Untukmu Indonesiaku – Karya Guruh Sukarno Putra Di Tahun 1980

Posted: November 13, 2012 in Sejarah

Achmad Albar membawakan lagu tentang problematika anak muda metropolitan “Jenuh”

Dari judulnya saja,sudah terbaca hasrat Guruh Soekarno Putera : ingin menorehkan rasa nasionalisme lewat bentuk warna warni hiburan yang mematut musik,tari dan teater.Seperti pertunjukannya yang pertama di tahun 1979 bertajuk “Karya Cipta Guruh Soekarno Putera” yang bersimbah gelimang cahaya mulai dari tata cahaya,busana yang penuh kilau serta sosok-sosok ayu dan cantik berpupur yang menyungging senyum tiada henti ke arah penonton.

Para penari lagu Melati karya Guruh untuk ibunda tercinta Fatmawati

Saat itu saya ingat Yudhistira Ardi Nugraha Massardi di majalah Tempo terbitan September 1980 menaruh judul yang sinikal Patriotisme Gedongan.
Apa yang diungkap Yudhis jelas ada benarnya.Tapi kemercusuaran karya karya Guruh pun tak ada salahnya juga.
Yang saya tangkap dari pertunjukan yang digelar 4 hari berturut-turut antara tanggal 12,13,14 dan 16 September ini (dimana dalam sehari digelar dua jam pertunjukan) adalah sebuah obsesi bernuansa nostalgik dari putera proklamator Indonesia ini.Guruh yang sejak kecil telah belumur kesenian itu memang selalu ingin menampilkan pesona merah putih.Dia memendarkan patriotisme dalam karya karyanya yang beratmosfer kemewahan,hibrida antara budaya Barat dan Timur .Bersama dengan organisasi kesenian Swara Maharddhika yang dibentuknya tahun 1977 itu,Guruh ingin merekonstruksi ulang kedigdayaan negara kepulauan ini di masa lalu yang terentang dari golden age era kerajaan Majapahit hingga Sriwiajaya
Upaya yang pantas dipuji sebetulnya.Sebuah upaya agar generasi muda tidak terbenam dalam amnesia sejarah yang tiada berkesudahan tentunya.
Lihatlah adegan yang terlihat di panggung Balai Sidang Senayan : Seorang Ratu yang elok rupawan melintas dengan tandu yang memukau dengan iringan para prajurlt bertombak telanjang dada. Suatu prosesi yang dihadirkan secara khusyuk, penuh penghormatan dan keelokan.
Guruh seperti sosok yang terpukau dan silau pada pencapaian zaman feodalisme tengah mengangkasa. Seperti yang ditulis Yudhis dalam majalah Tempo :”Itulah pula agaknya hasil yang
ia peroleh selama mempelajari masa lampau Indonesia ketika
sekolah arkeologi di Negeri Belanda, 1972.Barangkali Guruh hanya melihat apa yang berlangsung di sekitar kursi emas keraton. Bukan yang di luarnya — kehidupan rakyat
sebenarnya, yang hampir tak pernah tercatat dalam prasasti. Dan yang diwariskan masa lampau memang hanya berita kemegahan. Tak ada cerita tentang darah atau air mata”.Sebuah kritisi yang tajam dan menohok.

Trio Bebek

Trio Bebek

Saya memahami maksud Yudhis.Dunia yang diciptakan Guruh dihadapan sekitar 5 ribuan penonton itu memang bagaikan sebuah parade sebuah negara impian yang utopis.bagai sebuah surga yang menghampar tanpa benturan benturan yang gegar.” Tanpa warna buram, tanpa kepedihan. Bahkan tanpa pergulatan” sergah Yudhis di majalah Tempo yang terbit 30 tahun silam itu.
Sebenarnya, kalau saja Guruh tidak takut dicap macam-macam –sebagaimana ia menerima sebutan glamorous yang ditiupkan orang secara sinis kepadanya, dengan gagah — tak ada masalah. Hanya
agaknya ia banyak diganggu oleh tuntutan yang mungkin juga di bawah sadar — untuk “mengembalikan citra kebesaran Indonesia” segala. Padahal bobot kedalamannya, dan lingkungannya yang lebih
banyak meriah daripada menukik, ternyata membatasi kakinya untuk hanya bergerak di sekitar klise dalam pemikiran dan ucapan.

Guruh Sukarnoputra seusai pagelaran Untukmu Indonesiaku 1980

Guruh Sukarnoputra seusai pagelaran Untukmu Indonesiaku 1980

Berbeda dengan pertunjukan Guruh dan Swara Mahardhhika yang pertama yang berlangsung sekitar Januari 1979 yang lebih menonjolkan atmosfer nonstop musical revue ,maka dalam “Untukmu Indonesaiku” yang juga difilmkan ke layar lebar oleh sutradara Ami Priyono ini,Guruh ingin mengangkat sebuah tematik dengan setting dan plot.Meskipun pada akhirnya jadi keteteran.
Disini Guruh membuat penokohan diantaranya dengan mengedepankan sosok si Anu dan si Polan, dua remaja putera yang bertualang untuk “mempertanyakan kebesaran negeriya”, diberi
berbagai semboyan yang gagah dan satu pekikan: “Mari kita dobrak kebobrokan!” Namun di panggung yang berkonotasi mewah itu,toh ada kontradiksi yang menganga.Karena ternyata tak
terjadi pendobrakan atau bentuk pergeseran sedikit pun.Yang terlihat nyata adalah sekelompok orang yang hanya menari dan menari diimbuh nyanyian puja puji yang membuat kita kepayang pada akhirnya.
Namun keplok aplaus jelas membahana.Mungkin karena Guruh adalah sosok yang mampu mengendus tren anak muda kota yang katakanlah tengah keranjingan disko dan hal-hal artifisial lainnya.Kemudian dibungkus dengan semangat merah putih berbalut keanekaragaman budaya.
Lihatlah lagu “Melati Suci” (dinyanyikan Tika Bisono) yang ditulis Guruh untuk sang ibunda Fatmawati menampilkan sebuah koreografi berdasar tari Pakarena yang berasal dari Sulawesi Selatan.Lengkap dengan kipas dan baju bodo berwarna putih.
Guruh memang seperti tengah menenun mimpi yang kemudian dilambai-lambaikan ke penonton yang menyambutnya dengan sukacita.
Penonton terhibur dan tak beranjak selama durasi 2 jam pertunjukan.
Untuk urusan musik Guruh memang selalu perfeksionis.Setidaknya jika garapan melihat para penata musik untuk pertunjukan ini mulai dari Candra Darusman ,Elfa Secioria hingga Franki Raden.
Simaklah upaya Guruh memusikalisasikan puisi karya Sitor Situmorang “To My Friends On Legian Beach” yang orkestrasinya digarap serius oleh Franki Raden.Sayangnya penjiwaan Chrisye terasa kurang di lagu ini.
Jangan lupa,Guruh pun menggunakan jasa orkestra dari Jepang yaitu Tokyo Philahrmonic Orchestra.Jelas sebuah upaya yang tak main main.
“Untukmu Indonesiaku” disajikan oleh 300 reamaja yang tergabung dalam Swara Maharddhika.Kabarnya pertunjukan yang jika boleh disebut kolosal ini menghabiskan budget sebesar Rp.100 juta.Jumlah yang besar untuk ukuran saat itu.
Guruh tampak fasih bertutur tentang idiom idiom anak muda metropolitan yang modis dan artifisial.Lihatlah lagu “Hura Hura” yang dibawakan Trio Bebek atau saat Johnny Leweirisa melantunkan lagu “Keranjingan Disko”.
Guruh tampak ingin seimbang dalam pertunjukannya ini.Dia tetap menghadirkan bagian kehidupan rakyat jelata yang tampak melata.Pada bagian kiri dan kanan panggung terlihat mengonggok becak,gerobak bakso,penjaja sate hingga para waria kelas bawah.Termasuk parade dokter dan perawat rumah sakit,aparat keamanan hingga mahasiswa.Namun mereka seperti hanya model videoklip yang menjadi pelengkap sebuah pertunjukan.Tak ada pendalaman.Meskipun para mahasiswa itu terwakili oleh lagu “Hai Pemuda” yang dinyanyikan Djajusman :”Hai pemuda harapan jangan kau biarkan sejarah ternoda.Tulislah dengan tinta emas”.
Beberapa penampil lain seperti Achmad Albar yang mewakili anak muda broken home seolah hanya mengulang penampilan di pertunjukan tahun 1979 lewat lagu “Anak Jalanan”.Kali ini dengan jins belel dan tatto di bahu Achmad Albar bernyanyi :”Aku frustrasi.Ku merasa jenuh.Masa bodoh”.
Guruh memang telah berbuat sesuatu dengan dunia seni yang digelutinya saat itu.Saat ini Guruh berada di zona yang lain : politik.

Komentar
  1. Suryo Atmojo berkata:

    Lepas dari pro dan kontra tentang kesan yang ditangkap oleh masyarakat, Guruh adalah maestro. Jangan tanya lagi kalo soal komposisi tari, dia memahami secara detail pernik budaya bangsa yang ada di Indonesia ini. Kontroversi mengenai pagelaran yang berkesan glamour, diakui Ya. Tapi harus fair dalam menilai, tidak hanya dari satu sisi saja. Disisi yang lain Guruh membawa arus dan menjadi kiblat bagi anak muda waktu itu yang dengan nyata membawa dampak positif pada kehidupan anak anak muda terutama dalam mencintai negeri dan bangsa.

    Bicara musik. Guruh punya warna tersendiri, bahkan sejak kepulangannya dari sekolah di Belanda, Guruh bersama Guruh Gipsy mampu tampil sebagai peletak dasar musik progressive. Sejak itulah semarak musik Indunesia semakin berkualitas. Kita lihat Geng Pegangsaan bersama Keenan, Gauri dan kawan kawan, kemudian bersama Erros Djarot, Jocky Soerjoprajogo, Chrisye, karya karyanya menjadi awal kebangkitan musik Indonesia.

    Didunia politik, rupanya Guruh mengalami kekecewaan berat. Namun itu tidak menyurutkan perjuangannya dalam menggugah kesadaran rakyat akan keadaan negeri yang sudah carut marut ini. Bersama GSP [Gerakan Spirit Pancasila ] memberikan pemahaman yang benar tentang PANCASILA.

    Salut buat Guruh. Berkaryalah terus untuk negeri tercinta INDONESIA.

Tinggalkan komentar