Hikayat band dari Menteng : GIPSY

Posted: September 14, 2010 in profil, Sejarah

Gipsy Band di TIM Jakarta tahun 1969

Rumah di Jalan Pegangsaan Barat  12 Menteng  itui memang tak pernah sepi.Setiap hari rumah keluarga Nasution yang merupakan warisan dari ayah Saidi Hasjim Nasution  ini senantiasa mendapat kunjungan dari kerabat penghuninya.”Teman teman bapak sering pula bertandang,apalagi sahabat keenam anak-anaknya.Setiap anak dikunjungi oleh sahabatnya masing masing.Jadi bisa dibayangkan betapa ramai dan riuhnya rumah kami” papar Gauri Nasution.

Sejak tahun 1956,rumah yang memiliki 5 kamar tidur dan 4 paviliun ini memang sudah menjadi tempat kumpul-kumpul yang mengasyikkan.Setiap tamu yang berkunjung seolah betah berlama-lama.Mungkin karena Saidi Hasjim banyak melengkapi rumahnya dengan berbagai fasilitas yang menarik.

”Di rumah kami tersedia meja biliar,ring tinju,lapangan badminton dan perlengkapan body building” kenang Gauri yang dianggukkan Keenan.”Bapak tuh juga gemar olahraga tinju.Dia menyukai petinju Joe Louis” tambah Gauri Nasution.Saidi Hasjim bahkan memiliki sebuah buku tentang Joe Louis.

Rumah keluarga Nasution ibarat sebuah gymnasium yang komplit.

Terkadang tetangga disebelah kiri rumah mereka yang berada di Jalan Pegangsaan Barat 12 A juga ikut nimbrung bermain di halaman rumah keluarga Nasution yang luas.

Tetangga kami,kata Gauri,adalah keluarga pasangan  Laurens Rahadi dan Hana Rahadi  yang mempunyai 3 orang putera yaitu Joris,Chrisye dan Vicky.”Yang saya ingat,anak anak keluarga Nasution dan keluarga Rahadi sering bertanding main badminton di halaman rumah kami” tukas Gauri.

Antara rumah keluarga Nasution dan keluarga Rahadi dipisah oleh sebuah bangunan pavilliun yang dihuni keluarga Darmaatmadja.Salah satu putera Darmaatmaja,termasuk remaja yang terkena virus musik keluarga Nasution.Namanya Barin Darmaatmadja.Pada akhir era 70-an,Barin bermain gitar dan bergabung dalam kelompok Swara Maharddhika Band yang dibentuk Guruh SoekarnoPutera.

Gauri bersahabat dengan Chrisye,dan Keenan bersahabat dengan Vicky,adik Chrisye.”Saya dekat dengan Chrisye mungkin karena seumur.Demikian juga Keenan yang seumuran dengan Vicky.Jadi kami berteman karena sepantaran.Yang lucu setiap saya membeli sesuatu entah baju atau sepatu,Chrisye pastiikut juga beli  ” jawab Gauri lagi.

Gauri dan Chrisye,saat itu sering main gitar bareng.Mereka berdua kerap kali memainkan lagu-lagu instrumental milik The Ventures dan The Shadows,dua kelompok musik instrumental yang tengah digemari pada era 60-an.”Saya masih ingat,saya dan Chrisye begiu bersemangat memainkan lagu berjudul ”Apache” walaupun hanya menggunakan gitar akustik.Tapi kami merasa seperti pemusik beneran aja”tutur Gauri setengah terpingkal.

Di tahun 1958,Joe Am yang duduk di bangku kelas 3 SD Yayasan Perguruan Cikini  sering didatangi sahabat sekelasnya yaitu Pontjo Sutowo,putera seorang pejabat Ibnu Sutowo.Joe Am dan Pontjo tampaknya bersahabat karib.Mereka kemana mana selalu bersama sama.Sangat kompak.Apalagi,baik Pontjo maupun Joe Am  ternyata juga menyukai musik.”Kami suka The Beatles,Bee Gees,Procol Harum dan banyak lagi” ungkap Pontjo Sutowo.

Ketika duduk si bangku SMA Pontjo malah memberi hadiah berupa gitar elektrik bermerk Fender kepada Joe Am.Betapa girangnya perasaan Joe Am mendapat gitar bergengsi yang menjadi impian anak band saat itu.

Gauri,Keenan,Oding dan Debbie tampak terkagum kagum menyaksikan Joe Am, sang kakak memetik gitar elektrik.Terutama Oding dan Debbie yang kemudian berikrar dalam hati ingin menjadi pemusik profesional.

Barin tetangga merekapun tak berkedip melihat Joe Am tengah memetik gitar.”Joe Am saya anggap gitaris berbakat.Mainnya keren.Akhirnya saya pun mulai tertarik main gitar” ujar Barin yang bersahabat dengan Oding dan Debbie.

”Saat itu saya berkhayal bermain gitar di hadapan banyak penonton.Lalu mereka merespons dengan bertepuk tangan” ungkap Oding Nasution yang hari ini tetap tak pernah melepaskan gitar dari tangannya.”Akhirnya saya bisa membuktikan bahwa jalan hidup saya memang di jalur musik” aku Oding Nasution.

Kegirangan itu kian menjadi ketika Pontjo berinisiatif untuk membentuk sebuah band.”Wah main band itu impian setiap anak muda saat itu” kata Joe Am yang kelak bekerja pada perusahaan milik Pontjo Sutowo.

Saat itu,cerita Pontjo,para remaja Jakarta memang seperti tengah mencari pengakuan.”Ya semacam aktualisasi dirilah.Makanya tak heran jika tiap hari kita melihat begitu banyak yang melakukan balap-balapan di seputar jalan Teuku Umar.Yang membentuk gang dan saling jotos  juga tak sedikit jumlahnya.Dan yang ngeband pun mulai menjamur” kenang Pontjo Sutowo.

Dari anak anak muda yang ngumpul dan nongkrong di Jalan Pegangsaan Barat 12 Menteng Jakarta Pusat  ,kemudian terbentuklah formasi band yang terdiri atas  Pontjo Sutowo (organ),Joe Am Nasution  (gitar),Gauri Nasution  (gitar),Edi Odek ( bas),Edit (drum).Setelah itu band ini pun diberi nama Sabda Nada.”Yang memberi namanya adalah I Wayan Suparta.Tadinya mau diberi nama Kilat,mungkin maksudnya  terjemahan dari Thunder,tapi kami gak setuju karena agak norak.Akhirnya kami pilih Sabda Alam sebagai identitas band kami  ”  kata Pontjo Sutowo.

I Wayan Suparta adalah seniman tari Bali,mantan suami aktris Chitra Dewi yang mengontrak pavilliun rumah keluarga Nasution.”Pak Wayan inilah sebetulnya yang pertamakali memperkenalkan seni budaya Bali kepada kami.Ya musiknya,juga tari tariannya ” ucap Gauri Nasution.

Sabda Nada selanjutnya juga bermain bersama sekelompok pemain gamelan Bali yang diasuh I Wayan Suparta.”Uniknya yang main gamelan adalah perempuan.Sabda Nada pun menjadi sebuah tontonan tersendiri” kata Pontjo.

Formasi Sabda Nada kemudian mulai mengalami perubahan.Edi Odek sang pemain bass jatuh sakit dan digantikan oleh Chrisye,sahabat karib Gauri yang tinggal di sebelah kiri rumah keluarga Nasution.Keenan Nasution pun mulai diajak mengisi posisi drum.”Saat itu Sabda Nada memiliki 3 drummer yaitu Edit,Ronald Boyo dan Keenan” jelas Gauri Nasution.

Saat itu,sebetulnya, siapa saja bisa jadi anggota band.”Makanya yang berperan sebagai drummer dan gitaris tuh banyak” ungkap Gauri lagi.

Sabda Nada lalu mulai tampil di berbagai tempat seperti di Kantor Pusat  Gedung Bank Indonesia Lantai IV di Jalan M,Husni  Thamrin,Istora Senayan dan Djakarta Fair.”Waktu itu Sabda Nada mengiringi penyanyi Henny Poerwonegoro.Henny juga bermain gamelan.Juga ada Yos Nasution,asisten pak Wayan  yang kemudian menikah dengan Bob Tutupoly serta aktris Ully Artha ” ungkap Keenan Nasution.

Gairah bermain band memang tengah berpusar dengan derasnya.Tumbangnya rezim Orde Lama membuat semangat bermain band pun kian menjadi-jadi bagaikan percikan air yang tumpah ruah kemana-mana.Bermain band,bagi sebahagian besar anak muda seolah sebuah euphoria yang tertunda selama bertahun-tahun.”Sabda Nada mulai menyanyikan The Beatles hingga The Rolling Stones tapi dengan gaya kami sendiri.Kata orang kita punya karakter sendiri” tutur Pontjo Sutowo bernada bangga.

”Saya menyanyikan I Can’t Get NoSatisfaction-nya The Rolling Stones.Saya pun berusaha memalsu suara Mick Jagger” cerita Chrisye semasa hidupnya.

Sabda Nada tak lama berselang mengganti nama.”Kami merasa nama Sabda Nada seperti telah ketinggalan zaman.Saya mengusulkan namanya diganti saja menjadi Gipsy” ujar Pontjo.Namun Pontjo Sutowo tampaknya berniat mundur dari band setelah memutuskan pindah ke Semarang pada tahun 1968.”Permainan organ saya pun biasa biasa aja.Musik bagi saya hanyalah hobi saja ” imbuh Pontjo Sutowo,pengusaha dari berbagai perusahaan besar.

Beberapa muka baru terlihat memperkuat barisan Gipsy Band.Posisi Pontjo Sutowo sebagai pemencet organ kini digantikan oleh Onan Soesilo.”Saat itu kami keliling mencari pengganti Pontjo,dan kebetulan melihat seorang anak muda bertubuh kurus dan gondrong tengah bermain organ di Ria Sari yang berada di Gedung Sarinah Thamrin Jakarta.Bandnya yang bernama Fingers saat itu tengah membawakan lagu Bee Gees.Ternyata namanya Onan.Dia pun setuju bergabung dengan Gipsy meninggalkan sahabatnya Aidit dan Johnny dalam Fingers Band.Onan ini menurut saya memiliki bakat musik.Dan rasanya memang pas untuk bermain dalam Gipsy” kata Gauri Nasution.

Personil Gipsy lainnya adalah Tammy Daudsyah,anak Aceh bertubuh gempal berkulit agak kehitaman dan agak humoris.Tammy adalah  tetangga seberang rumah yang baru saja membubarkan bandnya The Lords,yang dibentuknya bersama Firman Ichsan,drummer yang kelak lebih dikenal sebagai fotografer andal.The Lords sendiri terdiri atas Tammy Daud (vokal,keyboards,flute dan saxophone),Donny Johannes (vokal,gitar),Sri Sardono (bass),Adi Ichsan (Gitar,vokal) dan Firman Ichsan (drums).

Formasi Gipsy semakin lengkap ketika Nasrul Harahap atau lebih dikenal sebagai Atut Harahap,sepupu Gauri yang baru saja pulang dari Belanda menyatakan bersedia bergabung.

Sosok Atut memang unik dan lain dari yang lain.”Rambutnya gondrong dan dia berdandan mirip bintang rock.Pakaian yang dikenakannya bagus-bagus.Ya jaman itu kan lagi jamannya psychedelic ” kata Gauri Nasution..

Chrisye pun terkagum kagum melihat tongkrongan Atut Harahap.Kelebihan lainnya,wawasan musik Atut jauh lebih luas dibanding personil Gipsy yang lain.Atut Harahap  banyak memperkenalkan band band mancanegara yang pernah ditontonnya sewaktu bermukim  di Belanda.”Atut banyak memberi referensi musik berupa piringan hitam” tutur Gauri Nasution.Gipsy yang kini terdiri atas Gauri Nasution (gitar),Chrisye (bas),Keenan Nasution (drum),Onan Soesilo (organ),Tammy Daudsyah (saxophone,flute) mulai memainkan berbagai repertoar asing.Umumnya bercorak blues,soul dan rock seperti Wilson Pickett,TheEquals,John Mayall & The Heartbreakers,Sam and Dave,Jimi Hendrix & The Experience,Blond,Chicago Transit Authority,The Moody Blues hingga King Crimson.

Meskipun masih sebatas band cover version atau membawa karya artis musik mancanegara,tapi Gipsy punya kiat dan pendirian yang lain.”Kami sengaja membawakan lagu lagu yang justeru tak dikenal orang.Bahkan lagu lagu yang dibawakan Gipsy biasanya diarransemen ulang.Jadi tidak sama dengan versi aslinya”jelas Keenan Nasution.

Dalam hal ini Gipsy memang telah memperhitungkan yang namanya sisi kreativitas.Semuanya diolah lagi.Tak hanya dimainkan mentah-mentah.”Sebagus-bagusnya kita meniru,orang tetap tak memperhitungkan kita.Kita akan jadi seperti alat peraga belaka.Singkatnya,Gipsy memainkan lagu-lagu orang dengan jiwa Gipsy” ungkap Keenan Nasution.

Kelak,filosofi bermusik seperti itulah yang menjadi modal utama dalam meniti karir dalam industri musik Indonesia.

Secara perlahan keberadaan Gipsy sebagai salah satu band yang bercokol di Menteng Jakarta mulai menjadi buah bibir.”Mungkin karena kami mencoba tampil agak lain.Juga karena kami dilengkapi perangkat band yang up to date untuk ukuran saat itu” tutur Gauri Nasution.

Tapi yang jelas,kian banyak saja anak muda yang mampir di Jalan Pegangsaan Barat 12.Mereka bahkan selalu mengawal Gipsy saat band tersebut manggung di berbagai tempat.

Gipsy di tahun 1969 main di acara khitanan

Komentar
  1. Lord Jim berkata:

    Formasi Gipsy dengan Atut, Gauri, Keenan, Onan dan Tammy merupakan grup band paling modern untuk masa itu, pada saat grup2 band lainnya cuma bisa bermain lagu2 Beatles, Stones, Bee Gess semacamnya, mereka sudah bisa menirukan Jethro Tull dan soulful seperti Sam & Dave.
    Pada tahun 1968 (atau 1969?) saya menonton konsert tunggal mereka di TIM dan ada beberapa foto masih saya koleksi, saya masih ingat mereka memakai ampli Sound City yang pakainya mesti dipanasin dulu, dari lampu nyala kuning tunggu sampai merah kayak traffic light. he.he.he
    Keenan pakai double bas drum dan opening song adalah “Nothing at easy” dari Jethro Tull yang dinyanyikan Chrisye…keren abis untuk jaman itu.

Tinggalkan komentar