulasan mengenai hiruk pikuk dunia musik.

Majalah MG edisi no 12 tahun 1976  dengan cover Queen (Foto Denny Sakrie)

Majalah MG edisi no 12 tahun 1976 dengan cover Queen (Foto Denny Sakrie)

Namanya MG,singkatan dari Musik Gitar.Hadir dengan tagline “musik dengan chord gitar” pada sebelah kanan sampul majalah.Saat itu anak muda se Nusantara sudah diharu birukan oleh majalah Aktuil,yang juga diikuti oleh followernya majalah TOP yang dibangun oleh Remy Sylado,mantan redaksi Aktuil pada tahun 1975.
Saya ingat,tahun 1976 saya baru diterima di bangku SMP.Itu adalah era getol-getolnya terhadap musik.Saat itu benak saya selalu haus informasi mengenai musik dan musik.Beruntunglah anak muda sekarang yang bisa mengupdate hal terbaru sekalipun mengenai perkembangan musik populer melalui internet dan media sosial lainnya yang bertebaran dimana-mana.
Era paruh 70-an itu memang disesaki oleh banjir dan tumpah ruahnya kaset kaset barat ilegal tapi legal yang disodorkan berbagai perekam Barat seperti Perina,Aquarius,Atlantic Record,Saturn,Lolita,BSR dan banyak lagi.Tak pelak lagi remaja Indonesia saat itu memang tengah dininabobokkan oleh budaya pop yang kental nuansa western-nya.Lihatlah berita berita yang dimunculkan Aktuil maupun Top yang didominasi artis musik Barat mulai dari berita hingga poster poster warna warni dalam ukuran besar sebagai bonus majalah.
Ini masih diperkuat lagi dengan gencarnya band-band sohor yang manggung di Jakarta seperti Shocking Blue,Bee Gees,Suzi Quatro hingga puncaknya dengan kehadiuran Deep Purple pada Desember 1975 di stadion Senayan Jakarta.
Riuhnya alam musik populer (rock) di Indonesia saat itu ditambah lagi dengan kehadiran majalh MG yang berkedudukan di Jakarta.
Namun majalah MG sengaja mengambil segmen yang berbeda dengan Aktuil maupun Top.MG malah menyasar target ke perilaku anak muda yang saat itu mulai terjun main gitar atau membentuk band dengan menyuguhkan lagu lagu up to date yang dilengkapi dengan chord gitar.Ini sesuatu yang menarik .Patut dipuji perihal kejelian MG yang diterbitkan oleh Yayasan Penggemar Musik dan Gitar (YPMG) ini yaitu dengan menyediakan sarana berupa chord gitar dari lagu-lagu yang tengah ngetren saat itu.MG pun menyisipkan berita berita terkini perkembangan musik dunia dan tanah air,tidak dalam artikel besar tapi berupa berita singkat.MG pun memberikan bonus poster serta kaset.
Kaset inilah yang mungkij dimaksudkan untuk membantu pembaca mengikuti chord chord yang ditampilkan oleh MG.
Saat itu harga majalah MG dipatok Rp 400.Harga kaset Indonesia saat itu adalah Rp 500 dan kaset Barat antara Rp 600 – Rp 700. Kaset MG sendiri dipatok Rp 600.Penjualan kaset terpisah dengan majalah.
MG memang berhasil merebut simpati anak muda saat itu.MG seperti sarapan kedua para remaja setelah melahap berita-berita musik yang dipaparkan oleh majalah Aktuil.

Majalh musik gitar Topchord edisi 30 April 19 79 (Foto Denny Sakrie)

Majalh musik gitar Topchord edisi 30 April 19 79 (Foto Denny Sakrie)

Memuncaknya ketenaran MG,diikuti dengan munculnya majalah serupa tapi dengan format yang lebih kecil dibanding MC,dengan nama Topchords yang diterbitkan di Salatiga.Seperti halnya MG,Topchord pun merilis kaset juga.
Majalah Topchord mulai terbit pada tahun 1977 dengan ukuran majalah sebesar buku tulis.

Ini adalah isi dari majalah Topchord edisi tahun 1979 yang memuat tablature dan lirik lagu Karat Di balik Kilau Benny Soebardja

Ini adalah isi dari majalah Topchord edisi tahun 1979 yang memuat tablature dan lirik lagu Karat Di balik Kilau Benny Soebardja

Seperti halnyamajalah  MG,lagu-lagu(Barat) yang tercantum dalam majalah Topchord juga direkam dalam kasetnya.Saat itu terjadi persaingan yang ketat antara MG dan Topchord dalam pemilihan lagu-lagu yang ditampilkan setiap edisinya.Bahkan majlah Topchord menurut saya selangkah lebih maju karena menghadirkan apresiasi terhadap lirik lagu yang dibedah oleh Ariel Heryanto.Ulasan Ariel Heryanto ,alumni Universitas Satya Wacana Salatiga ini cukup dalam dan agaknya sangat memahami budaya pop dengan baik.Saya banyak mengambil saripati dari tulisan apresiasi Ariel Heryanto dalam setiap penerbitan majalah Topchord tersebut.

Majalah Topchord edisi No.49 tahun 1981 dengan cover Andy Gibb

Majalah Topchord edisi No.49 tahun 1981 dengan cover Andy Gibb

Sebaliknya, salah satu tokoh pencinta musik yang ikut mengasuh majalah MG ini adalah Tim Kantoso yang saat itu kerap dikaitkan dengan komunitas musik jazz.Almarhum Tim Kantoso ini juga yang kerap menulis editorial MG dan selalu ditutup dengan semboyan khasnya “Music as always.MG as always”.MG juga menghadirkan sedikit ulasan mengenai hiruk pikuk dunia musik.

Vinyl Countdown

Posted: Januari 1, 2015 in Opini

Kecemasan akan punahnya rekaman musik dalam bentuk fisik karena menggelegaknya distribusi musik secara digital dan maraknya pembajakan kini pupus sudah.Diminatinya kembali format piringan hitam belakangan ini merupakan indikasi kuat bahwa sebagian besar penikmat musik masih memilih format fisik dalam mendengarkan dan mengoleksi rekaman-rekaman musik.Disepanjang tahun 2014 data penjualan vinyl di Amerika Serikat dan Inggris cenderung memperlihatkan grafik meningkat.Di Amerika Serikat dalam 7 tahun terakhir,penjualan vinyl mulai naik dari tahun ke tahun.
Dalam catatan asosiasi industri rekaman di Inggris BPI (British Phonographic Industry) tahun 2014 penjualan format vinyl mencapai posisi tertinggi mencapai 1,3 juta keping sejak tahun 1995,disaat Inggris tengah menjadi perhatian industri musik dunia lewat tren Britpop.

pinkfloyd-vinyl-endlessriver-1500x1000

Walaupun pencapaian penjualan vinyl berkisar 2 persen dari total pasar musik di Inggris, namun data di tahun 2014 ini menunjukkan tren kembalinya para penikmat musik menjamah piringan hitam.Album terbaru Pink Floyd bertajuk “The Endless River” menduduki peringkat no.1 dari 10 Album berbasis vinyl terlaris di Inggris di tahun 2014.
Di Amerika Serikat penjualan vinyl melonjak dari kisaran 6,1 juta keping di tahun 2013 menjadi 9,2 juta keping di tahun 2014. Konfigurasi penjualan vinyl bertumbuh sebanyak 52 persen.

Jack White bersama Jimmy Fallon tentang vinyl Lazaretto (Foto Billboard)

Jack White bersama Jimmy Fallon tentang vinyl Lazaretto (Foto Billboard)

Tahun lalu,album solo Jack White “Lazaretto” terjual 87.000 keping dan pada tahun 2013 album Daft Punk “Random Acces Memories” terjual 49 000 keping.
3,6 persen dari total penjualan album di tahun 2014 adalah vinyl. Ada sekitar 94 album dalam format vinyl yang sedikitnya terjual sekitar 10 .000 keping per album di tahun 2014 setelah tahun 2013 tercatat sekitar 46 judul album.
Bandingkan dengan data 10 tahun lalu dimana penjualan vinyl hanya mencapai 0,2 persen yaitu sekitar 1,2 juta dari total 681.400.000 keping.Adapun 57 persen dari total penjualan vinyl di Amerika tahun 2014 diperoleh dari hasil penjualan di gerai musik independen.
Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri ? Rilisan musik rekaman dalam bentuk vinyl mulai menggeliat walau belum dalam skala besar dan masih berkisar di kota-kota besar seperti Jakarta atau Bandung. Kebanyakan rilisan vinyl dilakukan oleh label-label independen seperti Demajors Record,Fast Forward,Elevation Record,Majemuk Record,Ivy League,Stock Room Recording maupun Organic Records .
Biasanya mereka merilis dalam jumlah yang terbatas berkisar antara 200 hingga 500 keping .Beberapa label besar pun mulai tertarik merilis format vinyl diantaranya Sony Music yang merilis album Superman Is Dead “The Early Years,Blood,Sweat and Tears” (2012) sebanyak 1000 keping dan Musica Studios yang merilis album d’Masiv “Hidup Lebih Indah” (2014).Memang hingga saat ini belum ada data akurat pencatatan total penjualan vinyl di Indonesia di sepanjang tahun 2014, tapi dengan maraknya hadir gerai-gerai musik independen yang menjual vinyl di basement Blok M Square maupun Pasar Santa Kebayoran dan beberapa titik lainnya menunjukkan bahwa tren vinyl telah memiliki pasar tersendiri dan memiliki peluang yang cerah dalam industri musik Indonesia .

Album vinyl reissue "Matraman" - The Upstairs (Doto Denny Sakrie)

Album vinyl reissue “Matraman” – The Upstairs (Doto Denny Sakrie)

Catatan lain menunjukkan ketika The Upstairs merilis vinyl reissue “Matraman” pada 16 Desember 2014,dalam hitungan jam vinyl mereka sebanyak 200 keping yang dirilis ulang oleh Demajors telah ludes dibeli para penggemarnya.
Label independen Demajors di tahun 2015 ini telah siap merilis album-album dari Naif hingga Pure Saturday. Bahkan Musica Studios,setelah merilis vinyl d’Masiv,berencana akan melakukan rilis ulang vinyl album-album dari back catalogue Guruh Sukarno Putra,Chrisye,Harry Roesli dan Iwan Fals yang dulu pernah dirilis di akhir era 70an hingga 80an.
Boleh jadi tren kembali ke vinyl ini merupakan salah satu solusi untuk menjegal maraknya pembajakan musik yang hingga saat ini tak pernah tuntas diberantas .