Aquarius Mahakam Tutup, Bukan Kiamat Musik Indonesia

Posted: Desember 31, 2013 in Opini

Banyak sekali komentar-komentar tentang tutupnya gerai musik Aquarius yang terletak di Jalan Mahakam Jakarta Selatan.tapi anehnya banyak komentar yang terlalu berlebihan hingga menyebut bahwa denagn tutupnya gerai musik Aquarius adalah kiamat bagi musik Indonesia.Ini jelas pernyataan paling dungu dan tidak memiliki analisa yang tepat.Asal ngejeplak. Mari kita coba melihat akar masalahnya,apa yang membuat Aquarius mengambil keputusan untuk menutup gerai musik yang telah terbentuk sejak tahun 1987 itu.Secara kasat mata yang bisa kita lihat adalah bahwa sejak dua tahun terakhir ini jumlah pembeli rekaman musik dengan format CD kian hari kian menurun secara drastis.Penyebabnya adalah pertama kegiatan pembajakan yang tak ada habis-habisnya dan tak bisa diberantas secara tuntas oleh pemerintah, kedua adalah mencuatnya distribusi secara digital yang sesuai dengan kekinian zaman.Nah ,menurut saya,dua hal inilah yang kian hari mencekin bisnis retail musik rekaman seperti yang dilakukan Aquarius selama 26 tahun.Dan ingat kurun waktu lebih dari dua dasawarsa ini bukanlah waktu yang singkat.Ini juga berarti bahwa bisnis musik memang pernah berjaya,pernah menguntungkan dan tak pernah mati.dari indikasi ini saja sudah mematahkan asumsi bahwa akan terjadi kiamat musik Indonesia.

Gerai musik Aquarius Mahakam ini berdiri sejak tahun 1987 (Foto Denny Sakrie)

Gerai musik Aquarius Mahakam ini berdiri sejak tahun 1987 (Foto Denny Sakrie)

Permasalahan dalam Aquarius secara internal sesungguhnya adalah masalah global yang telah terjadi dimana-mana.setidaknya 3 hingga 4 tahun belakangan ini.Bukanlah gerai musik rakasasa seperti Tower Record,Virgin Music Store hingga HMV secara perlahan telah tutup buku.Menurunnya pembeli rekaman musik ini penyebabnya adalah menggelegaknya paradigma atau platform musik digital.Banyak pihak yang tak menyikapi hal ini kecuali menganggap bahwa kemajuan teknologi IT ini hanya bentuk lain dari kegiatan pembajakan atau piracy di zaman modern. Jika kita jeli cikal bakal mencuatnya distribusi musik secara digital ini telah terlihat ketika Napster mempopulerkan file sharing musik yang membuat sebagian penikmat musik bersorak sorai tapi disisi lain menghukam pelaku bisnis musik serta para kreator musik dalam hal ini pemusik.Npaster yang digagas oleh Shawn Fanning,John Fanning dan Sean Parker ini sebetulnya adalah cikal bakal paradigma musik masa depan yang pasti akan kita hadapi.Pola yang dicetak Napster inilah yang kelak akan kita kenal sebagai online music store seperti i-Tunes dan semacamnya.Selama kurun waktu Juni 1999 hingga Juli 2001,Napster telah melakukan pelayanan yang menguntungkan para penikmat musik namun masih belum memiliki ikatan yang jelas dalam perlindungan HAKI.

Di Indonesia sendiri penikmat dan penggemar MP3 kian menjamur.Para pembajak berpesta pora dengan keuntungan yang berlapis-lapis.dampaknya jelas berbentur langsung dengan industri musik.Kesalahan utama industri musik adalah mengamggap pola distribusi secara digital ini adalah mengganggu atau bahkan memakan pola penjualan secara fisik.Idealnya adalah bahwa platform baru itu justru harus digamit bukan dijauhi. Meskipun demikian industri musik di Indonesia sempat mencicipi kejayaan Ring Back Tone (RBT) sejak tahun 2005 yang semula hanya sebuah gimmick marketing tapi ternyata memiliki potensi yang cenderung menguat seiring menjamurnya penggunaan telepon seluler dan gadget seperti i-Pod dan semacamnya dikalangan masyarakat.

Selama 26 tahun Aquarius menjalani bisnis gerai musik di Jakarta (Foto Denny Sakrie)

Selama 26 tahun Aquarius menjalani bisnis gerai musik di Jakarta (Foto Denny Sakrie)

Dalam buku bisnis musik bertajuk “Appetite For Self Destruction” yang ditulis oleh kolumnis musik Steve Knopper jelas-jelas dipaparkan perihal industri rekaman atau label musik yang menyatakan perang terhadap distribusi musik digital namun pada kenyataannya justeru musik digital inilah yang muncul sebagai pemenangnya.Dalam buku tersebut,Knopper yang dikenal sebagai kontributor majalah Rolling Stone membeberkan secara lugas kesalahan-kesalahan yang dilakukan industri musik terutama saat terjadinya pergeseran paradigma musik, dimulai dari menghilangnya fisik piringan hitam yang kemudian berganti dengan format kaset dan berganti lagi dengan munculnya teknologi cakram padat atau CD di tahun 1983 hingga menyeruaknya teknologi digital pada era 90an.

Steve Knopper tetap menyalahkan perbuatan para rippers atau burners yang mengambil seenaknya karya-karya musik orang secara membabi buta tanpa menghiraukan sisi HAKI.Sebaliknya Knopper secara kritis menyayangkan pihak label musik yang tak mau melakukan penyesuaian dengan perkembangan teknologi.

Nah, kembali ke soal tutupnya Aquarius Mahakam pada tanggal 31 Desember 2013 disaat kita merayakan Malam tahun Baru ini juga banyak melakukan kesalahan-kesalahan seperti apa yang dipaparkan Steve Knopper dalam bukunya yang best seller itu.Aquarius kurang jeli menyikapi tren yang berlangsung dalam tren bisnis gerai musik.Setidaknya mungkin Aquarius bisa melihat bagaimana maraknya gerai musik Amoeba Music sebuah jaringan gerai musik independen di Amerika Serikat yang tersebar di Berkeley,San Fransisco dan Hollywood Los Angeles California, ditengah tengah ambruknya jaringan Tower Record dan semacamnya .Amoeba Music berupaya memikat konsumen musik dengan menyediakan rekaman rekaman musik baik yang baru maupun lama atau kerap disebut back catalog dalam berbagai format mulai darfi vinyl atau piringan hitam,kaset hingga compact disc.Saat gerai musik Amoeba dibuka, mereka telah menyiapkan sekitar 250.000 judul album dari berbagai genre dan subgenre musik.Amoeba juga menyediakan venue untuk game musik seperti Guitar Hero Tour.Bahkan paul McCartney malah sempat tampil secara live di Amoeba pada 27 Juni 2007 dan kemudian rekamannya dirilis dengan judul “Amoeba’s  Secret”  .

Rak rak CD yang kosong di Aquarius tanggal 30 Desember menjelang tutup secara resmi pada tanggal 31 Desember 2013 (Foto Denny Sakrie)

Rak rak CD yang kosong di Aquarius tanggal 30 Desember menjelang tutup secara resmi pada tanggal 31 Desember 2013 (Foto Denny Sakrie)

Terobosan semacam Amoeba Music ini tampaknya terlihat pada gerai musik lainnya di Jakarta yaitu Musik Plus dan Duta Suara, dimana sekitar dua tahun belakangan ini,kedua gerai musik yang memiliki banyak outlet ini juga mulai menyediakan vinyl.Tampaknya kedua gerai ini mencoba merespon tren Back To Vinyl yang merebak di Amerika Serikat, hal mana justeru tak dilakukan oleh Aquarius.

Tapi akhirnya Aquarius Mahakam memang harus kita relakan kepergiannya.Bukan dengan ekspresi sedih yang dibuat- buat seperti yang banyak terlihat di sosial media seperti Twitter dan Facebook.Bahkan banyak yang menyatakan sedih justru tak pernah berbelanja CD di Aquarius. Dan berpulangnya Aquarius,sekali lagi, bukanlah Kiamat bagi Musik Indonesia.

Komentar
  1. enkoos berkata:

    Baru tahu Aquarius tutup, kirain dah lama.
    Di Surabaya, gerai Aquarius di jl. Dr. Soetomo udah tutup lama. Kalau gak salah tahun 90’an akhir.

    Aku perhatikan tak banyak pemusik Indonesia yang jualan di i-Tunes. Yang aku maksud pemusik berkualitas semacam Padi, Gigi. Entah kalau pemusik abal abal, yang denger suaranya aja bikin pingsan.

  2. Vic Rattlehead berkata:

    Tapi hrs dipertanyakan jg knp begitu di sale 50-70% brgnya langsung habis dlm waktu bbrp hari? menurut saya di Indonesia, gaji/daya beli masyarakat ga sebanding sama kenaikan hrg2 cd, terutama tentunya cd2 import. Cd import yg dulunya seharga 50rban skrg hrgnya minimal 150-300rb. Bukan salah toko musik memang, krn memang nilai rupiah yang semakin menurun, ditambah pajak, biaya sewa tempat, dll.

    Dan jangan lupa sekarang ada begitu banyak toko musik online, baik seller individual maupun yg toko. Sejak adanya internet jg perputaran cd bekas jauh lebih besar dibanding dulu baik melalui ebay, forum, facebook dsb.

  3. agung berkata:

    Posting yang menarik. Saya izin untuk mengutipnya dalam tulisan saya boleh?

  4. haromyc berkata:

    ya mau gembar gembor stop pembajakan piracy ga bakal bisa di berantas.. seiring perkembangan tekhnologi cd hanya bakal jadi tekhnologi yg di tinggalkan layaknya disket.. hanya ada sedikit harapan untuk penjual musik innovation or die

Tinggalkan komentar