Beberapa waktu lalu Jak TV menghubungi saya,mereka meminta saya menjadi narasumber untuk sebuah program music bernama Jak Musik.”Hostnya Jimi Multhazam mas” ujar produser acara itu melalui telepon kepada saya.Saya masih belum tahu Jak Musik ini acara musik seperti apa.Tapi seperti yang sudah-sudah,saya menerima ajakan untuk menjadi narasumber acara music itu.Apalagi saya kenal baik dengan Jimi Multazham,sosok kreatif yang berpoligami dengan dua band sekaligus,The Upstairs dan Morfem.Disepakati bahwa taping Jak Musik itu berlangsung hari Sabtu tanggal 30 Juli bertempat di Studio 3 Jak TV yang berada di kawasan niaga SCBD Sudirman Jakarta.
Saya diminta untuk menjadi narasumber episode “Musik Folk”.Tapi tak beberapa lama berselang,sang produser acara Jak Musik ini kembali menghubungi saya.”Maaf mas ada sedikit perubahan.Tema yang akan dibahas adalah singer/songwriter bersama Anda With The Join,Leonardo,Mian Tiara dan Tika & The Dissidents”.
“Oke baiklah” jawab saya.Dari nama performer yang tampil di acara Jak Musik ini setidaknya saya sudah mulai meraba raba,bahwa acara ini lebih dititikberatkan pada kiprah pemusik yang kerap disebut pemusik non mainstream.Atau yang lebih sering disebut pemusik indie.
Seperti biasa,saya pun mempersiapkan diri sebagai narasumber dengan tema itu.Namun produser Jak Musik kembali menghubungi saya .”Maaf mas ada perubahan lagi.Kami meminta mas Denny untuk menjadi narsum dalam dua episode sekaligus yaitu Male Singer/Songwriter dan Female Singer/Songwriter”.No problem.
Sabtu siang sekitar jam 12.30 WIB saya akhirnya tiba di studio 3 Jak TV.Wow….di lobi studio berkumpul begitu banyak pemusik…..dan seperti dugaan saya ini adalah komunitas musik indie.Mereka menunggu giliran untuk tampil taping dengan nongkrong di sofa sofa yang tersedia.Ini mengingatkan saya pada sebuah pemandangan yang nyaris sama di Studio Pendulum yang berada di kawasan Jalan Brawijaya Jakarta Selatan.
Di studio Jak TV terlihat tengah kongkow The Brandals,Anda With The Join,The Adams,Tika & The Dissidents,The Trees and The Wild ,Sir Dandy,Mian Tiara dan banyak lagi.Sebuah komunitas yang banyak melahirkan kreativitas bernas terlihat akrab ngumpul di sebuah stasiun TV Lokal.Ini jelas merupakan pemandangan yang tak pernah terlihat di jaringan TV mainstream yang saling berlomba menyodorkan tontonan musik pagi hari seperti Inbox,Dahsyat,Derings dan banyak lagi.
Saya kaget dan kagum terhadap Jak TV yang mau menentang arus menampilkan acara Jak Musik yang ditayangkan setiap hari minggu jam 19.30 hingga 20.30 itu. Bahwa,pada akhirnya musik semacam ini punya tempat di sebuah tayangan TV yang selama ini lebih banyak menghadirkan acara dengan menempatkan urusan rating diatas segala-galanya.
Meskipun Jak TV adalah sebuah TV Lokal,tapi moga-moga naiwatu yang bagus dan terpuji ini bisa merembes ke TV TV swasta lain yang beroperasi secara nasional.
“Kami sudah menayangkan 11 episode” kata Rahman,sang produser Jak Musik.Moga-moga Jak Musik ini terus berlanjut dalam ratusan atau ribuan episode.
Setiap bulan suci Ramadhan, tak syak lagi begitu banyak album-album berlabel
religius Islami dirilis oleh berbagai perusahaan rekaman. Ini merupakan
fenomena yang berkembang sejak dasawarsa 1970-an. Artis maupun kelompok musik
yang sesungguhnya menapak di jalur musik pop, melakukan terobosan dengan
merilis album bertajuk Qasidah Modern.
Mungkin masih lekat dalam ingatan bahwa pada paruh dasawarsa 70-an, tiba-tiba
begitu banyak kelompok musik yang menjejali industri musik kita dengan musik
ber-label qasidah modern. Ada Koes Plus (Tonny, Yon, Yok, dan Murry) dari label
Remaco yang merilis album qasidah dengan sederet lagu seperti Nabi Terakhir, Ya
Allah, Sejahtera dan Bahagia, Zaman Wis Akhir, Ikut Perintah-Nya, Karena Ilahi,
atau Kesyukuran yang Suci.
Kelompok rock asal Surabaya AKA yang didukung Utjok
Harahap, Arthur Kaunang, Soenatha Tandjung, dan Syech Abidin, di perusahaan
rekaman yang sama pun mengeluarkan album qasidah modern.
Uniknya, baik Koes Plus maupun AKA beberapa personelnya seperti Yon Koeswoyo
(saat itu,sekarang sudah muallaf ), Soenatha Tandjung, dan Arthur Kaunang (AKA) justeru bukan penganut
Islam. Lalu Bimbo pun tak ketinggalan merilis album qasidah modern dengan
lagu-lagu, seperti Rindu Kami pada-Mu, Qasidah Matahari dan Rembulan, Dikaulah
Tuhan Terindah, hingga Anak Bertanya pada Bapaknya. Menariknya dalam penulisan
lirik lagu, Bimbo menjalin kolaborasi dengan penyair Muslim, Taufiq Ismail.
Selain itu, Bimbo yang didukung Sam, Acil, Jaka, dan Iin Parlina, juga
memperoleh kontribusi penulisan lirik dari KH Miftah Faridl, E.Z Muttaqien,
Endang Sjaifuddin Anshari, dan banyak lagi.
Tak semuanya menuai sukses. Itu patut diakui. Namun, dari pergulatan yang
kompetitif, mencuat salah satu di antaranya adalah kelompok Bimbo asal Bandung,
Jawa Barat, yang kemudian berlanjut hingga sekarang ini. Bahkan, Bimbo, memperoleh predikat sebagai kelompok musik
religius.
Lalu siapakah sesungguhnya yang menggagas munculnya terminologi qasidah modern
dalam industri musik (pop) Indonesia ini ?
Dalam catatan, ada pemusik bernama Agus Sunaryo yang memimpin kelompok musik Bintang-bintang Ilahi berupaya memasukkan unsur modern dalam musik yang mengiringi qasidah. Instrumen combo band mulai dilibatkan di dalamnya, seperti keyboard, gitar elektrik, dan bass elektrik.
Tersebutlah Rofiqoh Darto Wahab, penyanyi qasidah yang telah mencuri perhatian ketika tampil dengan qasidah modern pada sebuah acara keagamaan yang berlangsung di kota kelahirannya, Pekalongan, pada tahun 1964. Lalu ada
kelompok qasidah wanita yang bermain dengan setumpuk instrumen band bernama Nasyidah Ria, yang antara lain memopulerkan lagu Perdamaian, lagu yang kemudian dibawakan dalam versi rock oleh kelompok Gigi. Artis lainnya yang mencoba berqasidah modern, antara lain penyanyi Fenty Effendy serta Djamain Sisters yang didukung Rien Djamain. Pro dan kontra perihal qasidah modern pun menyembur.
Mochtar Luthfy El Anshary, salah seorang ahli musik qasidah, yang pernah memimpin Orkes Gambus Al
Wardah dan Hasan Alaydrus dari Orkes Gambus Al Wathan, menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Agus Sunaryo dengan embel-embel qasidah modern sebetulnya tak bermuatan anasir modernisasi qasidah. ”Saya hanya melihat musik band yang pop telah dipaksakan dengan syair-syair lama,” kata Alaydrus, seperti yang ditulis
majalah Tempo edisi 37/IV/16/ 22 November 1974.
Mochtar Luthfy El Anshary berpendapat, ”Pantun-pantun bahasa Arab itu diletakkan dalam irama yang tidak tepat.” Namun, niat untuk ‘memodernisasi’ qasidah tiada pernah berhenti. Dari tahun ke tahun pergeseran telah terlihat
dengan nyata.
Saat itu, pada tahun 1974, Koes Plus yang menoreh kontroversi, karena juga merilis album Natal, menyanyikan syair religius dengan menggunakan bahasa Jawa pada lagu bertajuk Zaman Wis Akhir.
Bimbo sendiri banyak mengadopsi musik Flamenco dalam racikan musik qasidahannya. Dan, Bimbo bahkan telah mencoba melepaskan diri dari pakem qasidah yang berbasis bahasa Arab.
”Kami menggunakan syair berbahasa Indonesia,” ujar Samsudin Hardjakusumah atau lebih dikenal dengan Sam Bimbo.
Saat ini keragaman musik religius sangat terasa. Ada yang menyelusupkan
pengaruh musik R&B (rhythm and blues), seperti yang dilakukan oleh kelompok
Shaka hingga Nawaitu Project. Kelompok Gigi bahkan seolah meneruskan apa yang
pernah dilakukan oleh kelompok rock, AKA, pada tahun 1975, memasukkan anasir
musik rock yang dinamis dan sarat gegap gempita.
Debby Nasution dari Gank Pegangsaan dalam album solo religiusnya malah
memasukkan repertoar klasik milik Johann Sebastian Bach. Ada pula yang
membaurkannya dalam musik jazz, seperti album Sound of Beliefe. Gito Rollies
mendaur ulang dua hit dari The Rollies yakni Hari Hari dan Kau yang Kusayang,
tetapi dengan lirik yang telah mengalami perubahan, dari tema hedonistic
materialistic menjadi kontemplasi religi.
Hingga saat ini, sudah tak terhitung lagi jumlah album religius yang beredar
di tengah masyarakat. Opick, seorang pemusik rock yang gagal dalam karier musik
rocknya, malah menemukan jati diri musikal yang sesungguhnya pada musik
religius.
(Denny Sakrie)
Tulisan ini dimuat di Harian Republika Senin 1 Oktober 2007
Tak salah jika Mick Jagger disebut sisa sisa laskar generasi bunga yang masih tetap bertahan dalam industri musik dunia.Ditengah tengah konsistensinya bersama The Rolling Stones, Sir Michael Phillip Jagger yang hari ini selasa 26 Juli 2011 genap berusia 68 tahun, seolah tiada henti berkutat di belantara musik.Saat ini lelaki kelahiran Dartford,Kent,Inggeris ini tengah disibukkan dengan proyek kolaborasi unik bertajuk Super Heavy bersama Dave E Stewart punggawa Eurytmics,Joss Stone,AR Rahman dan Damian Marley putera Bob Marley.
Mick Jagger tetap bergumul dengan musik.Tak henti,tak pernah puas.Seperti yang disyaratkan dalam lagunya yang fenomenal I Can’t Get No (Satisfaction) :
I can’t get no satisfaction,
I can’t get no girly action.
‘Cause I try and I try and I try and I try.
I can’t get no, I can’t get no.
When I’m ridin’ round the world
and I’m doin’ this and I’m signing that
and I’m tryin’ to make some girl
who tells me baby better come back later next week
’cause you see I’m on losing streak.
Sebuah corong hedonis materialistik yang masih tetap bergaung hingga kini,termasuk didalamnya kredo sex,drugs and rock n’roll yang seolah sebuah apokaliptika bagi generasi muda dari zaman ke zaman,sejak The Rolling Stones berkecambah pada paruh era 60-an.
Di era yang kerap pula bersinggasana sebuah gerakan yang dinamakan British Invasion,Mick Jagger seolah memposisikan diri sebagai sosok bad boy yang tak mau diatur oleh tata karma yang normative.Dia selalu menyempal,dalam bentuk pilihan musik termasuk lirik-lirik lagunya yang provokatif.Kekagumannya pada music blues sesungguhnya merupakan refleksi pemberontakan atas sesuatu yang mapan.Dalam sejarah,musik blues adalah pemberontakan kaum kulit hitam yang terjajah dalam perbudakan.Mick Jagger mencuri saripati blues itu dalam adonan musiknya yang kemudian disusupi ruh rock yang riuh rendah serta melabrak kaidah kaidah yang penuh kepura-puraan dan rekayasa.
Di akhir era 60-an,Mick Jagger bahkan menyebut dirinya seorang anrkis sejati.Jagger mengambil bagian dalam demonstrasi anti Perang Vietnam di depan kedutaan Amerika Serikat di LondonmInggeris pada tahun 1968.Disinilah Jagger lalu tergerak untuk menuliskan geraman jiwanya lewat lagu “Street Fighting Man” yang beraura gugat itu.
Di sekitar tahun 1973,saat diwawancara sebuah majalah musik,Mick Jagger pernah mencanangkan akan pensiunn pada usia 40 tahun.Saat itu usianya baru saja memasuki kepala tiga. Jagger berdalih bahwa rock n’roll tak lagi pantas di usia 40.Rock n’roll,kata Jagger,adalah milik anak muda.Tapi ternyata apa yang telah diucapkannya ternyata justeru dilanggarnya.
Dan satu dasawarsa ke depan,di tahun 1983 saat usianya bertambah menjadi 40 tahun,Jagger masih tetap berjingkrak-jingkrak dengan energi yang tiada terkira : Start Me Up !.Dalam konser The Rolling Stones yang berskala arena stadium Mick Jagger masih tetap bervitalitas mengelilingi panggung yang maha luas,sembari berteriak :
If you start me up
If you start me up I’ll never stop
If you start me up
If you start me up I’ll never stop
I’ve been running hot
Beruntung saya masih bisa menyaksikan ulah panggung Mick Jagger yang sexy dan sensasional di saat usianya bertambah menjadi 45 tahun,di Stadion Senayan Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1988.Mick Jagger saat itu tidak datang bersama The Rolling Stones,melainkan melakukan tur konser solo yang antara lain didukung sederet pemusik virtuoso seperti Joe Satriani (gitar) hingga Simon Philips (drums).
Tuduhan bahwa Mick Jagger adalah titisan iblis terkadang membuat saya terhenyak.Karena di saat Jagger menggelar konser di Stadion Senayan Jakarta,aksi brutal berupa pembakaran mobil berlangsung di luar stadion bagai ritual sekte pemuja setan.Saat itu saya jadi teringat peristiwa mengerikan yang terjadi saat the Rolling Stones menggelar konser gratis di Free Way Altamont pada tahun 1969 dengan jatuhnya korban seorang penonton berkulit hitam yang ditikam gang motor Hell Angels yang kerap menjadi malaikat pendamping tiap konser Rolling Stones, tepat di depan panggung The Rolling Stones sedang berpentas.
Pada akhirnya The Rolling Stones konotatif dengan kerusuhan dan chaos tanpa alasan yang jelas .
Begitulah,Mick Jagger seperti halnya rekan sejawatnya Sir Paul Mc Cartney maupun Bob Dylan,adalah sosok rock yang menolak tua.Mereka seperti para highlander yang terus bergelayutan immortal dari satu panggung ke panggung lainnya dalam lintasan jaman.Mick Jagger,juga Keith Richard adalah fenomena rock and roll yang tak terbantahkan.Ketika sahabat sejawat seperti Brian Jones,Jimi Hendrix,Janis Joplin atau Jim Morrison telah terbang ke nirwana di saat usia 27 tahun,Jagger dan Richard masih berlenggang rock n’roll di berbagai pentas musik dunia.
Ah,jangan jangan malaikat maut sering melupakan tugasnya karena senantiasa menonton konser konser spekatkuler The Rolling Stones.Bah !
Tapi yang jelas Mick Jagger adalah legenda abadi rock n’roll tiada dua.Jagger masih tetap penuh vitalitas diatas pentas.
Happy Birthday Mick !.It’s Only Rock and Roll,but I like it !
Setelah bermusyawarah menentukan nama untuk jatidiri band kalian dengan menimbang pelbagai aspek dan segala tetek bengeknya. Maka saatnya kini kalian mendaftarkan nama band kalian itu agar mendapat perlindungan secara yuridis, setidaknya agar menjadi tameng terhadap segala bentuk problemetika yang muncul di kemudian hari. Termasuk untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan munculnya atau adanya band yang memiliki nama yang sama atau mirip dengan band kalian, seperti yang telah saya contohkan dalam tulisan-tulisan saya terdahulu. Yang perlu kalian ketahui dan maklumi bahwa pihak yang berkompeten dan memiki wewenang secara yuridiksial adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI) yang berada dibawah otoritas Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Prosedural pendaftaran nama band ini hampir samalah dengan pendaftaran sebuah merk dagang. Dimana pihak yang mendaftarkan merk, brand atau nama ini bisa atas nama perseorangan maupun institusi atau badan usaha. Lebih jauh dijelaskan bahwa pendaftaran ini, sesuai prosedur yang ditetapkan oleh Dirjen HAKI, merupakan bagian dari Kelas 41 pada ruang lingkup bisnis jasa hiburan. Adapun syarat-syarat yang mesti dipenuhi saat mendaftarkan nama band ini antara adalah Kartu Identitas yang berlaku berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), mengisi blanko formulir pendaftaran, menceritakan secara singkat ikhwal histori singkat band serta menyertakan pula logo, ikon atau lambang band yang berbentuk tulisan atau gambar. Pendaftaran ini dikenakan biaya sebesar Rp.150.000 yang dibayarkan secara tunai ke Bank BNI yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal HAKI. Untuk sekedar diketahui bahwa proses pendaftaran nama band ini menghabiskan waktu sekitar 18 bulan hingga 2 tahun sejak kali pertama nama didaftarkan hingga saat dikeluarkannya secara sah dan resmi. Rentang waktu yang relative panjang dan lama ini sesungguhnya diperlukan untuk akurasi pengecekan penggunaan nama-nama yang telah ada. Ketelitian yang sangat detil ini memang dilakukan agar tak terjadi kesamaan atau kemiripan dalam penggunaan sebuah nama atau merk untuk usaha atau kegiatan yang sejenis. Kalian ingin tahu prosesnya secara runut dan rinci ? Di tahap pertama, dilakukan pemeriksaan kelengkapan berkas surat secara formalitas. Tahap ini kemudian berlanjut dengan pemeriksaan substantif untuk memeriksa dan mengecek apakah merk atau nama yang diajukan itu tidak memiliki kemiripan atau kesamaan dengan pihak-pihak yang lain,terutama dalam jenis usaha yang sama. Dalam hal ini tentunya adalah kesamaan nama band. Usai proses pemeriksaan merk atau nama itu, barulah bisa diumumkan hasilnya. Pihak yang mengajukan merk atau nama nantinya akan menerima sertifikat resmi dari pihak Ditjen HAKI, lalu nama yang lulus verifikasi itu pun dipublikasikan secara umum di laman Ditjen HAKI. Selanjutnya, Ditjen HAKI berkompeten untuk melindungi penggunaan merk atau nama band tersebut dalam kurun waktu 10 tahun. Dengan catatan bahwa, satu tahun sebelum masa berlaku nama atau merk itu berakhir, apabila pemilik sertikat merk atau nama band ingin memperbaharui atau memperpanjang kembali maka sang pemegang sertifikat harus melakukan kembali prosedural pendaftaran nama band dari awal lagi. Bagaimana ? Mudah dan jelas bukan ? Nah, kini saatnya kalian segera mendaftarkan nama band kalian yang telah kalian sepakati dengan bermufakat itu. Tak perlu lagi menunggu band kalian akan menjadi terkenal atau kesohor terlebih dahulu. Lebih cepat, lebih baik. Segera daftarkan! Selamat ngeband dan bermain musik! Jrengggggg….!
Rock tak lagi sesuatu yang gahar.Bukan lagi sesuatu yang sangar.Setidaknya itulah yang termaktub selama 3 hari perhelatan Java Rockin’ Land yang digagas Java Festival Production di Pantai Carnival sejak jumat 22 Juli 2011 hingga berakhir minggu 24 Juli 2011.Ini untuk yang ketiga kalinya sebuah festival rock digelar atas gagasan Peter F.Gontha,sosok yang sebelumnya telah sukses membidani ajang bergengsi Java Jazz Festival.
Di tahun ketiga penyelenggaraan JRL yang disponsori rokok Gudang Garam ini,terlihat bahwa event ini telah memperlihatkan sebuah bentuk yang jelas.Sebuah pencapaian yang boleh dianggap bagus.Karena dengan kurun waktu yang relatif singkat,konser rock selama 3 hari ini telah mengumpulkan massa yang terlihat addict.Diversivikasi genre dan subgenre mulai terlihat dengan munculnya beberapa grup rock yang menjadi representatif subgenre tertentu.Ini menarik,mengingat rock yang mulai berkecambah sejak era padamnya Perang Dunia ke 2 di Amerika Serikat dan Inggeris ini memiliki banyak percabangan genre dari pelbagai eksperimentasi hibrida musik.Maka sangat naif jika masih ada penonton yang dengan nyinyir menyindir :”Ah….band ini gak ngerock kok tampil di Java Rockin’ Land”.Karena jika ditarik secara roots dan historikal maka asal muasalnya ya tetap sama dari rintihan kidung blues yang dieksploitasikan kaum budak belian yang berimigrasi dari benua Afrika ke benua pengharapan Amerika Serikat.
Dari awal munculnya Java Rockin’ Land di tahun 2009,saya melihat bahwa ajang three days of rock ini sepertinya memang terinspirasi dengan ajang “Summer Sonic Festival”,sebuah ajang festival rock yang berlangsung di Jepang tepatnya di Osaka dan Chiba sejak tahun 2000 dengan memanggungkan sederet band-band rock dan modern rock atau yang kerap pula disebut alternatif.
Penonton yang datang ke Java Rockin’ Land pun memang tak sehitam dan seekstrm ibeberapa konser rock atau metal pada galibnya.Ada warna warni yang cerah disana.Gadis gadis berbusana kasual terlihat santai melenggang dari pentas ke pentas di areal Pantai Carnival Ancol .Dan tak semuanya adalah fanatikus rock.Arena JRL ini tak dapat disangkal menjadi ajang hang out.Tapi hal ini toh bukan semua fakta yang mesti diperdebatkan sah atau tidaknya sebuah perhelatan rock.Abaikanlah jika ada seoarang anak muda berdandan punk bertanya “Lho kok Sheila On 7 manggung di JRL ?”.
Namun toh beberapa kelompok rock “garis keras” seperti Burgerkill,juga tampil di Java Rockin’ Land.Termasuk tentunya band legendaris metal yang inspiratif seperti Helloween atau Loudness.
Line up band Indonesia sendiri termasuk membanggakan karena jika diurut secara seksama,maka event Java Rockinland kali ini terlihat seperti sebuah parade musik rock Indonesia secara historik.Lihat betapa bergairahnya God Bless manggung pada hari sabtu 23 Juli 2011 dengan repertoar yang jarang dibawakan di panggung rock seperti “Cermin” yang diambil dari album “Cermin” (1980).”Lagu itu terakhir kami bawakan tahun 1983″ ungkap gitaris God Bless Ian Antono.Ada juga band band yang generasinya berada dibawah God Bless seperti EdanE,Power Metal dan PowerSlaves.Juga band band yang selama ini hanya manggung diskena indie seperti Alien Sick,Tengkorak,Gunver,Fabel,Float,Seringai,Tor,Raksasa,Jasad,Ballerina,Parau,Konspirasi dan nasih sederet banyak lagi.
Mereka semuanya bersanding dengan band-band mancanegara seperti 30 Second To Mars,Frente,The Cranberries,Happy Monday,Loudness,Helloween,Neon Trees,Blood Red Shoes dan entah apa lagi.
Jelas penonton penyuka rock seperti menemukan oase berharga yang tak ternilai dengan parade rock yang disuguhkan grup-grup rock lintas generasi.Sebuah perhelatan rock yang rasanya tetap ditunggu-tunggu penikmatnya,disetiap tahun.Rock on………
(Foto : Nelwin/Akbar/Viva News/DS
)
Kemaren saat lagi nonton konser The Cranberries di Java Rockin’ Land tiba-tiba mendapat kabar bahwa penyanyi soul “bermasalah” Amy Winehouse telah berpulang.Saya sempat bergidik,ketika membaca berita kematiannya,Amy Winehouse berpulang di saat dia berusia ke 27.Kenapa ? Karena di era-era sebelumnya begitu banyak rock star yang meninggal dunia di saat berusia 27 tahun.Mereka adalah Janis Joplin,Jimi Hendrix,Brian Jones,Jim Morrison hingga Kurt Cobain.
Lalu kenapa 27 tahun ?
Nah,usia ini dalam industri music merupakan usia memetik sebuah keberhasilan dari sederet perjuanagn dalam bermusik,termasuk didalamnya upaya mencari jatidiri.Tapi dalam music rock,angka ini berubah menjadi sebuah angka yang sarat mistik.Penuh teka teki tak terpecahkan.Tapi menjadi dongeng menarik yang senantiasa ditelaah generasi pada setiap zamannya.
Secara psikologis usia 27 adalah usia kematangan.Sebuah maturitas.Saat dimana seseorang mulai meninggalkan kebrangasan dan kebrandalan masa remaja menuju ambang kedewasaan.Bukan hanya di dunia music,tapi dibidang bidang lain, termasuk tentunya di dunia olahraga.Dalam daftar meninggal di usia 27 pun tersebutlah seorang seniman lukis eksentrik Jean Basquiat.Tepatnya di usia itulah puncak pencapaian seseorang dalam bidang apa pun. Hell, it’s even the age when you can no longer use your young person’s railcard…27, the doorway into adulthood, is a year imbued by history with a tragic resonance.
Penikmat rock dan budaya pop masih terus mengingat disaat para pahlawan budaya pop seperti Brian Jones,Janis Joplin,Jim Morrison dan Jimi Hendrix berpulang sekitar 4 dekade yang silam.
Proses meninggalnya pun banyak berkaitan dengan penggunaan obat-obatan psikotropika yang akut dan kronis.Brian Jones,gitaris The Rolling Stones yang juga seorang pengguna narkoba,malah dikaitkan dengan gosip sengaja dibunuh dan aspek lainnya.Semua serba gelap,penuh misteri dan tak terungkap tuntas secara jelas hingga detik ini.
Di tahun 1994 pemuka Nirvana Kurt Cobain pun wafat diusia 27 tahun setelah menembak dirinya sendiri yang ternyata memang sudah dirasuki heroin hingga valium.
Keterkaitan pemusik dengan penggunaan drugs dan sejenisnya memang telah lama tercatat dalam sejarah musik pop yang entah kenapa ujung kehidupan mereka lalu berlumur misteri dan gosip pembunuhan.Contihnya pemusik kulit hitam biang Delta Blues Robert Johnson yang konon diwartakan meninggal karena sengaja diracuni.
Kurt Cobain pun menyisakan banyak misteri terutama kecurigaan banyak pihak bahwa Courtney Love isteri Kurt Cobain,sebagai dalam pembunuhan atas kematiannya suaminya itu sendiri. Usia 20an tahun itu memang merupakan pencarian jatidiri dalam fase kehidupan manusia entah itu dalam mencari pekerjaan,pengembangan karir dan kehidupan romansa.Itu pasti.Tujuan hidup,ketenaran atau popularitas,materialistik dan kesuksesan adalah sesautu yang berseliweran di depan mata kita untuk kita tangkap.Dan ketika berhasil menangkapnya,tak jarang justeru muncullah yang namanya sebuah kegamangan tiada ujung.Sesuatu yang terasa paradoks.Karena keberhasilan yang berhasil diraih atau dicapai malah bagai sebuah fatamorgana yang berkilauan tapi tak bermakna apapun dalam sebuah kondisi kejiwaan yang rapuh.
Dalam situasi grown up seperti itu justeru yang membumbuung tinggi adalah sebuah fase ketidaksiapan menghadapi kenyataan yang terpampang dalam sebuah etalase kehidupan.
Hal semacam itu pulalah yang mencuat dalam kehidupan seorang bintang baru (saat itu) yang bernama Amy Winehouse.Amy seperti tak bosan-bosannya berkubang dalam ketidakpastian.Dalam kenikmatan semu sesaat yang tiada arti sama sekali.Amy bahkan menafikan prestasi yang telah diukirnya secara bersusah payah.Kehampaan yang dialami Amy rasanya memang senantiasa lekat dalam dunia seoarng bintang dalam industri hiburan yang sarat kerlap kerlip nan memukau.
Apakah masih ada artis musik yang akan menambah deretan panjang mitos kematian di usia 27 tahun ini ?
Inilah kaset album pianis Ahmad Jamal “Standart Eyes” (1967) yang “diperbanyak” oleh perekam Barat Aquarius pada tahun 1971.Jelas ini adalah upaya bajakan.Tapi dianggap legal.Karena Indonesia saat itu belum memberlakukan Undang Undang HAKI dan tidak ikut dalam Konvensi Bern.Dan pemerintah pun mengambil cukai pajak dari penjualan kaset kaset “ketikan” ini.Disebut kaset ketikan karena judul-judul lagu masih diketik diatas kertas dengan menggunakan mesin ketik.Sedang sampul album direproduksi secara hitam putih.
Inilah sejarah “kelam” industri musik Indonesia yang berakhir di tahun 1988 saat muncul klaim dari Bob Geldof dedengkot The Boomtown Rats yang mencak mencak karena konser “Live Aid” (1985) dibajak oleh sekitar 5 label perekam Barat dan diekspor ke luar negeri diantaranya ke Timur Tengah.Padahal “Live Aid” adalah konser charity menggalang dana kemanusiaan untuk bencana kelaparan yang terjadi di Ethiopia. Ironis !
Sabtu malam 7 November 1970,pelataran Istora Senayan terlihat menyemut dengan kerumunan penonton yang siap menonton perhelatan musik terbesar di Djakarta.Setidaknya 3000 penonton mendatangi arena olahraga Senayan ini untuk melihat sebuah pertunjukan musik yang diberi tajuk “Djambore Band Djakarta 1970” yang menampilan band wanita The Candies,Bhajangkara Band,The Rhadows,Panbers dan Koes Plus.
Hiburan band seperti ini merupakan tontonan yang memiliki magnet luar biasa saat itu di Djakarta.Apalagi yang menjadi atraksi utama adalah band yang tengah mendaki jenjang ketenaran sebut misalnya Koes Plus yang tahun 1969 silam merilis album perdananya “Dheg Dheg Plas” pada label Mesra/Dimita yang dimiliki Dick Tamimi.
Djambore Band Djakarta dibuka lewat suara yang rada ngebas dari Sambas,penyiar RRI/TVRI yang pernah menciptakan lagu “Manuk Dadali”.Dengan the Golden Voice-nay Sambas langsunmg membuka konser pertunjukan yang diadakan Ikatan Mahasiswa Djakarta.Kabarnya mereka tengah menggalang dana untuk pembangunan sebuah Youth Center.
Dengan busana warna warni terbuat dari satin yang dilengkaoi celana model bell bottom atau yang kerap disebut cutbray,The Candies yang terdiri atas Dora Sahertian yang tampil sebagai penyanyi dan pemencet organ serta 3 rekannya Esther,Judith dan Sandra.Meskipun belum setaraf dengan Dara Puspita,tapi The Candies tampaknya punya masa depan cerah sebagai band wanita yang potensial.
Oleh pihak panitia penyelenggara,setiap band dijatah untuk mendendangkan sekitar 4 lagu.
Usai The Candies,muncul band Bhajangkara.Baru dua lagu mereka bawakan,mikropfon nya malah tak bersuara alias mati.Bhajangkara malah mempersilahkan Panbers naik panggung dulu.
Panbers yang terdiri atas Hans Panjaitan(gitar),Benny Panjaitan (gitar,organ,vokal),Doan Panjaitan (bass,vokal) dan Asido Panjaitan (drum) segera menebar pesona dengan memainkan bunyi-bunyian mirip sirene.Lalu mengalunlah lagu yang menyerempet ke pola rock “Djakarta City Sound”.
Walau mereka menyebut diri sebagai band pop,tapi aksi panggungnya mirip rockers.Terutama drummer Asido Panjaitan yang kerap berakrobat : nendang cymbal pakai kaki atau berdiri diatas kursai drumnya.
Benny Panjaitan memanmg memiliki suara yang melengking.Diduga dia mampu mendaki lebih dari 3 oktaf.
Lagu “Akhir Cinta” yang dinyanyikan Benny memperoleh aplause dari penonton.Usai Panbers dengan gaya pseudo rocknya.
Sambas dengan suaranya yang berat lalu mendaulat The Rhadows untuk beraksi.Band yang tampak menghambakan diri pada rock ini terdiri atas Rudy Dotulong (vokal,gitar),Wempy Tanasale (bass),Ibbung (keyboard) dan John Dotulong (drum).John ini adalah ayah dari Amara Lingua.
The Rhadows menampilkan warna musik yang cenderung keras.Rudy Dotulong pun terampil meniti nada nada tinggi tanpa terpeleset satu not pun.
Setelah The Rhadows,publik kian antusias.Karena yang dijadwalkan tampil adalah Koes Plus yang terdiri atas 3 bersaudara Koeswoyo (Tonny,Yon dan Yok) serta anggota baru Kasmuri dan lebih dikenal dengan panggilan Murry.Drummer yang enerjik ini tadinya adalah drummer band Patas dengan salah satu anggotanaya adalah Wempy Tanasale yang mendukung the Rhadows.
Usai the Rhadows lalu muncullah band yang ditunggu tunggu publik performansinya.
Dengan pakaian yang sangat sederhana untuk sebuah pertunjukan besar,Koes Plus tampaknya betul betul siap untuk menghibur penonton yang tengah kepayang dengan sajian band-band ngetop di Djakarta.
Koes Plus berhasil merampas perhatian penonton lewat lagu-lagu karya sendiri terutama yang ditulis oleh Tonny Koeswoyo.Dibuka dengan lagu “Manis dan Sayang” serta “Derita” yang diambil dari debut album mereka di tahun 1969.Saat itu lagu-lagu Koes Plus mulai dipengaruhi warna sweet sound ala Bee Gees.Yon Koeswoyo sendiri tiba-tiba berupaya menghasilkan vibra seperti halnya Barry Gibb dari Bee Gees.
malam itu Koes Plus takl ketinggalan membawakan hits lama mereka saat masih menggunakan nama Koes Bersaudara yaitu “Senja”.
Lagu keempat yang dilantunkan Koes Plus adalah Tjintamu Telah Berlalu ytang introduksi lagunya mengingatkan kita pada lagu “Lamplight” nya Bee Gees dari album “Odessa” (1969).
Walaupun Koes Plus telah menyudahi penampilannya .Tapi penonton tak beranjak.Mereka berteriak memohon encore.Koes Plus pun memainkan sebuah ballad bertajuk “Tiba Tiba Kumenangis”.Ini sebuah lagu cinta nan unik,karena Yon pun menyanyikannnya seperti orang bersedih dengan suara sesungukan.
jauh malam hari
sayup kudengar kenari
kududuk sendiri
hatiku rindu mencari
tiba-tiba ku menangis
sedih hatiku sedih
mengapa ku begini
ha…ha
ku tiada pernah mengerti
pergi mengapa pergi
mungkinkah kau kembali
Penonton Djambore Band Djakarta 70 pun terkesima.Mereka seperti dihipnotis.Aplause pun merebak dan menggaung di Istora Senayan.
Malam minggu itu jelas sudah bhawa Koes Plus merupakan bintang panggung.Mereka berhasil menguasai penonton yang berjumlah ribuan.
Koes Plus memang siap menjadi band pop terbaik dengan penggemar terbanyak di acara ini.
Konser pertunjukan ini merupakan indikasi timbulnya fenomena band-band-an di Indonesia yang dipicu oleh kelahiran Koes Plus.
Koes Plus pun menjadi role model bagi anak band yang tengah bergiat membentuk band di Indonesia.
Pesta musik pop berlangsung di Senayan,di penghujung tahun 1972.Bertajuk Jambore Band Artis Safari .Saat itu industri musik pop Indonesia (majalah Aktuil menyebutnya sebagai blantika musik) tengah dikelilingi band-band pop yang cenderung melontarkan petilan melodi manis,easy listening dan lirik tentang cinta dan cinta.Tak jauh bedalah dengan industri musik sekarang.Bedanya saat itu band-band pop papan atas mudah dihitung dengan jari.Kalau sekarang jumlah ribuan.
Syahdan di tahun 1973 itu setidaknya ada 4 grup band pop yang dianggap sebagai representasi musik pop Indonesia.Siapakah keempat band itu.Yaitu Koes Plus,Panbers,The Mercy’s dan
Freedom of Rhapsodia.Nah,band yang disebut terakhir ternyata band amfibi.Kenapa ? Saat tampil di panggung,Freedom of Rhapsodia adalah impersonator genre hard rock tapi saat merekam album mereka cenderung bergelayut dengan tema pop.Di tahun 1972 grup yang antara lain didukung Deddy Dores dan Soleh Soegiarto itu melejit dengan lagu pop karya J .Sarwono “Hilangnya Seorang Gadis”.
Nah bersepanggungnya empat band yang lagu-lagunya tengah diputar di radio radio swasta dan RRI ini rasanya merupakan daya pikat utama dari konser Jambore Band Artis Safari ini.Riuhnya konser ini ditulis majalah Tempo Edisi. 44/II/13 – 19 Januari 1973 seperti ini
: “Bukan main padatnya. Yang tidak kebagian pintu resmi, nyerobot
liwat jendela kaca di bagian atas Istora Senayan. Para penjaga
keamanan tidak dapat bertindak lebih dari memandang saja massa
yang bagaikan semut itu. Perbatasan kelas, pagar besi yang bagai
tumbak ujungnya, dilompati saja seperti orang melompat galah.
Sementara yang masih bertahan di pintu resmi hanya bisa saling
dorong-mendorong atau menjerit kalau kena pencet. Orang-orang
penting di lantai yang datar tak mendapat perlindungan lagi.
Garis batas telah roboh. Maka popor anggota-anggota keamananpun
diacungkan ke kepala penonton sambil mengingat zaman demonstrasi
dulu.”
Semua itu terjadi satu malam dibelakang malam tahun baru 1973.
Kegiatan yang sukses itu, bernama jambore Safari menampilkan
empat buah grup yang sedang menanjak namanya. Koes Plus,
Panbers, Mercy’s dan Rhapsodia. Bangunan yang berkapasitas
10.000 pantat itu tumpat padat melebihi targetnya. Kurang jelas
adakah ini bukti bahwa kini zamannya musik grup atau memang saat
pertunjukannya tepat. Yang pasti tentunya orang tertarik karena
kesan nya seperti sedang diadu. “Yang diadu hanya ayam”. kata
Charles dari grup Mercy ‘s yang menolak menamakan acara itu
sebagai medan pertarungan antar grup.
Kurang lebih begitulah suasana yang diungkapkan sekitar 38 tahun silam.Potret pentas musik pop era Orde Baru.Sebuah euphoria bernuansa pop,ketika jumlah band atau pemusik masih belum terlalu banyak.Koes Plus menjadi milik sebagian besar masyarakat.Lagunya bersahaja,dengan harmoni yang manis,cepat lekat di kuping khalayak.Meskipun pada saat itu pentas pentas band yang menyuguhkan musik rock mancanegara juga mulai berepidemi.Menyebar kemana-mana seperti jamur
Memilih nama band bisa jadi mungkin meruapakan hal yang sangat mudah.Tapi terkadang menjadi sesuatu yang lebih menyulitkan dibanding menulis sebuah komposisi musik.
Kenapa ? Karena seyogyanyalah sebuah nama band itu harus mengendapkan banyak hal.
Mulai dari makna secara filosofis, jatidiri, bahkan seharusnya menyiratkan pula konsep musik yang diusung.
Disamping itu nama band itu seharusnya berkesan catchy, gampang diingat dan memberikan tuah bagi band itu sendiri.
Nah, kalau sudah begini, biasanya sebuah band yang baru terbentuk akan pusing tujuh keliling dalam memilih nama yang tepat. Beberapa band biasanya sampai mengotak atik kata dalam kamus.
Dipilah lalu dipilih.
Kadang, mencari nama band bisa juga berdasarkan judul film, judul lagu atau quote kalimat dari koran, majalah, buku dan entah apalagi. Namun, tak jarang ada juga upaya menyingkat inisial personil dalam sebuah akronim. Semisal KLa Project yang awalnya merupakan gabungan inisial dari Katon Bagaskara, Lilo, Ari Burhani dan Adi Adrian. Serta Dewa yang merupakan singkatan dari Dhani, Erwin Prasetya, Wawan, Andra Ramadhan dan Ari Lasso.
Namun, gagasan menyingkat inisial nama ini punya resiko juga manakala salah satu personil mengundurkan diri dari formasi band. Misalnya, ketika Lilo mundur dari KLa Project, grup ini lalu mengubah nama menjadi NuKla. Tapi Ahmad Dhani malah mengubah nama personilnya ketika Dewa berganti formasi. Contoh, ketika drummer Sri Aksana Sjuman masuk ke formasi Dewa, Dhani lalu mengubah nama Aksan menjadi Wong Aksan agar inisial W tidak hilang dari Dewa. Bahkan Tyo Nugros malah ditulis menjadi Wizztyo Nugros dan Once malah menggunakan inisial nama aslinya Elfonda Mekel.
Ketika kasak kusuk dan kebingungan mencari nama yang tepat dan gampang diingat, beberapa pemusik lebih tertarik untuk menggunakan gabungan inisial nama.
“Saya juga merasa bingung untuk member nama band saya. Sudah bongkar sana bongkar sini. Akhirnya saya membei nama berdasarkan nama saya saja yaitu Barry Likumahuwa Project yang kadang disingkat BLP” ungkap bassist jazz Barry Likumahuwa.
Kasus lain yang kerap terjadi adalah terjadinya kemiripan dalam sebuah nama band. Kasus ini sejak dahulu kala sudah sering terjadi. Ketika menyebut Nirvana, maka orang akan selalu mengingat band trio grunge asal Seattle Amerika Serikat yang dimotori almarhum Kurt Cobain. Banyak yang tak mengetahui bahwa antara tahun 1967 hingga 1971 di Inggeris telah terbentuk band bergenre psychedelic rock bernama Nirvana juga.
Kasus kesamaan nama grup band ini juga terjadi pada kelompok Krakatau yang dibentuk oleh Dwiki Dharmawan, Pra B Dharma, Budhy Haryono dan Donny Suhendra pada tahun 1984. Tanpa disangka ada sebuah band yang juga beraliran fusion jazz dari Helsinki Finlandia menggunakan nama Krakatau di tahun 1994. Riza Arshad pianis yang membentuk band jazz Simak Dialog awalnya menamai bandnya dengan nama Dialog tapi ternyata ada band dari Prancis yang juga memakai nama Dialog. “Akhirnya saya lalu mengubah nama band saya menjadi Simak Dialog” tutur Riza Arshad.
Hal yang sama dialami oleh Green Day, yang diawal karir memiliki nama band Sweet Children. Tapi saat akan merils debut EP-nya pada label LookOut Record mereka mendengar ada band di California yang memakai nama rada mirip yaitu Sweet Baby. Untuk menghindari kemiripan itu, mereka lalu mengganti nama menjadi Green Day.
Nirvana
Di awal karir kelompok Van Halen sempat menggunakan nama Mammoth lalu berubah menjadi Genesis. Belakang Edward Van Halen baru mengetahui bahwa di Inggris sejak akhir era 60-an sudah ada band yang menggunakan nama Genesis yang digagas Peter Gabriel dkk. Edward pun langsung mengganti nama band-nya menjadi Van Halen, nama yang diambil dari marga Edward dan Alex.
Masalah kesamaan atau kemiripan nama band ini tercatat ada yang berujung pada tuntutan secara hukum. Ini ada beberapa contoh kasus yang pernah terjadi dalam industri musik. Kelompok asal Inggris The Verve (juga) pernah dituntut secara hukum oleh sebuah label khusus musik jazz di Amerika Serikat, Verve Music yang telah merilis album dari Ella Fitzgerald hingga Jamie Cullum, karena menggunakan nama yang sama sebagai identitas kelompok musiknya. Akhirnya Richard Ashcroft dedengkot band Verve berinisiatif menambahkan kata “The” didepan Verve hingga menjadi The Verve. Sejak itu tuntutan dari label Verve Music kepada The Verve ditangguhkan.
Dari beberapa petikan kasus diatas, saya menyarankan agar berhati hati dalam memilah dan memilih nama band. Setidaknya harus meriset dahulu apakah nama yang dipilih sudah pernah dipakai oleh band lain atau tidak. Caranya sederhana! Kalian bisa cari di search engine google nama tersebut. Tapi untuk lebih mengetahui apakah nama band tersebut telah didaftarkan di kantor merk dan paten atau tidak, jalan satu-satunya adalah segera melakukan pendaftaran nama band kalian di Kantor Merk dan Paten. Selain mendapat kepastian hukum secara legalitas, kalian juga jadi bisa mengkonfirmasi apakah nama band tersebut sudah ada yang menggunakan atau belum?
Selamat memilih nama band.