Archive for the ‘Opini’ Category

Entah untuk yang keberapa kalinya saya diminta untuk jadi moderator atau juga pembicara yang berkaitan dengan film Badai Pasti Berlalu,termasuk pula kaset soundtracknya yang fenomenal itu.Kali ini saya diminta oleh Cinema Inclusive dengan taglinenya Movies Reveal Cultural Identity ,untuk menjadi moderator acara diskusi film Badai Pasti Berlalu yang berlangsung jumat 14 November 2014 di Gedung Auditorium Terapung Perpustakaan Universitas Indonesia Depok.Cinema Inclusive adalah sebuah komunitas film berskala lokal yang beranggotakan mahasiswa dari sejumlah Universitas di Jakarta.

BPB

Para pendiri komunitas ini mengaku ingin melestarikan dan mengapresiasikan film-film Indonesia terutama film-film klasik agar jauh dari kepunahan.Acara ini mereka namakan Tonton,Diskusi Bicarakan !.Sebuah urgensi yang lugas dan patut diacung jempol.Setidaknya upaya mereka adalah menbghalau amnesia budaya yang kerap menjangkiti generasi-generasi sesudahnya yang tuna wawasan pereihal pencapaian seni dan budaya kita di masa silam.

Diskusi Badai Pasti Berlalu bersama Roy Marten,Erros Djarot dan Slamet Rahardjo (Foto Yugo Isal)

Diskusi Badai Pasti Berlalu bersama Roy Marten,Erros Djarot dan Slamet Rahardjo (Foto Yugo Isal)

Bagi saya ini merupakan kegiatan menarik yang berkecambah di sekitar anak muda yang masih belum kering gagasan dan wawasannya dalam berkesenian,termasuk didalamnya bagaimana upaya memaknai sebuah pencapaian dalam pop culture atau budaya populer seperti film atau musik.

DSDS

Dalam tujuan yang mereka paparkan ada satu hal menarik menurut saya,yaitu ketika merekla merasa terpanggil untuk melakukan hal semacam ini dalam hal meningkatkan kesadaran publik terutama anak muda tentang pentingnya kehadiran sebuah karya film sebagai refleksi jatidiri budaya bangsa serta mengangsurpencerahan kepada khalayak,siapa saja, tentangf pentingnya pelestarian budaya dalam hal ini film.

Sebelum diskusi film Badai Pasti Berlau di Auditorium Terapung Universitas Indonesia (Foto Yugo Isal)

Sebelum diskusi film Badai Pasti Berlau di Auditorium Terapung Universitas Indonesia (Foto Yugo Isal)

Menghadirkan para saksi sejarah film Inbdonesia terutama berkaitan dengan tema yang diangkat merupakan daya pikat untuk lebih jauh menanamkan apresiasi yang dalam ke benak para mahasiswa.Sore itu hadir dua aktor yang menjadi pemeran utama film yang diangkat dari novel karya Marga T,sebuah novel populer yang laris manis pada paruh era 70an,yaitu Slamet Rahardjo dan Roy Marten.Christine Hakim sebetulnya juga diundang tapi jadwalnya bentrok dan berhalangan.

Slamet  Rahardjo pemeran Helmi dalam film Badai Pasti Berlalu (Foto Yugo Isal)

Slamet Rahardjo pemeran Helmi dalam film Badai Pasti Berlalu (Foto Yugo Isal)

Juga ada Erros Djarot seniman yang berkubang di dua dunia,musik dan film,dimana dalam film Badai Pasti Berlalu,adik kandung Slamet Rahardjo ini berperan sebagai pembuat music score Badai Pasti Berlalu sekaligus music director album soundtrack Badai Pasti Berlalu.

Suasana diskusi Badai Pasti Berlalu di Auditorium Terapung UI (Foto Denny Sakrie)

Suasana diskusi Badai Pasti Berlalu di Auditorium Terapung UI (Foto Denny Sakrie)

Ketiga pembicara ini menuturkan perihal proses penggarpan film Badi Pasti Berlalu serta romantika dibalik penggarapan film Badai Pasti Berlalu   .Film ini digarap oleh sutradara kawakan Teguh Karya dengan semangat poppish,yangt berbeda dengan film film Teguh Karya sebelumna seperti Wajah Seorang Lelaki,Kawin Lari atau Perkawinan Dalam Semusik.Film film Teguh Karya pada galibnya adalah film yang bertendensi serius dan biasanya gagal dalam memikat penonton massive.Ketika menggarap Badai Pasti Berlalu,Teguh Karya ingin mermberikan nuansa yang lebih segar dan lkebih dekat ke selera pasar tanpoa harus mengorbankan idedalisme.

Poster

Film ini berkisah tentang Siska (Christine Hakim) yang patah hati karena tunangannya membatalkan perkawinan mereka dan menikah dengan gadis lain.Siska yang kehilangan semangat hidup memutuskan keluar dari pekerjaannya dan hidup menyendiri. Leo, sahabat Johnny, kakak Siska, mendekatinya untuk memenangkan taruhan dengan teman-temannya untuk menaklukkan Siska. Leo  (Roy Marten)  sang playboy berhasil membangkitkan semangat hidup Siska yang sudah terlelap dalam apati sdan beku bagaikan gunung es, namun ia sendiri benar-benar jatuh hati kepada gadis itu.

RM

Kesalahpahaman terjadi di antara mereka, menyebabkan mereka tidak bisa bersatu. Lalu, muncul pula Helmi, seniman pegawai niteclub, seorang pemuda yang lincah, perayu, dan licik. Badai demi badai yang hitam pekat melanda hati Siska. Namun, memang badai akhirnya  toh pasti berlalu.

Slamet Rahardjo menuturkan secara global suasana perfilman Indonesia di era 70an dimana kadang iklim berkesenian harus tumpul dan tunduk pada nilai-nilai komersialisme.Di tahun 1977 produksi film Indonesia berada di puncak secara kuantitatif yaitu berada di kisaran 135 judul film.Roy Marten sebagai bintang film tenar saat itu harus bermain dalam 4 judul film sekaligus.”Saya masih ingat,teman-teman harus menunggu saya untuk shooting film Badai Pasti Berlalu,karena saya telah terlibat kontrak dalam 3 film lainnya” ungkap Roy Marten lagi.

Gua

Film Badai Pasti Berlalu memang tidak terpilih sebagai Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia yang berlangsung di Ujung Pandang pada tahun 1978, namun berhasil menggiring banyak penonton ke dalam bioskop .Ada 4 Piala Citra yang diraih Badai Pasti Berlalu yaitu untuk kategori  untuk editing, fotografi, editing suara dan penata musik.Film Badai Pasti Berlalu juga berhasil meraih  Piala Antemas dalam Festival Film Indonesia 1979 sebagai film terlaris 1978-1979 dan film terlaris kedua di Jakarta  dengan  perolehan jumlah penonton 212.551 orang.

Nonton Badai Band 35 Tahun Silam

Posted: November 16, 2014 in Kisah, Opini

Ini adalah kjejadian yang berlangsung di bulan November, tapi sekitar 35 tahun yang silam. Saya tiba-tiba teringat ketika pertama kali nonton konser Badai Band itu pada tahun 1979.Saya baru lulus SMP,masih tinggal di Ujung Pandang.

Kaget dan kagum melihat musikalitas mereka yang terdiri atas Yockie Surjoprajogo (keyboard),Chrisye (bass,vokal),Keenan Nasution (drums),Oding Nasution (gitar),Roni Harahap (keyboard) dan Fariz RM (drums).Konsep menggunakan dua keyboard plus dua drum ini rasanya tak terpikirkan oleh band-band lain dijamannya.Saya masih ingat ketika Badai Band naik pentas,setelah dibuka penampilan Andi Meriem Mattalatta yang diiringi Mutiara Band milik Pertamina , Chrisye yang memakai setelan putih putih langsung membuka konser dengan lagu Indonesia Maharddhika karya Roni Harahap dan Guruh Sukarno Putra dari album Guruh Gipsy.Introduksi dengan duo keyboard Roni Harahap dan Yockie  Surjoprajogo terasa megah bak mercusuar.Lalu Chrisye menyanyikan lagu karya Debby Nasution dan Erros Djarot bertajuk “Angin Malam” dari soundtrack Badai Pasti Berlalu dengan memakai aransemen dari album Musik Saya Adalah Saya (Musica Studios 1979).

Suara Chrisye prima.Keenan dan Fariz membentengi rhythm sectiuon dengan pola drumming yang terasa akurat .Oding Nasution dengan aura rock meningkahi dengan lengkingan gitar elektrik.Suasana progresif rock mencuat saat Chrisye membawakan lagu Anak Jalanan karya Guruh Sukarno Putra dari album soundtrack film Ali Topan Anak Jalanan yang kemudian diaransemen ulang oleh Yockie di albumn solo Chrisye Sabda Alam.Konser Badai Band yang berlangsung di Gedung Olahraga Mattoanging Ujung Pandang di Jalan Cenderawasih itu menghadirkan lagu-lagu dari album Guruh Gipsy,Badai Pasti Berlalu dsan Sabda Alam.Entah kenapa,tak satu pun lagu dari album Jurang Pemisah dibawakan Chrisye di panggung.Namun,hadirnya lagu Citra Hitam yang ditulis oleh Yockie Surjoprajogo membuat saya kagum berat dengan band yang dihuni para pemusik mumpuni.

Sungguh merupakan pengalaman tak terlupakan menyasikan konser berkualitas dari pemusik yang tengah menjadi inspirasi besar dalam industri musik Indonesia.Badai Band ini bisa saya anggap sebagai gerakan pembaharuan dalam musikalitas musik Indonesia terutama jika kita kembali di tahun 1977 dimana saat itu khazanah musik Indonesia lebih cenderung tampil dengan keseragaman dimana-mana yang pada akhirnya menimbulkan rasa jenuh dan titik kulminasi.Yang saya ingat Koes Plus seperti sapi kurus yang telah diperah habis-habisan energi dan kreativitas bermusiknya oleh label besar yang menaunginya : Remaco.

Chrisye sedang menyanyikan lagu Anak Jalanan bersama Badai Band di Gedung Olahraga Mattoanging Ujung Pandang di tahun 1979 (Foto Denny Sakrie)

Chrisye sedang menyanyikan lagu Anak Jalanan bersama Badai Band di Gedung Olahraga Mattoanging Ujung Pandang di tahun 1979 (Foto Denny Sakrie)

Epigonisme atau perilaku membebek telah mencapai puncaknya di era 1977 tersebut. Dan disaat itu,ketika musik populer di Indonesia mulai memasuki kubangan tunggal nada, muncullah kreativitas anak-anak muda yang rata-rata saat itu berusia 20 tahunan. Dimulai dengan munculnya eksperimen memempelaikan musik Bali dan rock progresif yang dilakukan Guruh Sukarno Putra dan band rock Gipsy dalam proyek Guruh Gipsy.Lalu mencuat kegiatan kompetisi Lomba Cipta Lagu Remaja yang digagas radio Prambors Rasisonia dan menghasilkan hits massal Lilin Lilin Kecil karya James F Sundah dan jelang akhir 1977 muncul album musik soundtrack fenomenal karya Eros Djarot bertajuk “Badai Pasti Berlalu” dengan sederet hits yang dinyanyikan Chrisye mulai dari Pelangi,Serasa ,Merpati Putih,Cintaku,Merepih Alam hingga Angin Malam.

Sebagai anak muda yang mulai memnasuki gerbang remaja, semangat menyimak atau menikmati musik  yang saya alami justru terasa mengalami pergeseran.Mulai ada kegelisahan untuk menyimak karya-karya yang trak sekedar ecek-ecek lagi tapi lebih mencari eksplorasi menyimak musik yang lebih memberikan imbuhan yang terasa kuat dalam notasi melodi,aransemen yang lebih dalam atau pola penulisan lirik yang berputar ke hal-hal yang terlalu remeh temeh.Pada akhirnya pilihan jatuh pada setidaknya 3 album yang dirilis pada tahun 1977 tadi yaitu Guruh Gipsy,LCLR 1977 dan Badai Pasti Berlalu. Pengalaman menyaksikan konser Badai Band bdi Gedung Olahraga Mattoanging Ujung Pandang ini saya anggap merupakan titik balik pergumulan saya dalam menentukan selera bermusik saya.Dan kalau berbicara soal selera, jelas tak ada kesepakatan,karena selera jelas akan selalu berbeda-beda.

Koalisi Musik Pop Kreatif

Posted: November 13, 2014 in Opini

34 tahun silam tepatnya juni 1980 muncul album bertajuk “Sakura” (Akurama Record) dari seorang pemusik pendatang baru dalam industri musik : Fariz RM.Anak muda ini telah dikenal sebagai drummer Badai Band.Ikut menyumbangkan permainan drumnya di album fenomenal Badai Pasti Berlalu (1977),menjadi finalis Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors Rasisonia 1977 bersama SMA III Vokal Grup , serta menyumbangkan lagu ciptaannya Cakrawala Senja di album solo debut Keenan Nasution “Di Batas Angan Angan” (Gelora Seni Record, 1978).Menariknya,album “Sakura” milik Fariz RM,memiliki nuansa musik yang berbeda dengan Badai Pasti Berlalu maupun album Keenan Nasution.Fariz RM dengan kemampuan memainkan banyak instrumen musik ini malah cenderung menjejalkan musik bernuansa R&B,funk serta sedikit rasa jazz dengan aksentuasi pada rhythm section berbumbu sinkopasi.Eklektika musik semacam ini dalam industri musik dan radio kerap dikategorikan sebagai Adult Contemporary Music. Sajian musik ala Fariz RM ini lalu direspon anak muda kalangan menengah keatas.

Dian Pramana Putra dan Fariz Rustam Munaf (Foto Wendi Putranto)

Dian Pramana Putra dan Fariz Rustam Munaf (Foto Wendi Putranto)

Di tahun yang sama,Dian Pramana Poetra berhasil mengukir prestasi sebagai finalis Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors Rasisonia 1980 lewat lagu bertajuk “Pengabdian” yang dinyanyikannya bersama Bourest Vokal Grup.Tahun 1982 Dian Pramana Poetra merilis album solo debut bertajuk Indonesia Jazz Vocal (Jackson Record and Tapes).Musik yang ditampilkan merupakan perpaduan antara jazz,pop dan R&B.
Lagu-lagu yang disebar oleh Fariz RM dan Dian Pramana Poetra memang berhasil memikat penyimaknya yang berasal dari kalangan pelajar maupun mahasiswa dengan status sosial menengaj keatas.Sejak tahun 1977,ketika album Badai Pasti Berlalu dan LCLR Prambors Rasisonia 1977 dengan hits Lilin Lilin Kecil yang dinyanyikan Chrisye, sempat menyeruakkan paradigma baru dalam konstelasi musik popular Indonesia yang saat itu didominasi oleh band-band ala Koes Plus maupun penyanyi-penyanyi solo seperti Bob Tutupoli,Arie Koesmiran,Eddy Silitonga hingga Hetty Koes Endang. Lagu-lagu pop yang dipelopori Chrisye dkk ini dengan pola penulisan lirik yang lebih variatif dan tata musik yang lebih kaya serta elegan oleh media saat itu kerap ditulis sebagai musik gedongan .
Fariz RM dan Dian Pramana Poetra adalah generasi berikutnya dari musik pop yang diistilahkan sebagai musik gedongan tersebut.Di paruh era 80an,industri musik Indonesia kian marak,musik pop dengan gaya mendayu-dayu kian marak.Munculnya label Lolypop Record yang diprakarsai Rinto Harahap di tahun 1975 kini ditambah lagi dengan kehadiran label JK Records yang memiliki arah musik yang sama : musik mendayu-dayu yang dibawakan sederet penyanyi wanita berparas cantik kemayu seperti Dian Piesesha,Meriam Bellina,Heidy Diana,Lydia Natalia,Nindy Ellise dan banyak lagi.
Disisi lain,musik popular yang dihasilkan Guruh Sukarno Putra,Eros Djarot,Chrisye,Keenan Nasution,Chaseiro,Candra Darusman,Junaedi Salat,Harry Sabar,Louis Hutauruk,Vina Panduwinata termasuk Fariz RM dan Dian Pramana Poetra juga memiliki penggemar yang tak sedikit.
Seno M Hardjo,seorang wartawan dari majalah remaja Nona,secara personal ternyata menggemari karya-karya musik dari sederet pemusiki yang saya sebut terakhir tadi.Seno merasa perlu untuk mengkategorikan lagi jenis musik pop yang beredar dikalangan masyarakat.Maka muncullah istilah Pop Kreatif dari benak Seno M Hardjo yang kemudian didukung pula oleh Bens Leo,wartawan dari majaklah Gadis,untuk mengkategorikan musik atau lagu yang disajikan Guruh Sukarno Putra,Eros Djarot,Chrisye,Keenan Nasution,Harry Sabar,Junaedi Salat,Debby Nasution serta Fariz RM dan Dian Pramana Poetra.Logika Seno M Hardjo berbicara bahwa musik-musik mereka ini terasa memiliki aura kreatif mulai dari pemilihan melodi,akord dan tata aransemen hingga thesaurus kata yang dip;ilih saat menuliskan lirik.Tegasnya,Pop Kreatif ini adalah istilah untuk membedakannya dengan musik pop mendayu-dayu atau seperti yang diistilahkan Harmoko saat itu : Pop Cengeng .
30 tahun setelah merebaknya istilah Pop Kreatif yang kermudian menjadi polemik di berbagai media ,Seno M Hardjo bersama label yang didirikannya pada paruh era 90an lalu membuat sebuah album bertajuk Fariz RM & Dian PP In Collaboration With, yang isinya adalah sederet lagu-lagu karya dua ikon musik pop 80an itu yang ditafsir ulang oleh sederet artis musik masa kini.Album ini bisa kita sebut sebagai sebuah napak tilas atau sebuah rekonstruksi darib fenomena musik pop kreatif yang merebak di era 80an dengan mengajak artis musik seperti Glenn Fredly,Sammy Simorangkir,Sandhy Sondoro,Fatin,Maliq N D’Essentials,3 Composer,Ecoutez,Sore dan masih banyak lagi yang lain.
Album ini mungkin lebih tepat disebut sebuah koalisi musik popular dari 3 angkatan pemusik Indonesia,mulai dari Fariz RM dan Dian PP yang mewakili artis musik 80an serta para penyanyi penafsir yang berasal dari era 90an hingga 2000an.
Seno M Hardjo sendiri sebetulnya telah menggagas proyek besar ini sejak tahun 2000.Saat itu Seno yang rajin mengeluarkan rilisan back catalog Fariz RM dan Dian PP,berniat untuk membuat album Tribute To Fariz RM.Gagasan cemerlang itu akhirnya berhenti karena mengalami banyak kendala.
14 tahun berselang barulah gagasan itu bersemi lagi.SenoM Hardjo bersama labelnya Target Pop akhirya menyatukan karya-karya monumental Fariz RM dan Dian PP dalam sebuah album tribute yang sarat warna. Seno pun menuturkan perihal keinginannya membuat album yang memiliki semangat apresiasi ini : “Intinya, buat saya daur ulang bukan sekadar mengulang karena nostalgia atau romantisme belaka. Tapi lebih merupakan kreativitas yang bersinergi. Detilnya, album ini mencoba bertujuan untuk menjadi pustaka musik kontemporer dan futuristik Indonesia. Selain misi visi utama, ingin melestarikan karya Komposer legenda di negeri ini.
Di album kolaborasi ini antara lain menyertakan Sandhy Sondoro penyanyi beraksen soul klasik yang kental berduet bersama Fariz RM dengan aransemen yang digarap Yudis Dwikorana. Menariknya, Barcelona yang dirilis pada 1987 dengan susupan gitar flamenco, hadir berbeda ditangan Maliq D’Essential. Juga Nada Kasih yang awalnya menyatuka suarat Fariz RM dan Neno Warisman Sebuah Obsesi, kini menghadirkan duet Angel Pieters.Dian PP, setelah menguat dengan gaya jazz vokal, pada tahun 1986 atas ajakan Yockie Suryoprayogo melejitkan hits Kau Seputih Melati yang kini ditafsir ulang oleh Sammy Simorangkir.Ecoutez pun member sentuhan lain dari lagu Diantara Kata yang dinyanyikan Fariz RM pada album “Panggung Perak” (Akurama Record 1981).Bahkan lagu “Jawab Nurani” karya Fariz RM dan Jundi Karjadi dari album “Hotel San Vicente” dari Transs (Akurama Record,1981) dinterpretasikan secara bebas oleh Sore.Lagu bernuansa disko ini jadi berubah perangai dalam harmoni vokal yang rapat serta aransemen yang terasa lebih kaya. Gagasan album ini memang bukanlah sesuatu yang baru,namun upaya menautkan lintas generasi musik dan lintas genre ini merupakan upaya untuk mengapresiasi sekaligus melestarikan karya-karya musik yang pernah mencapai kejayaan dalam sebuah era musik.
Menurut produser album Seno M Hardjo ,karya lagu daur ulang, adalah tantangan untuk mengusung sesuatu inovatif. “ Tak muluk, mengingat kehadiran album kolaborasi ini berada di tengah dialektika kontra produktif industri rekaman yang kini memang sedang carut marut” imbuhnya lagi..

SBY dan Lagu Jiplakan

Posted: November 7, 2014 in Opini

Seorang teman di Kanada bertanya pada saya :”Betulkah SBY melakukan plagiat dalam menulis lagu ?”. Jason,teman saya itu,melalui kanal Youtube menemukan kemiripan yang telak pada refrain lagu karya presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertajuk “Majulah Negeriku” pada lirik “ Bangkitlah bangsaku, mari kita singsingkan lengan maju,bangunlah negeriku ,majulah negeriku,merah putih berkibar selamanya yang dinyanyikan Tantowi Yahnya dengan refrain “Baby Blue” lagu bercorak country dari George Baker Selection,grup musik asal Belanda dengan lirik baby blue,baby blue Do you know that I’m still in love with you.Now I know that you won’t be here no more .
Sebetulnya,saya sudah mengetahui hal ini sejak album “Rinduku Padamu” yang berisikan lagu-lagu karya SBY dirilis Nagaswara pada tahun 2007.
Saat itu saya sempat memastikan hal tersebut dengan menanyakan pada Tantowi Yahya, yang menyanyikan lagu tersebut.Memang ada kemiripan antara refrain lagu SBY dan George Baker Selection, urai Tantowi Yahya.Musikolog Remy Sylado juga menyatakan hal yang senada.
Masyarakat luas memang banyak yang tak mengetahui hal ini.Mereka bahkan banyak yang tak pernah mendengar lagu karya mantan Presiden yang berbakat musik ini.Radio dan TV hampir tak pernah memutar lagu ini.”Majulah Negeriku” justru diperdengarkan secara luas saat aubade upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke 67 pada 17 Agustus 2008 .
Memang banyak hal yang bisa menjadi pemicu munculnya plagiarisme terutama pada karya cipta lagu, mulai dari faktor kebetulan yang tak disengaja,mengambil referensi karya hingga unconscious plagiarism yaitu tanpa sadar melakukan plagiat. Dalam hal ini saya melihat telah terjadi hal yang ketiga terhadap kemiripan lagu SBY dan George Baker Selection yang dalam terminologi kejiwaan disebut sebagai Cryptomnesia.Istilah ini pertamakali dipergunakan oleh psikiater Theodore Fluornoy untuk sebuah kondisi dibawah sadar berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam menikmati karya seni ,entah itu membaca buku atau mendengar musik,yang kemudian tercetus lagi pada saat menuliskan sebuah karya.Contoh kasus unconscious plagiarism yang sangat popular adalah kasus lagu My Sweet Lord yang ditulis dan dinyanyikan George Harrison (1970) dan dianggap menjiplak bagian substansial dari lagu “He’s So Fine” (1963) yang dibawakan The Chiffons .Diduga mantan gitaris The Beatles itu sering mendengar lagu gospel itu saat remaja,dan secara tak sengaja gagasan melodi lagu tersebut muncul pada saat menulis lagu My Sweet Lord di tahun 1969.
Meski Harriuson tak mengakui tuduhan plagiarism tersebut,namunHarrison dalam persidangan tetap dinyatakan kalah,karena sejak tahun 1976 preseden Hukum Hak Cipta di Amerika Serikat telah memberlakukan hal yang sama terhadap kasus cryptomnesia maupun yang sengaja (subconscious).
Bisa jadi pada saat hampir seluruh radio di Indonesia memutar lagu “Baby Blue” milik George Baker Selection di tahun 1974,Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu berusia 25 tahun tengah gandrung dengan lagu tersebut.Apalagi di era itu SBY memiliki hobi bermain band.Dugaan saya, kasus cryptomnesia SBY itu bermula dari sini yang akhirnya terdengar pada kemiripan lagu karyanya tersebut mendekati 8 birama.
Sangat disayangngkan lagu Majulah Negeriku ini telah diperdengarkan pada seluruh rakyat Indonesia pada saat acara kenegaraan perayaan detik-detik Proklamasi RI di Istana Negara 6 tahun yang silam. Kemiripan lagu “Majulah Negeriku” karya SBY ini seolah menambah lagi deretan lagu-lagu nasional yang diduga memiliki motif plagiarism mulai dari “Dari Sabang Sampai Merauke” karya R.Soerardjo yang mirip lagu kebangsaan Prancis La Marseillaise karya Claude Joseph Rouget de Lisle hingga lagu “Ibu Kita Kartini” karya WR Supratman yang menurut analisa Remy Sylado adalah hasil jiplakan dari lagu Minahasa “O Ina Ni Keke” atau di era 50an musikolog Amir Pasaribu menilai bahawa lagu kebangsaan Indonesia Raya karya WR Supratman menjiplak dua lagu mars tradisional yaitu Lekka Lekka Pinda Pinda dan Boola Boola.

Mengharapkan Reuni Badai Band

Posted: November 3, 2014 in Kisah, Opini

Sejak tahun 1997 saya punya obsesi untuk bikin reuni Badai Band yang terdiri atas Chrisye (bass,vokal),Yockie Surjoprajogo (keyboards),Keenan Nasution (drums),Oding Nasution (gitar),Roni Harahap (keyboard) dan Fariz RM (drums).

Badai Band saat tur di Palembang tahun 1979 (Foto Zoom)

Badai Band saat tur di Palembang tahun 1979 (Foto Zoom)

Kenapa ? Karena band ini punya nilai historik dalam khazanah musik pop Indonesia, bermula ketika Eros Djarot menggagas pembuatan album Badai Pasti Berlalu yang diinspirasikan dari music score film Badai Pasti Berlalu (1977).Di akhir tahun 1977 muncullah album Badai Pasti Berlalu yang fenomenal,didukung oleh Eros Djarot,Yockie,Chrisye,Fariz RM serta Debby Nasution dan Keenan Nasution.Tahun 1978 Badai Pasti Berlalu meledak.Musik Indonesia serta merta berubah dengan kehadiran mereka.Saat itu Chrsiye yang juga baru rilis album solo Sabda Alam (1978) mulai banyak manggung.Disinilah awal muncullnya Badai Band saat Chrisye dkk jadi salah satu penampil di acara Dapur Musik Betawi.Sys NS penggagas acara tersebut spontan memberi nama Badai Band pada kelompok yang berasal dari kawasan Pegangsaan Menteng tersebut.

Yockie Surjoprajogo,Eros Djarot dan Roni Harahap berbicara tentang album Badai Pasti Berlalu (Foto Asra Nur)

Yockie Surjoprajogo,Eros Djarot dan Roni Harahap berbicara tentang album Badai Pasti Berlalu (Foto Asra Nur)

Tahun 1997 saat masih di radio M97FM (yang sudah almarhum),saya berupaya untuk menyatukan Badai Band yang anggota telah terpisah sekian lama.Satu persatu saya menghubungi mereka.Mereka seperti mau tak mau.Tapi Chrisye yang jelas dan tegas tak menginkan reuni Badai Band.”Konsep musik kita masing-masing telah jauh berbeda,Jadi gak mungkin Badai Band itu ada” ungkap Chrisye lugas.Alhasil,Radio M97FM hanya bisa menyatukan reuni pemusik Pegangsaan yang didukung Keenan Nasution,Gauri Nasution,Oding Nasution,Debby Nasution,Fariz RM,Harry Sabar dan beberapa nama lain.Yockie yang tadinya diharapkan ikut serta,justru tak bisa membagi waktu karena saat itu sedang melakukan proses rekaman album God Bless Apa Kabar ? dikawasan Puncak.

Badai Band di tahun 1979

Badai Band di tahun 1979

Badai Band akhirnya memang tak jadi reuni.Namun Chrisye yang baru saja sembuh dari penyakit kanker pada tahun 2006 sempat melakukan reuni bersama Gipsy Band di Bugs cafe Pondok Indah walaupun harus bernyanyi di atas kursi roda.Reuni Badai Band tetap tak terwujud hingga akhirnya Chrisye menutup mata pada tahun 2007.
Setahun berselang Yockie Surjoprajogo berniat untuk kembali menghidupkan Badai Band. Meskipun Chrisye telah berpulang,mereka masih memiliki semangat untuk menghidupkan kembali Badai Band. Setidaknya di Badai Band ada 3 pemusik yang sebetulnya juga bisa bernyanyi yaitu Keenan Nasution,Yockie Surjoprajogo atau Fariz RM.

chrisye1

Saat itu disekitar tahun 2008 Yockie,Keenan,Oding,Fariz RM dan Berlian Hutauruk telah melakukan pertemuan pertama di Citos untuk merencanakan reuni Badai Band.Sayangnya reuni tersebut lagi-lagi gagal terwujud.
!5 Desember 2013 sahabat saya Dimas Ario bikin acara diskusi musik tentang album Badai pasti Berlalu di sebuah kafe di Gandaria yang menghadirkan Eros Djarot,Yockie Surjoprajogo dan Roni Harahap.Saat itu terbetik lagi wacana untuk membuat reuni Badai Band,namun hingga hari ini masih belum berbuah wujud juga.

Lagu Happy Birthday dan Hak Cipta

Posted: Oktober 28, 2014 in Opini

“Happy Birthday” adalah lagu paling popular sepanjang masa,karena selalu dinyanyikan siapa saja setiap hari saat perayaan ulang tahun seseorang.Tahukah anda siapa penulis lagu yang liriknya hanya bersikan kalimat happy birthday to you dan disebut oleh Guinnes Book of World Record sebagai lagu paling dikenal disepanjang jaman itu ? .
Lagu ini ditulis oleh seorang guru bernama Patty Smith Hill dan adiknya Mildred Hill pada akhir abad ke 19.Tapi siapa yang menyangka bahwa lagu yang telah melegenda itu masih berada dibawah copyright control,dimana setiap orang yang mau menggunakan lagu tersebut harus membayar lisensi hak cipta.Padahal lagu ini telah memasuki kategori public domain.
Kasus ini muncul beberapa waktu lalu di saat pembuatan film dokumenter tentang sejarah lagu “Happy Birthday” dimana produser film diminta untuk membayar lisensi penggunaan lagu Happy Birthday sebesar $ 1500 yang dipegang oleh publishing Warner/Chappell. .Jika tidak membayar,maka pengguna lagu Happy Birthday akan dikenakan denda pelanggaran hak cipta sebesar $ 150.000.
Peristiwa ini ditulis oleh Eric Gardner dengan tajuk Lawsuit Against Warner/Chappell Music Claims “Happy Birthday” Belongs to Public Domain yang dimuat dalam The Hollywood Reporter edisi Juni 2013, bahwa lagu Happy Birthday ini awalnya ditulis oleh Hill Bersaudara pada tahun 1893 dengan judul “Good Morning To All” dan menjadi popular.Lagu ini memiliki dasar hak cipta karena liriknya diterbitkan dalam sebuah songbook di tahun 1924 serta diterbitkan dalam bentuk aransemen piano pada tahun 1935.Akhirnya lagu Happy Birthday ini mendapat perlindungan hak cipta selama 95 tahun terhitung sejak terdaftar pada tahun 1935.Ini berarti lagu Happy Birthday akan berada dibawah lindungan hak cipta hingga tahun 2030. Sebuah kurun waktu yang sangat panjang.
Dan sebagai lagu paling popular sepanjang masa, Happy Birthday bisa dideretkan sebagai lagu yang paling banyak mengeduk keuntungan dari biaya lisensi hak cipta yang diterapkan terhadap para pengguna lagu tersebut.Bayangkan saja betapa banyak pihak yang kerap menggunakan lagu ini dalam berbagai medium mulai dari rekaman musik,soundtrack film dan kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat kapitalistik.
Jika kita kembali ke masalah yang terjadi di negeri kita , maka akan terlihat bahwa begitu banyak lagu-lagu karya seniman musik yang tidak terdaftar sebagaimana yang berlangsung di mancanegara dalam hal ini Amerika Serikat sebagai contoh utama.Masyarakat kita yang tak pernah perduli dengan pengarsipan dalam pencatatan data-data yang akurat menyebabkan terjadinya kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang terus berlangsung dari dahulu hingga sekarang.Banyak contoh yang bisa kita kemukakan, misalnya tentang lagu Halo Halo Bandung yang sebetulnya ditulis oleh seorang prajurit bernama Tobing, hingga detik ini masih ditulis sebagai karya Ismail Marzuki.

Dalam sebuah buku Pendidikan Kesenian Sekolah Dasar pernah tertera lagu Anging Mamiri adalah karya Ismail Marzuki,padahal penulis lagu tersebut adalah Borra Daeng Ngirate bahkan dibeberapa katalog musik rekaman lagu berbahasa Makassar itu kerap hanya ditulis NN atau lagu tradisional saja. Atau lagu Tuhan karya Sam Bimbo yang sering dikira sebagai karya penyair Taufiq Ismail.Menurut Taufiq Ismail,Yayasan Karya Cipta Indonesia selama beberapa tahun membayar royalty atas lirik lagu Tuhan yang ternyata ditulis oleh Sam Bimbo.Keserampangan dalam pendataan karya-karya musik ini mremang telah mencapai titik kritis.
Saya yakin banyak diantara kita yang tak mengetahui siapa pencipta lagu Happy Birthday yang selalu dinyanyikan dalam perayaan hari ulang tahun itu diseluruh dunia .Namun ternyata lagu ini meski sering dianggap sebagai lagu yang telah memasuki kategori public domain, justru masih berada dibawah lindungan hak cipta.

Selamat Datang Presiden Rock N’ Roll

Posted: Oktober 20, 2014 in Opini

Hari ini agaknya merupakan hari penuh sukacita bagi segenap rakyat Indonesia.Pemeo I don’t like Monday tak pantas untuk dgaungkan .Hari ini Presiden kita yang ketujuh dengan penampilan anti hero Ir Djoko Widodo menjadi perbincangan siapa saja, mulai dari atas hingga bawah.Tak hanya di negeri kita tercinta tapi menyeruak hingga ke seantero jagad, dalam berbagai mass media hingga sosial media.Trending topic tereus menerus menyertakan kicauan perihal Djoko Widodo yang akrab dengan panggilan Jokowi. “Orangnya asik,banyak senyum dan apa adanya.Sangat rock n’roll” itu komentar yang meluncur dari banyak orang tentang lelaki Jawa yang menggemari musik keras sejak di bangku SMP dulu. Jokowi kian memikat perhatian anak muda saat mengetahui bahwa Jokowi adalah penikmat musik rock.Kabar ini telah mencuat ketika Jokowi masih menjabat walikota Solo.Dengan cepat,kegemaran terhadap music rock dari seorang pejabat yang lazimnya kaku dan kerap mengutamakan protokoler ini menjadi buah bibir.Semua takjub.Apalagi,memang sosok Jokowi kerap terlihat dalam pelbagai perhelatan rock maupun metal.Jokowi dengan mengenakan kaos band berdasar warna hitam memang terlihat berbeda.Dia tak lagi seorang pejabat yang harus terlihat berwibawa,namun membaur dengan para metalhead di sekitar bibir panggung atau di area festival.Jokowi menampik fasilitas nonton di tempat VVIP. Jelas ini sebuah pemandangan langka bagi siapa saja.

Presiden RI ke 7 Ir Djoko Widodo ak.k.a  Jokowi (Foto Semut Prasidha)

Presiden RI ke 7 Ir Djoko Widodo ak.k.a Jokowi (Foto Semut Prasidha)

Namun ternyata banyak pula yang bertutur nynyir berbalut fitnah bahwa kegemaran dan kecintaan Jokowi terhadap musik rock adalah skenario pencitraan belaka.Fitnah itu berlanjut dengan menyebut bahwa pencitraan peseanan itu dilakukan atas gagasan Stanley Greenberg,sosok yang menjadi konsultan yang memoles sosok Bill Clinton ,presiden Amerika Serikat yang kerap ditampilkan piawai bermain saxophone dalam berbagai kesempatan. Jokowi ,kabarnya,pun dipoles sedemikian rupa oleh Stanley Greenberg sebagai sosok penggemar musik rock sejati.Meskipun pada galibnya seperti yang diketahui masyarakat, sesungguhnya sejak menjabat Walikota ,Jokowi memang kerap terlihat dalam berbagai perhelatan konser rock baik yang berskala lokal maupun internasional.Jokowi terlihat diantara kerumunan penonton konser Lamb Of God,Judas Priest,Sting,Guns N Roses dan Metallica.Di tahun 2012 Jokowi bahkan telah membeli tiket konser Dream Theater, tapi karena harus menjalani rapat yang panjang akhirnya Jokowi batal menyaksikan kepiawaian kelompok prog metal Amerika Serikat Dream Theater.
Sosok Jokowi sebagai seorang metalhead merupakan pemandangan baru di Indonesia maupun dunia,karena tak lazim seorang pejabat menyukai musik rock yang selalu dikaitkan dengan kredo kebebasan dan anti kemapanan.Dan manakala Jokowi keluar sebagai pemenang dalam Pilpres 2014, ucapan selamat pun mulai berdatangan dan berjejal dari para pemusiki rock dunia di jejaring sosial mulai dari facebook hingga twitter seperti Sting,gitaris Guns N Roses Ron Thal,band Arkarna dan banyak lagi.
Apakah Jokowi satu-satunya sosok pemimpin dunia yang gandrung tak terkira terhadap ingar bingar musik rock ?.Ternyata tidak. Jokowi ternyata tak sendirian. Dibelahan dunia sana terbetik kabar bahwa Perdana Menteri Rusia Dmitri Medvedev yang juga menggemari musik rock.
Adapun Band rock yang digemari Perdana Menteri Dimitri Medvedev nyaris sama dengan yang disukai Jokowi yaitu band-band rock yang berasal dari Inggris Raya Black Sabbath,Deep Purple hingga Led Zeppelin. Apabila kita telaah kesamaan selera dalam menggemari musik rock ini mungkin karena keduanya , baik Jokowi maupun Medvedev adalah Generation X yang dilahirkan di era 60an yang kemudian mengisi masa remaja di era 70an dengan musik-musik rock mulai paruh era 60an hingga 70an.
Jokowi dillahirkan pada tahun 1961 ,sementara Dmitri Medvedev di lahirkan pada tahun 1965. Keduanya pun punya tekad yang nyaris sama : memberantas korupsi dan ingin melakukan perubahan.
Sejak duduk di bangku SMP Jokowi kerap terlihat menyambangi markas Ternchem band rock era 70an di Solo diseberang Stadion Manahan Solo .Selama berjam-jam Jokowi terperangah dan terangguk-angguk melihat band Ternchem yang dibentuk oleh drummer Bambang Espe Manahan membawakan lagu-lagu dari band hard rock Inggris Deep Purple.
Dalam buku “Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker” yang ditulis Yon Thayrun,Jokowi bertutur :” “Musik rock adalah kebebasan. Musik rock itu liriknya liar, tegas semangat, dan mampu mendobrak perubahan,”.
Banyak hal-hal baru yang mencuat saat nama Jokowi pada akhirnya menjadi pilihan mutlak rakyat Indonesia yang memang telah begitu lama menantikan kehadiran seorang pemimpin yang tak memiliki jarak dengan rakyatnya.Disamping itu saya selama ini memang menaruh harapan terhadap para pemimpin yang memiliki ketertarikan dan kegemaran terhadap dunia music.Apapun genre dan subgenrenya .Sebagai cabang seni yang merepresentasikan ekspresi, musik boleh jadi akan menginspirasi para pemimpin dalam menjalankan konsep dan pola kepimpinannya.Musik bisa menjadi jembatan sugestif apa saja termasuk dalam pengambilan keputusan.
Beberapa presiden Indonesia yang memerintah sebelum Jokowi resmi dilantik sebagai presiden terpilih RI pada 20 Oktober ini juga memiliki keterkaitan dengan musik.Presiden Soekarno yang dengan semangat berkobar hendak membangkitkan supremasi budaya kita adalah seorang pianis dan menggubah lagu “Bersuka Ria” dalam album “Mari Bersuka Ria Dengan Irama Lenso” (1965) serta membentuk grup musik The Lensoist dan melakukan muhibah ke beberapa negara.
Ketika berlangsung konfrontasi dengan Malaysia, Bung Karno melalui siaran RRI pernah memainkan lagu “Terang Bulan” untuk menyindir lawan politiknya Perdana Mentero Tengku Abdul Rachman. “Terang Bulan” adalah lagu yang pernah dinyanyikan artis Indonesia Roekiah dalam film “Terang Boelan” yang kemudian diubah menjadi “Negaraku” dengan syair yang
.Presiden Soeharto juga suka music dan mampu memetik gitar. Presiden Gus Dur menyukai musik klasik dan menggemari ratu blues rock Janis Joplin.
Dan yang paling menyita perhatian adalah Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang dimasa pemerintahannya masih sempat meluangkan waktu menulis lagu serta menghasilkan 5 album rekaman.
Susilo Bambang Yudhoyono yang dimasa mudanya pernah menjadi bassist ini kerap menuai kritik karena merilis album begitu banyak dalam kondisi yang tidak tepat. Musik memang milik siapa saja. Entah itu rakyat kecil, alim ulama, politikus, negarawan dan entah siapa lagi. Namuni jika sang pemimpin hanya bernyanyi dan bermain musik, sementara sebahagian rakyatnya masih berkubang dalam kesusahan dan kemelaratan. Apakah masalah bangsa dan Negara bisa pupus terhapus begitu saja hanya dengan bernyanyi ?. Disaat Negara tengah didera berbagai konflik, presiden SBY malah meluncurkan album-album karyanya secara berkesinambungan.
Lalu bagaimana dengan Jokowi yang oleh para penikmat musik metal dikukuhkan sebagai seorang penggemar metal alias metalhead ? Harapan memang banyak digantungkan pada pundak Jokowi sesuai dengan perangai musik rock yang sangat digandrunginya itu : tegas,lugas,tanpa kompromi dan anti kemapanan .Kredo musik rock yang disesaki elemen kebebasan pada akhirnya merupakan elemen dasar untuk mencapai garis perubahan disegala bidang.Perubahan adalah hal yang begitu lama didamba rakyat Indonesia. Selamat bekerja pak Jokowi. Salam Tiga Jari.

Musik dan Presiden

Posted: Oktober 19, 2014 in Opini

Belakangan ini banyak yang berceloteh bahwa kesukaan Jokowi terhadap musik rock adalah skenario pencitraan belaka yang dilakukan Stan Greenberg,sosok yang menjadi konsultan yang memoles sosok Bill Clinton ,presiden Amerika Serikat yang kerap ditampilkan piawai bermain saxophone. Jokowi ,kabarnya,pun dipoles sedemikian rupa oleh Greenberg sebagai sosok penggemar musik rock sejati.Walaupun seperti yang kita ketahui, sesungguhnya sejak menjabat Bupati Solo,Jokowi memang telah sering terlihat dalam berbagai konser rock baik skala lokal maupun internasional.Jokowi terlihat diantara kerumunan penonton konser Lamb Of God,Judas Priest,Sting,Guns N Roses dan Metallica.
Sosok Jokowi sebagai seorang metalhead merupakan pemandangan baru di Indonesia maupun dunia,karena tak lazim seorang pejabat menyukai musik rock yang selalu dikaitkan dengan kredo kebebasan dan anti kemapanan.

Tak heran ketika Jokowi dinyatakan menang dalam Pilpres 2014,ucapan selamat pun berdatangan dari para pemusiki rock dunia di jejaring sosial mulai dari facebook hingga twitter seperti Sting,gitaris Guns N Roses Ron Thal,band Arkarna dan banyak lagi.
Tapi Jokowi tak sendiri,dibelahan dunia sana ada Perdana Menteri Rusia Dmitri Medvedev yang juga menggemari musik rock.Band rock yang digemari Dimitri Medvedev nyaris sama dengan yang disukai Jokowi yaitu Black Sabbath,Deep Purple hingga Led Zeppelin.

Artwork by Iskandar Salim

Artwork by Iskandar Salim

Jika dilihat dari kesamaan selera ini mungkin karena keduanya adalah generasi yang dilahirkan di era 60an yang kemudian mengisi masa remaja di era 70an dengan musik-musik rock 70an.Jokowi lahir tahun 1961 dan Dmitri Medvedev lahir tahun 1965. Keduanya pun punya tekad yang nyaris sama : memberantas korupsi dan ingin melakukan perubahan.
Sejak duduk di bangku SMP Jokowi kerap terlihat menyambangi markas Ternchem band rock era 70an di Solo diseberang Stadion Manahan Solo .Berjam-jam Jokowi terperangah melihat Ternchem membawakan lagu-lagu dari band hard rock Inggris Deep Purple.

Dalam buku “Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker” yang ditulis Yon Thayrun,Jokowi pun berucap :” “Musik rock adalah kebebasan. Musik rock itu liriknya liar, tegas semangat, dan mampu mendobrak perubahan,”.
Tentunya ada sebersit harapan yang menguak saat Jokowi yang menggemari musik rock ini akhirnya terpilih sebagai Presiden. Saya sendiri memang menaruh harapan terhadap para pemimpin yang memiliki ketertarikan pada dunia musik.Sebagai cabang seni yang merepresentasikan ekspresi, musik boleh jadi akan menginspirasi para pemimpin dalam menjalankan konsep dan pola kepimpinannya.
Beberapa presiden Indonesia yang memerintah sebelum Jokowi resmi menjalani tampuk kepemimpinan sebagai presiden terpilih RI pada 22 Oktober ini juga memiliki keterkaitan dengan musik.Presiden Soekarno yang dengan semangat berkobar hendak membangkitkan supremasi budaya kita adalah seorang pianis dan menggubah lagu “Bersuka Ria” dalam album “Mari Bersuka Ria Dengan Irama Lenso” (1965) serta membentuk grup musik The Lensoist dan melakukan muhibah ke beberapa negara. Dua putra Soekarno adalah pemusik,Guntur bermain dalam band Ria Remaja,Aneka Nada dan Kwartet Bintang.Guruh membentuk band G Beat dan The Flower Poetman.Presiden Soeharto juga suka musik,begitupula putrinya Siti Hardiyanti yang berbakat menulis lagu serta Bambang Trihatmojo yang menjadi bassist band The Crabs. Presiden Gus Dur menyukai musik klasik dan menggemari ratu blues rock Janis Joplin.Dan yang paling menyita perhatian adalah Presiden SBY yang dimasa pemerintahannya masih sempat meluangkan waktu menulis lagu serta menghasilkan 5 album rekaman.SBY yang dimasa mudanya pernah menjadi bassist ini kerap menuai kritik karena merilis album begitu banyak dalam kondisi yang tidak tepat.
Lalu bagaimana dengan Jokowi yang oleh para penikmat musik metal dikukuhkan sebagai seorang penggemar metal alias metalhead ? Harapan memang banyak digantungkan pada pundak Jokowi sesuai dengan perangai musik yang digandrungi : tegas,lugas dan anti kemapanan .Selamat bekerja pak Jokowi.Salam Tiga Jari !.
\

Memberdayakan Katalog Lama

Posted: Oktober 13, 2014 in Opini

Ada peristiwa menarik pada rabu 2 Oktober 2014 silam,label tertua di Indonesia Musica Studios untuk pertamakalinya sejak 3 dasawarsa silam kembali merilis album rekaman dalam format piringan hitam atau vinyl untuk album terbaru band d’Masiv bertajuk Hidup Lebih Indah.

Salah satu kios musik di Blok M Square (Foto Rian Ekky P)

Salah satu kios musik di Blok M Square (Foto Rian Ekky P)

Kenapa menarik ? Karena label musik sebesar Musica Studios ditengah merebaknya distribusi musik secara digital, pada akhirnya memiliki keberanian untuk merilis album pop mainstream seperti d’Masiv dalam bentuk piringan hitam sebanyak 500 keping cakram. Dalam catatan saya,major label Sony Music di tahun 2012 telah memulai merilis album Superman Is Dead bertajuk 1997 – 2009 sebanyak 1000 keping cakram.
Memang banyak yang menyangsikan rilisan vinyl ini akan mendapat respon yang bagus dari masyarakat penikmat musik, disaat penjualan fisik seperti CD menurun bahkan format kaset yang telah lama hilang. Namun label-label besar seperti Sony Music atau Musica Studios tetap melakukannya.Semuanya,baik Superman Is Dead maupun d’Masiv,justru yang mengusulkan pada label masing masing untuk dibuatkan rilisan album mereka dalam format vinyl. Bisa jadi mereka terinspirasi dengan gerakan “back to vinyl” yang tengah merebak di Amerika Serikat dan belahan dunia lainnya.

Dan pihak label menyikapi hal ini sebagai test case terhadap respon masyarakat terhadap format yang pernah Berjaya pada beberapa dasawarsa silam. Jika ditilik secara seksama ,momentumnya memang tepat.Kerinduan akan format fisik seperti vinyl memang tengah melanda dunia walau tidak dengan skala yang sensasional.
Di Amerika Serikat, tercatat sekitar 4 tahun terakhir penjualan format vinyl naik 300 persen dengan penjualan di tahun 2006 sebesar 858.000, menjadi 2,5 juta di tahun 2009. Menurut data Nielsen SoundScan, pada tahun 2010, penjualan vinyl berkisar 2,8 juta keping .
Bahkan jika melongok data pada Juni 2011 penjualan vinyl mencapai 40 persen melebihi tahun sebelumnya.
Indrawati Widjaja, pemilik Musica Studios, setelah merestui merilis album terbaru d’Masiv dalam format vinyl, kini telah mencangkan rencana untuk merilis katalog-katalog lama (back catalog) yang pernah dirilis Musica Studios pada era 70an dan 80an seperti album karya Guruh Sukarno Putra,Iwan Fals,Chrisye dan Harry Roesli. Ini sebuah upaya yang pantas didukung,mengingat begitu banyak karya-karya seniman musik Indonesia yang dimasa lalu menjadi landmark perjalanan musik popular di Indonesia menjadi punah begitu saja. Pencapaian musik dimasa lalu sepatutnya diberdayakan kembali dalam bentuk fisik seperti vinyl.
Karena vinyl dengan kemasan art work yang menampilkan cover beserta liner note dan detil data musik bisa dianggap memiliki sifat yang sama dengan buku atau karya senirupa lainnya yang mampu merefleksikan sekaligus merekam sejarah budaya popular di suatu masa. Karena musik sebagai sejarah budaya populer tak hanya dinikmati sebagai produk bunyi saja tanpa bentuk fisik yang memadai seperti halnya vinyl atau piringan hitam.
Upaya merilis katalog-katalog lama dalam bentuk vinyl bukan lagi untuk kepentingan nostalgia belaka,melainkan merupakan upaya pengarsipan yang memiliki urgensi.Selama ini sejarah musik popular di Indonesia memang nyaris agak berantakan dengan data-data yang berserakan bagai puzzle yang tercerai berai entah kemana.Kita sama sekali tak memiliki data maupun pencatatan yang akurat seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju.
Beberapa label kecil independen seperti Majemuk Records serta Rockpod Record yang kembali merilis ulang (reissue) beberapa katalog lama seperti “Alam Raya” (Abbhama) atau “Gede Chokras” (Sharkmove) merupakan indikasi yang melegakan, karena beberapa tahun belakangan ini justru label-label asing seperti Shadoks Record,Now Again Record,Sublime Frequencies dan Strawberry Rain yang berinisiatif melakukan rilis ulang terhadap album-album seperti Guruh Gipsy,Ariesta Birawa,Sharkmove,AKA dan Kelompok Kampungan serta kompilasi lagu-lagu pop dan rock Indonesia “Those Shocking Shaking Day”.
Dan yang jelas,jika banyak label di Indonesia mulai mengikuti apa yang dirintis Musica Studios,Majemuk Record maupun Rockpod Record , setidaknya ini akan menangkal upaya dari beberapa label mancanegara yang merilis album-album Indonesia tanpa izin resmi alias membajak.

The Rollies edisi Typo

Posted: Oktober 13, 2014 in Kisah, Opini

Banyak hal menarik yang muncul saat mencermati sampul album atau cover album piringan hitam, salah satu diantaranya adalah mengenai salah tulis atau yang kerap kita kenal dengan istilah TYPO.Nah,jika anda perhatikan secara seksama ada dua album dari band asal Bandung The Rollies yang menurut saya memiliki typo.

Ada typo pada judul lagu Gone Are The Songs of Yesterday yang ditulis Gone Are The Days of Yesterday di cover album The Rollies pada tahun 1969 (Foto Denny Sakrie)

Ada typo pada judul lagu Gone Are The Songs of Yesterday yang ditulis Gone Are The Days of Yesterday di cover album The Rollies pada tahun 1969 (Foto Denny Sakrie)

Pertama, adalah album debut The Rollies yang direkam dan dirilis oleh label PopSound Phillips Record di Singapore, dimana dalam salah satu judul lagu yang tercantum pada cover depan tertulis Gone Are The Days Of Yesterday.Seharusnya lagu milik Love Affair yang diremake The Rollies itu judulnya adalah Gone Are The Songs of Yesterday.

Yang kedua, salah tulis atau typo terjadi pada album the Rollies bertajuk Sign of Love yang dirilis oleh label Purnama Record pada tahun 1972 yuang ditulis Sing Of Love..Typo ini jelas bisa mengubah makna, dari makna Tanda Cinta berubah menjadi menyanyikan lagu cinta.

Seharusnya judul album the Rollies ini adalah Sign of Love tapi justeru tertulis Sing Of Love.

Seharusnya judul album the Rollies ini adalah Sign of Love tapi justeru tertulis Sing Of Love.

Tapi konon kabarnya,para kolektor vinyl atau piringan hitam justru memburu album-album yang dipenuhi kata typo ini.Harganya bisa melambung tinggi tak terhingga.

Apakah anda pernah menemui album typo seperti yang saya paparkan diatas ? Let me know.