Pada paruh dasawarsa 70an,khazanah musik pop Indonesia diramaikan dengan menyeruakknya fenomena musik yang berasal dari komunitas musik di sekitar wilayah Pegangsaan,Menteng Jakarta Pusat.
Di tahun 1975 terbetik kabar tentang bersatunya Guruh Soekarno Putera,putera kelima pasangan Ir Soekarno dan Fatmawati dengan kelompok rock Gipsy yang terdiri atas Keenan Nasution ,Oding Nasution,Christian Rahadi ,Roni Harahap dan Abadi Soesman yang bermarkasdi rumah keluarga Nasution di Jalan Pegangsaan Barat No.12 Menteng Jakarta.Guruh yang baru saja menginjakkan kaki lagi ke Indonesia setelah mengakhiri masa kuliah yang tak selesai di Amsterdam Belanda,tengah meluap-luap semangat nasionalismenya,yang diwujudkan dalam kegiatan seni.
Menyandingkan kultur musik Bali dan musik rock yang mewakili merupakan salah satu gagasan Guruh kultur Barat. Sesuatu yang mungkin bisa dianggap muskil.Namun sesungguhnya upaya persenyawaan dua kutub musik yang berbeda ini juga bukan merupakan hal baru. Misalnya saja. Ada Claude Debussy, komposer Prancis yang tergila-gila dengan gamelan Jawa, atau komposer Kanada, Colin McPhee, yang pernah membuat komposisi dengan pengaruh aura gamelan Bali yang kuat dalam Tabuh-tabuhan (1937) dan Concerto for Two Pianos and Large Orchestra Using Bali, Jazz and McPhee Elements (1949). Jangan lupa pula Bela Bartok, komposer asal Hungaria yang juga menyerap eksotisme Nusantara dalam karya-karyanya . Bahkan pemusik rock seperti Ray Manzarek, pemain keyboard The Doors, telah memanggul seperangkat gamelan dalam konsep musiknya pada album The Golden Scarab (1973). Termasuk pula pemusik Jerman berlatar klasik Eberhard Schoener yang berkolaborasi dengan pemusik Bali, Anak Agung Raka, dalam album Bali Agung (1976).
Tapi eksperimentasi yang dibentang Guruh bersama Gipsy ini tetap mempunyai daya pikat terutama karena proyek Guruh Gipsy bukan sekadar ornamen tempelan seperti yang dilakukan Eberhard Schoener. Boleh jadi interpretasi dan ekspresi musik di album ini lebih match karena penggagas musik serta para pemusiknya adalah native musicians.
Guruh Gipsy sendiri dianggap sebagai pelopor genre progressive rock di Indonesia. Belum lagi sentilan tajam yang tertera dalam barisan lirik yang ditulis setidaknya dalam tiga bahasa: Bali, Sansekerta, dan Indonesia.
Belakangan ini album Guruh Gipsy menjadi inceran para penggemar rock progressive di penjuru jagad.Bahkan sebuah perekam di Jerman pun telah mereproduksi Guruh Gipsy dalam bentuk cakram padat dan piringan hitam.Sayangnya,tanpa seizin pihak Guruh Gipsy di Indonesia. Namun dari kejadian ini setidaknya terbersit rasa bangga atas karya anak negeri yang akhirnya diterima di berbagai belahan dunia.
Semangat menciptakan karya sendiri dalam bingkai syair-syair berbahasa Indonesia memang tengah membara diantara para pemusik yang hampir setiap hari bergerombol dan berdiskusi di teras atau ruang tamu di Jalan Pegangsaan Barat No. 12 Jakarta Pusat.
Selain Guruh Soekarno Putera, saat itu ada lagi seorang anak muda yang juga baru kembali ke Indonesia setelah meninggalkan kuliahnya dibidang teknik di Koeln Jerman.Namanya Eros Djarot,pengagum Bung Karno.Seperti halnya Guruh Sukarno Putra ,Eros Djarot yang sering menyebut dirinya pemimpi itu pun mengepit setumpuk obsesi dalam bermusik.Di Jerman Eros sempat membentuk band,namanya Barong’s Band.Sebuah nama yang bernuansa Indonesia.Anak muda ini pun menggelegak rasa kebangsaannya ketika bermukim di Jerman.”Apapun yang anda lakukan,sebagus apapun,sepintar apapun.Kita hanya dianggap warga kelas dua disana” ungkapnya berapi-api.Makanya hati Eros Djarot masygul dan gundah ketika kembali ke Tanah Air melihat begitu banyak anak negeri yang bermain music rock tidak dengan semangat orang Indonesia.Mereka,kata Eros,bahkan berkomunikasi dengan penonton menggunakan bahasa Inggeris.Nyaris semua band rock lebih bangga menyanyikan repertoar asing,entah itu Deep Purple,The Rolling Stones,Led Zeppelin,Jimi Hendrix dan entah apa lagi.Harus diakui saat itu nyaris semua anak band cenderung bangga sebagai band peraga, yang memeragakan karya-karya pemusik rock asing semirip mungkin di pentas-pentas pertunjukan tanpa menghiraukan lagi betapa pentingnya berkarya dengan karya-karya sendiri.
Riak riak nasionalisme Eros pun mengemuka .Lalu tertumpah dalam 2 album Barong’s Band yang dirilis Nirwana Record Surabaya yaitu “Barong’s Band“ dan “Kawin Lari”.Dengan didukung dua pemusik Pegangsaan yaitu kakak beradik Debby Nasution (keyboard) dan Gauri Nasution (gitar) , Eros pun mulai melahirkan lagu-lagu pop dan rock bersyair Indonesia.Memang,hal ini terlihat sebagai sesuatu yang janggal dan aneh..Tak sedikit yang mencibir ketika dalam album “Kawin Lari” terselip dua lagu keroncong yang dinyanyikan Slamet Rahardjo dan Titi Qadarsih. Tapi toh Barong’s Band jalan terus.Ibarat pejuang,mereka maju terus pantang mundur.
Guruh Soekarno Putera,Eros Djarot,Keenan Nasution,Chrisye,Debby Nasution dan semua pemusik yang sering nongkrong dan kongkow di Pegangsaan memiliki cita-cita yang sama : ingin mengangkat harkat musik Indonesia.Seperti tagline dalam sampul kaset Guruh Gipsy berbunyi : kesepakatan dalam kepekatan .Mereka,para pemusik belia yang bercokol di Jalan
Pegangsaan tetap melaju bak rangkaian kereta api yang hilir mudik di depan rumah keluarga Saidi Hasjim Nasution.
Tahun 1976 hingga 1977 adalah tahun yang penuh arti bagi para pejuang musik ini.Guruh Soekarno Putera meraih juara 1 dalam Festival Lagu Populer Indonesia pada tahun 1976 lewat lagu “Renjana” yang disenandungkan penyanyi tenar Grace Simon.Walaupun tak mendapat penghargaan ketika di kirim mewakili Indonesia ke World Popular Song Festival 1976 di Budokan Hall,Tokyo Jepang,namun gurat optimisme merebak dalam sanubari. Lagu karya Keenan Nasution “Di Batas Angan Angan” muncul sebagai finalis Festival Lagu Populer Indonesia 1977. Dan yang menjadi juara event kompetisi lagu ini adalah Adjie Bandy lewat lagu “Damai Tapi Gersang” yang mewakili Indonesia dalam World Popular Song Festival di Budokan Hall Tokyo tahun 1977.Adjie Bandy yang terampil bermain keyboard dan biola ini juga berasal dari komunitas Pegangsaan.Tahun 1973 Adjie Bandy memperkuat Gipsy yang dikontrak menjadi homeband di Restoran Ramayana New York Amerika Serikat.Artinya,karya-karya musik mereka yang nongkrong di Pegangsaan bisa mengemuka dan mendapat pengakuan.
Pada tahun tahun 1977 album Guruh Gipsy sebanyak 5000 keping diedarkan ke tengah khalayak.Walaupun musik eksperimental yang idealis ini hanya bisa didengar orang dalam jumlah yang tak terlalu banyak, namun proyek Guruh Gipsy menjadi perbincangan di berbagai media cetak.Para kritisi musik pun angkat bicara.Ada yang menyanjung,tapi tak sedikit pula yang mencerca sebagai proyek musik yang menodai budaya asli Bali.
Pada tahun 1977,disaat industri musik pop negeri ini digenangi lagu-lagu bertendensi komersial belaka,muncul album “Badai Pasti Berlalu” yang diinspirasikan dari film “Badai Pasti Berlalu” besutan sineas Teguh Karya.Gagasan utama album Badai Pasti Berlalu datang dari Eros Djarot.Disamping itu salah satu kreator dibalik album fenomenal ini adalah Debbie Nasution, yang kemudian melibatkan sederet pemusik Pegangsaan seperti Keenan Nasution,Yockie Surjoprajogo,Fariz RM dan penyanyi Berlian Hutauruk.
Antara tahun 1975 dan 1976,hampir setiap hari Eros Djarot dan Debbie Nasution berkutat di depan piano,mengutak atik melodi dan melaras nada.Eros pun mengimbuh lirik bernuansa romantis dan sengaja tak mau terjebak dalam pola penulisan syair yang sering menyiratkan pendangkalan tema.
Tanpa mereka duga,keseriusan mereka dalam bermusik,seolah terganjar dengan keberhasilan Badai Pasti Berlalu yang kemudian menjadi milik masyakat banyak.Kehadiran Badai Pasti Berlalu juga mengubah paradigma musik pop Indonesia menjadi lebih elegan dan sastrawi.
Sejak itulah, masyarakat mulai mengenal nama nama yang tadinya hanya dikenal dikalangan komunitas musik, seperti Eros Djarot,Guruh Soekarno Putera,Chrisye,Yockie Soerjoprajogo,Keenan Nasution,Debby Nasution,Oding Nasution,Berlian Hutauruk,Fariz RM,Harry Sabar dan sederet panjang lagi.
Keberadaan para pemusik Pegangsaan pun tak hanya menjadi tolok ukur musik pop berkelas tapi juga menjadi sebuah inspirasi.Sudah pasti pula,karya karya yang mencuat t dari lingkungan musik Pegangsaan ini menjadi salah satu kontribusi terpenting terhadap perkembangan gugus musik pop di Tanah Air Tercinta, hingga saat kini.Membicarakan khazanah musik pop Indonesia,rasanya tidaklah lengkapjika tidak menyebut geliat musik yang terjadi di Pegangsaan.Banyak teladan yang bisa diambil disana , mulai dari idealisme hingga nasionalisme bermusik .Sebagian karya-karya musik anak Pegangsaan itu kini bahkan telah dianggap sebuah mahakarya, yang menjadi inspirasi bagi generasi setelahnya.
Terima kasih mas Denny, atas artikel Komunitas Musik Gang Pegangsaan ini. Saya dengar mas Denny sedang menggarap buku tentang komunitas Gang Pegangsaan. Semoga bukunya segera terwujud…
Iya betul,mungkin tahun depan baru terlaksana
di tunggu mas deny bukunya …
Terimakasih